Suatu ritual sedang berlangsung di sini, namun butuh beberapa lama untuk memahaminya. Seorang letnan polisi berjalan perlahan-lahan di geladak dari sebuah dermaga apung, dan melangkah ke batuan di tepi sungai. Kerumunan orang yang sudah murung itu jadi diam tak bergerak. la melangkah ke depan sebuah mobil polisi ketika beberapa wartawan ngerumuninya. Kebanyakan orang-orang itu tetap duduk, memegangi selimut, menundukkan kepala dalam doa khusyuk. Mereka adalah para orangtua, sanak saudara, dan teman-teman. Sang letnan berkata, "Maaf, tapi kami sudah mengidentifikasi jenazah Siegfrid Farnon."
Suaranya beralun dalam keheningan, yang pecah hampir seketika oleh sedu dan rintihan keluarga gadis itu. Mereka saling merapat dan menunduk bersama-sama. Sahabat-sahabat berlutut dan memeluk, kemudian suara seorang wanita menjerit.
Yang lain menoleh dan mengawasi, tapi secara kolektif juga menghela napas lega. Kabar buruk bagi mereka tentu tak terhindarkan, namun setidaknya kabar itu masih tertunda. Masih ada harapan. Kelak aku bisa mengetahui bahwa ada 21 anak yang selamat karena tersedot ke dalam kantong udara.
Letnan polisi itu berjalan pergi, kembali ke dermaga. Satu jenazah lain diangkat dari air.
Kemudian ritual kedua, tidak setragis itu, tapi jauh lebih memuakkan, perlahan-lahan dimulai. Beberapa laki-laki dengan wajah muram menyelinap atau bahkan berusaha menorobos dekat keluarga yang sedang berdukacita itu. Mereka membawa kartu nama putih kecil yang berusaha mereka berikan kepada anggota keluarga atau teman-teman almarhum. Dalam kegelapan itu, mereka beringsut lebih dekat, saling mengamati dengan cemas. Mereka bersedia membunuh untuk mendapatkan kasus itu. Mereka cuma ingin sepertiga dari uang ganti rugi.
Semua ini sudah dipahami Yuval jauh sebelum aku menyadari apa yang sedang terjadi. la mengangguk ke suatu tempat yang lebih dekat ke para keluarga itu, tapi aku menolak untuk bergeser. la menyelinap pergi ke dalam kerumunan, menghilang cepat dalam kegelapan, menuju tambang emasnya.
Aku berbalik memunggungi sungai, dan tak lama kemudian aku sudah berlari di jalanan pusat kota Southaven.
***
DEWAN PANITIA UJIAN memakai surat tercatat untuk mengirimkan hasil ujian. Di sekolah hukum, sudah biasa para mahasiswa menunggu, lalu jatuh pingsan di samping kotak surat. Atau berlari liar ke jalan, melambai-lambaikan surat seperti orang gila. Ada banyak cerita, kisah-kisah yang saat itu terasa menggelikan, namun sekarang kehilangan segala kelucuannya.
Sudah lewat tiga puluh hari dan masih tak ada surat apa pun. Aku memakai alamat rumah, sebab aku sama sekali tak ingin surat itu dibuka oleh siapa pun di kantor Henry.
Hari ke-31 jatuh pada hari Sabtu, saat aku dibiarkan tidur sampai pukul sembilan, sebelum mandorku menggedor pintu dengan kuas cat. Ia memutuskan bahwa garasi di bawah apartemenku mendadak perlu dicat, meskipun menurutku kelihatannya masih cukup bagus. Ia membujukku turun dari ranjang dengan kabar bahwa ia sudah menyiapkan daging asap dan telur, dan makanan itu akan segera dingin, jadi bergegaslah.
Pekerjaan berlangsung dengan baik. Mengecat dan langsung menunjukkan hasil seketika yang menyenangkan. Aku bisa melihat kemajuannya. Matahari terhalang oleh awan, dan pukul enam sore ia mengumumkan saatnya untuk berhenti, aku sudah bekerja cukup lama, dan ia punya kabar baik untuk makan malam—ia akan membuat pizza vegetaris.
Aku bekerja di Yugo’s sampai pukul satu pagi ini dan tidak berniat segera kembali. Jadi, seperti biasa, aku tak punya pekerjaan apa pun malam minggu ini. Dan yang lebih parah lagi, aku belum memikirkan untuk melakukan sesuatu. Sedihnya, gagasan untuk makan piza vegetaris dengan seorang perempuan delapan puluh tahun terasa menarik.
Aku kemudian mandi dan memakai pakaian khaki serta sepatu kanvas. Bau aneh memancar dari dapur ketika aku memasuki rumah. Miss Streep sedang hilir-mudik di dapur. Ia belum pernah membuat piza, katanya padaku, seolah-olah aku mestinya senang mendengar ini.
Lumayan. Zucchini dan paprika kuningnya sedikit garing, tapi ia menyelimutinya dengan lapisan keju dan jamur. Tiba tiba rasa laparku tersulut. Kami makan di ruang duduk dan menonton film. Dan ia menangis hampir sepanjang film itu.
Kemudian diganti dengan film kedua. Nyeri pada ototku mulai terasa. Aku jadi mengantuk. Miss Streep duduk di tepi sofa, dengan terpesona menyerap setiap kalimat dalam film yang sudah ia saksikan selama lima puluh tahun.
Sekonyong-konyong ia melompat berdiri. Ia bergegas kembali ke ruang duduk dengan memegang sehelai kertas, lalu berhenti di hadapanku dengan dramatis, dan mengumumkan, “Edward! Kau lulus ujian!”
la memegang sehelai kertas putih yang langsung aku sergap. Itu dari Panitia Ujian Texas, dan jelas dialamatkan kepadaku, dan kata-kata megah itu tertulis di tengah halaman dalam huruf tebal: Selamat, Anda telah lulus ujian ikatan pengacara.
Aku berbalik dan memandang Miss Streep, dan selama setengah detik, aku merasa ingin menamparnya karena pelanggaran privasi yang begitu sembrono. la seharusnya memberitahukannya padaku sedari tadi. Tapi sekarang ia tersenyum lebar. Matanya basah oleh air mata, kedua belah tangan ditempelkan ke wajahnya. Aku mengurungkan niat untuk menamparnya.
la hampir sama bergetarnya seperti diriku. Kegusaranku dengan cepat surut menjadi sebuah kegembiraan yang luar biasa. "Kapan datangnya?" tanyaku.
"Hari ini, saat kau mengecat. Tukang pos mengetuk pintuku; mencarimu, tapi aku katakan kalau kau sedang sibuk, jadi aku menandatanganinya saja."
Menandatangani resi boleh saja. Tapi membuka surat orang... itu persoalan lain.
"Mestinya Anda tidak membukanya,” kataku, tapi tidak dengan nada yang benar benar marah. Mustahil marah pada saat seperti ini.
"Maaf. Aku pikir kau ingin aku membukanya. Tapi bukankah ini menggembirakan?"
Memang benar, aku serasa mengapung ke dapur, menyeringai lebar seperti i***t, menghirup udara dalam-dalam tanpa beban. Segalanya indah. Benar benar dunia yang indah.
“Ayo kita rayakan," katanya dengan senyum kecil nakal.
“Ayo,” kataku. Aku serasa ingin berlari ke kebun belakang, berteriak pada bintang-bintang, la mengulurkan tangan jauh ke dalam sebuah lemari, merogoh-rogoh, tersenyum, lalu perlahan-lahan mengeluarkan sebuah botol berbentuk aneh. "Aku menyimpan ini untuk peristiwa istimewa."
"Apa ini?" kataku sambil mengambil botol tersebut. Aku tak pernah melihat yang seperti ini di Yugo’s.
"Brendi melon. Cukup keras." Ia tertawa terkekeh. Pada saat seperti ini, aku akan minum apa saja. Ia mengambil dua cangkir kopi yang seragam—minumnan keras tak pernah disajikan di rumah ini—dan mengisinya sampai setengah penuh. Cairan itu kental dan lengket. Aromanya mengingatkanku pada sesuatu dari ruang praktek dokter gigi.
Kami bersulang untuk keberuntunganku, beradu tos pada cangkir Bankof Texas itu, dan meneguknya. Rasanya seperti sirup obat batuk untuk anak anak dan membakar seperti vodka murni. Ia mendecakkan lidah. "Sebaiknya kita duduk," katanya.
Sesudah beberapa teguk, Miss Streep mendengkur di sofa. Aku mengecilkan suara televisi dan menuang secangkir lagi. Minuman itu keras, dan sesudah rasa yang membakar tadi, saraf pengecap tidak lagi menolak. Aku minum di teras, di bawah rembulan, masih tersenyum ke atas dalam puji syukur karena berita hebat ini.