Para pengemudi yang lain menepi memberikan kelonggaran jalan bagi keadaan darurat si penegak hukum ini.
“Kau tahu kalau peluru bisa menembus air? Pada waktu itu kakiku terkena tembakan.”
“Aku tak pernah tahu.”
“Nyatanya bisa, terjadi padaku sendiri. Paha kiriku yang terkena. Sungguh rasa sakit yang luar biasa, seperti ditusuk pisau panas. Aku belum pernah merasakan intensitas sakit seperti itu. Napasku tersengal menahan sakit, aku bahkan nyaris pingsan. Saat itu, tadi sudah aku bilang, di kepalaku berseliweran sosok Maggie yang pernah melatih kita. Dia tidak akan pernah membiarkan kita untuk menjadi orang yang lemah, sebesar apapun luka kita, tak ada alasan untuk pergi dari lapangan apabila dia sendiri yang tidak meminta. Maggie mengharapkan kita tetap bermain meski kaki kita sudah patah, bahu kita hampir hancur, jadi saat itu aku tegaskan pada diriku sendiri kalau Maggie sedang mengawasiku. Aku berasumsi jika Maggie ada di daratan, di tepi sungai sedang berdiri melipat kedua tangannya di depan, tengah mengawasiku. Dia ingin tahu seberapa tangguh diriku.”
Dia menikmati rokoknya dengan beberapa kali isap. Menghembuskan kepulan asap rokok itu ke luar jendela. Kemudian tercenung cukup lama, sedang dia tenggelam dalam kenangannya sendiri. Prediksi yang tepat dari Nicki. Tapi David masih mampu mengendalikan mobil dengan baik.
“Ya, sudah jelas kau bisa selamat,” kata Denis, yang sudah mulai malas mendengarkan cerita selanjutnya sebab dia tahu poin pentingnya sudah disampaikan.
“Aku rasa saat itu aku cuma beruntung saja. Kelima rekanku yang lain pulang dalam keadaan tidur yang lelap dalam peti. Aku sudah merasa tak mampu untuk berpegangan di sampan, perahu itu terus semakin terbakar dan hampir tertelan oleh panas api. Meriam masih digencatkan menghunjam perahu-perahu itu dan akhirnya tenggelam. Aku bisa mendengar dengan jelas para b******n itu tertawa. ‘Ini adalah antara hidup dan mati’. Jika kau tetap ingin hidup dan memperbaiki kehidupanmu ke depan, maka periksa nyalimu, periksa!”
“Aku bisa mengingat kata-kata itu,” kata Nicki.
“Setelah itu, tiba-tiba tembakan-tembakan dari para k*****t itu berhenti. Ada gemuruh suara yang berisik mendekati sungai, helikopter muncul dan mencoba memeriksa keadaan usai memeriksa ada kepulan asap dan api yang menyulut begitu besar. Kemudian, helikopter itu mengulurkan tali, dan aku selamat. Detik-detik ketika aku dalam proses penarikan ke atas helikopter melalui tali itu, aku melihat semuanya hancur, perahu-perahu terbakar, dan aku melihat dua rekanku tergeletak kaku di atas geledak, mereka hangus terbakar. Perasaanku benar-benar tak keruan, bagaimana ya, seperti ada fluktuasi yang besar di dalam hatiku saat melihat rekanku tewas. Dan akhirnya aku pingsan. Saat aku sudah kembali, mereka memberitahukan padaku bahwa setelah aku tersadar dari pingsan, mereka bertanya padaku siapa namaku, dan kujawab, ‘James Maggie’.”
David membuang mukanya ke kanan, melihat ke arah luar jendela, sambil menyeka mata. Mengetahui hal itu, Nicki melirik ke arah yang berlawanan. Dalam beberapa detik itu, tak ada yang menyentuh kemudi mobil itu.
“Dan setelah itu kau pulang?” tanya Denis.
“Ya, itu keberuntunganku. Aku bisa keluar. Oh, ya, kalian lapar?”
“Tidak.” Keduanya menjawab serentak.
Kelihatannya David yang merasa lapar. Dia tancap gas dan memutar kemudi ke kiri, memasuki sebuah area parkir dengan jalanan berkerikil. Kemudian di situ pula dia menghentikan mobilnya. “Kedai ini punya biskuit yang sangat lezat,” katanya sambil menyentakkan pintu hingga terbuka dan berjalan menuju sebuah kedai pedalaman yang terlihat tua.
Mereka bertiga memasuki sebuah dapur yang berukuran tidak terlalu besar dan penuh asap. Di sana terdapat empat buah meja yang tertata berdempetan satu sama lain. Di sana berkumpul para pria yang sudah tampak berkarat, mereka tengah menyantap ham dan biskuit. Beruntunya, setidaknya ini yang David rasakan, ruang penuh sesak itu masih menyisakan tiga kursi kosong di satu meja yang sudah dipenuhi oleh santapan orang. “Kami butuh biskuit yang katanya enak di sini,” pintanya pada seorang perempuan bertubuh mungil.
Tidak memakan waktu lama, perempuan itu datang dengan membawa nampan yang berisi pesanan mereka, kopi dan biskuit. Dan setelah diletakkan di atas meja, ternyata di atasnya terdapat mentega dan sebuah selai sorgum. “Mereka cukup hebat jika bisa mendapatkan tumbuhan ini. Sorgum, makanan pokok yang sangat penting di kawasan Asia Selatan,” kata David.
“Aku rasa aktivitas perdagangan internasional negeri ini sudah semakin bagus,” kata Denis.
“Kau benar.”
Mereka menyantap hidangan itu. David menikmati sepotong biskuit dengan campuran lemak, dan tepung, beratnya sekitar satu pon. Nicki dan Denis berada di kedua sisinya.
“Aku dengar kalau kalian berkumpul di tribun selamam,” kata David dilanjutkan dengan sepotong suapan biskuit berukuran besar dan mulai mengunyah dengan lahap. “Soal peristiwa di tahun delapan tujuh, aku juga ada di sana. Sama seperti kalian semua. Aku mengira kalau kalian sedang bertengkar setelah babak pertama pertandingan itu di ruang ganti. Mungkin mengenai Maggie. Tapi tidak pernah ada klarifikasi soal cerita itu sebelumnya, karena kalian tak pernah membicarakannya.”
“Anggap saja kalau kami bertengkar saat itu,” kata Nicki sebelum memasukkan satu suapan biskuit pertamanya.
“Tak ada klarifikasi soal kejadian itu,” tambah Denis.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ya sebuah pertengkaran.”
“Ya, karena Maggie telah tewas.”
“Jangan pakai kata itu seolah dia sama dengan rekanmu yang tewas dengan menyedihkan.”
“Juga jangan bawa-bawa rekanku.”
“Jadi?”
“Jadi, lima belas tahun telah berlalu saat ini. Aku mau tahu ceritanya,” kata David, pertanyaannya yang berulang itu seakan hendak menginterogasi seorang tawanan teroris kawakan.
Nicki meletakkan peralatan makannya. Dan sekilas melirik ke mata Denis dan mengangguk padanya, semacam kode untuk mempersilakan Denis memberitahu David apa yang terjadi.
Denis menyeruput kopinya dan menatap liontin yang ada di atasnya begitu lama. “Saat itu kami kalah tiga lawan nol di babak pertama. Kami benar-benar dipermainkan,” katanya perlahan.
“Aku tahu kalau itu, aku ada di sana,” jawab David.
“Seperti biasa, setelah babak pertama usai, kami semua masuk ke ruang ganti. Kami menunggu Maggie. Menunggu dan menunggu. Kami bisa mengira kalau Maggie akan menghabisi kami tanpa ampun. Dan ternyata perkiraan kami benar. Dia benar-benar murka. Dia masuk bersama para pelatih lain. Kami benar-benar sangat ketakutan. Dia berjalan ke arahku dengan sorot mata yang mengerikan, memancar sebuah kebencian yang sudah terpaksa ditahannya setengah mati. Sedangkan aku hanya bergeming, melihat matanya saja sudah membuat bibirku terasa kaku. Lalu dia bilang, ‘Sebagai bintang college, kau sangat payah.’ Dan aku cuma menjawab, ‘Terima kasih.’ Setelah aku bilang begitu, sedetik kemudian punggung tangannya mendarat di wajahku,” kata Nicki.
“Seperti raket buluntangkis menghantam shuttlecock,” kata Denis. Dia mulai kehilangan nafsu makannya.