Tiga Puluh Satu-KAMIS

1055 Words
K A M I S Pada hari kamis pagi, Andrea Nicki dan Denis Lennon berjanji untuk bertemu di belakang sebuah toko buku, di mana di situ pula Nelson menikmati kopi Brasilnya yang potensi membuat orang lain yang mencium bau asapnya menjadi kecanduan. Nelson begitu sibuk di depan, dia berada di dekat sebuah barang berukuran mungil yang identik dengan kepercayaan gaib, bersama seorang perempuan yang terlihat sinis dengan kulit pucat. “Seorang penyihir,” kata Denis, nada suaranya sangat gamblang, seolah terlihat bangga dengan kotanya yang seperti membutuhkan jasa seorang penyihir. Dan seolah bereaksi terhadap bisikan mereka, perempuan yang disebut sebagai penyihir itu bergumam sambil menatap mereka sekilas, mungkin dia mengucapkan kutukan. Tidak lama setelah itu, David Stone tiba dengan mengenakan seragam khas militer bersenjatakan lengkap. Dia terlihat agak bingung melihat ada sebuah gerai yang merupakan satu-satunya toko buku yang dimiliki oleh seorang homoseksual. Ini agak aneh. Jika saja Nelson bukan mantan anggota Red Circle, mungkin David akan mampir setiap hari ke toko buku itu untuk mengawasi sebab dianggap mencurigakan. “Sudah siap?” tanyanya dengan mantap seakan ingin segera pergi. Mereka melaju menggunakan mobil Volvo berwarna putih, dengan Nicki duduk di kursi bagian depan, sedangkan Denis duduk di kursi belakang. Mobil Volvo putih itu di bagian pintunya terdapat sebuah tulisan bercetak tebal yang memberitahukan bahwa penunggang mobil itu adalah salah seorang penegak hukum setempat. Menuju jalanan besar, David Stone menginjak pedal gas semakin dalam dan mulai menyalakan lampu merah-buru tanpa membunyikan suaranya. Begitu peraturuan protokoler mobil Ford Polisi itu sudah dilakukan, dia menyambar gelas yang terbuat dari Styrofoam berisi kopi, dan meletakkan di depannya. Mereka akan menempuh perjalan sejauh seratus mil. “Saat itu aku tengah di Myanmar,” kata David. Kalimat pembuka yang dipilihnya itu seolah memberi kesan bahwa dia akan bercerita sepanjang perjalanan. Nicki mengawasi jalanan, dia punya firasat bahwa David akan tenggelam dalam ceritanya sendiri dan melupakan kalau dirinya yang saat ini mengemudikan mobil. Sedangkan Denis merebahkan tubuhnya di kursi belakang, dia merasa perjalanan selama hampir dua jam ini akan membuat pantatnya remuk. “Aku ada si Sungai Irrawaddy untuk sebuah operasi khusus,” kata Davis. Terdengar hembusan keras keluar dari hidungnya usai dia menyeruput kopi menggunakan sebelah tangannya. “Sungai itu merupakan salah satu sungai terpenting di Burma. Khususnya dalam hal perdagangan. Kala itu, aku bersama lima orang rekan dalam sebuah perahu kecil yang biasa dipakai untuk mencari ikan para nelayan. Dan kami memakai sampan itu untuk patrol ke sana ke mari. Dan itu membuat masalah baru yang rumit bagi kami. Kami itu kumpulan orang-orang bodoh. Ada gerakan, kami langsung menembak. Ada suara seekor sapi yang mendekat, kami langsung menembak. Anggap saja itu sebagai objek latihan. Petani yang jail mengeluarkan kepalanya dari kerumunan padi, kami langsung menembak…” “Kepalanya?” tanya Denis yang ternyata ikut mendengarkan. “Mana mungkin. Kita hanya memastikan dia membuang diri ke lumpur. Tak ada misi yang terstruktur untuk kami setiap harinya. Jadi untuk menghabiskan waktu, kami menenggak bir, mengisap rokok, bermain kartu, dan sesekali mencoba menggoda para gadis setempat untuk mau duduk di perahu bersama kami.” “Kau tak mungkin menceritakan ini kalau tak ada tujuan pasti,” kata Nicki. “Kunci mulutmu rapat-rapat dan dengarkan hingga selesai. Pada suatu hari, dalam kondisi cuaca yang sangat panas, kami tengah tertidur berjejeran, seperti ikan yang terpanggang sinar matahari, tapi tiba-tiba saja semuanya berubah menjadi berantakan. Dari tepi sungai, kami ditembaki. Tembakan yang beruntun. Susul-menyusul. Saat itu dua orang ada di geladak bawah, tiga orang lainnya ada di atas. Belum sempat mereka memegang senjata, mereka sudah tertembak dan tewas. Darah mengalir deras. Semua orang menjerit. Aku dalam posisi tiarap, tak kuasa bergerak bersamaan dengan tertembaknya tong bahan bakar. Kita tidak mengira benda sialan itu bisa memberikan bencana seperti ini. Tapi siapa yang bisa tahu hal ini akan terjadi? Tong itu menghasilkan ledakan yang besar. Tapi sebelum ledakan itu, aku terlebih dahulu terjun ke sungai, lolos dari api ledakan itu. Aku berenang mendekati sampan dan berusaha sekuat tenaga meraih sehelai jala kamuflase yang menjuntai di situ. Aku mendengar jeritan dua orang rekanku yang ada di dalam perahu. Mereka berdua terjebak di atas perahu, api dan asap di mana, menutupi jalur sungai. Sedang aku masih bertahan di dalam air. Sesekali menyembulkan kepalaku untuk menghirup oksigen. Mereka tahu kalau aku ada di dalam air. Dan b******n-b******n sialan itu menghujani dengan peluru. Kejadian itu berlangsung sangat lama, sedang perahu yang kedua rekanku tunggangi sudah habis terbakar dan hanyut. Teriakan dan batuk menyertai. Tak lama sesenggukan itu berhenti. Memberitahukan kalau mereka sedang dalam kondisi diambang kematian. Ya, semuanya pada akhirnya tewas, selain aku. Para b******n itu kemudian menampakkan diri. Lalu mereka berjalan seperti laki-laki yang sedang berpesta dengan pelacurnya. Aku berenang ke bawah perahu, mencoba mencari celah. Kemudian aku berpegangan kepada kemudi dan berusaha menghirup udara. Ternyata sungai-sungai itu penuh dengan ular-ular kecil yang berbisa. Dan mereka tahu kalau aku masih hidup dan sedang bersusah payah melarikan diri. Jadi aku mengira bahwa aku memiliki tiga opsi: mati tenggelam, mati karena tertembak, atau menunggu ular-ular itu menggigit tubuhku.” “Setelah itu apa yang terjadi?” tanya Nicki, dia bermakud ingin menyemangati David untuk tetap meneruskan ceritanya. David Stone menyulut sebatang rokoknya, dan memuka jendela yang ada di sisinya. Sedang Nicki melakukan hal yang sama. Mereka tengah berada melintas di jalanan pertanian, melesat melewati perbukitan, dan meliak-liuk menghindari traktor-traktor pertanian. “Dan apakah kau bisa menduga bagaimana aku bisa selamat?” tanya David. “Jaminan?” tebak Denis. “Bukan.” “Katakan,” kata Nicki. “Maggie. James Maggie.” Sontak Denis langsung bangkit dan mengatur posisi duduknya. “Bagaimana bisa?” tanya Denis. “Saat itu aku mati-matian berpegangan di sampan itu. Aku tak memikirkan siapapun. Ibu, ayah, atau bahkan kekasihku. Tidak terkecuali James Maggie. Entah mengapa, saat itu aku mendengar dirinya sedang meneriaki kita di akhir latihan saat kita sedang dihajar dalam Red Circle Marathon. Aku mengingat setiap nasihatnya. Jangan putus asa, jangan putus asa. Kau bisa memenangkan pertandingan apapun karena ditentukan seberapa kuat tekad dan mentalmu. Kau terlihat lebih unggul karena mental dan tekadmu lebih hebat. Jika kau memenangkan pertandingan atau apapun itu, jangan menyerah. Jika kau kalah dalam pertandingan atau apapun itu, jangan menyerah. Dan jika kau tersayat tubuhmu atau terluka hatimu, jangan pernah menyerah.” David mengisap rokoknya dan mengembuskan kepulan asapnya, dia terlihat menikmatinya. Sedang dua rekan lainnya kali ini mendadak serius mendengarkan ceritanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD