Ekstra Bab

4763 Words
The Beginning. Kenalin, nama gue Arga Pratama. Biasa dipanggil Arga. Sembari mengusap muka karena nggak sabaran membuka lembaran berikutnya, gue selaku orang yang berperan langsung dalam buku ini memberi salam hangat kepada kalian yang sudah berkenan membaca. Untuk pertama kalinya gue berani mengisahkan ini ke publik yang ceritanya mengenai perjalanan cinta gue. Ini bukan sebagai tanda karena gue telah berhasil melewati masa lalu, justru ini adalah pembuktian kalau gue juga pernah merasa rapuh. Sementara, yang gue tulis isinya nggak jauh dari menye-menyenya gue karena berhasil menyelesaikan buku ini. Buat teman-teman yang selalu nanya ke gue, “Ngapain, sih, lo marah-marah, bentak-bentak, kadang senyum-senyum sendiri depan laptop?” Itu bukan pencitraan, ya, teman-teman, ingat! Untuk penegasan disetiap pertanyaan kalian itu, gue marah-marah memang tiba-tiba muncul gitu aja. Disaat gue bingung nulisnya pakai kalimat yang mudah dipahami itu gimana. Pernah beberapa kali juga memang bentak-bentak laptop disaat si laptop mati tanpa ada tanda-tanda mau mati. Jadinya, file gue jadi nggak sempat gue save. Akibatnya, nulis lagi dari awal. Kalau gue lagi senyum-senyum sendiri depan laptop itu, artinya gue lagi buka i********: dan DM gue dibalas sama si Jihan. Lupain siapa Jihan itu. Eh, sebelumnya salam keren untuk Gery, Fery, dan Rahmad yang sekarang sudah nggak nganggur lagi. Kalian sahabat-sahabat terbaik. Juga pencetus jiwa persahabatan yang masih melekat pada setiap sel dalam tubuh ini. Untuk Gery, sesuai permintaan lo, masa lalu lo yang pahit itu, nggak gue jabarin penuh di buku ini. Karena gue tahu, lo orangnya diam-diam menghanyutkan. Lo sengaja nyembunyiin masalah-masalah lo sama gue. Gue juga nggak tahu manfaatnya apaan. Jika gue jabarin cerita masa lalu lo di buku ini, 180 serajat, perasaan sok tegar itu pasti kembali rapuh ketika lo baca buku ini. Terima kasih sekaligus (formal) buat apresiasi dan kritikan dari lo (Gery) yang terus membangun motivasi gue buat terus menulis. Untuk sapaan singkat ini, gue pengin kasih sedikit penjelasan. Gue nggak bisa bahagia sampai sekarang, tanpa sahabat-sahabat gue yang selalu kasih harapan buat tetap tegar pada setiap masalah. Love you all. Regards, Arga Pratama, This book for you all. *** Jika manusia punya lima suasana dalam hidup mereka ketika remaja, gue punya lebih dari itu. Gue punya enam suasana yang bisa gue pamerin. Manusia kebiasaan hanya punya, kesedihan, kerinduan, kebahagiaan, dan kebingungan, serta kekejaman dalam hidup. Lima ‘K’ itu selalu berotasi seperti pergantian musim setiap bulan. Namun, manusia seperti gue punya satu ‘K’ lagi yang bisa gue banggakan. Yaitu, kejutan. Manusia-manusia saat masih remaja nggak dijauhkan dengan petualangan. Tentang pencarian bakat dalam diri. Penanaman benih kedewasaan. Sekaligus penyuburan sikap tanggung jawab. Apalagi saat menyangkut petualangan tentang cinta. Wow, itu lebih menarik lagi. Which is true! Right? Karena seiring pertumbuhan usia dan rasa paham akan kematangan dalam berpikir, manusia remaja banyak sekali yang terjun dalam petualangan cinta. Berawal dari rasa yakin akan menemukaan kebahagiaan dan bisa mengeksplor rasa tanggung jawab dan kedewasaan, remaja berani bertaruh untuk mencari cinta mereka dengan pengorbanan besar. Termasuk yang gue lakuin ketika gue masuk SMA. Gue pikir kisah masa SMA akan sangat menarik dibandingkan masa-masa pendidikan yang sebelumnya. Banyak ungkapan yang mendukung soal itu. Tentu dengan gembira gue menyambut sekolah baru gue. Tempat yang akan membantu gue mewujudkan kisah yang nggak pernah gue temukan sewaktu SD atau SMP. Tentang kisah cinta yang menyenangkan! Gue pikir benar, soal teori cinta monyet yang pernah viral di media-media sosial itu. Cinta monyet adalah cinta yang dilakukan oleh anak kecil. Cinta yang menyangkut perasaan suka sama suka berawal dari kontak mata saja. Gue meng-iyakan segala hal mustahil yang pernah dibilang kak Firma—kakak sepupu gue, bahwa cinta monyet nggak akan pernah bisa dipaksain menjadi cinta sejati. Pasti ujung-ujungnya mudah berakhir karena alasan sepele yaitu jarak atau bosan. Cepat putusnya. Memori hanya terekam melalui mata, hati tidak bekerja. Karena waktu SMP gue sempat pacaran sama seorang cewek. Ima, namanya. Dia termasuk cewek cantik yang populer di sekolah. Karena kepopulerannya itu, gue merasa tertantang buat dapatin dia. Ima mau nerima gue jadi pacarnya, karena dia punya alasan. Sebab gue ganteng, keren, dan nggak b*****g. Tapi, dua minggu pacaran, gue diputusin sama Ima. Karena Ima nemuin cowok yang lebih ganteng dan lebih “berdana” daripada gue. Gue kecewa, tapi nggak sampai menangis. Sampai-sampai, hari sabtu sepulang sekolah, gue langsung main PS di rumah. Target gue main sampai malam. Mungkin, PS bisa membuat gue baper sama serunya permainan dan mudah menghilangkan kekecewaan gue. Setelah kepala gue dingin. Gue bisa tenang dan berpikir realistis. Bahwa cinta sejati itu nggak butuh alasan. Cinta memang bisa datang kapan saja. Tapi nggak pernah membawa syarat khusus untuk sang pemilik hati. Mengingat alasan Ima yang nerima gue gara-gara gue ganteng, keren, dan nggak b*****g, gue sadar kalau Ima hanya menggunakan penglihatannya. Tidak dengan hatinya. Maka dari itu, perasaannya mudah sekali berubah. Dan dengan mudahnya mutusin gue. Sejak saat itu gue menganggap bahwa cinta monyet adalah cinta yang butuh banyak alasan. Padahal cinta sejati yang sebenarnya nggak butuh alasan yang bertele-tele untuk bisa saling menerima. Kisah cinta bodoh itu adalah kejutan pertama dalam hidup gue. *** Setelah gue dinyatakan layak masuk SMA, gue memutuskan menjadi laki-laki normal yang nggak terlalu banyak tingkah sama perempuan. Meskipun sebenarnya SMA adalah surga dunia yang banyak perempuan cantiknya. Tapi, gue biasa saja dan nggak terlalu agresif. Kecuali kalau gue benar-benar dipertemukan sama perempuan yang berhasil mencuri hati gue. Herannya, meskipun gue bersikap biasa saja sama perempuan, tetap ada perempuan aneh yang mengira kalau gue itu playboy. Menyebalkan! Nggak mungkin, dong, cowok ganteng, putih, kayak kamu itu nggak suka main perempuan. Kata salah satu teman perempuan di kelas. Gue diam saja awalnya. Karena setelah gue pikir, membela diri di depan perempuan yang lebih dulu beranggapan, kayaknya sia-sia saja. Tapi, gue sebagai manusia yang mempunyai daya pikir intelektual yang masih berfungsi, gue sedikit melakukan instropeksi dalam diri gue. Mengingat yang bisa peduli sama diri gue adalah gue sendiri. Bukan orang lain. Apalagi mereka-mereka yang punya banyak anggapan buruk tentang gue, tapi nggak punya solusi sama sekali. So mislead! Lambat laun karena di sekolah gue waktu itu ada mata pelajaran yang namanya PPKN—mungkin kalian juga sudah familier dengan mata pelajaran itu. Anggapan banyak orang adalah materi pelajaran PPKN kebanyakan menjelaskan tentang pemerintahan dan materi yang berhubungan dengan negara. Hukum, sistem pemerintahan, dan lain-lain (nggak gue terusin karena gue gak mau ngulang materi pelajaran SMA, karena mengingat kembali materi dimasa lalu itu berat, Sob). You know that! Tapi kalau gue boleh jujur, gue adalah salah satu pelajar yang selalu merasa punya banyak hutang budi sama guru gue yang mengajar pelajaran PPKN waktu gue masih SMA itu. Sebut saja nama guru PPKN gue itu namanya Bambang.  Berawal dari materi yang menjelaskan tentang nasionalisme—pemahaman atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negaranya sendiri. Mengetahui seorang guru yang selalu punya pandangan yang luas, membuat penjelasannya bukan hanya soal bangsa. Tapi, merambat tentang cara mencintai diri sendiri. Katanya, “Sebelum kita bisa mencintai negara atau bangsa, tanamkan dalam diri untuk mencintai diri kita sendiri terlebih dahulu. Bangsa yang besar, bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai rakyat yang solid. Rakyat yang mampu menjaga keutuhan dan kemakmuran bangsa. Tanpa ada kemauan untuk mencintai diri sendiri, akan membuat diri kita mudah terombang-ambing. Sehingga membuat keburukan yang ada pada diri kita semakin luas menyebar. Akibatnya seluruh rakyat, bahkan nama bangsa ikut tergoyah hanya karena salah satu rakyat.” Gue mendengarkan pernyataan itu dengan teliti. Sungguh, gue sedikit terenyuh dengan penjelasan Pak Bambang. Dan sebagai nasionalis yang paham tentang jerih payah para pahlawan yang telah gugur hanya karena mempertahankan bangsa dan generasi seperti gue, akhirnya gue merenung dan sampai mau bertapa di gunung semeru untuk mendapatkan petunjuk yang semestinya. Pokoknya petunjuk tentang kebaikan (maksa banget deh, padahal naik gunung aja takut nggak diizinin emak). Gue yang tidak tahu menahu tentang simbol playboy yang dikasih cewek-cewek ke gue, alhasil membuat gue sedikit hati-hati saat bersikap. Bukannya gue mencoba menjadi sok perfeksionis, tapi apa salahnya berubah menjadi yang lebih baik? Which is true! Pasti lo bisa ngerasain kalau misalnya lo berada di posisi gue. Bagaimana keadaan jiwa lo yang terus-terusan diganggu oleh sesuatu yang tidak pernah ada pada diri lo. Dengan cara berpikir yang pas-pasan, akhirnya gue ngebuktiin pada cewek-cewek yang pernah beranggapan buruk tentang gue, kalau gue punya pacar dan gue bisa setia sama pacar gue. Biar mereka jadi iri ngelihat kemesraan gue dan pacar gue. Dan, kalau bisa mereka termakan omongannya sendiri. Lalu memohon sama gue buat dijadiin pacar gue. Minimal pacar kedua lah. Tapi bukan di situ poin pentingnya. Gue hanya ingin kehidupan gue berjalan sesuai arah yang pernah ditentukan emak gue waktu gue masih kecil. Yaitu menjadi seorang kaum Adam yang bertanggung jawab sama semua hal. Sama pasangan, misalnya. Gue ngelakuin itu dengan hati-hati. Karena banyak cewek di sekitar gue yang masih memendam kepribadian ganda. Awalnya sok-sok bilang gak suka, akhirnya ngagetin dengan ngomong suka. Ketemunya bilang jijik, ujung-ujungnya juga tertarik. Ya begitulah. Hati-hati kalau sama cewek. Mereka jauh lebih pintar nyembunyiin sesuatu. Apalagi nyembunyiin soal perasaan. Baru nyadar? Sama. Gue juga. Saking bangganya gue punya pacar, gue selalu nulis namanya di setiap buku tulis pelajaran gue. Di balik sampul depan buku tulis yang bewarna putih polos, gue tulis nama cewek gue dan nama gue. Sambil sedikit gue kasih polesan gambar hati diantara nama gue dan cewek gue. Setelah itu, gue kasih bingkai kotak (itung-itung kelihatan bagusan dikit). Itu adalah kerajinan tangan murni buatan gue. Gue bangga! Karena gue tidak meniru siapapun! Kalau lo juga pernah melakukan itu, berarti lo yang niru gue! *** Takdir yang setiap manusia tidak sadar temukan bahwa di dalam jiwa selalu bersemayam cinta. Manusia normal tidak bisa menyangkal ataupun menghilangkan kehadiran buih cinta. Cinta yang banyak orang bilang akan menghasilkan poin indah yang disebut kenangan abadi, nyatanya cukup menantang buat gue buktiin. Gue sedikit nyari ide, agar nama gue dan pacar gue tidak tertulis di balik sampul buku tulis saja. Agar semakin banyak yang tahu soal perjuangan gue buat kasih sesuatu yang sukar dilupa oleh banyak orang. Yang gue lakuin, mulai dari beli cat semprot buat tulis nama gue dan nama pacar gue di tembok-tembok belakang sekolah (jangan ditiru, adegan berbahaya, kalau ketahuan kepala sekolah nanti bisa disuruh ngecat ulang). Karena di tembok belakang sekolah juga sudah banyak karya-karya murid lain, jadi sudah nggak terlalu diperhatiin sama pihak sekolah. Kecuali kalau mau ada program adiwiyata. Semacam penilaian dari pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada salah satu sekolah yang memperhatikan kebersihan. Dan itu masih lama. Mungkin setelah gue lulus SMP, baru ada program itu di sekolah gue. Tapi sayangnya, cewek gue ngelarang gue ngelakuin itu. Kata cewek gue, “Jangan diterusin! Keknya sia-sia aja, deh.” “Kenapa?” “Hubungan kita sepertinya sampai di sini.” “Maksud kamu… Kamu mau putus?” “Aku mau pindah sekolah. Aku juga nggak bisa jalani hubungan LDR.” “Kita masih bisa saling ngejaga hati kita.” “Tidak semudah itu. Sudahlah, semoga kamu dapat cewek yang lebih baik dari aku.” “Tapi aku mau bukitiin ke mereka kalau aku bisa setia sama kamu, meskipun beda negara sekalipun.” Sinyal buruk. Tuut… Tuut… Tuut. Gue baru mau bikin kenangan abadi versi gue, tapi sayangnya gagal. Gue menebak kalau cewek gue itu termasuk cewek yang super butuh belaian. Maka dari itu, dia secara sepihak mutusin gue. Karena beralasan tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh. Menyebalkan!  Dan, gue itu tipikal cowok pendiam yang gak kebanyakan orang lain tahu dibalik diamnya gue itu tersimpan dendam kesumat karena masalah pacar gue yang ninggalin gue. Intinya, kalaupun dia beralasan tidak bisa LDR-an sama gue, itu berarti dia tidak tulus mencintai gue, kan? Tidak jauh beda dengan Ima! Karena hanya gue yang bisa meng-iyakan pertanyaan itu, gue sendiri yang harus berbenah. Gue depresi setengah mati! PS pun nggak bisa lagi jadi obat instan buat bantu gue melupakan masalah gue. Setelah gue nggak sadar bahwa emosi gue memuncak, gue berpikir: Gue gak mau lagi dikadalin seperti itu sama cewek. Lebih baik kalau gue yang ngadalin cewek-cewek. Kehidupan memang gak bisa kasih jaminan keadilan. Dan cara mengatasi itu, lo harus adil sama kehidupan lo sendiri. Kalau lo pernah kecewa sebab diputusin sepihak sama pasangan, lo harus berbuat serupa. Kehidupan lo gak akan pernah sempurna, jika kekecewaan yang lo dapat. Kepuasan hati juga harus menjadi tujuan hidup lo. Kejutan yang menyebalkan. Gue sadar kalau cinta antara gue dan Nia merupakan cinta monyet. Meskipun gue bukan bocah lagi, dan bisa dibilang gue sudah bisa disebut ABG. Karena waktu itu gue sudah SMA kelas sepuluh. Gue juga sadar kalau cinta nggak memandang jarak. Jarak hanya sebagai batas penguji kesabaran aja sebenarnya. Namun, jarak lah yang dipakai alasan buat Nia mutusin gue. Gue akhirnya mogok pacaran beberapa bulan. Bukan jomlo, sih. Sebut aja gue single. Karena kalau gue mau nyari cewek, kemungkinan pasti dapet. Tapi, nyatanya gue males pacaran karena habis kecewa diputusin untuk kedua kalinya. Apa boleh buat. Perasaan manusia pasti ada titik lemahnya. Gue ngerasain itu. *** Setelah gue dibuat paham bagaimana merasakan sakit akibat dikecewakan, gue jadi trauma. Gue nggak mau kejadian diputusin secara sepihak itu terjadi lagi. Disaat kata-kata hanya sebagai modal dengkul untuk bangkit, semua terasa hancur ketika hubungan yang awalnya dibangun dengan penuh harapan, lantas tidak bisa dipertahankan kembali. Tujuan sudah direnggut. Aksi yang ingin gue buktiin kepada orang-orang sudah gagal. Gue memutuskan untuk berubah! Membalikkan dunia gue yang pernah dikecewakan! Ketika gue kelas dua SMA, itulah masa-masa paling indah juga masa paling “ekstrem” menurut gue. Selain masa-masa nyaman sekolah—pelajaran yang tidak terlalu menggebu, terus gue juga bisa disebut senior oleh adik-adik kelas, gue pun mendapatkan kesempatan buat jadi laki-laki yang mulai nggak peduli sama perasaan perempuan. Sebenarnya, tidak terlalu membanggakan juga. Bahkan, itu termasuk kesempatan yang nggak harus gue manfaatin. Tapi, disaat gue mengingat rasa sakit karena usai dikecewakan sepihak oleh mantan pacar gue, emosi gue terus saja menyulut. Gue berpikir ulang kembali, ternyata single itu nggak seru. Bagaimana gue nanti bisa ngerayain ulang tahun gue tanpa ucapan mesra dan tanpa ada kiriman emoticon cium dari orang yang gue sayang? Tapi, problem-nya bukan itu. Gue ngerasa kalau hati gue itu beku, tapi di sisi lain gue sebenarnya juga rindu akan perhatian dari seorang cewek. Padahal, emak gue selalu on time buat masakin gue. Lantas, gue mutusin buat nyari cewek lagi. Kurang lebih cewek yang bener-bener mau nerima gue apa adanya. Dan, yang mau tetap bersama, walaupun terpisah oleh jarak dan beratnya rindu menjelma. Gue nembak cewek yang se-angkatan sama gue, cuma beda kelas. Gue kelas 11 IPA 1, dia kelas 11 IPA 2. Gue memang naksir sama dia. Berlin, namanya. Yang perlu lo tahu soal gue, ketika gue punya target yang sudah gue tentuin, apa pun akan gue lakuin untuk mencapai itu. Seperti saat gue naksir sama si Berlin, pertama kali melihat sosoknya yang tenang, cantik, dan manis, gue sangat yakin kalau gue bisa dapetin dia. Dan sebelum terciptanya hasil yang fantastis, perlu awalan yang kritis berupa optimis, dong. Ini perlu digaris bawahi. Setelah menatap, mengamati, dan mencintai Berlin dalam diam, gue akhirnya ambil keputusan untuk take action. Pada masa itu, karena ponsel adalah senjata paling mudah digunakan sebagai jembatan untuk meraih tujuan gue dapetin dia, lantas gue meminta nomor ponsel Berlin dari temen sekelas Berlin yang juga termasuk temen gue. Sepatah cibiran ‘cie-cie’ pun terus terlontar dari mulut temen gue—Septa. Gue maklumin soal cibiran yang sedikit ada tersirat dukungan itu. Setelah basa-basi bicara ini-itu dengannya, gue bilang kalau gue mau minta tolong sama dia buat mintain nomor telepon Berlin. Sebagai temen yang pengertian dan selalu bisa ngejaga mood gue, Septa langsung mau bantuin gue. Gue saking ambisius dan tidak sabaran orangnya, cenderung mengurung diri dengan berbagai penuh harapan. Pasti dapet pasti dapet! Setelah 24 jam nunggu kabar dari Septa, gue ke rumahnya untuk menanyakan soal dapat atau tidaknya nomor telepon Berlin. Rumah Septa dari rumah gue cukup dekat jaraknya. Jadi hanya perlu jalan kaki untuk gue sampai ke sana. Selama di perjalanan, gue terus membayangkan kejadian setelah gue bisa mendapatkan nomor telepon Berlin. Ketika gue bisa bercakap-cakap banyak lewat chatting dengannya. Walaupun semua itu hanya berupa bayangan yang terlintas begitu saja saking optimisnya gue. Tapi sungguh, itu adalah rencana yang terstruktur begitu saja tanpa gue rencanain. Tapi gue sangat mengharapkan itu terjadi. Sesampainya di depan rumah Septa, gue mendapati dirinya yang tengah sibuk main ponsel di teras depan rumahnya. Gue langsung nagih nomor telepon Berlin yang gue pesenin padanya. “Mana, Sep? Mana, Sep?!” “Lo mah kek orang nagih utang aja.” “Mirip deng. Gue nagih utang nomor telepon Berlin.” Septa langsung ngasih nomor telepon itu ke gue. Langsung gue sambut dengan senyum kemenangan. “Nyengir-nyengir kecut lo! Gue yang berjuang, lo yang dapet hasilnya.” “Emang lo mau sama Berlin?” “Lo aja deh. Gue masih normal keles!” Setelah semua urusan gue berhasil hari itu, gue langsung kirim pesan di nomor yang dikasih Septa itu tanpa malu. Gue sampai lupa menanyakan ke Septa, gimana caranya dia bisa dapat nomor itu. Karena kebetulan malam itu gue mau ke Yogya, gue merasa seneng banget kalau ketika di bus, gue ditemenin chat sama cewek yang gue suka (padahal chat aja belum). Temen yang duduk di sebelah gue juga sibuk banget main ponsel. Gue sempet-sempetin ngepoin dia, ternyata dia lagi sayang-sayangan sama pacarnya. Gue jadi pengin. Dan gue langsung chat, ‘hai’ ke nomor Berlin. Bagi kalian yang pengin ngedektin cewek, sumpah, cara yang gue lakuin itu kuno banget! Jadi jangan tiru cara gue. Kalian bisa cari cara lain. Tapi, kalo lo mau, kalian bisa belajar dari gue setelah proses saling sapa selesai. Sudah sejam nunggu balesan SMS dari Berlin, tapi layar ponsel gue masih tetap gak ada notif. Gue sedikit kecewa, sih. Sepertinya malam yang saat itu hendak membuat gue bahagia, berubah menjadi kegelapan yang menyedihkan. Gue terpaksa harus tidur, karena gue terlalu lelah menunggu. Dan semakin gue menunggu, gue akan terus-menerus berharap hal yang belum pasti. Padahal sebelumnya gue sempat merasa paham jika semua harapan tidak sesuai dengan kenyataan, pasti menerimanya sangat penuh dengan beban rasa sakit. Seperti malam itu. Malam penuh penantian. Sebelum gue tidur bersandar di kursi bus, gue ubah pengaturan nada di ponsel gue. Yang sebelumnya notif pesan masuk hanya berupa getar, gue ubah dengan nada yang lumayan panjang dan gue keraskan volumenya. Biar ketika ada pesan masuk, gue bisa denger. Atau setidaknya, Riski yang di sebelah gue terganggu dengan nada itu, lantas dia akan bangunin gue. Tidak ada notif sama sekali yang muncul di ponsel gue. Walaupun gue tertidur satu hari di bus sekalipun. “Kenapa sih lo?! Kayaknya hidup lo gak tenang gitu?” Gue buang napas berat-berat. Kali aja keresahan gue ikut kebuang. Kemudian secara gamblang, gue ceritain kalau gue lagi suka sama Berlin. Gue jelasin sedetail mungkin sejak awal kenapa gue bisa suka sama Berlin, sampai gue bisa dapatin nomor Berlin. Oh iya, Riski itu senior gue pas SMA. Dia kelas dua belas, sedangkan gue masih kelas sebelas. Dia juga teman gue sejak kecil. Sering nemenin gue main PS. Walaupun dia yang kalah terus waktu main game winning eleven. Dan nggak pernah bosen buat duel sama gue di lain hari. Riski langsung ketawa geli setelah dengar gue selesai cerita. Dan gue lihat dari tampangnya, gue seperti mau diledek. “Apaan lo?!” Gue negur si Riski yang ketawanya cukup bikin malu keberadaan gue pas di bus. “Eh gue bilangin ya sama lo. Tampang lo itu lebih keren dari gue. Tapi gue lihat dari keadaan lo sekarang, lo itu kek amatir banget buat ngurusin apa yang dimau hati lo sendiri. Lo itu lemah, Bro.” kata Riski terang-terangan. Gue selalu suka sama orang yang selalu to the point seperti Riski. Walaupun apa yang usai dikatakannya telah sedikit merobek pikiran gue. Tapi sungguh! Pikiran gue terbuka karena ucapannya. Dan jujur, 16 tahun gue hidup, gue nggak pernah nerima dengan mudah tentang perkataan ‘lemah’ yang secara terang-terangan ditujukan ke gue. Tapi, detik itu gue bersedia mengoreksi bagian ‘lemah’ mana yang dimaksudkan Riski. “Hati lo, Bro. Hati lo!” kata Riski sekali lagi. Seperti ada tekanan dipengucapannya, agar gue benar-benar memahami perkataannya. Tentu saja gue gak paham. “Ada apa soal hati gue?” tanya gue ke Riski. Sesi curhat pun dimulai. “Kalau tampang gue kaya lo, mudah banget buat gue dapetin cewek cantik.” “Nah, kata lo, ini masalah hati.Tapi kok lo masih nyangkut-pautin soal tampang?!” “Oke. Coba gue tanya sama hati lo, bukan pikiran ataupun logika lo, rasa apaan yang ada di hati lo sekarang?” Hening. Gue coba memahami apa yang gue rasain waktu itu. Sukar ditebak karena gue dalam keadaan yang biasa-biasa saja. “Biasa aja. Gue nggak ngerasain apa-apa.” Gue jawab begitu. Riski tetap nyengir kuda. Di depan tempat duduk gue waktu itu adalah ibu-ibu PKK. Dan tidak terdengar ramai karena banyak yang tidur. Jadi, aman buat gue ngobrol apapun yang menyangkut diri gue. Entah nanti ada koreksi dari Riski yang membuat diri gue sendiri malu mendengarnya. Setidaknya, tidak banyak orang yang mendengar. “Oke, dua jam sebelumnya apa yang lo rasain?” tanya Riski ke gue. Lalu gue mencoba mengingat apa yang gue rasain dua jam sebelumnya. Di bus, yang gue rasain hanyalah kesejukan yang berasal dari AC di atas kepala gue. Dan juga bau mesin yang sempat membuat gue mau muntah. Tidak ada rasa yang berkesan daripada itu. Atau rasa yang menyangkut soal hati. Tidak ada. Oh! Mungkin perasaan resah, sebab di ujung sana gue menanti seseorang yang hadir dengan ketidakpastian. Iya! Itu, mungkin. “Perasaan gue nggak tenang. Resah.” “Gara-gara hasil yang belum lo ketahui?” “Soal Berlin. Lo tahu.” “Nanti waktu masuk sekolah, lo kasih tahu orangnya yang mana dan dia seperti apa orangnya.” “Gue punya fotonya. Tapi soal dia yang seperti apa, lo bisa nilai sendiri.” “Lo gak tahu tentang sifat cewek yang lo taksir?!” tanya Riski yang sedikit nyolot. “Tahu. Sedikit,” gue jawab dengan nada sedikit kurang yakin. *** Orang yang sedang jatuh cinta diam-diam, pasti tahu detail mengenai informasi orang yang dia suka. Walaupun gue belum pernah sekalipun ngobrol face to face sama Berlin, tapi gue tahu kalau dia itu cewek yang suka sama cowok yang gentle. Gue juga tahu kalau dia hanya jalan kaki untuk bisa sampai ke sekolah. Gue hampir sering berpapasan dengan dia saat gue mau melewati gerbang masuk sekolah. Sengaja gue memperlambat cara gue menuntun sepeda, biar gue bisa berada di belakang dia. Karena mengamati dia berjalan dan melihat sosoknya di balik punggung itu adalah momen yang sangat mengesankan. Kalau lagi jatuh cinta diam-diam seperti itu sama seseorang, hal-hal kecil bisa menjadi makanan empuk yang enak buat hati. Meskipun dengan logika, menilai itu termasuk cara yang cemen buat PDKT. Kakak sepupu gue pernah bilang, “Kalau naksir sama cewek itu dideketin. Bukan malah dijauhin!” Tidak salah, kan? Gue sedang proses pendekatan. Gue coba mendekati dan mengamati dia dari belakang. Setelah itu dari samping. Setelah usai, baru dari depan. Gue selalu inget prinsip hidup gue. “Jika ingin menyukai sesuatu hal yang besar, mulailah menyukai hal yang kecil. Kalau hal kecil saja disepelekan, gimana mau mengatasi hal yang besar?” Bukan hanya gue, tapi kalian bisa menilai itu. Gimana kondisi hati lo ketika mengetahui secara jelas, orang yang lo suka tersenyum tulus di depan muka lo. Butuh hati yang kuat untuk menjaga debaran yang akan muncul secara mendadak. Lagi, setiap orang harus punya prinsip, kan? Karena gue sudah punya, gue hanya perlu taat sama prinsip gue. Menciptakan suatu lukisan yang bagus, perlu memulai dari polesan sketsa gambar sebagai rencananya. “Sudah lo telpon dia?” “Belum. Ragu gue.” “Orang ragu itu terus ngerasain resah terus, Bro. Coba dong!” Hening. Gue diam. Riski pun begitu. Semua penghuni bus diam. Masih jam delapan malam. Gue tahu, jam segitu bukan merupakan waktu yang mengharuskan cewek ABG untuk tidur. Sambil merem, gue mengumpulkan keberanian dalam hati gue. Gue menelisik ke dalam jiwa gue buat ngumpulin api buat membakar semangat gue. Bener kata Riski, gue akan terus ngerasa nggak puas. Gue harus coba. Minimal ngedengerin suara operatornya, lah. “Gue coba, ya. Kalau dijawab sama dia, gue bilang gimana?” “Ya tergantung dia bilangnya gimana,” kata Riski ke gue. Jawabannya ringan banget. Tapi logis juga sih. Sambil nyalain ponsel dengan penuh keraguan. Jari-jari gue sampai keringat dingin waktu itu. Tapi, ini menyangkut harga diri gue sebagai seorang cowok. Bukan karena sarkas yang dicamkan Riski ke gue. Setidaknya, perasaan gue yang nggak keruan ini, bisa sedikit tenang setelah mencoba. Gue nempelin ponsel ke telinga kanan gue. Biasanya telinga kanan adalah telinga yang mampu mendengarkan hal-hal baik. Semoga memang begitu. “Maaf…Nomor yang anda tuju tidak terdaftar.” Tuuut… Tuuut… Tuuut. Sambungan telepon terputus. “Gimana?” tanya Riski ke gue. Dilihat dari tampang dia, dia kelihatan antusias nungguin gue. “Nomornya Berlin belum didaftarin,” jawab gue. “Hah?!” Riski pasang muka d***o ke arah gue. “Kenapa muka lo gitu?!” “Operatornya bilang gitu?” Gue manggut-manggut. Setidaknya gue lega. Gue gak dapet balasan pesan dari nomor Berlin, bukan karena dia gak mau bales. Tapi, memang nomornya gak bisa dihubungin. “Tapi suara operatornya cute banget,” jawab gue asal. “Please, deh! Lo mau sama Berlin atau sama operatornya?!” “Ya gue mau Berlin jadi operatornya. Biar gue bisa dengerin suaranya setiap waktu. Walaupun ponsel gue pulsanya kosong.” Riski langsung nepuk jidatnya sendiri. *** Hari senin, jam 08.00, waktu itu suasana di sekolah sangat tidak kondusif karena ada kegiatan yang memaksa guru-guru tidak memasuki setiap kelas. Waktu itu setelah kegiatan upacara bendera usai, ada kegiatan membersihkan kelas masing-masing. Sekaligus tempat-tempat sekitar yang sering menjadi objek perhatian para tamu undangan sekolah. Karena sifatnya fleksibel, semua siswa mengerjakan itu sambil canda-canda. Termasuk gue. Tapi gue gak lagi becandaan sama temen-temen. Melainkan, kesempatan itu gue manfaatin buat ngepoin Berlin.   Sebelum gue meneruskan ceritanya, gue ingin menjelaskan dulu tentang posisi kelas gue dan posisi kelas Berlin. Biar kalian punya gambaran setiap kali gue menceritakan tempat itu. Kelas gue—sebelas ipa satu, berada di depan kelas sebelas ipa dua—kelas Berlin. Terlampau jarak sekitar dua meter. Terpisah oleh beberapa pohon yang dulunya ditanam oleh Pak Budi. Tapi tidak terlalu mengganggu penglihatan gue kalau gue ingin melihat kelas Berlin dari dalam kelas gue sendiri. Kelas gue dan kelas Berlin sama-sama menghadap ke selatan. Di depan kelas, ada tempat duduk berlapis keramik yang didekorasi menempel langsung dengan dinding kelas. Biasa dibuat murid untuk duduk santai ketika istirahat. Oke, kembali ke cerita. Wali kelas gue—Bu Tatik, menyuruh setiap murid membawa alat kebersihan dari rumah masing-masing. Terserah apapun alatnya, yang penting bisa digunakan untuk membersihkan peralatan yang ada di kelas. Karena gue gak mau terlalu direpotkan, dan sifat alat yang disuruh bawa itu adalah bebas, gue cuma bawa serbet. Alasan gue membawa serbet karena serbet itu mudah dibawa dan mudah disimpan. Kebayang kalau gue bawa sapu pel? Sedangkan gue ke sekolah hanya jalan kaki. Serbet juga ngasih manfaat buat gue. Sambil ngebersihin kaca jendela yang berada di sisi kiri kelas gue, gue juga bisa ngelirik ke kelas Berlin untuk ngepoin dia, sekaligus ngelihat wajah dia yang berhasil membuat keringat gue bercucuran ke pelipis gue. Dan gue bisa ngerasain sesuatu hal yang beda, ketika Berlin tahu kalau gue sedang ngelihat dia dari kejauhan. Gue bisa rasain petir yang menyambar mata gue, tapi tidak mampu membuat kedua mata gue buta atau luka semacamnya. Gue bahagia banget, ketika senyuman gue bisa dijapri langsung sama cewek yang gue suka. Itu titik terang yang berhasil mengusir sedikit gelap keraguan yang bersemayam di jiwa gue. *** Istirahat, gue duduk di dalam kelas sama temen-temen gue. Duduk di bangku pojok belakang. Ngobrolin banyak hal. Tentang rambut Pak Yon yang nggak tumbuh-tumbuh. Terus nyari-nyari tips buat kepala bisa mengkilat seperti kepala Pak Yon. Juga ngobrolin tentang Rahmad yang ketakutan setengah mati ketika ada praktek menjahit saat mata pelajaran Bu Jannah. Sambil gue nyuri-nyuri pandang ke arah kelas Berlin. Dan kalau boleh jujur, gue gak pernah membahas tentang Berlin ke temen-temen kelas gue. Karena gue belum siap. Atau bisa jadi waktu itu belum ada kejelasan antara gue dan Berlin. Kalau gue cerita ke mereka saking optimisnya gue, nanti bahaya kalau mereka tahu kebenarannya gak seperti yang gue ucapin. Bisa-bisa, gue dikira cari-cari korban buat menutupi kejomloan gue. Di samping gue, ada Gery. Dia temen sebangku gue. Dia tinggi, seperti tiang listrik pinggir jalan. Tampangnya pas-pasan, itulah kenapa saat itu dia masih menjomlo. Kalaupun punya pacar, pasti sama-sama punya tampang pas-pasan. Gue sering manggil dia dengan sebutan ‘seger.’ Karena dia selalu happy, walaupun dia jomlo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD