Ekstra Bab (2)

3673 Words
Kemudian di depan gue, ada Fery. Temen gue latihan silat kalau selesai jam pelajaran olahraga. Kulitnya hitam. Kontras banget sama gue. Rambutnya dibuat keriting karena dia ngefans sama Tony Q Rastafara. Dia suka banget sama alat musik kendang yang biasa digunakan sebagai alat musik pengiring seni tari kuda lumping. Dia bermimpi menjadi salah satu pemain kendang professional buat mengiringi seni tari kuda lumping. Sering menganggap meja sekolah sebagai kendangnya. Tak bosan dia sering memukul meja sekolah dengan penuh irama layaknya pemain kendang sungguhan. Saat itu dia lagi gak terlalu peduli sama cewek. Karena dulunya dia pernah kenalan sama cewek lewat f*******:, dan ketika ketemu, foto profil cewek itu nggak sesuai sama muka aslinya. Kata Fery, “Ancur! Parah!” Satu lagi yang pengin banget gue kenalin ke kalian, Rahmad namanya. Jenis kelamin laki-laki. Tapi kurang meyakinkan. Biasa nongkrong sama Gery di warung emaknya waktu ada temen-temen emaknya lagi ngrumpi. Sebenarnya dia punya fisik yang bagus. Lengan tangannya besar seperti Daud Yordan karena sering motongin rumput di sawah buat kambing-kambing milik bapaknya. Apalagi jidat lebarnya itu. Uuuhh!!! Banyak temen-temen gue yang lain mengira jidatnya itu dijadiin tempat kutu-kutu pediculus humanus tanding bola. Saat itu dia lagi ngupil. Dia juga kerap disebut sebagai pabrik upil terbesar seangkatan kami. Sudah, singkat saja gue jelasin soal mereka. Mereka tidak terlalu penting dalam buku ini. Tapi jujur, mereka adalah sahabat-sahabat istimewa gue sewaktu gue kelas dua SMP. Saat gue nyanyi-nyanyi di dalam kelas sama mereka, mendadak Riski manggil gue di depan pintu kelas. Gue langsung nemuin dia. Karena setiap kedatangan dia ke gue, selalu ada hal penting yang mau dia sampein. “Ada apa?” Gue tanya ke Riski dengan muka sok asik. “Lo bilang mau nunjukin cewek yang lo suka ke gue?!” “Eh, iya,” jawab gue. Memang gue kelupaan soal ngasih tahu tentang Berlin ke Riski. “Ayok! Mumpung jam kosong nih!” Sejak saat itu gue heran sama keadaan yang terjadi. Gue yang seharusnya ambisius soal cewek yang gue suka. Tapi si Riski yang malah kelihatan repot sendiri soal rencana gue. Tidak lama dari rasa heran itu, gue akhirnya ngajak Riski ke dalam kelas. Ikut berkumpul dengan Gery, Fery, dan Rahmad. Mereka juga sudah saling akrab karena gue yang dulunya ngenalin. “Kok ke kelas lo?” protes Riski ke gue. “Katanya lo pengin tahu soal Berlin!” jawab gue sinis. “Emang dia satu kelas sama lo?!” “Kagak,” jawab gue sambil geleng-geleng. “Ya ke kelasnya dong. Sekalian ngajakin kenalan.” “Malu gue. Masa ke kelas orang cuma buat kenalan doang. Gile lo!” Hening. “Ada apa sih?!” tanya Feri ke gue dan Riski. “Gak ada apa-apa,” jawab gue asal. Sengaja gak gue kasih tahu, karena gue gak mau ngasih informasi yang hasilnya belum ada kejelasan. Kecuali sama Riski yang sudah tahu duluan. Itu juga karena disaat gue sedang butuh orang yang sanggup ngertiin gue. “Oh iya, kemarin lo minta nomor telepon dia dari siapa?” tanya Riski ke gue. “Septa. Dia sekelas sama Berlin.” “Berlin?!” sergah Feri dengan nampang gahar yang muncul mendadak. Nggak pantes banget! “Kenapa lo?!” tanya gue bingung. “Kenapa lo?!” sahut Gery dan Rahmad kemudian. Benarkan? Itu karena Feri nggak pantes banget pasang muka gahar kayak gitu. “Gue sama ikrom dulu pernah ngejar-ngejar dia waktu kelas tujuh,” kata Feri. Gue sambut dengan tatapan d***o. Rasa ingin tahu banget mendadak muncul. “Terus?” tanya gue. “Oh, cewek yang dulu lo kejar-kejar depan aula sama ikrom itu Berlin?!” sergah gue. Gue inget! Gue dulu waktu kelas sepuluh memang satu kelas sama Feri. Sama ikrom juga. Ikrom itu orangnya kalem. Sedikit tampan. Tapi nggak setampan gue! Gue dulu memang pernah melihat Feri sama Ikrom ngejar-ngejar seorang cewek di depan aula. Dan cewek itu kelihatan ketakutan. Pengin menjauh, tapi rasanya malu karena banyak orang. Menolak mentah-mentah juga dikira sombong, itu penafsiran yang ada di benak gue waktu melihat kejadian itu. Tapi gue gak tahu kalau cewek itu adalah Berlin. Cewek yang sekarang menjadi target gue. “Iya. Dulu gue sama ikrom pernah ngejar-ngejar dia. Trus akhirnya ditolak.” “Kenapa?” “Masih nggak boleh pacaran kata dia.” “Trus lo pasrah?” sergah Riski. “Iya. Mau gimana lagi?” “Untung dia nggak mau sama lo.” “Kenapa?! Apa salahnya gue dan apa buruknya gue?!” protes Feri. Mendengar ucapan Riski yang seperti sangat menyepelekan dirinya. “Ini bukan masalah fisik ya. Ini masalah keseriusan. Kalau lo serius sama cewek yang lo suka, apapun perkataaannya, entah penolakan ataupun dia ngegantungin lo dengan ketidakpastian, lo harus tetep yakin kalau hanya lo yang pantas buat dia. Bukan main pasrah-pasrah aja,” ujar Riski. Hening. Ungkapan yang dikasih sahabat gue yang satu itu memang mujarab banget buat orang yang dengerin langsung diem. Gue, sih, setuju apa yang dia bilang. Tapi, apakah kita salah menghargai keputusan cewek yang kita suka? Setidaknya, kalau seseorang yang kita suka menolak kita atau juga menggantungkan kita dengan alasan malu buat diucap terang-terangan sebab dia tidak suka sama kita. Hal sepele, tapi sangat besar keputusan akhirnya. “Kita itu laki-laki! Keputusan ada di tangan kita. Cewek hanya sebagai jembatan untuk kita bisa sampai target yang kita buat,” tambah Riski. “Maksud lo, cewek cuma untuk dimanfaatin buat raih tujuan kita?” tanya Feri. “Sekarang, kehidupan hampir membosankan karena cewek selalu mengambil alih setiap keadaan. Mereka sudah diberikan gelar sebagai manusia yang istimewa. Tapi tetap saja, kebanyakan dari mereka, sukanya semaunya. Mentang-mentang dikejar, jadi sok jual mahal. Jangan ketipu sama ucapan mereka. Banyak yang bilang, cewek itu selalu pake perasaan. Sekarang tidak lagi. Coba pikirin cara cewek menolak cinta kita!” ujar Riski panjang lebar. Jam istirahat pertama habis buat mendengarkan celotehannya. Tapi berawal dari sepuluh menit kebersamaan itu, gue jadi tahu apa yang harus gue lakuin. Gue pergi ke perpustakaan sekolah buat baca n****+ komedi. Karya, Raditya Dika. Judulnya, “Marmut Merah Jambu”. Awalnya gue bingung kenapa gue diharuskan pilih buku itu buat gue baca. Tapi, denger-denger dari Riski, buku itu merupakan senjata ampuh buat permasalahan gue saat itu. Gue bingung, manfaat apa yang bisa gue dapatin ketika gue baca buku itu sampai habis. Lihat cover-nya saja, seperti ngerasa dihantuin arwah penasaran yang sering nongrong di kantin sekolah. Tapi, yang namanya tulisan yang sudah dijadiin sebuah buku, pasti ada manfaatnya, kan? Gue ngerasain itu. Sungguh! Awalnya gue buka lembar demi lembar buku karya Raditya Dika itu dengan penuh rasa malas. Bahkan asal-asalan. Jujur, gue gak suka baca buku-buku dengan genre komedi. Karena menurut gue, komedi hanyalah ilusi buat setiap permasalahan gue. Komedi hanya angin yang bisa menyejukkan sesaat. Tapi, saat detik-detik gue mau mencoba memahami tentang hal jenaka dalam buku Bang Radit, gue paham beberapa hal yang belum pernah gue dekor di otak kiri gue. Gue sedikit belajar, di dalam buku itu tersirat pesan bahwa ketika menyukai sesuatu harus ada percobaan yang dilakuin untuk mengetahui hasil. Meskipun kecil kemungkinan kita akan menerima hasil yang baik. Bukan hanya mengandalkan penafsiran yang ujung-ujungnya tersurat keraguan. Itu adalah cara bodoh yang seratus satu persen bisa mengurungkan niat! Banyak mikir, tapi kalau gak ada aksi sama sekali buat apa? Setidaknya mencoba untuk mengetahui hasil daripada duduk diam menerka-nerka kepastian, namun semua berupa bayangan saja. *** Bel pulang berbunyi. Seluruh murid kelas sepuluh dan sebelas saling berhamburan untuk segera pulang. Tapi gue malas pulang, karena nggak ada temen jalan. Riski yang biasa berangkat dan pulang bareng sama gue, hari itu terpaksa pulang telat karena ada tambahan jam belajar untuk kelas dua belas. Gue duduk-duduk di kelas sebentar. Menunggu murid-murid kelas sepuluh dan sebelas sudah tidak bisa gue temukan lagi di sekolah. Rahmad nanya ke gue kenapa kok belum pulang, gue jawab, “Lagi nggak mood buat jalan sendiri.” Sambil melakukan sesuatu yang biasa dilakukan seseorang yang sedang jatuh cinta. Gue melihat ke arah kelas Berlin. Gue menunggu dia keluar kelas. Berharap dia melihat ke arah kelas gue seperti saat jam istirahat dan tahu kalau gue masih ada di kelas yang sedang memperhatikannya. Tapi, saat hasil yang gue tunggu nampak oleh kedua mata gue, ada kegundahan yang membuat hati gue sakit seperti ditendang burung unta. Berlin jalan keluar dengan diiringi oleh seorang cowok. Dari kejauhan, gue sudah familier banget sama cowok itu. Namanya, Aldi. Waktu kelas sepuluh, dia satu kelas sama gue. Akrab dan sering bercanda bareng sama gue. Juga kerap bolos waktu jam pelajaran Bu Budi—guru biologi. Itu semua dilandaskan karena ikatan pertemanan yang ada antara gue dengan Aldi. Dia lebih gemuk dibanding gue. Kulitnya hitam pekat. Banyak yang bilang, kalau aku lagi jalan sama dia, dikira biskuit oreo gelinding. Tentu saja julukan itu adalah suatu kiasan yang lancang. Tapi, yang namanya orang beranggapan tidak ada batasan, itu sesuatu kejadian lumrah. Gue paham, meskipun pengin potong ujung lidah mereka semua yang bilang seperti itu. Ketika gue melihat cewek yang gue suka tertawa bareng sama cowok lain, rasanya hati gue pedih banget. Meskipun sebenarnya rasa sakit di hati masih bnisa disembuhin dengan pikiran yang positif. Tapi nggak tahu kenapa, hati dan pikiran gue saling terhubung membentuk reaksi yang sama. Pikiran gue langsung ke mana-mana. Mulai dari merobek muka gue dan pengin ganti dengan mukanya Aldi. Biar bisa tertawa bareng seperti yang gue lihat diantara mereka saat itu. Mendadak, perasaan putus asa tiba-tiba ada. Tapi, gue masih inget moral of the story dari buku Bang Radit “Jangan menyerah sebelum mencoba”. Akibatnya, gue langsung pulang. Perasaan campur aduk seperti penggilingan gandum terasa saat gue jalan. Angin yang lewat tidak bisa menggoyahkan badan gue. Mungkin karena beban hati yang sangat berat bersemayam di hati gue. Rasanya lebih sakit dibandingkan ketika Nia—mantan gue dulu mutusin gue. Setelah sampai di depan gapura desa gue. Gue tidak langsung pulang ke rumah. Gue langsung beranjak ke rumahnya Septa. Memastikan kalau keresahan hati gue ada solusinya di jawaban Septa nantinya. “Lo kenapa lagi?” tanya Septa setelah melihat gue yang masih berseragam. “Sakit,” Gue jawab. “Kalo sakit ya pulang ke rumah. Kok malah ke rumah gue.” “Rumah lo kan rumah gue juga.” Gue sambil bersandar di tempat duduk depan teras rumah Septa. Dia ikut melakukan hal yang sama seperti gue. “Ada apa? Belum dijapri juga sama Berlin?” “Belum.” “Lo belum ngelakuin apa-apa kali.” “Belum.” “Cemen sih lo.” “Seharusnya gue sejak awal tanya apa dia sudah punya cowok. Tapi, saking optimisnya gue, gue lupa nanya itu. Dia ada hubungan apa sih sama Aldi?” “Lo itu jangan kemakan sama penglihatan lo. Tahu bener kagaknya aja belum. Untung kondisi psikis lo masih lumayan. Coba kalau nggak, udah gila duluan lo.” “Nomor yang lo kasih gak bisa dihubungin.” “Ponselnya Berlin rusak.” “Tapi dia punya cowok? Aldi orangnya?!” “Kayaknya nggak, deh. Aldi cuma temen kelas aja, kok. Kelihatannya aja emang sering bercanda bareng. Tapi nggak tau juga, sih. Mending nanya langsung aja.” Gue pulang ke rumah. Dengan perasaan yang masih sama tentunya. Hari itu, gue pengin ketika gue rebahan di kamar, gue bisa memikirkan senyuman yang dibuat bibir Berlin ke gue waktu di sekolah tadi. Menatap langit-langit seperti yang di film-film. Sayangnya, yang gue pikirin bukan hanya senyum Berlin yang ditujukan ke gue. Tapi juga senyum canda yang dibuatnya bersama Aldi. *** Malam minggu, Riski menginap di rumah gue. Rencana bukan hanya menghabiskan malam dengan main PS. Namun juga curhat soal masalah-masalah gue. “Malam minggu, lo kok gak jalan sama cewek lo?” “Sudah sering ketemu di sekolah. Nanti habis-habisin duit lagi.” “Nggak modal lo jadi cowok!” cibir gue. “Cewek, kalau diajak keluar malem, nggak ada manfaatnya, Bro. Bisa-bisa dimarahin ibunya. Dan kagak direstuin deh tuh hubungan. Sia-sia lo pacaran.” Gue bisa ambil kesimpulan dari kehidupan di sekitar gue. Bahwa politik juga berlaku buat remaja yang sedang pacaran. Lo bisa ambil kebahagiaan dari waktu yang diberikan cewek lo. Tapi lo gak akan pernah bisa menentukan kebaikan yang akan diberikan jika lo menentang peraturan di keluarganya secara sepihak. Itu salah satu referensi yang harus gue tahu detail. Kemudian, jam delapan malam, Septa mampir ke rumah gue, buat pinjam buku. Sekaligus, ada yang pengin dia kasih ke gue. “Apa?” “Nomornya Berlin, mau nggak?” tawarnya sambil ngulurin segelintir kertas yang sudah dia siapin dari rumah. Setelah gue nerima itu, Septa langsung balik pulang. Gue ragu kalau nomor itu bisa dihubungin. Padahal, baru saja tadi siang dia bilang kalau ponsel Berlin rusak. Perasaan yang gak gue temuin dan beda banget waktu pertama kali dapet nomor Berlin. “Lo kenapa? Buruan gih ditelepon atau lo sms gitu,” sahut Riski ke gue. “Ya bukan apa-apa sih. Tadi Septa bilang kalau ponsel Berlin rusak. Tapi tiba-tiba barusan ngasih nomor yang beda.” “Ya coba aja sih. Siapa tahu ponsel Berlin sudah selesai di service.” Gue bingung buat ngawalin percakapan. Kalau gue SMS, ‘hai’ nanti dia kira gue amatiran dan kurang kreatif ngajak kenalan cewek. Kalau gue SMS, ‘selamat malam’ nanti gimana kalau dia balas, ‘sudah tahu’ repotkan? “Bingung mau ngawalinnya gimana?” “Iya, nih. Gak biasa kenalan lewat SMS soalnya.” “Gampang! Sapaan paling netral kalau lo pengin ngawalin perkenalan, kirim aja, ‘Assalamuallaikum’ pasti dibales ‘waalaikumsallam’ sama orangnya.” Akhirnya, setelah gue pikir-pikir, bener juga seperti Riski bilang. Setelah menunggu beberapa menit sambil main PS, notif di ponsel gue tiba-tiba muncul icon pesan masuk. Gue buka dengan tergesa-gesa dan berharap cemas kalau itu bukan pesan masuk dari operator indosat. Dan setelah nampak nomor pengirim di bagian atas pojok kiri, itu adalah nomor yang barusan gue kirimin pesan “Assalamuallaikum”. Setelah lihat itu dan segera pengin bales pesannya, perut gue ngerasa mual. Kepala gue pusing ditambah keringat dingin di sekujur tubuh gue. Gue lupa! Sebelum tidur, gue gak matiin kipas angin. Terus baju gue juga nggak gue pakai lagi. Dengan penuh rasa penyesalan karena kejadian yang gue harapin waktu itu hanyalah mimpi. *** Orang yang sedang jatuh cinta diam-diam, pasti logikanya sulit berfungsi. Butuh teman untuk membantu urusan percintaan menjadi sedikit seru dan masuk akal. Menumpahkan sebagian beban perasaan ke teman adalah cara yang wajib dilakukan buat orang yang sedang jatuh cinta diam-diam. Gue sering melakukan itu. Seperti hari bebas itu—hari minggu. Gue sedang duduk santai di rumahnya Riski. Dia sedang sibuk main ponsel sambil senyum-senyum sendiri. Gue bisa menebak kalau dia sedang dirayu oleh pacarnya. Saat itu gue belum tahu siapa dan seperti apa tampang pacarnya Riski. Gue bukan termasuk orang yang selalu ingin tahu tentang urusan orang lain. Kecuali kalau soal mantan pacar gue dan cewek yang gue suka aja. Gue tahu mengenai Nia—mantan pacar gue yang dulu mutusin gue gara-gara nggak mau LDR-an. Setelah dia mutusin gue, di sekolah barunya, dia masih menjomlo. Gara-gara dia termasuk cewek yang selektif. Jadi susah punya cowok. Gue tahu itu karena kebiasaan online gue, mengamati setiap postingannya. Nggak pernah, tuh, Nia ada foto sama laki-laki. Pernah satu kali, cuma tertulis di caption-nya “Just Friend”. “Sudah ada kejelasan soal Berlin?” tanya Riski ke gue. “Gimana caranya gue hubungin dia, orang ponselnya rusak.” “Cewek zaman sekarang masih punya permasalahan ponsel rusak?” “Ya nyatanya gitu.” “Gimana kalau lo beliin ponsel buat dia?” Mendengar Riski bilang gitu, pikiran gue langsung mumet. Gue bukan berasal dari keluarga yang mempunya kondisi perekonomian yang baik, maka dari itu gue langsung diem pikir-pikir. Sebenarnya gue punya sedikit tabungan karena gue habis dapat arisan. Tapi itu mau gue buat beli keperluan-keperluan mendatang gue. Mulai dari celana dalam gue yang sudah mulai molor. Terus juga baterai ponsel gue yang mulai mengembang. Dan masih banyak lagi. Gue juga bukan tipe laki-laki yang suka hambur-hamburin uang hanya buat pacar. Gue termasuk orang yang perhitungan dan punya pemikiran jangka panjang. Beberapa teman gue bilang, kalau mindset gue itu seperti orang chinese kebanyakan. Perhitungan menyangkut uang dan sangat teliti ketika ada pengeluaran uang. Gue senang jika ada kiasan seperti itu yang ditujukan ke gue. Karena kebanyakan orang chinese adalah pengusaha sukses yang berhamburan di Indonesia hanya gara-gara menyimpan pemikiran seperti itu soal uang. “Gak punya duit gue,” jawab gue sambil sedikit menampakkan muka pasrah. “Kemarin kan lo dapet arisan.” Hening. Gue seperti orang yang habis keluar modal buat bangun proyek, dan ketika presentase pembangunan sudah mencapai 90 persen, tiba-tiba ada tsunami yang menggusur segalanya. Hancur! Pupus! Pasrah! Meninggal di tempat! Tenang. Kondisi psikis gue gak seburuk itu. Tapi daya ingat gue yang sedikit bermasalah. Gue lupa kalau Riski juga ikut ambil bagian pada acara arisan yang diadakan tetangga gue. “Kok lo tahu gue yang dapet?” “Gue dibilangin disuruh minta traktiran sama lo. Karena lo yang dapet arisan. Tapi, untuk sekarang, sebagai temen yang baik, gue gak akan pentingin kebahagiaan gue sendiri. Gue gak minta traktiran sama lo. Cuma, gue minta sama lo buat beliin Berlin ponsel.” “Hah?!” sergah gue dengan muka d***u. Memikirkan permintaan Riski yang membuat dompet gue jauh lebih banyak terkuras jika gue mengabulkan. “Sudah deh! Modalan dikit deh. Cinta itu butuh pengorbanan, Bro. Bisa saja nanti setelah Berlin terima ponsel dari lo, dia ngerasa hutang budi sama lo. Akhirnya lo diterima sama dia buat jadi pacarnya.” “Gue gak mau Berlin nerima cinta gue hanya karena hutang budi. Gue maunya dia itu tulus nerima gue. Lagian, duit yang bakal gue keluarin buat nraktir lo juga gak sepadan sama harga ponsel.” “Ya nanti lo bisa beli ponsel bekas. Seenggaknya, bisa dibuat komunikasi.” “Sama aja! Kalau gue belinya ponsel bekas, sama aja gue gak modal,” sergah gue. Keadaan kembali hening. Gue mengharapkan ada ide lain dari Riski atau dari gue sendiri. Bagaimana caranya gue memulai tanpa harus keluar modal. Gue gak sanggup kalau nantinya telanjur keluar modal, tapi hasilnya tidak seaktual perjuangan yang gue lakuin. “Gue semalem mimpiin pesan gue dibales sama Berlin,” ujar gue yang langsung disambut antusias sama Riski. “Hah?! Gimana?!” “Di mimpi gue, Septa nemuin gue. Terus, dia ngasih secarik kertas dan kata dia itu adalah nomornya Berlin. Dan nomor itu berbeda dari nomor yang sebelumnya Septa pernah kasih ke gue di dunia nyata. Setelah gue kirim pesan, beberapa menit langsung ada balesan dari si pemilik nomor.” “Terus? Lo inget berapa nomornya?” “Dasar otak odang! Ya kagak inget lah gue. Itu kan cuma mimpi.” “Kalau cuma mimpi, terus kok lo tahu kalau nomor itu berbeda dari nomor yang pernah Septa kasih sebelumnya di dunia nyata?” “Ya mungkin itu petunjuk buat gue sekarang. Kalau memang Berlin punya nomor baru.” “Kalau gitu kita ke rumah Septa sekarang,” ajak Riski yang masih antusias. Gue aneh dengan sikap Riski yang menggebu-gebu seperti itu. Awalnya, gue maklumin soal dia yang terus-menerus kasih saran bijak ke gue, karena itu sedikit memberikan motivasi buat gue. Tapi, kalau sampai seperti itu? Segalanya pengin dia tahu. Gue jadi takut kalau Riski juga pengin nomornya Berlin. “Lo kok sampe over gini sih?” ucap gue sambil menyusuri jalan beraspal. “Over gimana maksud lo?” “Ya over dalam hal ini.” “Oh maksud lo dalam bantu perjuangan lo ngedapetin cewek yang lo suka?” “Iya.” “Gue ikut seneng kalau temen gue itu seneng. Gue pengin tuh ya, bisa apa itu dubal det… yang itu loh kencan sama….” “Double date!” sergah gue. “Nah! Itu! Gue pengin tuh kek gitu.” “Gue kira lo juga mau sama Berlin.” “Enggak lah! Gini ya, kalau cowok sama cowok yang menjalani suatu ikatan yang bernama persahabatan, mereka harus punya kriteria yang berbeda soal cewek yang disuka. Dengan itu, mereka gak akan naksir sama cewek yang sama. Jadinya ya gak pernah berantem.” “Emang kriteria cewek yang gue suka sama cewek yang lo suka, beda?” “Beda lah! Coba, menurut lo gimana soal Erinda? Lo suka gak sama dia?” “Dia cantik sih. Tapi….” Erinda adalah manusia berjenis kelamin perempuan tulen yang paling seksi di sekolah gue waktu itu. Dia satu angkatan sama gue. Dia banyak disukai oleh senior-senior gue di kelas tiga. Tidak heran. Dia super duper seksi. Seperti tante-tante desperate di kota-kota besar. Dia kerap menjadi objek pelampiasan rasa kantuk oleh murid laki-laki. Seragam yang dibuat ketat sesuai lekuk tubuhnya. Membuat gunung kembarnya seperti mau meledak. Sayangnya, gue nggak pernah mau sama cewek seperti itu. Karena walaupun dia cantik dan seksi, dia nggak akan pernah menjadi menarik di mata gue. Sebab, jika gue sama dia, akan banyak masalah yang hadir dalam hidup gue. Dan cukup hanya memandangnya saja kalau sedang ingin. “Nah, bedanya terlihat banget, Bro. Kalau lo masih ada ‘tapi’ sama Erinda, gue nggak ada. Kalau dia cantik, yasudah cantik saja. Gak ada tapi-tapian.” Sampai di rumah Septa, gue segera minta kepastian soal kabar terbaru yang kemungkinan dia peroleh dari Berlin. Sebelumnya gue juga meminta padanya, untuk merahasiakan tentang perasaan gue ke Berlin. Gue gak mau nantinya Berlin tahu mengenai perasaan gue dari orang lain. Bukan dari pengakuan gue sendiri. Itu adalah cara gue yang guna menjaga harga diri gue sebagai seorang cowok sejati. “Ponsel dia sudah diperbaikin sih. Cuma kalau urusan nomor, mending lo minta langsung deh sama dia. Gue SMS ke nomor dia juga gak pernah terkirim.” “Terus gimana caranya lo tahu kalau ponsel dia sudah bisa dipakai?” tanya gue makin penasaran. “Ya kemarin kan ada ekstrakulikuler di sekolah. Jadi gue ketemu sama dia, soalnya dia juga ikut ekstra. Habis itu gue tahu Berlin main ponselnya waktu lagi break.” “Ekstra apa?” “Dance. Semacam tari-tarian gitu deh,” katanya. “Lo bisa basa-basi dulu sama dia. Ngobrolin tentang tugas atau apa gitu. Atau nanya sama dia tips buat gak tegang waktu pelajarannya Bu Jannah,”ujar Septa ke gue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD