HUJAN sebentar-sebentar turun selama tiga hari. Secara efektif menghentikan tugasku sebagai tukang kebun. Pada hari Selasa, sesudah hari gelap, aku bersembunyi di apartemenku, belajar untuk ujian ikatan pengacara ketika telepon berdering. Dari Smith Jack, dan aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Kalau tidak, ia tentu tidak akan menelepon.
"Aku baru saja mendapat telepon," katanya, "dari seorang Mr. Robin Gibson. Katanya dia pengacaraku."
"Betul, Smith. Dia pengacara hebat di biro hukum saya. Dia bekerja bersama saya." Aku rasa Gibson hanya memeriksa beberapa detail.
"Ah, bukan itu yang dia katakan. Dia menelepon untuk bertanya apakah aku dan Ronnie Kray bisa datang ke kantornya besok. Katanya dia perlu beberapa surat lagi ditandatangani. Aku tanya tentang kau. Katanya kau tidak bekerja di sana. Aku ingin tahu apa yang terjadi."
Aku juga. Aku tergagap beberapa saat, mengatakan ada salah pengertian di sini. Rasa perih menghunjam dalam perutku. "Itu biro hukum besar, Smith, dan saya masih baru. Dia mungkin lupa denganku."
"Tidak. Dia tahu siapa kau. Katanya kau dulu bekerja di sana, tapi sekarang tidak lagi. Ini agak membingungkan."
Aku tahu. Aku menjatuhkan diri ke kursi dan berusaha berpikir jernih. Sekarang hampir pukul sembilan. "Dengar, Smith, tetaplah di sana. Akan saya telepon Mr. Gibson untuk menanyakan ada persoalan apa. Saya akan menelepon Anda kembali sebentar lagi."
"Aku mau tahu apa yang terjadi. Sudahkah kau menggugat para b*****h itu?" "Saya akan menelepon Anda kembali sebentar lagi, oke? Sudah dulu untuk sekarang." Aku memutuskan sambungan, lalu cepat cepat memencet nomor biro hukum Stone. Aku terpukul oleh perasaan mual yang pernah aku alami sebelumnya.
Resepsionis yang bertugas malam menghubungkanku kepada Gibson. Kuputuskan untuk bersikap ramah, mengikuti permainannya, melihat apa yang ia katakan.
"Robin ini saya, Edward. Apa Anda sudah melihat riset saya?”
"Ya, kelihatan hebat." la kedengaran letih. "Dengar, Edward, kita ada sedikit masalah dengan posisimu.”
Rasa nyeri itu mencengkeram tenggorokanku. Jantungku membeku. Paru-paruku melewatkan satu tarikan napas. "Oh yeah?" Aku berhasil bicara.
"Yeah. Kelihatan buruk. Aku bicara dengan Jonathan Stone sore ini, dan dia tidak menyetujuimu,"
"Kenapa tidak?"
"Dia tidak suka dengan gagasan bahwa seorang pengacara mengisi posisi paralegal. Dan sesudah kupikir pikir lagi, memang rasanya bukan gagasan bagus. Kau tahu, menurut Mr. Stone, dan aku setuju, seorang pengacara pada posisi itu punya kecenderungan alami untuk mencoba dan memaksakan naik ke tempat associate. Dan kita tidak beroperasi dengan cara demikian. Itu cara yang buruk.”
Aku memejamkan mata dan ingin menangis. "Saya tak mengerti," kataku.
"Maaf. Aku sudah mencoba sebisaku, tapi dia sama sekali tak mengizinkan. Dia mengelola tempat ini dengan tangan besi, dan dia punya cara sendiri dalam mengambil keputusan. Terus terang, dia memarahiku habis-habisan karena berniat mempekerjakanmu."
"Saya ingin bicara dengan Jonathan Stone," kataku setegas mungkin.
"Tidak mungkin. Dia terlalu sibuk. Selain itu, dia takkan menerimanya. Dan dia tidak akan mengubah keputusan. "
"Kau bangsat."
"Dengar, Edward, kita..."
"Kau b*****t!" aku berteriak ke telepon, dan rasanya melegakan.
"Tenanglah, Edward."
"Apa Stone ada di kantor sekarang?" aku bertanya.
"Mungkin. Tapi dia tidak akan..."
"Aku akan ke sana lima menit lagi!" aku berteriak dan membanting gagang telepon.
Sepuluh menit kemudian, ban mobilku mencicit dan aku menginjak rem sampai berhenti di depan gedung tersebut, Ada tiga mobil di halaman parkir, lampu di gedung itu masih menyala. Dan Gibson tidak menungguku.
Aku memukul-mukul pintu depan, tapi tak seorang pun muncul. Aku tahu mereka bisa mendengarku dari dalam sana, tapi mereka terlalu pengecut untuk keluar. Mungkin mereka akan memanggil polisi kalau aku tidak berhenti.
Tapi aku tak bisa berhenti. Aku berjalan ke sisi utara dan menggedor pintu lain, kemudian berbuat sama pada pintu darurat di belakang. Aku berdiri di bawah jendela kantor Gibson dan berteriak padanya. Lampunya masih menyala, tapi ia tak menghiraukanku. Aku kembali ke pintu depan dan memukulnya lagi.
Seorang satpam berseragam melangkah dari kegelapan dan memegang pundakku. Lututku terkunci oleh perasaan takut. Aku mengangkat muka memandangnya. Tingginya paling sedikit 195 senti, kulitnya hitam, dan bertopi hitam.
"Kau harus pergi, Nak," katanya lembut dengan suara dalam. "Pergilah sekarang, sebelum aku menelepon polisi."
Aku menepiskan tangannya dari pundak dan berjalan pergi.
***
Lama aku duduk dalam kegelapan, di sofa reyot yang dipinjamkan Miss Streep, dan mencoba meletakkan segala urusan dalam perspektif. Percuma saja. Aku minum dua kaleng bir hangat. Aku mengumpat, aku menangis. Aku merencanakan untuk balas dendam. Aku bahkan berpikir untuk membunuh Jonathan Stone dan Gibson. b*****h-b*****h penipu itu berkomplot untuk mencuri kasusku. Apa yang harus kukatakan pada keluarga Jack sekarang?
Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada mereka?
Aku berjalan menunggu matahari terbit. Kemarin malam aku benar-benar tertawa ketika memikirkan untuk mengeluarkan daftar biro hukum dan kembali pergi mengetuk pintu kantor-kantor. Aku merasa ngeri membayangkan untuk menelepon Altha Abigail. "Ini aku lagi, Abigail. Aku kembali.”
Akhirnya aku tertidur di sofa, dan seseorang membangunkanku beberapa saat sesudah pukul sembilan. Bukan Miss Streep, tapi dua polisi berpakaian preman. Mereka menunjukkan lencana melalui pintu yang terbuka, dan aku mempersilakan mereka masuk. Aku memakai celana pendek dan kaos. Mataku serasa terbakar, maka aku menggosoknya dan berusaha memahami mengapa aku tiba-tiba menarik perhatian polisi.
Mereka bisa disangka kembar, keduanya sekitar tiga puluh tahun, tidak lebih tua daripada diriku. Mereka memakai jeans, sepatu olahraga, dan kumis hitam, dan bertingkah seperti sepasang aktor televisi. "Boleh kami duduk?" salah satu bertanya sambil menarik kursi dari bawah meja dan duduk. Partnernya berbuat sama, dan mereka dengan cepat mengambil posisi.
"Tentu," kataku, seperti orang yang benar-benar sok ramah. "Silakan duduk. "
"Duduklah juga," salah satu berkata.
"Kenapa tidak?" Aku duduk di ujung, di antara mereka. Mereka berdua membungkuk ke depan, masih beraksi. "Sekarang, apa gerangan yang terjadi?" tanyaku.
"Kau tahu Jonathan Stone?"
"Kau tahu di mana kantornya?"
"Apa kau pergi ke sana tadi malam?"
"Pukul berapa?"
"Antara pukul sembilan sampai sepuluh."
"Apa tujuanmu pergi ke sana?"
"Ceritanya panjang."
"Kita punya waktu berjam-jam."
”Aku mau bicara dengan Jonathan Stone.”
“Apa kau bicara dengannya?”
“Tidak.”
"Kenapa tidak?”
“Pintu-pintunya terkunci. Aku tidak bisa masuk ke gedung."
“Apa kau mencoba mendobrak masuk?”
”Tidak. ”
"Kau pasti?”
”Apa kau kembali ke gedung itu sesudah tengah malam?"
“Tidak.
“Kau pasti?”
”Ya. Tanyakan pada satpamnya. ”
Mendengar ini, mereka bertukar pandang. Ada sesuatu di sini yang mengenai sasaran. ”Apa kau melihat satpamnya?”
“Ya. Dia memintaku pergi, jadi aku pergi.”
“Bisakah kau menjelaskannya?”
"Ya.”
"Kalau begitu, terangkanlah.”
“Laki-laki kulit hitam, bertubuh besar, mungkin 195 senti. Seragam, topi, pistol. Tanya dia, dia akan mengatakan padamu aku langsung pergi ketika dia menyuruhku. ”
“Kami tak bisa menanyainya." Sekali lagi mereka saling pandang.
"Kenapa tidak?” tanyaku. Sesuatu yang mengerikan akan muncul.
”Sebab dia sudah mati." Mereka berdua menatapku dengan penuh perhatian ketika aku bereaksi dengar hal ini. Aku benar-benar terperanjat, seperti siapa pun. Aku bisa merasakan tatapan mereka.
”Bagaimana... uh... bagaimana...dia mati?"
"Hangus dalam kebakaran.”
"Kebakaran apa?"
Mereka bungkam bersamaan, keduanya mengangguk curiga ketika melihat ke meja. Salah satu mengambil bloknot dari saku, seperti wartawan yang masih hijau. "Mobil di luar sana, Toyota itu, milikmu?"
"Kalian sudah tahu itu punyaku. Kalian punya komputer."
"Apa kau mengendarainya ke kantor kemarin malam?”
"Tidak. Aku mendorongnya ke sana. Kebakaran apa?"
"Jangan sok, oke?"
"Oke. Janji. Aku tidak akan sok asal kalian juga tidak."
Yang satunya menyela, "Kami mendapat informasi ada kemungkinan mobilmu dilihat di dekat kantor itu pada pukul dua pagi ini."
"Tidak mungkin. Pasti bukan mobilku." Pada saat ini mustahil mengetahui apakah mereka mengatakan yang sebenarnya. "Kebakaran apa?" aku bertanya lagi.
"Biro hukum Stone terbakar tadi malam. Hancur tandas."
"Rata dengan tanah," yang lain menambahkan.
"Dan kalian dari regu pengusut kebakaran," kataku, masih tercengang, tapi sekaligus sangat gusar karena mereka pikir aku terlibat dalam masalah ini. "Dan Robin Gibson bercerita pada kalian bahwa aku tersangka kuat karena mengusik tempat itu, benar?”
"Kami mengusut pembakaran disengaja. Kami juga mengusut pembunuhan.”
"Berapa orang yang tewas?"
"Cuma satpam itu. Telepon pertama diterima pukul tiga pagi ini, jadi gedung itu kosong. Jelas satpam itu terperangkap ketika atap runtuh."
Aku hampir berharap Jonathan Stone ada bersama satpam itu, lalu aku teringat kantor-kantor indah dengan segala lukisan dan karpetnya.
"Kalian buang-buang waktu," kataku, lebih marah memikirkan diriku dijadikan tersangka.
"Mr. Gibson mengatakan kalau kau sangat marah saat pergi ke kantor tadi malam."
"Benar. Tapi tidak cukup marah untuk membakar tempat itu. Kalian hanya buang-buang waktu. Sumpah."
"Katanya kau baru saja dipecat, dan kau ingin menanyai Mr. Stone."
"Benar, benar, benar. Semua di atas itu benar. Tapi itu sama sekali tidak membuktikan aku punya motif untuk membakar kantornya. Jangan main-main."
"Pembunuhan yang dilakukan bersama pembakaran bisa diganjar hukuman mati."
"Jangan bercanda! Aku di pihak kalian. Pergilah cari pembunuhnya dan mari kita hajar dia. Tapi jangan libatkan aku."
Kurasa kegusaranku cukup meyakinkan, sebab pada saat yang sama mereka mundur. Salah satu mencabut sehelai kertas terlipat dari saku kemeja. "Di sini kami punya laporan beberapa bulan yang lalu kau dicari karena menghancurkan barang milik orang lain. Memecahkan kaca di sebuah biro hukum di pusat kota.”
"Nah, kan? Komputer kalian benar-benar bekerja.”
"Kelakuan yang agak aneh untuk pengacara.”