Empat Puluh Sembilan

1342 Words
"Aku sudah melihat yang lebih buruk. Dan aku bukan pengacara. Aku paralegal, atau semacam itulah. Baru saja menyelesaikan sekolah hukum. Dan tuduhan itu dicabut; aku yakin itu tertulis jelas dalarn printout-mu di situ. Dan kalau kalian pikir tindakanku memecahkan kaca di bulan April ada kaitannya dengan kebakaran semalam, pembakar sebenarnya bisa bersantai. Dia aman. Dia tidak akan pernah tertangkap." Mendengar ini, salah satu melompat berdiri, diikuti oleh lainnya. "Kau sebaiknya bicara dengan pengacaramu,” salah satu berkata sambil menudingku. "Saat ini kau tersangka utama.” “Yeah, yeah. Seperti yang tadi aku katakan, kalau aku jadi tersangka utama, pembunuh sesungguhnya sangat beruntung. Kalian menyimpang sangat jauh.” Mereka membanting pintu dan menghilang. Aku menunggu setengah jam, kemudian naik ke mobil. Aku mengemudi beberapa blok dan dengan hati-hati mengitar ke dekat gudang itu. Aku parkir, berjalan satu blok lagi, dan menyelinap ke dalam sebuah toko. Aku bisa melihat puing-puing membara dua blok dari sana. Hanya satu dinding masih berdiri. Puluhan orang hilir-mudik, para pengacara dan sekretaris menunjuk ke sana-sini, regu pemadam kebakaran hilir mudik dengan langkah berat dalam sepatu lars mereka. Polisi merentangkan pita kuning untuk memagari tempat kejadian perkara. Bau kayu terbakar tercium tajam, dan asap kelabu bergantung rendah menyelimuti daerah itu. Lantai dan langit-langit gedung itu terbuat dari kayu, dan dengan beberapa perkecualian, dinding dindingnya pun terbuat dari kayu pinus. Ditambah banyaknya buku-buku yang bertebaran di- seluruh penjuru gedung dan berton-ton kertas yang perlu disimpan, mudah dimengerti bagaimana tempat itu terbakar. Yang mengherankan adalah banyaknya sistem pemercik air di seluruh gudang itu. Pipa-pipa bercat terbentang di mana-mana, sering kali teranyam dalam struktur dekoratif. Karena alasan-alasan yang sudah jelas, Prince bukanlah orang yang aktif di pagi hari. la biasanya menutup Yugo’s sekitar pukul dua dini hari, lalu tersungkur di jok belakang Cadillac-nya. Brando, sopir dan pengawal pribadinya, membawanya pulang. Beberapa kali Brando sendiri terlalu mabuk untuk mengemudi, dan aku membawa mereka berdua pulang. Prince biasanya berada di kantor pukul sebelas, karena Yugo’s buka sebentar untuk menghidangkan makan siang. Tengah hari aku menemuinya di sana, di depan meja kerjanya, mengaduk-aduk kertas dan bergulat dengan sisa mabuk. la minum obat penahan sakit dan air mineral sampai tiba jam berhura-hura pada pukul lima, lalu ia akan menyelinap ke dalam dunia rum dan tonik yang menenangkan. Kantor Prince berupa ruangan tak berjendela di bawah dapur, sama sekali tidak mencolok, hanya bisa dicapai sesudah berjalan melewati tiga Pintu tanpa tanda apa pun dan sebuah tangga tersembunyi. Bentuknya segi empat dan setiap dindingnya ditutupi foto-foto Prince sedang berjabat tangan dengan politisi lokal dan tokoh-tokoh fotogenik lain. Selain itu banyak guntingan surat kabar yang dibingkai dan dilaminasi, berisi berita bahwa Prince dicurigai, dituduh, dituntut, ditahan, diadili, dan—selalu—dinyatakan tak bersalah. la suka melihat dirinya sendiri muncul di koran. Seperti biasa, suasana hatinya sedang murung. Selama bertahun-tahun ini aku belajar menghindarinya sampai ia sudah meneguk gelas minuman ketiga biasanya sekitar pukul enam sore. Jadi, aku enam jam terlalu pagi. la memberi isyarat padaku agar masuk dan aku menutup pintu di belakangku. "Ada apa?" ia mendengus. Matanya merah membara. la mengingatkanku seseorang rambutnya yang hitam panjang, jenggot berkibaran, baju terbuka, leher berbulu. "Aku ada sedikit masalah," kataku. "Apa lagi yang baru?" Aku menceritakan padanya tentang kejadian tadi malam —lenyapnya pekerjaan, kebakaran, polisi itu. Segalanya. Aku sengaja memberi tekanan khusus pada fakta bahwa ada mayat, dan polisi sangat prihatin dengan hal itu. Memang begitu. Aku tak bisa membayangkan diriku jadi tersangka favorit, tapi polisi pasti mengira demikian. "Jadi, Stone dibakar." Ia merenung keras. Ia tampak senang. Pembakaran yang sempurna adalah jenis kejadian yang akan membuat Prince senang dan pagi hari jadi terasa cerah. "Aku tak pernah menyukainya. " "Dia tidak mati. Dia cuma tak bisa bekerja untuk sementara waktu. Dia akan kembali." Dan inilah Sebab utama kekhawatiranku. Jonathan Stone menghamburkan banyak uang kepada banyak politisi. Ia membangun hubungan baik, sehingga bisa minta bantuan mereka. Kalau ia yakin aku terlibat dalam kebakaran itu, atau seandainya ia sekadar menginginkan kambing hitam sementara, polisi akan mem buruku dengan semangat balas dendam. "Kau sumpah tidak melakukannya?" "Aduh, Prince." Ia merenungkan hal ini, membelai jenggot, dan aku bisa langsung mengetahui bahwa ia senang karena mendadak bisa berada di tengah semua ini. Kejahatan, kematian, intrik, politik, sepotong kejadian biasa dalam kehidupan dunia bawah tanah. Kalau dilengkapi dengan penari telanjang dan urusan menyuap polisi, Prince sudah bisa bersenang-senang. "Sebaiknya kau bicara dengan pengacara," katanya, masih membelai jenggot. Inilah alasan sebenarnya aku berada di sini. Aku berpikir untuk menelepon Bolie, tapi aku sudah cukup banyak merepotkannya. Dan saat ini ia pun sedang bergulat dengan kesulitan yang sama denganku. Kami belum lagi lulus ujian pengacara dan belum jadi pengacara. "Aku tidak kuat membayar pengacara," kataku, kemudian menunggu kalimat berikutnya dalam skenario ini. Seandainya saat ini ada alternatif lain, dengan gembira aku akan menubruknya. "Biar aku yang menangani," katanya. "Aku akan telepon Henry." Aku mengangguk dan berkata, "Terima kasih. Kaupikir dia mau membantu?" Prince menyeringai dan merentangkan tangan lebar-lebar. " Henry akan melakukan apa saja yang kuminta, oke?" "Tentu," kataku menurut. la mengangkat telepon dan menekan nomornya. Aku mendengarkan ketika ia menggeram melewati beberapa orang, lalu mendapatkan Henry di telepon. la bicara dalam kalimat kalimat pendek dan cepat, khas orang yang tahu teleponnya disadap. Prince menyemburkan kata-kata berikut, "Henry, Prince di sini. Yeah, yeah. Aku perlu bertemu denganmu secepatnya. Ada urusan kecil menyangkut salah satu pegawaiku. Yeah, yeah. Tidak, di tempatmu. Tiga puluh menit. Baik." Dan ia menutup sambungan. Aku kasihan pada teknisi FBI yang mencoba nyaring data memberatkan dari percakapan itu. Brando menepikan Cadillac di pintu belakang dan aku serta Prince melompat ke jok belakang. Mobil itu hitam dan jendela-jendelanya berwarna lap. Prince hidup dalam kegelapan. Selama tiga tahun aku tak pernah tahu ia melakukan kegiatan di luar. la berlibur di Las Vegas, tak pernah meninggalkan kasino. Aku mendengarkan ocehannya yang dengan cepat menjadi ulasan membosankan tentang kemenangankemenangan Henry yang paling hebat, hampir semuanya melibatkan Prince. Anehnya, aku mulai santai. Aku ada dalam tangan yang baik. Henry kuliah pada malam hari, dan lulus ketika berumur 22. Prince yakin itu masih jadi rekor. Mereka sahabat baik sejak kanak-kanak, dan di SMA mereka berjudi sedikit, minum banyak-banyak, memburu perempuan, berkelahi. Mereka tinggal di daerah keras Southaven bagian selatan. Mereka bisa menulis buku tentang ini. Henry masuk college, Prince beli truk biro. Satu hal merembet ke lainnya. Kantor-kantor hukum itu terletak di pusat perbelanjaan dari bata merah, dengan toko penatu di salah satu ujung dan kios video rental di ujung lain. Henry menanamkan uang dengan bijaksana, Prince menerangkan, dan memiliki seluruh unit itu. Di seberang jalan ada kedai pancake yang buka 24 jam, di sampingnya terletak Club Amber, bar topless dengan lampu-lampu neon gaya Vegas. Tempat ini daerah industri, dekat ke bandara. Kecuali kata-kata LAW OFFICE yang tertulis dengan cat hitam pada pintu kaca di tengah pertokoan itu, tak ada hal lain yang menunjukkan profesi apa yang dipraktekkan di sini. Seorang sekretaris dengan jeans ketat dan bibir merah lengket menyambut kami dengan senyum lebar, tapi kami, tak mengendurkan langkah. Aku mengikuti Prince melewati bagian depan. "Dia dulu bekerja di seberang jalan," gumamnya, Aku berharap maksudnya adalah kedai pancake tu, tapi aku menyangsikannya. Kantor Henry sangat mirip dengan Kantor Prince—tanpa jendela, tanpa kemungkinan diterobos cahaya matahari, luas, persegi, dan ramai, dengan foto orang-orang penting tapi tak dikenal sedang bersalaman dengan Henry dan tersenyum pada kami. Satu dindingnya dipakai untuk menggantung senjata, segala macam senapan dan pistol, tanpa penghargaan lomba ketepatan menembak. Di belakang kursi kulit putar Henry ada akuarium besar dengan makhluk seperti ikan hiu mini sedang bergerak luwes di tengah air keruh. Henry sedang bicara di telepon, maka ia memberi isyarat agar kami duduk di seberang meja kerjanya yang panjang dan lebar. Kami duduk, dan Prince tak sabar untuk memberitahu aku, "Di sana itu betul betul ikan hiu," katanya, menunjuk ke dinding di atas kepala Henry. Ikan hiu hidup dalam kantor pengacara. Kena. Itu lelucon. Prince tergelak. Aku melirik Henry dan mencoba menghindari kontak mata. Telepon itu tampak sangat kecil di samping kepalanya yang besar. Rambutnya yang panjang separo kelabu jatuh ke pundaknya dalam lapisan-lapisan kusut. Jenggotnya tebal, kelabu, dan panjang. Telepon itu nyaris hilang di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD