Aku pergi dari kantor ke kantor, tetap tersenyum saat aku sebenarnya ingin menggeram, mengulangi kalimat yang sama kepada para perempuan yang sama. "Ya, nama saya Edward Cicero, mahasiswa hukum tahun ketiga di Southaven University. Saya ingin bicara dengan Mr... Entah Siapa mengenai pekerjaan.”
"Mengenai apa?" mereka sering kali bertanya. Dan aku terus tersenyum ketika menyerahkan resume dan kembali minta bertemu dengan Mr. Boris. Mr. Boris selalu terlalu sibuk, maka mereka menepiskanku minggir dengan janji aku akan dihubungi.
***
Wilayah Granger Southaven terletak di utara kota lama. Deretan rumah bata yang berjejalan di jalan jalan yang dinaungi pohon, memberikan bukti tak terbantah dari suatu pemukiman yang dibangun sekaligus ketika Perang Dunia. Kedua berakhir dan para Jan Fabrizio mulai membangun. Mereka mendapat pekerjaan yang baik di pabrik-pabrik di dekatnya. Mereka menanam pohon di halaman depan dan membangun teras di halaman belakang. Bersama lewatnya waktu, para Jan Fabrizio itu bergerak ke timur dan membangun rumah yang lebih bagus, dan Granger perlahan-lahan menjadi campuran para pensiunan dan orang-orang kulit putih maupun hitam kelas bawah.
Rumah Smith dan Eddy Jack tampak seperti ribuan rumah lainnya. Rumah itu menempati sepetak tanah tak lebih dari 25 kali 30 meter. Sesuatu telah terjadi pada pohon yang seharusnya ada di halaman depan. Sebuah Chevrolet tua ada di dalam garasi untuk satu mobil. Rumput dan perdunya terpangkas rapi.
Di sebelah kiri, sang tetangga sedang dalam proses membangun kembali sebuah mobil balap, suku cadang dan ban bertebaran ke segala penjuru, sampai ke jalan. Di sebelah kanan, sang tetangga sudah memagari seluruh halaman dengan pagar kawat, rumput liar tumbuh setinggi tiga puluh sentimeter. Dua ekor anjing Doberman berpatroli di jalan tanah di dalam pagar itu.
Aku parkir di jalan masuk di belakang Chevrolet, dan anjing Doberman itu menggeram kepadaku tak sampai dua meter dari sana.
Saat itu menjelang sore, suhu hampir mendekati 32 derajat. Jendela-jendela dan pintu-pintunya terbuka. Aku mengintip ke dalam dari pintu kasa depan, dan mengetuk pelan.
Aku sebenarnya tidak suka berada di sini, sebab aku tidak berniat melihat Ronnie Kray Jack. Aku kira ia sangat sakit dan kurus seperti dijelaskan ibunya padaku, dan perutku terasa mual.
Perempuan itu datang ke pintu dengan mentol di tangannya, menatapku tajam dari balik kasa.
"Ini saya, Mrs. Jack. Edward Cicero. Kita bertemu minggu lalu di Lincoln Gardens."
Salesman dari pintu ke pintu pasti merupakan masalah menjengkelkan di Granger, sebab ia menatapku tajam dengan wajah kosong. la maju selangkah lebih dekat, dan menancapkan rokok di antara bibir.
"Ingat? Saya menangani kasus Anda terhadap State Farm Insurance."
"Aku kira kau tadi anggota Saksi Jocklane."
"Bukan, Mrs. Jack."
"Namaku Smith. Kurasa aku sudah memberitahumu."
"Oke, Smith."
"Orang-orang terkutuk itu membuat kami gila. Mereka dan kelompok Mormon. Hari Sabtu ada Pramuka jual donat sebelum matahari terbit. Kau mau apa?"
"Nah, kalau Anda punya waktu sebentar, saya mau bicara tentang kasus Anda."
"Ada apa dengannya?"
"Saya ingin membahas beberapa hal."
"Sudah, kan?"
"Kita perlu bicara lagi." Ia mengembuskan asap melalui kasa, dan perlahan-lahan membuka gerendel pintu. Aku memasuki sebuah ruang duduk sempit dan mengikutinya ke dapur. Rumah itu lembap dan lengas, bau apak tembakau di mana-mana.
"Mau minum?" ia bertanya.
"Tidak, terima kasih." Aku duduk di depan meja. Smith menuangkan diet cola pada es dan menyandarkan punggung pada counter. Eddy tidak terlihat. Aku menduga ia ada di kamar tidur.
"Di mana Eddy?" tanyaku riang, seolah-olah ia sahabat lama yang sangat aku rindukan.
la mengangguk ke jendela yang menghadap ke halaman belakang. "Kau lihat mobil tua di sana?”
Di sebuah sudut yang lebat ditumbuhi tanaman rambat dan perdu, di samping gudang b****k, di bawah sebatang pohon maple, ada sebuah van Ford tua. Mobil itu berwarna putih dengan dua pintu, keduanya terbuka. Seekor kucing bertengger pada kapnya.
"Dia ada di dalam mobil,” Smith menjelaskan.
Mobil itu dikepung oleh rumput liar, dan kelihatannya tanpa ban. Segala sesuatu di sekitarnya sudah bertahun-tahun tak pernah disentuh.
"Mau ke mana dia?” tanyaku, dan Smith benar-benar tersenyum.
la menghirup cola dengan keras. "Eddy tidak pergi ke mana-mana. Kami beli mobil itu dalam keadaan baru pada tahun 1964. Tiap hari dia duduk di dalamnya, sepanjang hari, cuma Eddy dan kucing-kucing itu.”
Ada sesuatu yang logis dalam hal ini. Eddy ada di luar sana, seorang diri, tanpa asap rokok menyumbat sistem pernapasannya, tanpa kekhawatiran pada Ronnie Kray. "Kenapa?" aku bertanya. Jelas ia tidak keberatan berbicara tentang hal itu.
"Eddy tidak waras. Itu sudah aku katakan minggu lalu.”
Bagaimana aku bisa lupa?
"Bagaimana keadaan Ronnie Kray?” la mengangkat pundak dan bergeser ke sebuah kursi pada meja makan reyot di depanku. "Baik dan buruk. Kau mau menemuinya?”
"Mungkin nanti.”
"Dia hampir selalu berbaring di ranjang. Tapi dia bisa berjalan sedikit. Mungkin aku akan membangunkannya sebelum kau pergi.”
"Ya, mungkin. Dengar, aku sudah bekerja banyak dengan mempelajari kasusmu. Maksudku, aku sudah menghabiskan waktu berjam-jam meneliti semua dokumen itu. Dan aku menghabiskan beberapa hari di perpustakaan khusus untuk meneliti undang-undangnya. Dan wah, terus terang saja, menurutku kalian harus benar-benar menggugat State Farm Insurance."
"Aku pikir kalau kita sudah memutuskan hal ini," katanya dengan pandangan tajam. Smith punya wajah yang tak kenal ampun, tak disangsikan lagi merupakan akibat kehidupan berat bersama si gila dalam mobil Fairlane di luar sana.
"Mungkin begitu, tapi aku perlu menelitinya. Aku sarankan kalau kau menggugat mereka secepatnya."
“Apa lagi yang kau tunggu?"
"Tapi jangan mengharapkan penyelesaian dengan cepat. Kau berhadapan dengan perusahaan besar. Mereka punya banyak pengacara yang bisa mengulur waktu dan menunda-nunda. Itulah yang mereka kerjakan sebagai mata pencaharian.”
"Berapa lama waktu yang diperlukan?"
"Bisa sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Kita mungkin mengajukan gugatan, dan mendesak mereka agar menyelesaikannya dengan cepat. Atau mereka mungkin akan memaksa kita maju ke pengadilan, lalu naik banding. Tak mungkin meramalkannya. "
"Dia akan mati beberapa bulan lagi."
"Boleh kutanyakan sesuatu?" la mengembuskan asap dan mengangguk dengan keselarasan sempurna.
"State Farm Insurance pertama kali menolak klaim ini pada bulan Agustus, tepat sesudah Ronnie Kray didiagnosis. Kenapa kau menunggu sampai sekarang untuk menemui pengacara?" Aku memakai istilah "pengacara" dengan sangat longgar.
"Aku tidak bangga dengan hal itu, oke? Aku pikir bahwa perusahaan asuransi akan datang dan membayar klaim tersebut, membereskan tagihan dan biaya pengobatan. Aku terus menulis surat pada mereka, mereka terus membalasku. Entahlah, aku tidak tahu. Bodoh, kurasa. Bertahun-tahun kami begitu teratur membayar preminya, tak pernah satu kali pun terlambat. Aku menyangka kalau mereka akan menghormati polis itu. Lagi pula, aku tak pernah memakai pengacara, kau tahu? Tak ada perceraian atau yang semacam itu. Tuhan tahu aku seharusnya menghubungi pengacara dari dulu." la menoleh sedih dan memandang ke luar jendela, menatap sayu pada mobil Fairlane serta segala kedukaan di sana. "Dia minum Martini satu pint di pagi hari dan satu pint di waktu siang. Aku sama sekali tak peduli. Itu membuatnya bahagia, menyingkirkannya dari dalam rumah, dan minum rupanya membuatnya tidak produktif, kau tahu maksudku?"
Kami berdua memandangi sosok yang tergolek rendah di jok depan sana. Semak dan pohon maple meneduhi mobil itu. "Kau membelikan minuman untuknya?" aku bertanya, seakan-akan itu penting.
"Oh, tidak. Dia mengupah bocah sebelah rumah untuk pergi membeli dan menyelundupkannya untuknya. Dia pikir aku tidak tahu."
Terdengar suara gerakan di bagian belakang runah. Tak ada AC untuk meredam suara. Seseorang seperti tengah batuk. Aku mulai bicara. "Dengar, Smith, Aku ingin menangani kasus ini untukmu. Aku tahu aku cuma orang baru, bocah yang baru akan lulus dari sekolah hukum, tapi aku sudah menghabiskan waktu berjam jam untuk menelitinya, dan aku lebih tahu persoalan ini daripada siapapun."
Tatapannya tampak kosong, nyaris tanpa harapan. Pengacara adalah pengacara, tidak yang istimewa. Ia akan mempercayaiku seperti mempercayai orang lain, dan itu tidak berarti banyak. Betapa ganjilnya.
Dengan begitu banyak uang yang dihamburkan pengacara untuk iklan yang menggorok, iklan TV konyol dengan anggaran kecil, billboard penuh bualan, dan harga obral pada iklan mini surat kabar, ternyata masih ada orang-orang macam Smith Jack yang tidak tahu membedakan jagoan pengadilan dari seorang mahasiswa hukum tahun ketiga.
Aku mengandalkan kenaifannya. ”Saya mungkin harus bekerja sama dengan pengacara lain, cuma mencantumkan namanya pada segala urusan, sampai saya lulus ujian ikatan pengacara dan diterima. ” Rasanya ia tidak memahaminya.
"Berapa biayanya?” tanyanya, bukannya tanpa kecurigaan.
Aku melontarkan senyum yang benar-benar hangat. "Tak satu sen pun. Saya akan mengurusnya sebagai kasus contingency. Saya mendapat sepertiga dari berapa pun yang kita dapatkan. Tak ada ganti rugi, tak ada biaya. Tak perlu apa pun di muka.” Sudah tentu ia pernah menyaksikan kata-kata ini yang diiklankan entah di mana, tapi tampaknya ia tidak mengerti.
“Berapa?"
“Kita menuntut jutaan dolar," kataku sok dramatis, dan ia pun terpikat. Aku mengira kalau tak ada sifat rakus dalam tubuh perempuan malang ini. Segala impian akan kehidupan indah sudah lama lenyap, sampai ia tak bisa mengingatnya lagi. Namun ia suka dengan gagasan untuk menyerang State Farm Insurance dan membuat mereka menderita.
"Dan kau dapat sepertiganya?”
"Saya tidak berharap akan mendapatkan jutaan, tapi berapa pun yang kita dapatkan, saya hanya mengambil sepertiganya. Dan itu sesudah biaya pengobatan Ronnie Kray dilunasi. Tak ada ruginya buat Anda.”
la menepuk meja dengan telapak tangan kiri. "Kalau begitu, kerjakanlah. Aku tak peduli berapa yang akan kau dapatkan, kerjakan saja. Lakukanlah sekarang, oke? Besok."
Di sakuku terlipat rapi kontrak pemberian layanan hukum, kontrak yang aku temukan dalam sebuah buku formulir di perpustakaan. Seharusnya saat ini aku mengeluarkannya dan memintanya menandatangani kontrak itu, tapi aku tak bisa memerintahkan diri sendiri untuk melakukannya. Menurut etika, aku tak bisa menandatangani perjanjian untuk mewakili kepentingan orang lain sampai aku terdaftar dalam ikatan pengacara dan punya lisensi praktek. Aku rasa Smith akan pegang janji.
Aku mulai melirik jam tangan, seperti pengacara sejati. "Saya akan mulai bekerja," kataku.
"Kau tidak mau menemui Ronnie Kray?"
"Mungkin lain kali."
"Aku tak menyalahkanmu. Tak ada apa pun kecuali kulit dan tulang."
"Saya akan kembali beberapa hari lagi, kalau saya bisa tinggal lebih lama. Banyak yang perlu kita bicarakan, dan saya perlu mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya."
"Tapi cepatlah, Oke?"
Kami mengobrol beberapa menit lagi. bicara tentang Lincoln Gardens dan pesta di sana. la dan Eddy pergi ke sana seminggu sekali, kalau ia bisa menjaganya agar tidak mabuk sampai siang. Itulah satu-satunya kesempatan mereka keluar rumah bersama-sama.
la ingin bicara, dan aku ingin pergi. la mengikuti ke luar, mengamati Toyota-ku yang kotor dan b****k, mengomentari betapa buruknya produk impor, terutama barang-barang dari Jepang, kemudian membentak anjing Doberman itu.
la berdiri di samping kotak surat ketika aku berlalu, merokok dan mengawasiku menghilang.
Untuk orang yang baru saja bangkrut, aku masih bisa menghamburkan uang dengan bodohnya. Aku membayar delapan dolar untuk satu pot bunga geranium, dan membawanya kepada Miss Streep. La suka sekali bunga, katanya, dan ia kesepian, tentu saja, dan aku pikir bahwa tindakan ini yang menyenangkan. Hanya secercah cahaya matahari dalam hidup seorang perempuan tua.
Aku memilih waktu yang pas. la sedang merangkak-rangkak di semaian bunga di samping rumah, di sebelah jalan masuk yang membujur ke garasi di halaman belakang. Betonnya dipagari rapat dengan bunga-bungaan, perdu-perdu, tanaman jalar, dan pohon-pohon hias. Halaman belakangnya dinaungi pepohonan setua orangnya. Ada sebuah teras bata dengan kotak-kotak yang terisi, karangan bunga berwarna cerah.
la benar-benar memelukku ketika aku memberinya hadiah kecil itu. la melepas sarung tangan berkebun, menjatuhkannya pada rumpun bunga, dan setelah itu membawaku ke belakang rumah. la punya tempat yang tepat untuk geranium itu. la akan menanamnya besok. Apakah aku mau kopi?
"Air saja," kataku. Rasa kopi encer buatannya masih segar dalam ingatanku. la menyuruhku duduk di kursi hias di geladak teras, sementara ia menyeka lumpur dan tanah dari celemek.
"Air es?" ia bertanya, bersemangat menyuguhkan minuman padaku.
"Ya," kataku, dan ia pergi ke dapur. Tanaman tanaman di halaman belakang itu tertata dalam simetris yang ganjil. Halaman itu membentang sedikitnya lima puluh meter sebelum sampai pada pagar hijau yang rimbun. Aku bisa melihat atap rumah di belakangnya, di balik pepohonan itu.
Ada rumpun rumpun tumbuhan kecil yang teratur, rumpun bunga aneka ragam yang kelihatannya dirawat sendiri olehnya atau oleh orang lain. Ada air mancur pada alas bata di sepanjang pagar, tapi tak ada air mengalir. Ada sebuah tempat tidur gantung terikat di antara dua batang pohon, tali dan kanvasnya yang sudah cabik terpilin diterpa angin. Rumputnya bebas dari tanaman liar, tapi perlu dipangkas.