Sembilan

1398 Words
Sembilan “Siapa yang melakukan itu?” “Seorang bocah, Frank namanya.” Statistik itu terekspos melalui gosip yang beredar tepatnya menjelang latihan terakhir pada bulan Agustus. Frank Luis perlahan mulai menaiki bangku tribun menggunakan kaus pertandingan berwarna merah dengan nomor 6 berwarna putih dan bertepi hitam, dimasukkan ke dalam celana jins-nya. Dia bertubuh kecil, ramping, tidak ragu bahwa tubuh itu diperlukan untuk membantu membuat kecepatan dan akselerasi di sisi sayap. Mula-mula lirikannya menjangkau ke atas dan mendapati sosok Denis, dan dia mengenalinya, dan ketika dia semakin dekat, dia melihat Nicki. Dia berhenti di dua baris di bawah mereka dan mengatakan, “Andrea Nicki.” “It’s me,” jawab Nicki dengan getir suara yang datar. Keduanya berjabat tangan, kemudian semuanya saling bersalaman. Denis mengenal Frank dengan baik sebab sebagaimana yang dia ketahui dengan singkat dalam perbincangan berikutnya, keluarga Frank mempunyai sebuah pusat perbelanjaan di bagian utara kota, dan sama seperti halnya semua orang yang memiliki pusat perbelanjaan di Lambeth pada umumnya, mereka menggunakan bank keluarga Denis. “Ada berita soal Mag?” tanya Frank, duduk di bangku tepat di belakang mereka, dan mencondongkan tubuhnya agar lebih menjangkau mereka. “Masih belum banyak. Intinya, dia masih bertahan,” jawab Denis dengan setengah muram. “Kapan kau gantung sepatu?” tanya Nicki. “Sembilan puluh tiga akhir…” “Lalu mereka memecatnya tahun?” “Tahun sebelumnya, tahun seniorku. Aku salah seorang kapten.” Muncul keheningan di sela-sela cerita pemecatan Maggie. Pada masa itu, Nicki sedang berkeliaran sampai Kanada Barat, di tengah-tengah kebingungan pasca college yang berlangsung hampir selama lima tahun, dan melalui semua drama itu. Seiring dengan berjalannya waktu, dia mendengarkan beberapa rincian, meskipun dia tetap berusaha meyakinkan pada dirinya sendiri kalau dia tak peduli terhadap apa yang terjadi pada James Maggie. “Kau berlari dua puluh lima putaran?” tanya Nicki. “Ya, aku masih ingat kalau itu sewaktu aku di tahun pertama. Di tahun 1990,” tegas Frank. “Masih menjadi rekor?” “Ya, dan dirimu?” “Mentok dua puluh putaran, pada tahun seniorku. Dua puluh lima, benar-benar sulit dipercaya.” “Aku hanya beruntung. Ketika itu cuaca berawan dan sejuk.” “Bagaimana dengan mereka yang di tim B?” “Dua puluh, sama seperti kau, kalau tidak salah.” “Sepertinya bukan masalah keberuntungan. Kau juga bermain di college?” “Tidak.” “Berapa berat badanmu waktu itu?” “Empat puluhan. Tidak sampai lima puluh.” “Dia menjadi pemain pemuda Inggris selama dua tahun,” ucap Denis. “Dan masih memegang rekor. Ibunya sudah tak mampu membantu menggemukkan dirinya.” “Aku ingin bertanya padamu,” kata Nicki. “Setelah aku berlari dua puluh putaran dan terkapar kesakitan. Kemudian Maggie memakiku seakan aku seperti seekor anjing. Kau tahu anjing? Waktu kau selesai berputar dua puluh lima putaran, apa tepatnya yang dia katakan padamu?” Denis hanya bereaksi sederhana, mendesis dan menyeringai. Dia sudah mendengarkan kisah itu sebelumnya. Frank menggeleng dan tersenyum tipis. “Benar-benar khas Maggie,” ucapnya. “Ketika aku selesai, dia berjalan mengiringiku dan mengatakan, dengan suara setengah berbisik, ‘Pikirku kau mampu mencapai tiga puluh putaran.’ Jelas saja, ini cuma untuk para pemain yang lain. Setelah itu, di ruang ganti, dia bilang bahwa itu adalah hasil yang luar biasa.” Dua pelari di lapangan itu mulai mengangkat handuk kecilnya, kemudian meninggalkan jalur lari. Berjalan menaiki tangga dan melalui beberapa baris bangku tribun. Mereka berusia sekitar lima puluhan, keduanya berkulit cokelat dan tampak bugar dengan sepatu mengkilat yang kelihatannya dibeli dengan harga mahal. “Yang di sebelah kanan itu adalah Santiago Munez,” ucap Denis yang tampak ingin membuktikan kalau dirinya mengenal setiap orang. “Dia dokter mata kita. Dan di sebelahnya itu Peter Crouch, kini pengacara. Mereka sama-sama bermain di tahun yang sama, angkatan enam puluhan.” “Mereka tidak pernah kalah satu pertandingan pun?” kata Frank. “Yap, bahkan regu tahun enam puluh delapan tidak pernah absen juara dalam kancah liga domestik dan nasional. Tiga belas kali menang, tiga di antaranya seri. Dua orang di sana itu ikut bermain saat itu.” “Kau benar-benar mencatatnya? Mengagumkan!” kata Frank yang benar-benar terlihat terpukau dengan ingatan Denis. “Itu sebelum kita dilahirkan di sini,” tambah Denis. Mengetahui bahwa dalam satu musim pertandingan tanpa kebobolan satu pun memerlukan waktu satu menit untuk meyakininya. Dokter mata dan pengacara itu tenggelam dalam perbincangan mereka. Tidak diragukan lagi bahwa tiada yang nikmat selain sama-sama mengenang prestasi mereka selama ini. “Koran sempat memuat kisah Maggie beberapa tahun setelah dia dipecat?” kata Denis. ‘Mereka menuangkan statistik seperti biasanya. Tapi ada satu informasi menarik yang juga ikut dimuat, bahwasanya dia selama tiga puluh empat tahun telah melatih tiga ratus enam belas pemain. Judul artikel di koran itu dulunya ‘James Maggie dan Ketiga Ratus Red Circle.” “Aku pernah membacanya,” balas Frank. “Aku penasaran seberapa banyak yang akan turut hadir di pemakamannya,” gumam Denis. “Sebagian besar.” Maksud Leo soal mengambil minuman ternyata mengambil dua buah peti bir dan dua orang yang lain membantu menghabiskan. Ketiga laki-laki itu keluar dari pickup-nya, di mana Leo yang memimpin jalan dengan memanggul sebuah botol, sepertinya Budweiser. Dan satu botol yang lain di pegang tangan sebelahnya. “Siapa laki-laki kurus itu?” tanya Nicki. “Kukira itu Sancho.” “Sancho bukannya dia di penjara?” “Ya, keluar-masuk.” “Yang satu lagi itu Bruno Kelso,” seru Frank. “Dia main bersamaku.” Terlihat dari kejauhan bahwa peti-peti bir itu memakan tenaga Bruno cukup banyak, dan ketika mereka menaiki bangku-bangku, Leo mengajak Andy Cole dan temannya yang lain untuk menemani mereka bertiga minum. Keduanya tidak ragu sama sekali. Dia berteriak ke arah Munez dan Peter Crouch, dan segera mereka menaiki tangga untuk menuju ke tempat di mana Nicki, Denis, dan Frank tengah duduk. Begitu selesai perkenalan yang basa-basi itu dilakukan, dan botol-botol bir itu selesai dibuka, Andy Cole bertanya sesuatu pada mereka, “Ada kabar terbaru apa tentang Maggie?” “Semua sedang menunggu.” “Aku sempat mampir ke sana siang tadi,” ujar Crouch dengan wajah yang berubah muram. “Sepertinya benar, tinggal menunggu waktu.” Crouch mencitrakan sikap khas seorang pengacara yang seketika itu langsung tidak disukai Nicki. Munez, si dokter mata itu kemudian memaparkan pidato panjang-lebar soal perkembangan terakhir penyakit Maggie, kanker. Cuaca hampir seluruhnya tersapu kegelapan. Semua pelari sudah angkat kaki dari running track. Dalam keremangan itu, muncul dari balik gedung olahraga seorang laki-laki bertubuh jangkung kurus dan perlahan dia menuju tiang logam papan skor di tepi lapangan. “Bukannya itu Diego?” Nicki menebak dari sudut pandang ingatannya. “Ya, Diego,” balas Denis mengkonfirmasi untuk yang kesekian kali. “Dia salah seorang yang dapat dipastikan tak akan pernah pergi dari sini.” “Menjabat sebagai apa dia saat ini?” “Dia tak butuh sebuah jabatan.” “Dulu dia mengajariku soal sejarah,” sergah Munez. “Juga pernah mengajariku matematika,” Crouch ikut menimpali. Diego mengajar sekitar sebelas tahun sebelum pada akhirnya semua orang mengetahui kalau dia tak pernah lulus dari kelas sembilan. Dia lantas dipecat sesudah keributan yang dipicu oleh hal itu, namun saat itu Maggie ikut campur dan mampu menugaskan Diego kembali di sini sebagai asisten direktur atletik. Dia mendapatkan jabatan seperti itu berarti dia tidak melakukan apa pun selain yang diperintahkan Maggie. Dia terkadang mengemudikan bus tim, membersihkan seragam tim, merawat peralatan, dan yang paling penting yaitu mengantongi semua gosip kepada Maggie. Setiap lampu lapangan dipasang pada empat tiang. Diego menjentikkan sakelar. Lampu-lampu di ujung selatan menyala. Seperti standar pencahayaan sepak bola tingkat SMU, lampu-lampu di Maggie Field memiliki pencahayaan sebesar 500 lux. Ada beberapa taraf level pencahayaan yang disesuaikan dengan tingkat kompetisi: sekolah menengah, perguruan tinggi, liga nasional, olimpiade, dan bagi komunitas hiburan. Menurut panduan pencahayaan stadion yang ditentukan oleh FIFA, stadion sepak bola dengan standar tertinggi adalah Piala Dunia dan beberapa taraf kompetisi internasional lainnya, di mana besar pencahayaannya berkisar 2400 lux hingga 3500 lux. Jika lapangan sepak bola hany diperuntukkan bagi komunitas hiburan, hanya membutuhkan sekitar 200 lux saja. “Dia telah melakukannya selama hampir satu minggu,” ucap Denis. “Diego sengaja membiarkan semua lampu-lampu itu terus menyala sepanjang malam. Itu semacam doa puasa versi Diego. Begitu Maggie meninggal, semua lampu itu akan segera dipadamkan.” Diego beranjak dari sana dan kembali terhuyun ke dalam gedung olahraga. “Apakah dia masih tinggal di sana?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD