Mulai Menunjukkan Effort

1477 Words
Entah sudah berapa lama Zero memperhatikan sosok perempuan yang membuat ia penasaran dari awal bertemu. Ternyata perempuan itu membuka sarung tangan karena basah. Wajah kesakitan terlihat jelas. Mungkin karena sendiri sehingga tidak apa-apa menunjukkan rasa sakit. Kalau didepan orang-orang, pasti perempuan itu akan berusaha terlihat biasa-biasa saja. Jujur saja, ingin rasanya Zero membawa perempuan itu ke rumah sakit. Tidak tega melihat tangan yang terlihat tidak baik-baik saja. Mungkin karena Zero pernah berada diposisi yang seakan tidak berpihak padanya. Ia jadi bisa merasakan perasaan perempuan itu. Meskipun terlihat kuat dari luar, tapi dalamnya tidak sekuat itu. Zero melihat jam yang sudah terpasang di pergelangan tangannya. Masih ada waktu yang cukup banyak. Ia mengirim pesan kepada Eka. Pesan yang menyatakan bahwa ada sedikit urusan sehingga tidak bisa kembali ke ruangan dalam waktu dekat. Tidak mungkin orang-orang di dalam ruangan menunggu dirinya yang entah akan kembali kapan. Baru kali ini ia sedikit tidak profesional. Walaupun hanya makan siang. Tapi ia seperti tidak menghargai pihak yang sudah mengundang. Zero begitu percaya kepada Eka untuk memberi pengertian kepada orang-orang yang ada di dalam ruangan tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Zero memeriksa saku celana dan jasnya. Ia tidak menemukan apa yang dicari. Ternyata Zero sedang mencari kunci mobil. Tentu saja tidak ada karena kunci tersebut ada pada Eka. Zero menghela nafas panjang. Sebelum melangkah, Zero mencari lokasi minimarket terdekat. Cukup jauh dari area kampus jika berjalan kaki. Tapi tidak masalah. Zero sedikit berlari agar sampai ke gerbang depan. Beruntung fakultas teknologi posisinya ada didepan. Jadi jarak ke gerbang tidak terlalu jauh. Apa yang sedang Zero lakukan sekarang? Ia seperti tidak mengenal diri sendiri. Ia hanya mengikuti kata hati saja untuk sekarang. Beberapa menit berlalu, akhirnya Zero sampai di minimarket terdekat. Peluh keringat sedikit keluar. Apalagi cuaca cukup panas. Dia masuk ke dalam dan langsung mencari barang yang ingin dibeli. Berhubung Zero baru pertama kali ke sini, jadi ia cukup kebingungan untuk mencari. Kecuali di minimarket yang dekat dengan kompleks atau area perusahaan, maka Zero cukup hafal dimana letak barang-barang disana. "Maaf, Mas." Zero menghampiri seseorang yang mengenakan pakaian karyawan minimarket. "Apa disini ada jual sarung tangan, Mas?" tanya Zero. "Ada, Pak." Mungkin penampilan Zero sudah seperti Bapak-bapak sehingga dipanggil "Pak". Padahal Zero memanggil karyawan itu dengan sebutan "Mas". Karyawan membawa Zero ke tempat dimana sarung tangan diletakkan. "Terima kasih, Pak." Zero tidak lagi memanggil Mas seperti sebelumnya. Tanpa ketidaknyaman dari karyawan tersebut, tapi Zero tidak peduli. Siapa suruh panggil dirinya dengan sebutan "Pak". "Iya, Sama-sama." Ada banyak jenis sarung tangan. Baik digunakan untuk mencuci piring, untuk mencegah sinar matahari saat berkendaraan, ataupun sarung tangan medis. Zero memilih yang paling mahal. Ia pikir barang mahal adalah barang dengan kualitas terbaik. Tidak semua, tapi setidaknya kali ini memang benar. Zero tidak hanya membeli satu, tapi beberapa. Selain membeli sarung tangan, Zero juga membeli obat alergi. Ia tidak asal menebak tapi mencari berbagai sumber informasi sehingga mendapatkan jawaban kenapa tangan perempuan itu memerah parah. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena Zero hanya melihat saja. Seharusnya dibawa ke dokter yang mempunyai keahlian di bidangnya. Tapi kalau Zero membawa, pasti ia dikira laki-laki yang tidak benar. Pada pertemuan pertama, Zero dianggap m3sum. Kalau sampai Zero tiba-tiba menawarkan untuk membawanya ke rumah sakit, bisa-bisa ia dikira lebih dari sekedar m3sum. Zero mengambil beberapa cemilan, pokoknya langsung ambil dan tidak lihat harga. Selanjutnya Zero membayar seluruh barang yang ia beli. "Maaf, Mas. Kita ada promo coklat. Beli dua akan dapat diskon sepuluh persen." Kasir menunjukkan layar yang menampilkan rincian diskon beberapa produk. Zero terdiam sambil menatap coklat itu. Entah kenapa ada yang berperang di dalam dirinya. "Tidak...Tidak," ucap batinnya. Apa-apaan ia membeli coklat. "Tidak, Mbak." Zero menolak tapi matanya masih menatap susunan batang coklat tersebut. "Baik, Mas." Kasir mulai menghitung belanjaan Zero. "Totalnya 345.000, Mas." Zero jarang membawa uang cash. Dompet saja dia tidak bawa. Tapi kalau ponselnya masih menyala maka akan baik-baik saja. Sebelum membayar, Zero malah mengambil 6 coklat. Kasir tampak sedikit kaget, tapi setelah itu ia tersenyum. "Totalnya 463.000, Mas." Zero selesai membayar. Ia langsung keluar dari minimarket. Berhubung mengejar waktu, Zero kembali berlari untuk masuk ke area kampus. Sebaran perempuan di fakultas teknologi tidak terlalu banyak. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 70:30. Kalau laki-laki yang melihatnya makan biasa saja. Kalau perempuan terkadang ia sedikit penasaran. Apalagi Zero baru pertama kali datang dengan penampilan yang sangat rapi. Siapa yang tidak penasaran? Zero sudah sampai di depan sebuah ruangan. Ia bernafas lega karena masih melihat sosok perempuan yang membuatnya bertindak sejauh ini. Tapi Zero tidak bisa memberikan secara langsung. Pasti perempuan itu ketakutan. Apa Zero meminta tolong kepada mahasiswa lain? Tapi kalau ada yang berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya bagaimana? Zero cukup sadar diri. Dia sudah termasuk ke dalam laki-laki dewasa. Sedangkan mahasiswa di kampus ini masih sangat muda dibanding dirinya. Zero tidak mau menciptakan sesuatu yang menakutkan. Ia berpikir sejenak untuk mencari cara bagaimana plastik yang ada di tangannya sampai ke tujuan. Sebuah ide muncul, ia tersenyum tipis sambil mengotak atik ponsel. Tidak banyak berpikir, Zero menghubungi Zia. Tentu saja Zia langsung mengangkat karena tidak sedang jam kerja. Oh ya kalau ada yang tanya, kemana anak-anak Zia dan Agam? Tentu saja kalau Zia mengajar maka anak-anaknya dibawa oleh Agam ke perusahaan. Zero menyuruh Zia untuk menemui dirinya. Zia kira ada masalah apa sampai sehingga buru-buru mendatangi Zero. "Ada apa?" tanya Zia dengan raut wajah khawatir saat mendatangi Zero. Zero menyengir dengan wajah bodoh. Tentu saja Zia bertambah bingung. Ada apa dengan teman suaminya ini? "Kenapa?" tanya Zia lagi. Zero sedang memutar otak. Bagaimana cara menjelaskan kepada Zia tanpa timbul kesalahpahaman? "Kok malah diam? Kenapa sih?" Zia mendesak sebuah penjelasan. Zero menggaruk leher yang tidak gatal. "Tolongin," ucapnya. Zia mengerutkan kening. "Tolong apa, Bang?" "Kasih ini sama mahasiswa yang ada di dalam." Zero mengulurkan satu plastik besar kepada Zia. Zia terdiam sejenak. "Ini apa?" tanya Zia. "Bukan sesuatu yang buruk, kasih aja." "Iya tau, kenapa tiba-tiba gini?" Zia juga tahu bahwa Zero orang baik. Tidak mungkin memberikan sesuatu yang buruk kepada orang lain. Apalagi kepada salah satu mahasiswa di kampus ini. Tapi kenapa tiba-tiba dikasih begini? Zia masih bingung untuk mencerna. "Kasih aja, tapi jangan bilang dari aku." "Ta-" "Tolong banget," potong Zero. Setelah mengatakan itu, ia pergi begitu saja. Padahal Zia masih kebingungan tapi orangnya malah sudah kabur. Zia melihat siapa mahasiswa yang ada di dalam ruang kelas tersebut. Sebelum masuk, Salsabila mengetuk pintu. Tidak langsung mendapat respon karena mahasiswa yang ada di dalam sedang tidur. Zia kembali mengetuk pintu sampai membuat mahasiswa yang tertidur itu langsung terbangun. "A-ada apa, Bu?" tanyanya tergagap. Pasti kaget karena sedang asik tidur tiba-tiba saat bangun ada salah satu dosen. Zia tersenyum. "Salsabila bukan?" tanyanya. "I-iya, Bu." "Tidak apa-apa. Apa saya mengganggu?" Salsabila langsung menggeleng. Tiba-tiba saja ia jadi keringat dingin. Dosen di depannya memang belum pernah mengajar di kelasnya. Jadi Salsabila sedikit canggung. Tapi menurut informasi yang beredar, Bu Zia termasuk dosen muda yang baik dan ramah. Tapi tetap saja Salsabila takut. "Tangan kamu kenapa?" tanya Zia dengan hati-hati. "Alergi, Bu." Salsabila menyembunyikan tangannya dibalik meja. Zia sudah melihat isi plastik yang sedang ada ditangannya. "Ini ada beberapa sarung tangan dan obat alergi," ujar Zia sambil meletakkan plastik yang ada di tangannya ke atas meja. Tentu saja Salsabila kebingungan. Apalagi ia tidak dekat dengan dosen di depannya ini. "Tidak perlu, Bu." Salsabila menolak. "Ambil saja. Anggap saja hadiah ya." Salsabila masih menolak. Kaget dong diberi sesuatu secara tiba-tiba. Sebenarnya Zia juga akan merespon seperti itu. Tapi kalau tidak karena menolong Zero, maka ia tidak akan melakukannya. Zia mengeluarkan kata-kata yang cukup bagus sehingga pada akhirnya Salsabila menerima plastik tersebut. "Ya sudah, Ibu kembali ke ruangan dulu. Kamu juga segera berkumpul di ruang seminar." "Baik, Bu. Terima kasih banyak." Salsabila sangat terharu. Pantas saja sang dosen terkenal baik dan ramah. Ternyata benar-benar baik. Bolehkah Salsabila menangis? Bahkan orang yang tidak begitu mengenalnya bisa baik, tapi ayah sendiri malah terus-terusan mengecewakan dirinya. "Dihabiskan ya, jangan dibuang." Zia memberi peringatan. "Aman, Bu." Salsabila memberikan jempol. Zia tertawa kecil sebelum meninggalkan ruang kelas. Zia memutuskan untuk kembali ke ruangan. Tapi siapa sangka, Zero tengah menunggu sambil bersandar didinding. “Kenal dimana?” tanya Zia langsung. Kalau suaminya tahu, pasti langsung heboh. Apalagi Zero belum pernah dekat dengan perempuan sebelumnya. “Nggak kenal,” jawab Zero. Dia menjawab fengan jujur bukan? Kalau kenal pasti saling tahu nama. “Nggak usah bohong!” Zia menyipitkan mata. “Emang nggak kenal. Kalau kenal nggak mungkin minta tolong.” “Jangan macam-macam, dia masih mahasiswa.” Zia memberi peringatan. “Ya ampun Zia…, kamu mikir apaan?” “Pokoknya dia masih mahasiswa.” “Iya iya. Emang namanya siapa?” Zero penasaran. “Cari sendiri.” Setelah mengatakan itu, Zia berlalu pergi. Zero tidak bisa protes. Sebelum ia kembali ke ruangan, ia mengintip ruang kelas dimana perempuan itu duduk. Terlihat perempuan itu sudah mengganti sarung tangannya. Bahkan ia sedang memakan coklat. Entah kenapa kedua sudut bibir Zero terangkat ke atas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD