Dilema Karena Umur

1497 Words
Salsabila sangat terharu dengan kebaikan salah satu dosennya. Awalnya ia merasa tidak enak hati, tapi menolak kebaikan orang lain tentu saja tidak baik. Padahal sang dosen tidak pernah mengajar dirinya, tapi tetap saja perhatian. Salsabila pikir sang dosen tidak sengaja melihat tangannya memerah karena alergi sehingga membelikan dia beberapa sarung tangan. Salsabila berharap perhatian dari orang yang memiliki hubungan darah dengan dirinya yaitu ayah kandungnya. Tapi ternyata yang lebih perhatian adalah orang lain. Salsabila membuka coklat yang terbalut oleh kertas timah berwarna kuning. Tanpa sadar, air matanya mengalir saat menggigit coklat tersebut. Apa ia terlalu lebay? Tentu saja tidak, tapi ia tidak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya sekarang. Bahkan kalaupun ada yang tiba-tiba bertanya tentang keadaannya, mungkin Salsabila akan menangis. Salsabila lupa kapan terakhir kali ia menikmati coklat. Mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu. Sejak sang papa memilih selingkuhannya, maka saat itu juga Salsabila dipaksa untuk dewasa dan memahami keadaan. Menghemat uang adalah cara yang harus ia lakukan. Makan seadanya, dan tidak membeli sesuatu yang tidak penting. Bahkan orang yang tidak mengetahui kondisi perekonomiannya pasti mengira Salsabila orang yang pelit kepada diri sendiri. Salsabila menghabiskan satu batang coklat. Tentu saja rasanya sangat enak sekali. Setelah itu, ia bersiap-siap untuk masuk ke dalam ruang seminar. Langkah kaki Salsabila tidak langsung ke ruang seminar, tapi ia singgah sebentar di kamar mandi. Pasti wajahnya terlihat kacau. Apalagi ia baru saja selesai menangis. Salsabila tidak ingin ada yang tahu kalau dirinya baru saja selesai menangis. Wajahnya terlihat di cermin. Mata Salsabila sedikit memerah. Ia langsung mencuci wajah dengan air yang mengalir. Salsabila memaksa kedua sudut bibirnya untuk terangkat ke atas. Mencoba untuk terlihat baik-baik saja walaupun hati dan pikiran sedang kacau. Ia juga menyemangati diri sendiri dengan penuh keyakinan. Setelah merasa sudah jauh lebih baik, Salsabila langsung ke ruang seminar. Tentu saja ruangan sudah dipenuhi oleh mahasiswa lain. Jumlahnya juga sangat banyak sekali. Semua tertarik dengan topik yang diangkat. Apalagi menurut informasi yang beredar bahwa pemateri adalah salah satu petinggi perusahaan yang bergerak dibidang teknologi. Tentu saja kesempatan itu tidak akan dilepaskan begitu saja. Salsabila mencari tempat duduk yang kosong. Bagaimana kehidupan perkuliahannya? Sampai semester lima, Salsabila tidak terlalu dekat dengan teman-teman kelasnya. Mungkin perbedaan ekonomi membuat adanya sedikit jarak. Salsabila juga tidak bisa kumpul atau nongkrong bersama teman-temannya diluar jam kuliah. Ini juga yang menjadi alasan kenapa ia tidak dekat dengan teman kelasnya sendiri. Tapi apa Salsabila sedih? Tentu saja tidak. Sejauh ini ia menjalani perkuliahan dengan baik. Jika ada tugas, mereka bisa bekerja sama untuk menyelesaikan. Jujur saja di dalam kelas ada dua puluh lima orang. Hanya ada lima perempuan dan sisanya laki-laki. Rata-rata mahasiswa di kelasnya sangat-sangat gila dengan ilmu. Jelas saja karena masuk ke kampus ini tidaklah muda. "Dari mana?" tanya seseorang saat Salsabila sudah duduk. Salsabila pikir ia tidak akan bertemu dengan teman kelasnya. Ternyata malah sebelahan. "Kelas." "Ooh." Hanya obrolan singkat. Setelah itu baik Salsabila dan orang disebelahnya sibuk dengan diri sendiri. Ada yang melihat ponsel, melihat tab dan juga membaca buku. Pukul dua siang, acara dimulai. Suara gemuruh mahasiswa yang hadir menghiasi ruang seminar. Pembawa acara atau MC sangat-sangat bagus. Ia dapat mencairkan suasana sehingga tidak terlalu kaku. Sebelum acara inti yaitu materi yang akan disampaikan pemateri, maka ada beberapa kata sambutan dari petinggi fakultas. Bisik-bisik terdengar di telinga Salsabila. Apa yang diceritakan orang-orang? Terutama perempuan. Apalagi mata mereka berbinar-binar seakan melihat sesuatu yang begitu menarik. Berbeda dengan Salsabila, ia tidak bertindak seperti mahasiswa yang lain. Wajahnya malah terlihat sangat datar sekali. Meskipun begitu, ia sangat tertarik untuk mendengarkan materi yang akan dimulai sebentar lagi. "Ganteng banget, udah nikah belum ya?" "Udah kayaknya, mana mungkin jomblo." "Siapa sih namanya?" "Zero." "Lucu banget namanya." Salsabila pura-pura tidak mendengar. "Ganteng tu pematerinya," ujar teman di sebelah Salsabila. "Terus?" "Lo normal nggak sih?" Teman Salsabila menatapnya penuh kebingungan. Salsabila hanya memberikan tatapan malas. Terlalu malas berbicara, lebih baik ia mengirit energi agar tidak terbuang sia-sia. Acara inti dimulai. Fokus Salsabila mulai kepada pemateri. Pena dan buku catatan sudah stand by. Berbeda dengan teman yang lain, mereka mencatat di tab atau ponsel sendiri. Salsabila lebih suka mencatat sendiri, kebiasaannya yang bisa membuat otaknya dengan mudah mengingat. Pemateri mulai dengan perkenalan terlebih dahulu. Salsabila menulis nama Zero di buku catatannya. Bahkan ia juga menulis perusahaan dimana Zero bekerja. Kali saja nanti setelah lulus, Salsabila bisa melamar disana. Berdasarkan informasi singkat dari mesin pencari, perusahaan dimana sang pemateri bekerja sangat bagus. Perkembangannya juga cepat. Salsabila jadi tertarik mencari lebih dalam. Zero mulai memberikan informasi yang sedang dikembangkan oleh perusahaannya. Hal ini membuat mahasiswa banyak yang tertarik. Teknologi selalu mengalami perkembangan dan terkadang berawal dari sebuah ide-ide brilian yang kata orang tidak mungkin. "Apa yang menarik?" tanya Zero sambil menunjuk layar yang menampilkan sebuah gambar perkebunan cabai. "Mungkin bagi sebagian orang ini hanyalah gambar biasa, tapi dalam beberapa bidang ini menjadi sebuah masalah. Apa itu?" Zero mencoba untuk berinteraksi dengan para mahasiswa. Semua kebingungan. "Ini masalahnya. Ada tanaman cabai yang terjangkit penyakit dan ada tanaman yang tampak sangat baik. Apa tanaman-tanaman ini diperlakukan dengan sama?" "Tidak," jawab beberapa mahasiswa dengan tidak yakin. Zero tersenyum tipis. "Antara yang sudah berpenyakit dan tidak, maka diberlakukan dengan tidak sama. Tanaman yang berpenyakit harus segera diatasi agar tidak menghasilkan cabai yang buruk." "Nah dari banyaknya tanaman di kebun yang luas. Butuh banyak tenaga untuk mengatasinya. Bahkan kalau tidak teliti, maka ada yang tertinggal." Tampilan di layar berganti. "Ilmu teknologi bisa membantu untuk mempermudah. Bagaimana caranya?" "Salah satunya dengan penerapan image processing. Analoginya, misal sebuah teknologi pembantu penanggulangan tanaman yang dilengkapi drone. Teknologi ini bisa melakukan pendeteksian tanaman mana yang berpenyakit. Jadi nanti secara otomatis teknologi ini merawat tanaman berpenyakit. Entah itu dengan diberikan pupuk yang berbeda dengan tanaman yang sehat. Lantas bagaimana teknologi ini bisa dibuat?" "Singkatnya kita sebagai manusia memberikan pengetahuan atau menanamkan pengetahuan di sebuah program. Pengetahuan ini didapat dengan mengumpulkan banyak sample dari gambar tanaman cabai berpenyakit. Ilmu yang bisa diterapkan dalam hal ini adalah data mining." Zero memberi penjelasan yang mudah dicerna oleh mahasiswa. Mungkin ada beberapa kata-kata yang belum mereka dengar, tapi hal ini membuat mereka yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Satu jam tidak terasa sama sekali. Bahkan semua larut dalam penjelasan yang Zero berikan. "Berhubung waktu sudah habis, saya serahkan kepada MC." Zero kembali duduk. Saat menjelaskan materi, ia bergerak ke segala arah untuk membangun interaksi dengan mahasiswa. "Bagaimana teman-teman, ilmu yang diberikan cukup menarik bukan?" Semua serentak menjawab iya. "Baiklah, kita masuk sesi terakhir. Apa itu? Sesi tanya jawab. Berhubung waktunya tidak banyak, maka hanya bisa menampung 3 pertanyaan saja. Yang mau bertanya, silahkan angkat tangan." Hampir sebagian mahasiswa yang ada di dalam ruangan angkat tangan. MC menunjuk satu orang terlebih dahulu di sebelah kiri. Berdirilah seorang perempuan. Ia tampak gugup dan semangat secara bersamaan. "Silahkan," ujar MC. Mic juga sudah ada di tangan dipenanya "Maaf kalau pertanyaan saya agak aneh, Apa Pak Zero sudah menikah?" Semua yang ada di dalam ruangan langsung tertawa. Zero tersenyum tipis. "Belum, apa hanya itu?" "Ti-tidak, Pak. Ini saya mau nanya serius." Gelak tawa kembali terdengar. Kali ini pertanyaannya serius dan Zero menjawab dengan sangat baik. Selanjutnya menunjuk penanya kedua. Dia adalah laki-laki. Zero takjub dengan pertanyaan yang diberikan. Sungguh sangat berbobot sekali. Zero juga senang untuk menjawabnya. "Terakhir ya, kita ambil yang sebelah kanan. Mbak-mbak yang pakai hijab hitam, boleh berdiri." Zero yang awalnya sedang duduk santai langsung membeku. Entah kenapa tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali ketika melihat sosok yang berdiri. Apa kali ini juga kebetulan? Sungguh perasaan Zero benar-benar kacau. "Perkenalkan nama saya Salsabila, mahasiswa jurusan teknologi dan kecerdasan buatan semester lima." "Salsabila," ujar Zero tanpa sadar. Mana micnya cukup dekat dengan mulut sehingga bisa didengar oleh seisi ruangan. "Iya, Pak," jawab Salsabila. Deg! Zero langsung kaget karena menyebut nama Salsabila padahal mic masih menyala. "Ma-maaf, silahkan." Zero berbicara dengan terbata-bata. Padahal sebelumnya tidak. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa jadi gugup begini? Padahal perempuan yang sudah membuat Zero tertarik diawal pertemuan hanya bertanya saja. Salsabila mulai bertanya. Mendengar pertanyaan Salsabila, Zero tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Merasa takjub dengan pertanyaan tersebut. “Pak,” panggil Pembaca acara. Bayangkan saja bukannya memberi respon, Zero malah terdiam sambil menatap Salsabila. “Eh iya,” jawab Zero langsung dengan wajah yang sedikit memerah. Malu saja karena ia terbengong tiba-tiba seakan terhipnotis dengan Salsabila. Zero mulai memfokuskan diri sambil berdiri. Ia menatap Salsabila meskipun tercipta jarak yang begitu panjang. Sepanjang menjawab pertanyaan, ada debaran yang tidak biasa pada dirinya. Bahkan ia diam-diam tersenyum. “Bagaimana, Salsabila? Apa jawaban saya bisa dimengerti?” Berbeda dari dua penanya sebelumnya, kali ini Zero malah mencuri-curi interaksi dengan Salsabila. “Bisa, Pak. Terima kasih.” Salsabila langsung duduk. Jujur saja Zero tidak tahu Salsabila ada di dalam ruangan ini. Ia kira Salsabila tidak termasuk mahasiswa yang mengikuti seminar ini. Ternyata tanpa dicari, dia muncul sendiri. Apalagi Zero langsung tahu siapa namanya tanpa mencari tahu. Keadaan benar-benar berpihak pada dirinya. Apa ia harus mengejarnya? Tapi jarak usia meraka sungguh sangat jauh. Sembilan tahun bukanlah angka yang kecil. Bisa dikatakan, Zero seperti Om-Om bagi Salsabila yang masih sangat muda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD