Pertemuan Ketiga

1443 Words
Zero mengucek mata. Kepalanya sedikit berat karena kurang tidur. Bayangkan saja ia baru memejamkan mata pada pukul tiga dini hari. Kalau dihitung, Zero hanya tidur selama satu sampai dua jam saja. Meskipun tengah mengantuk berat, Zero tetap memaksakan diri untuk bangun karena sudah masuk waktu subuh. Sebagai umat muslim, sudah seharusnya ia menjalankan kewajiban. Zero turun dari ranjang menuju ke kamar mandi. Rumah yang cukup besar hanya ditempati oleh dirinya sendiri. Tentu saja ia kesepian tapi mau bagaimana lagi. Mau menikah juga tidak tahu dengan siapa. Kini Zero sudah bersiap untuk ke masjid yang ada di kompleks perumahannya. Cukup dingin karena beberapa waktu yang lalu daerah ini dituruni rintik hujan. Meskipun begitu, Zero tetap tidak mengurungkan niat untuk melangkah ke masjid. "Begadang lagi?" Pertanyaan itu langsung membuat tatapan Zero mengarah ke sumber suara. "Tau darimana?" balas Zero kepada teman yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Apalagi rumah mereka berdekatan. Ia adalah Lp. "Mata lo merah." Zero menguap. "Biasalah," ucapnya seakan-akan begadang adalah hal yang lazim dilakukan. Padahal sangat tidak baik. "Kurang-kurangin lah." Zero terkekeh. "Sadar diri, Pak." Bukan hanya dirinya yang sering begadang, teman-teman yang lain juga demikian. "Oh ya, kata Bang Agam lo makan malam sama keluarga Pak Frans. Kok bisa?" Lp sedikit terkejut mendengar informasi tersebut. Apalagi Zero tidak suka ikut-ikut acara diluar tuntutan kerja. Zero memasang wajah yang bisa menarik perhatian orang yang melihatnya. Wajah yang minta dikasihani. "Tanpa gue jawab, lo udah tau jawabannya." Kali ini giliran Lp yang terkekeh. "Supaya nggak terus diundang, lebih baik nikah." Mulut Lp terlalu mudah untuk mengatakannya. Padahal seingat Zero, Lp saja susah move dari mantan istrinya. Sudah delapan tahun, tapi tidak bisa tertarik dengan orang lain. Untung saja Lp masih dipertemukan dengan mantan istrinya. Kalau tidak, mungkin bisa jomblo seumur hidup. "Doain aja," balas Zero. Kali saja ada doa temannya yang diijabah. "Aman." Keduanya sedikit mengobrol dalam perjalanan menuju ke masjid. Ternyata Hiro dan Agam sudah sampai lebih dulu. Pantas saja tidak bertemu di jalan. Setelah selesai shalat, Zero dan ketiga temannya mulai keluar dari masjid. Mereka biasanya mengobrol kembali saat perjalanan ke rumah masing-masing. Tentu saja obrolan ringan. Kini mereka sudah berada di depan rumah Agam. "Nanti siang sibuk nggak?" tanya Agam sambil mengambil daun yang sudah gugur. "Gue?" Zero menunjuk dirinya sendiri. Soalnya bisa saja Agam bertanya kepada yang lain. Zero berjaga-jaga saja, nanti malah dikira kepedean. "Hm." "Gue sibuk," ucap Hiro yang ikut menjawab. Dia juga dengar pertanyaan dari Agam, jadi tidak ada salahnya menjawab. "Ck, gue tau." Agam memberikan tatapan yang sedikit tajam. Dia sudah tahu jadwal Hiro dan Lp, makanya memilih bertanya kepada Zero. Hiro tertawa. "Gue nggak ditanya, Bang?" Lp angkat bicara. Agam tidak menjawab, tapi tatapannya sudah menjelaskan semuanya. "Oke oke, Bang. Gue salah." Lp mengangkat kedua tangannya. Sudah jelas siang ini ia menemani sang istri untuk membawa anak mereka melakukan vaksinasi. Zero mencoba untuk mengingat jadwalnya hari ini. Meskipun tidak ingat seratus persen, tapi masih bisa dipertimbangkan. "Emang kenapa, Bang?" tanya Zero. Agam memberikan penjelasan kenapa ia bertanya tentang tentang kesibukan Zero. Beberapa hari yang lalu, ia diundang oleh sebuah kampus yang cukup terkenal untuk menjadi narasumber. Sebenarnya siapa saja, karena permintaan kampus adalah salah satu orang yang memang expert di perusahaan milik mereka. Agam kira ia tidak punya jadwal penting sehingga mengajukan diri. Apalagi istrinya juga menjadi salah satu dosen di kampus tersebut. Jadi Agam pikir, tidak ada salahnya berbagi ilmu kepada para mahasiswa. Ternyata ia baru ada jadwal penting yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak bisa digantikan. Maka mau tidak mau, Agam mengirimkan permohonan maaf tapi tetap mengutus salah satu orang yang expert di perusahaan. "Kayaknya bisa, Bang. Jam berapa?" Zero cukup sering mengisi seminar. Baik secara online maupun offline. Dia sama sekali tidak mau menerima bayaran. Memberi ilmu adalah hal yang menyenangkan. Apalagi kepada pemuda-pemuda yang sangat tertarik dalam dunia teknologi dan kecerdasan buatan. "Jam dua." Zero langsung setuju untuk menggantikan Agam sebagai narasumber. "Topiknya apa?" tanya Zero. Ia tidak mungkin memberikan ilmu diluar topik yang ditentukan. "Nanti gue kirim informasinya." Zero memberi jempol. Pukul enam kurang sepuluh menit, mereka bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Berhubung Zero masih mengantuk, ia memilih untuk melanjutkan tidur kembali. Alarm terpasang sebanyak lima buah agar tidak dapat bangun. Terkadang karena terlalu mengantuk jadi sulit untuk bangun diwaktu yang tepat. Lima alarm yang aktif dapat berguna. Zero membuka mata dan melihat jam di layar ponselnya. Ternyata sudah pukul sembilan kurang dua puluh menit. Zero turun dari ranjang untuk segera bersiap diri menuju ke perusahaan. Tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Keadaan rumah masih sama. Jangan tanya apakah Zero akan membuat sarapan, tentu saja tidak. Dia lebih banyak membeli makanan diluar. Hal ini bukan karena Zero tidak bisa masak. Dia bisa masak tetapi tidak punya banyak waktu. Kadang sampai dirumah sudah malam. Kemudian di pagi hari ia sangat mengantuk. Bagaimana hari libur? Zero malah menghabiskan waktu pagi diluar untuk berlari santai. Kemudian memilih sarapan diluar. Zero bersiap ke perusahaan. Penampilannya sudah sangat rapi dan wangi. Jangan heran banyak perempuan yang terpesona. Zero sudah masuk dalam kategori pria matang. Siapa sih yang tidak mau dengan pria matang? Apalagi pekerjaannya sangat bagus. Informasi seminar yang dibicarakan oleh Agam sudah masuk ke dalam ponselnya. Zero membaca dan tidak ada masalah dengan topik yang diinginkan. Agar tidak lupa, ia mengirim jadwal tersebut kepada Eka. Bahaya kalau sampai lupa. Tidak baik mengecewakan orang lain. Kesibukan mulai menghampiri Zero saat dirinya baru saja duduk sambil menghidupkan komputer. Beberapa dokumen langsung ada di atas mejanya. Tentu saja Eka sudah membaca dan memfilter sehingga Zero hanya perlu melihat sekilas saja. "Bagaimana dengan Pak Frans?" tanya Zero. "Belum ada kabar, Pak." Apa sikap Zero tadi malam membuat Pak Frans mengurungkan niat untuk bekerja sama? Padahal Zero sudah berusaha semaksimal mungkin. Zero memijat pangkal hidung. Tentu saja jika kerjasama terjadi dengan perusahaan Pak Frans, maka banyak keuntungan yang didapatkan. Tapi sepertinya tidak akan terjadi. Zero bekerja dengan sangat fokus. Dari pagi sampai sekarang yaitu pukul dua belas entah sudah berapa minuman yang ia habiskan. Zero memiliki prinsip hanya akan minum kopi satu cup sehari. Selebihnya, ia akan minum jus. "Maaf, Pak. Pihak kampus menghubungi dan mengundang Bapak untuk makan siang bersama. Bagaimana?" Eka memberikan laporan setelah mengangkat panggilan dari pihak kampus. Sebenarnya Zero ingin datang ke kampus beberapa menit sebelum acara dimulai. Apalagi jarak perusahaan dengan kampus tersebut tidak terlalu jauh. "Boleh," jawab Zero. Ia setuju karena tidak baik menolak undangan seseorang yang dihormati di bidang akademis. "Tapi setelah shalat zuhur," lanjutnya lagi. "Baik, Pak." Eka langsung menghubungi pihak kampus setelah mendapat jawaban dari sang atasan. Berhubung Zero tidak membuat orang-orang yang mengundangnya menunggu, maka ia memilih berangkat lebih awal. Zero akan shalat di masjid yang ada di pinggir jalan. Pukul satu lewat lima menit, Zero bersama Eka sudah sampai di lingkungan kampus. Seminar kali ini hanya diikuti oleh satu fakultas yaitu fakultas teknologi. Ia langsung disambut oleh petinggi dan dosen-dosen kampus, salah satunya istri Agam yaitu Zia. Entah kenapa perut Zero sedikit tidak enak. Apa karena terlalu banyak minum jus? Ia pamit sebentar ke kamar mandi. Tidak jauh dari ruangan yang menjadi tempat makan siang bersama ada kamar mandi. Zero melangkah ke sana. Ia hanya sendiri karena memang tidak nyaman jika diikuti apalagi ditemani. Sedang sibuk memakai jam tangan yang tadinya sempat terlepas, matanya tidak sengaja melihat seseorang yang tidak begitu asing. Langkah Zero terhenti. Apa dia salah lihat? Apalagi ia tidak memakai kacamata. Ingin rasanya Zero tidak peduli, tapi entah kenapa kakinya begitu tertarik mengikuti seseorang yang tidak sengaja ia lihat walaupun hanya sekilas. Zero mengurungkan niat ke kamar mandi. Dia berjalan entah kemana. Beberapa orang menatap dirinya. Zero menjadi tidak nyaman, ia mengambil masker di sebalik jas. Kalau keluar, Zero sering membawa masker untuk jaga-jaga. Zero kehilangan jejak. Ia malah berada di lorong yang tidak begitu ramai. Zero menggaruk leher yang tidak gatal. Ada apa dengan dirinya? Kenapa begitu tertarik dengan perempuan yang belum diketahui namanya itu. Zero memang penasaran dimana ia berkuliah. Tapi ia tidak ingin mencari tahu. Sungguh diluar dugaan, jawaban langsung ada di depan matanya. Perempuan itu berkuliah disini. Zero pikir pertemuan mereka bukan hanya kebetulan biasa. Tiga kali dan tanpa disengaja. Langkah Zero tetap menelusuri lorong kampus. Matanya sesekali menatap ke dalam ruangan dari setiap lorong yang ia lewati. Sampai kakinya terhenti saat melihat sosok yang membuat Zero penasaran. Bahkan ketidaknyaman dalam perutnya hilang begitu saja. Zero menatap dari jendela. Tatapan yang begitu dalam seakan-akan tidak ingin berpaling sama sekali. Zero belum tahu namanya tetapi daya tariknya sungguh luar biasa. Bayangkan saja, Zero sampai mengikuti ke sini. Zero tidak mendekat. Perempuan itu terlihat membuka sarung tangan dan Zero melihat tangan kemerahan yang terlihat begitu jelas. Entah kenapa hari Zero mendadak tidak nyaman. Apa dia sedang kasihan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD