Pengen Kelihatan Muda Untuk Ketemu Ayang

1159 Words
"Lo punya bisnis sampingan?" tanya Hiro yang tengah duduk berhadapan dengan Zero. Kini mereka sedang berada di ruang rapat. "Maksudnya?" Zero pura-pura tidak mengerti. Padahal informasi tentang ia mengambil alih sebuah bisnis coffee shop sudah tersebar kemana-mana. Eka hanya butuh waktu dua hari untuk mendapatkan satu dari tiga opsi yang diberikan oleh Zero. Ada satu coffee shop yang ada di jalan Green Y yang tidak banyak diminati pengunjung. Mungkin karena sudah banyak coffee shop yang berada di area tersebut. Apalagi rasanya juga tidak ada yang menarik dan standar sehingga kalah dari coffee shop yang lain. Kedatangan Eka ke coffee shop itu tentu saja memberikan angin segar kepada ownernya. Daripada rugi besar lebih baik dijual dan mendapatkan keuntungan. Tempatnya disewa dan tidak diperjualbelikan. Total anggaran yang dikeluarkan Zero adalah 500 juta. "Nggak usah sok bodoh," ujar Hiro lagi. Sepertinya Zero tidak bisa menyembunyikan fakta ini. Memang sedikit aneh, apalagi sebelumnya ia tidak ada niat untuk menjalani bisnis lain. Fokus pada perusahaan saja sudah menyita banyak waktu, apalagi ada bisnis yang lain. Kalau ditanya alasannya, jawabannya sedikit agak gila. Bagaimana tidak, Zero langsung-langsung saja mengeluarkan uang yang belum tentu balik modal. Mungkin akan rugi besar-besaran. Hanya karena Salsabila mencari pekerjaan part time, Zero sampai membeli sebuah coffee shop. Kurang gila apa coba? "Kita kan nggak tau kedepannya perusahaan ini gimana," ucap Zero memberi alasan yang asal-asalan. Hiro langsung memukul Zero. Tenang saja, pukulannya tidak keras. "Doa yang bagus, gimana sih?" Hiro kesal sendiri. Bukannya berharap perusahaan mereka berkembang lebih pesat, eh malah berkata seakan-akan perusahaan mengalami sesuatu hal yang buruk. Zero menyengir. "Maaf, maaf. Jangan sampai... jangan sampai." Ia juga takut kalau perusahaan tidak berkembang dengan baik. Sudah jelas ia memiliki kehidupan seperti sekarang karena menjalankan perusahaan bersama teman-temannya. "Pengen buka peluang kerja aja, Bang." Zero memberikan alasan lain. "Oh gitu. Tetap jaga kesehatan." Hiro mengingatkan karena bagaimanapun mengurus dua hal pasti sangat melelahkan. "Aman, Bang." Awalnya Zero ingin mencari seseorang untuk mengurus coffee shop, tapi setelah dipikir-pikir kembali sepertinya jangan dulu. Zero belum bisa mempercayai seseorang seratus persen. Untuk awal-awal, ia akan mengurus sendiri bersama Eka. Tenang saja, gaji Eka tentu saja bertambah. Hari ini, Salsabila akan melakukan interview. Zero sudah merencanakan bagaimana supaya lowongan kerja coffee shopnya sampai ke Salsabila. Tentu saja tidak sulit. Apalagi gaji yang diberikan Zero sedikit lebih besar daripada gaji part time pada umumnya. Pembayaran per jam sehingga Salsabila bisa mengambil waktunya sendiri dari jam berapa sampai jam berapa. Apa kali ini Zero yang akan bertemu dengan Salsabila langsung, sebagai pemilik coffee shop dan calon pekerja? Mungkin saja. Zero memilih keluar dari ruang rapat untuk melangkah ke ruang kerjanya. Dibelakang sudah ada Eka yang mengikuti. "Langsung pergi, Pak?" tanya Eka. Zero menggeleng. "Saya ganti baju dulu." Eka mengerutkan kening. Apa yang salah dengan baju atasannya itu? Padahal sudah sangat bagus dan rapi. Eka saja sebagai laki-laki mengakui sang atasan sangat keren. "Mana yang bagus?" tanya Zero meminta pendapat kepada sang sekretaris. Ia mencocokkan dengan melihat ke kaca. "Keduanya bagus, Pak." Jawaban Eka sangat tidak memuaskan. Zero bahkan menatapnya dengan wajah datar. Ternyata bertanya kepada Eka tidak mendapatkan hasil apa-apa. "Emang bagus, Pak." Eka kembali mengatakan sambil menyengir. "Kalau pakai ini, keliatan kayak umur berapa?" Zero menunjukkan satu stel baju berwarna dongker. "Tiga puluhan, Pak." Eka menjawab sedikit tidak yakin, takut salah jawab. "Mungkin," lanjutnya lagi. Tubuh Zero langsung kehilangan semangat. Memang sih umurnya sudah tiga puluh dua, tapi apa tidak bisa dimanipulasi menjadi sosok laki-laki yang berumur dua puluhan? Ingin rasanya Zero menangis. Kenapa jantungnya harus berdebar pada perempuan yang masih semester lima? Pasti yang menyukai Salsabila banyak, Zero begitu yakin. Siapa sih yang tidak suka dengan perempuan cerdas, pekerja keras dan cantik? Pasti banyak. Zero sudah insecure lebih dulu. "Biasanya kamu pakai baju apa selain ke kantor?" tanya Zero. Berhubung umur Eka masih dua puluh tujuh, tidak ada salahnya bertanya. Pasti selera mereka berbeda. Zero sudah merasa sangat tua sekali. "Kaos biasa, Pak." Zero tidak membawa baju kaos. Yang ada hanya kemeja, itupun warnanya hanya hitam dan putih. Benar-benar tidak tahu style anak muda sama sekali. Bagi Zero memakai jas pasti kelihatan umur aslinya berapa. Lebih baik ia hindari. Zero mencari referensi outfit di sosial media. Biasanya sumber informasi disana sangat banyak. "Pak," cicit Eka. Zero yang awalnya fokus langsung mengangkat wajah. "Hm," jawabnya. "Gimana kalau langsung ke toko pakaian saja, Pak?" Zero berpikir sejenak. Sepertinya usul Eka cukup bagus. "Baiklah, kita ke sana." Eka bernafas lega. Setidaknya disana sang atasan bisa bertanya kepada karyawan atau pemilik toko tentang outfit anak muda. Kalau meminta pendapatnya malah takut hancur. Keduanya masuk ke dalam mobil. Padahal jadwal interview Salsabila masih satu jam lagi. Namun Zero sudah sibuk dari tadi. Eka mencari toko pakaian khusus laki-laki dengan brand yang cukup terkenal. Tidak sulit karena informasi mudah diakses di internet. Sesampainya disana. Zero keluar sambil menatap beberapa pakaian yang sudah terpasang di patung. Keren-keren sih, tapi apa cocok dengan dirinya? Zero takut jika ia yang memakai malah terlihat sangat buruk. "Mau cari apa, Pak?" Seseorang langsung mendatangi Zero. "Outfit untuk umur dua puluhan," jawab Eka mewakili sang atasan. Sebenarnya tidak ada perbedaan umur dalam outfit. Semua bisa pakai, tapi tergantung selera. Zero sering memakai jas, kemudian kaos biasa yang tidak ribet. Sebenarnya itu saja sudah sangat keren. Kalau tidak bagaimana mungkin perempuan banyak yang suka pada dirinya. Tapi Zero malah insecure untuk bertemu Salsabila mengenakan outfit biasa ia dikenakan. Beberapa pilihan diperlihatkan kepada Zero. Tidak ada satupun yang sesuai dengan seleranya. Wajar karena ia tidak pernah memakai outfit seperti itu. Tapi berhubung ia ingin terlihat muda, maka Zero memilih yang mana lebih mendingan dimatanya. Setelah itu, ia langsung membayar dan memakainya. "Gimana?" tanya Zero kepada Eka. Eka langsung memberikan dua jempol. Bosnya sudah seperti model saja. Tinggal berjalan di catwalk saja. Pasti banyak orang yang terpesona. Selain membeli baju baru, Zero juga menyempatkan diri ke salon untuk menata rambutnya. Sungguh persiapan yang tidak main-main. Penampilannya sudah luar biasa hanya untuk menginterview satu calon karyawan. Zero tidak pernah seperti ini sebelumnya. Beberapa menit sebelum waktu interview terjadi. Zero sudah sampai di coffee shop. Awalnya ia keluar dari mobil dengan santai. Namun saat melihat Salsabila duduk di dalam coffee shop, Zero hampir terjatuh. Ia tidak melihat jalan, padahal ada sedikit batu besar sebagai hiasan. "Kenapa gue jadi ceroboh gini?" Zero bermonolog sendiri di dalam hati. Untung saja tidak jatuh beneran, kalau jatuh pasti malu sekali. Mana gayanya sudah bagus begini. Coffee shop sudah beroperasi. Ada dua karyawan lama yang memang tetap bekerja. Tapi kemampuan mereka membuat kopi sangat standar. Rencananya, Zero akan membawa seorang alih untuk mengajari mereka. Tentu saja biaya tidak murah, tapi tidak apa asal coffee shop ini berjalan dengan baik. Hanya ada dua pelanggan. Zero geleng-geleng kepala. Apalagi coffee shop tidak jauh dari lokasi mereka begitu dipadati pengunjung. Sebelum Zero masuk, ia mempersiapkan diri. Jangan sampai ia terlihat seperti anak muda yang sedang kasmaran. Setelah yakin, Zero baru masuk. Wajahnya terlihat datar, tapi siapa sangka jika hatinya sedang berdebar tidak jelas. Lemah sekali jika berhadapan dengan Salsabila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD