Deg-degan Karena Ketemu Ayang

1204 Words
Salsabila sedikit gugup. Padahal ia sering melakukan interview, tapi tetap saja ia merasa gugup seperti interview-interview sebelumnya. Salsabila sengaja datang lima belas menit sebelum waktu yang dijanjikan untuk melakukan interview. Lebih baik datang lebih awal daripada terlambat. Bagaimanapun, Salsabila harus mendapatkan pekerjaan ini. Selain waktu kerja yang lumayan cocok dengannya, lokasi coffee shop ini juga tidak jauh dari rumahnya. Setidaknya ia bisa pulang menggunakan sepeda sehingga bisa menghemat biaya. Salsabila menunggu sambil melihat-lihat suasana coffee shop. Tidak begitu banyak pelanggan, apa memang sepi atau belum waktunya? Entahlah. Sejak awal datang, salah satu karyawan sudah bertanya kepadanya. Berhubung Salsabila bukan pelanggan tetapi calon karyawan maka karyawan memberikan minuman kepadanya. Hal ini berdasarkan instruksi dari bos yang sampai saat ini belum mereka temui. Sedang asik melihat-lihat sambil menyesap minuman, dua orang masuk. Fokus Salsabila langsung pada orang yang masuk tersebut. Wajahnya tidak asing sama sekali, kapan Salsabila pernah melihat wajah itu? Ia berusaha untuk mengingatnya. Tidak butuh waktu lama, Salsabila langsung bisa mengingatkan. Laki-laki yang baru masuk adalah Pak Zero. Dia pernah menjadi salah satu narasumber seminar yang fakultasnya adakan. Melihat gayanya tampak berbeda daripada sebelumnya membuat Salsabila sedikit ragu. Mungkin saja laki-laki yang baru masuk adalah adik dari Pak Zero. Kebingungan Salsabila membuat ia larut dalam pikirannya sendiri sehingga tidak sadar jika laki-laki itu sudah berada di hadapannya. "Kamu yang mau interview?" tanyanya. Salsabila terbengon sebentar, hanya beberapa detik saja. "Eh, iya iya, Pak," jawabnya dengan kepala diangguk-anggukan. "Tunggu sebentar." "Baik, Pak" Salsabila merutuki diri sendiri. Bagaimana mungkin ia mengira laki-laki itu adalah pelanggan, padahal laki-laki itu adalah bos tempat ini. Semoga saja tadi reaksi Salsabila tidak terlalu berlebihan. Zero terlihat biasa saja. Tapi saat ia masuk ke dalam ruang pribadinya di coffee shop tersebut, Zero langsung memegang dadanya. Jantungnya berdebar dengan cepat. Apalagi saat ia melihat tinggal Salsabila yang begitu menggemaskan. Zero benar-benar lemah terhadap Salsabila. Beginikah kalau orang sedang jatuh cinta? Sungguh bukan Zero seperti biasanya. Saking detak jantungnya menggila, Zero tidak berani menatap Salsabila terlalu lama. "Tenang Zero... Tenang. Umur lo udah kepala tiga." Zero bermonolog sendiri sembari menatap dirinya di cermin. Apa ia masih terlihat tua? Padahal Zero sudah berusaha berpenampilan sebagaimana anak umur dua puluhan. Tapi kok masih dipanggil Pak? Kenapa tidak panggil Mas saja? Zero ingin mengacak rambut tapi tidak jadi karena sudah menghabiskan waktu ke salon. Zero memilih untuk menarik nafas dalam-dalam kemudian dihembuskan secara perlahan-lahan. Beberapa menit kemudian, Zero keluar sambil membawa berkas CV milik Salsabila. Tangannya sedikit berkeringat padahal yang interview Salsabila bukan dirinya. Tapi ya karena berhadapan dengan orang yang disuka maka jantung tidak bisa diajak bekerja sama. "Boleh tukar posisi?" tanya Zero. "Bo-boleh, Pak." Salsabila tampak gugup. Ia berpindah ke kursi yang sesuai dengan keinginan calon bosnya itu. Zero dan Salsabila duduk secara berhadapan. Kenapa Zero ingin menukar posisi duduk? Hal ini karena sejak tadi dua laki-laki yang tidak jauh dari meja mereka menatap Salsabila. Tentu saja Zero tidak suka. Apalagi tatapannya sedikit ya begitulah. Laki-laki pasti paham. Mungkin Salsabila tidak akan mengetahui. Wajah Zero sedikit datar, ia tidak berani menatap Salsabila dan malah menatap lembar CV yang ada di tangannya. Kalau diperhatikan, telinga Zero terlihat memerah. Kegugupan saat ini mengalahkan saat ia harus berhadapan dengan client yang sulit untuk ditangani. "Apa kamu sudah mengenal saya?" tanya Zero. "Pak Zero, bukan?" Zero terdiam sejenak. Hal ini bukan tanpa alasan, tapi karena detak jantungnya semakin bertambah. Kenapa bisa? Jelas saja karena Salsabila mengatakan nama Zero. Bahkan suaranya terdengar merdu di telinga Zero. Apa dia sudah gila? Zero benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri. "Ma-maaf, Pak. Saya...." Salsabila terdiam saat terjadi kontak mata antara mereka berdua. Sejak tadi, baru kali ini terjadi kontak mata karena Zero mengangkat wajah. Lantas Zero berkata, "Benar. Saya Zero." Raut wajah Salsabila langsung lega. Ia kira salah mengenali seseorang dan sok-sokan tahu. Ternyata tidak, dia tidak salah mengenali seseorang. Orang yang didepannya memang benar adalah orang yang menjadi narasumber di seminar yang diadakan fakultas. "Saya tidak menyangka," ucap Salsabila jujur. Tapi setelah itu ia menutupi mulutnya sendiri. Bisa-bisanya ia asal ceplos begitu. Kalau dia ditolak bagaimana? Duh duh, jantung Salsabila semakin berdebar tidak jelas. "Apa saya tidak boleh punya bisnis sampingan?" "Bu-bukan begitu, Pak. Saya-" "Tidak apa-apa," ujar Zero langsung. Ia tidak ingin melihat wajah panik Salsabila. Wajah yang tampak putih kemerahan dengan hidung kecil yang sedikit mancung. Alis mata yang tebal dan membuat matanya terlihat sangat cantik sekali. Baru beberapa detik, Zero kembali mengalihkan pandangan ke kertas yang sedang ia pegang. Terlalu lama melihat Salsabila tidak bagus untuk detak jantungnya. Zero mulai memulai pertanyaan interview pada umumnya. Sebenarnya tanpa interview, Salsabila sudah jelas diterima bekerja disini. Jawaban Salsabila saat Zero bertanya apa kekurangan dan kelebihannya sangat bagus. Salsabila seperti orang yang sudah beberapa kali mengikuti interview sehingga tidak ada jawaban yang ragu-ragu. "Langsung saja ya..." Zero tidak ingin berlama-lama bukan karena tidak ingin melihat Salsabila, tapi ia memikirkan kesehatan jantungnya. Salsabila menunggu kalimat selanjutnya dengan penuh harap. "Saya menerima kamu bekerja disini. Soal gaji, saya menawarkan 50k per jam. Bagaimana?" Pupil mata Salsabila langsung membesar saat mendengar itu. Hitungan yang sangat besar dan pekerjaannya juga tidak terlalu berat. Apa bos di depannya ini tidak salah bicara? Bukan Salsabila ragu kepada sang bos, tapi ia malah ragu dengan telinganya sendiri. "Lima puluh ribu perjam, Pak?" Zero mengangguk. Sebenarnya ia ingin membayar seratus ribu perjam, tapi rasanya tidak mungkin. Pasti timbul kecurigaan pada diri Salsabila. Lima puluh ribu adalah angka yang cukup tinggi tapi masih bisa diterima. "Iya, bagaimana?" Rasanya Salsabila ingin berteriak, tapi ia tidak mungkin melakukan itu sehingga menahan diri sekuat tenaga. "Tentu, Pak. Saya mengucapkan banyak terima kasih. Saya akan bekerja dengan keras. Saya tidak akan mengecewakan Bapak." Zero tersenyum tipis. "Soal gaji, tolong rahasiakan dari karyawan yang lain." "Baik, Pak." Salsabila tidak banyak bertanya. Mungkin ada perbedaan gaji antara karyawan tetap dan part time seperti dirinya. Mungkin Zero terlalu pilih kasih. Mau bagaimana lagi, ia membeli coffee shop ini juga karena Salsabila. Jadi wajar jika ia memperlakukan Salsabila berbeda dengan karyawan yang lain. Tapi tenang saja, gaji karyawan yang lain tentu saja di atas standar pada umumnya. Jadi tidak ada yang dirugikan sama sekali. "Kapan kamu bisa mulai bekerja?" "Nanti sore saya sudah bisa mulai bekerja, Pak." Zero berpikir sejenak. Ia melihat layar ponsel seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. "Apa kamu bisa datang pukul empat lewat tiga puluh?" "Bisa, Pak." "Ada seorang ahli barista yang akan memberikan pelatihan, saya harap kamu bisa mengikutinya." Salsabila tersenyum lebar. "Baik, Pak. Saya akan datang dan tidak akan terlambat." Melihat senyum Salsabila, Jantung Zero semakin tidak aman. Duh duh, bahaya sekali. Baru kali ini ia melihat senyum yang begitu lebar dari Salsabila. Interview selesa, Salsabila pamit untuk pulang terlebih dahulu. Zero hanya mengangguk saja tanpa melihat. Setelah kepergian Salsabila, ia langsung duduk dengan tubuh yang lemas. "Bapak kenapa?" tanya Eka yang menghampiri dirinya. "Tolong air putih," pinta Zero. Eka langsung mengambil air putih dan memberikan kepada sang atasan. Zero meneguk sampai air didalam botol kemasan itu habis. "Bapak sakit?" Eka panik melihat wajah sang atasan yang tampak memerah. Ia ingin mendekat untuk memeriksa, tapi Zero langsung menghentikannya. "Saya tidak apa-apa," jelasnya. "Tapi wajah Bapak merah." Zero langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bereaksi terlalu berlebihan. Apa orang yang sedang jatuh cinta juga mengalami hal seperti ini? Zero tidak ingin mengalami sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD