Cara Zero membantu Ayang

1509 Words
Kalau ditanya, kapan Zero tertarik dengan Salsabila, mungkin jawabannya saat pertama kali bertemu. Padahal Zero tidak melihat wajahnya dengan jelas karena cahaya yang sangat minim. Tapi entah kenapa ia sangat ingin tahu tentang Salsabila. Terkadang saat ia tidak ada kerjaan, ia malah memikirkan Salsabila. Apa pekerjaannya baik-baik saja? Apa tangannya sudah membaik? Apa biaya kuliahnya sudah didapatkan? Bagaimana kabarnya hari ini? Apa dia merasa senang? Pertanyaan itu muncul begitu saja. Padahal baru pertama kali bertemu. Sungguh aneh, tapi itulah yang terjadi. Mungkin berawal dari rasa kasihan sehingga menjalar kemana-mana. Tapi banyak orang yang sudah Zero bantu, tapi tidak ada yang sampai terpikirkan seperti Salsabila. Zero sudah mengirim beberapa nominal uang. Bahkan ia menyuruh pihak kampus mengembalikan uang semester yang sudah dibayar sebagian oleh Salsabila. Kali saja uang itu bisa berguna untuk yang lainnya. Zero membayar secara full terhadap 3 mahasiswa. Tentu saja tidak hanya untuk Salsabila lagi. Bisa-bisa orang punya pemikiran lain tentang dirinya. Zero memijat pangkal hidung. Sejak tadi pesan masuk dari anak Pak Frans. Dia tidak suka dikejar-kejar begini, apalagi sampai ingin mendatangi dirinya ke perusahaan. Padahal mereka tidak punya hubungan apa-apa. Sejak awal, Zero sudah menunjukkan ketidaktarikan, tapi kenapa tidak kunjung mengerti? Seharian ini saja sudah banyak pesan yang masuk, sungguh sangat mengganggu sekali. Apa anak Pak Frans itu tidak punya pekerjaan? Kenapa bisa punya waktu luang untuk mengirimkan banyak pesan. Apalagi di jam kerja. Kalau di jam istirahat mungkin bisa dimaklumi. Zero memanggil Eka agar segera masuk ke dalam ruangannya. "Ada apa, Pak?" tanya Eka setelah masuk. "Bagaimana cara menghadapinya?" Zero meminta pendapat kepada Eka dengan menunjukkan layar ponsel yang berisi pesan masuk dari anak Pak Frans. Eka menggaruk leher yang tidak gatal. "Sebaiknya tahan saja, Pak. Besok mau pertemuan untuk tandatangan kontrak." Eka berbicara dengan hati-hati. "Kalau dia sampai berani datang ke sini bagaimana?" Zero jadi takut sendiri. Nanti malah beredar rumor tidak jelas. "Tidak akan, Pak." "Kenapa kamu begitu yakin?" Zero memicingkan mata. "Hanya menebak saja." Eka menyengir. "Kenapa serius sekali?" Tiba-tiba suara dari orang lain terdengar. Seakan peka dengan keadaan, Eka memilih untuk mengundurkan diri dari ruangan. Padahal tidak ada pembahasan serius dan Eka tidak perlu keluar. Namun bagi Eka, keluar dari ruangan adalah pilihan tepat. Apalagi yang baru saja datang adalah Agam. Sosok yang luar biasa dan penuh ketegasan. Sampai sekarang Eka masih sedikit takut dibanding atasan yang lain. Auranya itu, apalagi wajah datarnya. "Kenapa, Bang?" tanya Zero. Agam sangat jarang datang ke ruangan Zero. Hal ini karena ruangan mereka yang beda lantai serta Zero yang lebih memilih untuk datang ke ruangan Agam sebagai wujud menghormati. "Kata istri gue-" Deg! Jantung Zero langsung berdetak dengan cepat. Apa Zia mengadu dengan suaminya? Padahal Zero sudah menegaskan agar Zia tidak mengatakan kepada siapa-siapa. "Apa?" tanya Zero berusaha mengendalikan diri. "Kenapa panik gitu?" Agam sedikit kaget. Mana Zero tidak bisa menyembunyikan kepanikan. "Nggak ada," jawab Zero cepat. "Apa kata Zia, Bang?" Zero penasaran. Agam memilih untuk duduk di sofa terlebih dahulu. "Katanya lo ngasih beasiswa sama mahasiswa, apa benar?" Zero sedikit lega, tapi tidak sepenuhnya. "Benar, Bang." "Kenapa atas nama pribadi? Padahal perusahaan sudah ada rencana mau ngasih beasiswa." Zero berusaha memutar otak untuk memberikan penjelasan yang logis dan tidak menimbulkan keanehan. "Gue kira nggak jadi." Zero memaksa dirinya untuk tetap tersenyum. "Seharusnya lo tanya dulu." Melihat wajah Agam, Zero dapat melihat raut wajah kecewa. Mungkin karena Zero langsung-langsung saja padahal perusahaan sudah punya rencana. Tinggal ditandatangani mereka berlima, setelah itu rencana itu sudah bisa dijalankan. "Maaf, Bang." "Ya sudah, apa lo nggak keberatan ngeluarin uangnya?" Zero bertanya secara baik-baik dan berterus terang. Bagaimanapun 300 juta bukan uang sedikit Zero menggeleng. Baginya memberi tidak akan membuat seseorang merasa kekurangan. Setidaknya apa yang ia lakukan dapat membantu orang lain untuk menyelesaikan pendidikan mereka. "Oke kalau lo udah yakin." Agam memilih untuk berbaring di sofa. Tampaknya ia terlihat sangat kelelahan sekali. "Bang," panggil Zero. "Hm." "Zia bilang apa lagi?" Agam yang awalnya sudah menutup mata langsung membukanya. "Nggak ada," jawabnya. Zero bernafas lega. Ia kira akan ketahuan secepat ini. "Oh ya, gimana sama anak Pak Frans?" "Nggak bisa, Bang." "Ya udah, kasih kejelasan. Jangan PHP." "Tapi-" "Nggak usah khawatir urusan kerjaan, kalau emang Pak Frans batal untuk kerja sama maka tidak masalah. Masih banyak perusahaan lain yang mau kerja sama," potong Agam langsung. Zero tersenyum. Seharusnya ia mengatakan lebih awal kepada Agam sehingga tidak perlu merasa bingung berkepanjangan. "Oke, Bang." *** Salsabila menggigit kuku saking paniknya karena baru saja mendapat pesan dari Bu Rena. Padahal sebelumnya Bu Rena sudah memberikan waktu sebelum ujian semester, tapi kenapa sekarang dipanggil lagi? Apa pihak kampus tidak memperbolehkan jangka waktu tersebut? Salsabila benar-benar khawatir. Uang yang ada di tangannya hanya dua ratus ribu. Itupun gaji dari tadi malam ia bekerja. Lantas apa yang harus Salsabila lakukan sekarang? Ia tidak ingin putus kuliah. Inilah kampus impiannya, bahkan jurusan yang juga ia inginkan. Mendapatkan tidak mudah dan Salsabila yakin dengan kuliah di kampus ini serta jurusannya sekarang maka ia akan mudah mendapat pekerjaan nantinya. Pikiran tentang uang yang sempat Mamanya ingin berikan kepadanya tiba-tiba terlintas. Tapi sepersekian detik, Salsabila langsung menggeleng. Ia tidak boleh menyusahkan sang Mama. Orang yang paling bertanggung jawab harusnya sang Papa bukan sang Mama. Salsabila meneguk air ludah dengan susah payah. Detak jantungnya sedikit lebih cepat. Ia memasukkan buku catatan ke dalam tas. Mungkin hanya Salsabila yang menggunakan buku untuk mencatat, selebihnya menggunakan Tab. Kalau boleh jujur, teman-teman sekelas Salsabila rata-rata mampu. Bahkan walaupun ada yang mendapat beasiswa tidak mampu, tapi kehidupannya terlihat mampu-mampu saja. Bahkan lebih miris kehidupan Salsabila. Terlihat baik-baik saja, tapi dalamnya penuh kerusakan. "Mau kemana?" tanya teman satu kelas Salsabila. Paling-paling mereka sekedar basa basi saja. "Ruang administrasi," jawab Salsabila. "Oh gitu, padahal mau ngajakin ke cafe x." Cafe x yang dibilang temannya bukan cafe biasa. Mungkin harga satu minuman bisa seratus ribu. Salsabila mana mau menghabiskan uang dengan mudah seperti itu. Bahkan walaupun ingin kopi, cukup membeli kopi saset harga seribuan sudah cukup. "Skip deh," balas Salsabila. Setelah itu ia keluar dari ruang kelas menuju ke ruang administrasi. Apa perlu nantinya Salsabila menangis? Mungkin saja. Salsabila mengetuk pintu dan Bu Rena langsung merespon. "Kamu kenapa?" tanya Bu Rena karena melihat wajah Salsabila yang tampak pucat sekali. "Tidak apa-apa, Bu." Bu Rena menyuruh Salsabila duduk. Detak jantung Salsabila semakin cepat. "ini," ujar Bu Rena sambil mengulurkan tumpukan uang berwarna merah. Wajah Salsabila tambah pucat. Ia tidak mengerti kenapa Bu Rena mengulurkan nominal uang kepada dirinya. Pikiran Salsabila mulai kemana-mana. "Totalnya enam juta rupiah," ucap Bu Rena lagi. Enam juta adalah nominal yang baru Salsabila bayar kepada pihak kampus. Kenapa dikembalikan? Apa ia dikeluarkan dari kampus? Sungguh mata Salsabila langsung berkaca-kaca. Ia tidak mau menangis tetapi keadaannya seakan pantas untuk ditangisi. "I-ini apa, Bu?" tanya Salsabila terbata-bata. Bahkan bernafas pun rasanya sulit. Bu Rena tersenyum. "Ini uang yang sudah kamu setorkan ke kampus, Ibu kembalikan." "Tolong jangan keluarkan saya, Bu. Saya akan mencari sisanya hari ini juga." Kepanikan Salsabila jangan ditanya lagi sudah sampai ke tahap apa. "Tenang dulu, Salsabila." Bu Rena menyuruh Salsabila untuk sedikit tenang. "Kamu tidak dikeluarkan," lanjut Bu Rena lagi. "Tapi kenapa ini dikembalikan, Bu?" tanya Salsabila semakin kebingungan. Bahkan kepadanya mendadak terasa berat. "Begini, ada seorang donatur yang membayarkan uang semester kamu." Pupil mata Salsabila langsung lebar. "Ma-maksudnya, Bu?" Ia masih butuh penjelasan lebih rinci. Padahal Salsabila bukan orang bodoh, seharusnya perkataan Bu Rena mudah untuk dicerna dan dipahami. Bu Rena kembali memberi penjelasan. Kali ini lebih rinci dan panjang agar Salsabila tidak salah paham apalagi kebingungan. Mendengar penjelasan Bu Rena, Salsabila seperti seseorang yang baru saja mendapat durian runtuh. Sungguh hal yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. "Siapa orangnya, Bu? Saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung." Tentu saja Salsabila harus berterima kasih kepada seseorang yang sudah berbaik hati kepadanya. Salsabila yakin seseorang itulah adalah orang yang sangat baik. "Maaf, Salsabila. Donatur meminta agar identitasnya dirahasiakan." "Kenapa, Bu?" Salsabila terkejut. Kenapa pakai rahasia-rahasiaan segala? Kalau memang tidak ingin diketahui orang lain, tidak masalah. Salsabila akan tutup mulut. Tapi untuk dirinya, kenapa tidak boleh tau? Bagaimana jika nanti ia dan donatur tersebut berselisih jalan, tidak mungkin Salsabila acuh tak acuh. Dia cukup sadar diri. "Itu permintaannya. Tapi tenang saja, Pihak kampus sangat mengenalnya. Uang yang ia berikan juga tidak ada kontrak mengikat." "Dia meminta pihak kampus untuk mengembalikan uang ini kepada kamu. Tolong pergunakan untuk kebutuhan pendidikan," lanjut Bu Rena lagi. Tangan Salsabila bergetar mengambil uang tersebut. Apa ia sedang bermimpi? Kenapa ada orang sebaik donatur tersebut? Datang bagaikan pahlawan bagi dirinya. Salsabila bukan lebay, tapi dia memang menolong di waktu yang sangat tepat. Apalagi panggilan yang cocok kecuali pahlawan. "Baik, Bu. Donatur juga meminta agar kamu pergi ke rumah sakit." "Apa dia bekerja di rumah sakit?" "Bukan begitu. Maksud saya, donatur meminta kamu kerumah sakit untuk mengobati alergi yang sedang kamu alami." Kenapa donatur tersebut tahu tentang tangan Salsabila? Apa donaturnya salah satu dosen atau petinggi kampus? Tiba-tiba Bu Zia muncul di kepala Salsabila. Apalagi Bu Zia begitu baik memberikan dirinya satu plastik makanan dan juga sarung tangan. Tiba-tiba Salsabila tersenyum. Pantas saja banyak yang bilang Bu Zia baik, kalau memang dia donaturnya maka Salsabila sangat-sangat berterima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD