Mulai Ugal-ugalan

1423 Words
Acara selesai, Mc juga sudah menutup acara. Meskipun begitu, tatapan Zero selalu mengarah ke Salsabila. Ia tidak menyangka bahwa ada sesuatu yang luar biasa dengan dirinya menggantikan Agam disini. Ingatkan Zero untuk membelikan Agam sesuatu yang enak nantinya. Ia harus mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena permintaan Agam, mungkin ia tidak akan mengetahui informasi yang sangat ia ingin ketahui. Beberapa mahasiswa menghampiri Zero. Tentu saja Zero sedikit terkejut. Bahkan karena banyaknya yang mendekati, Zero sampai kehilangan jejak Salsabila. Ia tidak dapat melihatnya. "Oke oke, jangan berdesakan ya." Zero menyuruh mahasiswa-mahasiswa untuk sedikit tenang. "Ganti-gantian," ujar Zero lagi. Mereka yang mendatangi Zero karena ingin foto bersama. Tentu saja Zero tidak bisa menolak. Ia juga tidak mau bersikap sombong apalagi kepada mahasiswa yang begitu semangat menuntut ilmu. Mungkin suatu saat mereka jauh lebih keren daripada dirinya. Salsabila sudah keluar. Ia bahkan tidak ada niat untuk menghampiri Zero sebagaimana mahasiswa yang lain. Sebenarnya Zero sedikit berharap, tapi ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Salsabila ingin pulang terlebih dahulu. Ia benar-benar butuh istirahat. Apalagi semalam ia tidak tidur sama sekali. Sedang asik melangkah sambil mencari informasi lanjutan tentang perusahaan dimana Zero bekerja, tiba-tiba notifikasi sebuah pesan muncul. Dari pihak administrasi kampus. Salsabila menghela nafas panjang. Ia sudah tahu bahwa pihak kampus akan segera menghubungi dirinya. Apa pihak kampus begitu kejam? Tidak, sudah banyak waktu yang diberikan. Bahkan ketika awal semester, Salsabila tetap diperkenankan untuk kuliah meskipun dia belum membayar uang semester. Pihak kampus memberikan waktu sekitar 3 sampai 4 bulan. Apalagi ujian akan terjadi sebentar lagi. Salsabila langsung meluncur ke ruang dimana ia dipanggil oleh pihak administrasi. Masih kurang 4 juta lagi. Enam juga sudah dibayar oleh Salsabila, tinggal sisanya. Mungkin orang-orang tidak percaya jika dia tidak punya uang. Mengingat pekerjaan Papanya lumayan bagus, maka pihak kampus tidak bisa membantu terlalu banyak. Ada kebijakan yang harus dipatuhi. Bukan salah pihak kampus, tapi kalau ada yang disalahkan ya Papanya. Kenapa tidak mau memberikan uang untuk biaya kuliahnya? Padahal hanya untuk biaya kuliah, bukan biaya perbulan. Anak kandung ditelantarkan tapi anak orang lain malah diberikan kehidupan yang baik. Miris bukan? Kalau Papanya bersikap adil, Salsabila tidak akan kesulitan untuk membayar uang pendidikannya. Salsabila mengetuk pintu. Bu Rena ada di dalam dan menyuruhnya untuk masuk. Salsabila duduk di kursi yang ada dihadapan Bu Rena. Ia hanya bisa menunduk dalam. Apa yang harus Salsabila dikatakan? "Bagaimana Salsabila?" tanya Bu Rena. Salsabila memaksa diri untuk tetap tersenyum. "Belum ada, Bu." Bu Rena sedikit berat hati untuk mengatakan bahwa Salsabila harus melunasi sebelum ujian semester. Kalau tidak, Salsabila tidak akan bisa ikut ujian. Salsabila hanya bisa mengucapkan terima kasih atas waktu yang diberikan oleh pihak kampus. Mungkin tidak semua orang akan diberikan waktu selama itu. Bu Rena sedikit tahu tentang keluarga Salsabila. Jadi dia berusaha memberikan waktu tapi tetap harus ada batasnya. Bu Rena memberikan beberapa informasi tentang beasiswa yang mungkin bisa Salsabila ikuti untuk semester depan. Baik beasiswa dari kampus maupun beasiswa dari luar kampus. Salsabila sangat senang dengan kebaikan Bu Rena. Ia mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Tapi sebelum itu, ia harus melunasi uang kuliah semester ini. Salsabila keluar dari ruangan dengan perasaan yang kacau. Dimana ia harus mencari tambahan untuk melunasi biaya semester? Apa Salsabila akan meminta kembali kepada sang ayah? Sepertinya tidak lagi. Sudah cukup Salsabila merasa kecewa. Sang ayah terlalu tega memperlakukan dia bukan seperti anak sendiri. Disamping itu, Zero masih melirik-lirik ke sekitar. Kali saja ia kembali bertemu dengan Salsabila. Ternyata tidak ada. Ia dibawa ke ruang dekan fakultas hanya untuk mengobrol sebentar. Zero masuk ke dalam ruangan yang sangat rapi dan bersih. Banyak piala penghargaan yang tersusun rapi di dalam lemari. Perbincangan yang terjadi bukanlah perbincangan yang tidak berisi. Pihak kampus sepertinya ingin melakukan kerjasama dengan perusahaan. Kerjasama yang paling pas adalah tentang perusahaan memberikan ruang untuk beberapa mahasiswa mereka melakukan magang di perusahaan. Zero tidak bisa langsung menyetujui usulan kerjasama tersebut. Apalagi sebelumnya kalau ada mahasiswa yang ingin magang di perusahaan, harus ada seleksi. Semua mahasiswa dari kampus manapun bisa. Kalau sudah kerjasama, maka jumlah mahasiswa dari kampus ini tentu lebih banyak dari kampus lain. Dalam arti kata lebih diutamakan. Zero tidak bisa memutuskan sendiri, ia harus berdiskusi dengan petinggi yang lain. "Oh ya, Pak. Saya ingin memberikan beasiswa kepada beberapa mahasiswa. Bagaimana prosedurnya?" Zero memberikan penawaran yang lebih bagus. Tentu saja dekan fakultas langsung menunjukkan ekspresi yang sangat terharu. "Bapak serius?" Zero mengangguk. "Tapi ini beasiswa dari saya pribadi, bukan perusahaan," jelasnya agar tidak terjadi kesalahpahaman. Agam pernah membahas tentang program perusahaan untuk memberikan beasiswa kepada beberapa mahasiswa. Tapi program ini belum dibahas lebih lanjut sehingga Zero tidak bisa asal menggunakan. Berhubung karena ini keinginannya sendiri, maka tentu saja menggunakan uang sendiri. Dekan fakultas mengucapkan banyak terima kasih atas niat baik Zero. Sungguh tidak disangka karena tidak semua orang akan melakukan itu. Zero memberi penjelasan bahwa ia hanya memberi beasiswa kepada 10 orang setiap tahunnya. Nominal yang akan diberikan kepada satu mahasiswa adalah 25 juta. Jadi satu semester mendapat 25 juta. "Saya punya persyaratan yang mungkin lebih susah, tapi semua orang bisa mengikutinya." "Apa itu, Pak?" "Sebuah proposal penelitian. Nanti saya nilai sendiri." Tidak semua mahasiswa bisa membuat proposal penelitian. Apalagi bagi mahasiswa yang masih berada di semester bawah. Tapi tentu saja Zero tidak akan memberikan beasiswa secara cuma-cuma. Dia ingin memberikan kepada orang yang memang memiliki niat tinggi untuk menuntut ilmu serta memiliki kecerdasan. "Baik, Pak. Kapan bisa dimulai?" "Apa ada yang sampai sekarang kesulitan membayar semester?" tanya Zero. Entah kenapa ia ingin membantu Salsabila. Apa Zero terlalu baik? Entahlah, tapi hatinya tergerak begitu saja. "Sebentar, Pak. Saya hubungi bagian administrasi dulu." Dekan langsung mengambil ponsel. Zero menunggu dengan begitu sabar. Ia harap nama Salsabila ada. Bagaimanapun awal mula tujuan beasiswa ini adalah karena Salsabila. Dekan sudah selesai menghubungi pihak administrasi. Ia langsung mengatakan ada tiga orang yang belum membayar semester. Nama Salsabila terucap dari mulut sang dekan fakultas. Tentu saja Zero tersenyum, tapi tidak terlalu lebar. Takut saja kalau ada yang berpikir aneh-aneh tentang dirinya. "Saya akan membayar untuk tiga mahasiswa tersebut, Pak. Tapi untuk semester depan, jika mereka menginginkan beasiswa harus mengajukan proposal penelitian terlebih dahulu. Tidak hanya tiga orang ini, yang lain juga boleh." "Terima kasih banyak, Pak." "Tolong rahasiakan ini. Saya tidak mau ada yang tau siapa yang menjadi donatur mereka." "Baik, Pak. Saya mengerti." Berhubung waktu ashar masuk sebentar lagi. Obrolan mereka terpaksa harus disudahi. Tapi soal beasiswa, Zero sudah membahas sampai selesai dengan sang dekan. Ia tinggal menunggu proposal penelitian yang akan dikirimkan oleh mahasiswa pribadi ke email khusus yang sudah dibuat oleh Eka. Tentu saja ia tidak bisa memakai email pribadi, atau email milik perusahaan. "Apa langsung ke perusahaan, Pak?" tanya Eka sambil memasang kancing jas. "Tidak perlu, kita shalat disini saja." Zero melihat jam dan mempetimbangkan waktu. Kalau mereka kembali ke perusahaan, paling baru jalan lima menit waktu ashar akan masuk. "Baik, Pak." Eka mengikuti keinginan sang atasan. Eka sangat bersyukur bisa bekerja di perusahaan karena waktu shalat tidak pernah bermasalah. Apalagi kalau menemani Zero kemana-mana, pasti waktu shalat adalah yang terpenting. Meninggalkan pekerjaan adalah sebuah keharusan jika waktu shalat sudah masuk. Mungkin itu juga membuat perusahaan berkembang dengan cepat. Tidak ada hal aneh di dalamnya. Beberapa mahasiswa masih ada di kampus. Ada yang berani menyapa Zero jika berpapasan dan ada yang tidak berani. Bagi mereka, Zero adalah orang yang sangat disegani. Padahal Zero terlihat biasa-biasa saja. Sebelum ke mushola fakultas, Zero mengambil sandal jepit di dalam mobil terlebih dahulu. Ia mengambil sendiri walaupun Eka sudah menawarkan diri untuk mengambilkannya. Dia mengganti sepatu formal dengan sendal jepit. Jas juga sudah terlepas. Lengan kemeja dinaikkan sedikit sampai batas siku. Jika ada perempuan yang melihat, pasti mereka akan terpesona. Tapi tidak banyak perempuan yang ada di kampus sekarang. Kebanyakan sudah pulang. Zero dan Eka mulai bergerak ke mushola. Zero lebih dulu melangkah ke depan sedangkan Eka berada di belakangnya. Zero masih sempat-sempatnya melihat ponsel. Kali saja ada orang yang tengah mencari atau menghubungi dirinya. Tapi hanya sebentar karena setelah itu, Zero malah melihat sosok yang sejak tadi menarik perhatiannya. Langkahnya berhenti mendadak. Eka yang berada dibelakang hampir menabrak dirinya. Tapi untung saja Eka masih bisa berhenti sebelum menabrak sang atasan. Seperti biasa, kedua sudut bibir Zero terangkat ke atas. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tersenyum ketika melihat perempuan yang bernama Salsabila. Perempuan tersebut tengah duduk sambil membuka sepatu di teras mushola fakultas. Biasanya Zero cenderung bersikap biasa saja atau bahkan datar. Tapi berbeda saat matanya tidak sengaja melihat Salsabila. Senyum itu terbit begitu saja. Tatapan mata Zero menunjukkan sesuatu yang berbeda. Bukan tatapan biasa. Tatapan yang begitu dalam sehingga bisa membuat siapapun mengerti, bahkan Zero tengah tertarik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD