Sean tersenyum lebar karena baginya mengambil kesempatan tidaklah sulit, bahkan saat ini dia sudah melakukan untuk yang kedua kalinya. Ya, ia mencuri kissing dengan berkedok membantu.
"Apa ini yang dimaksud Jordy? Keuntungan memiliki istri tidak bisa melihat itu bukan hal yang sulit, walau aku sendiri gengsi," batin Sean.
"Sudah Kakak, biar aku aja!" Hara meraba-raba letaknya tissue sebab dirasa bibirnya kian membasah, tatkala sang suami yang membantu menghilangkan noda saus karena keteledorannya.
"Maaf, tanganku basah. Gelas susuku tumpah," bohong Sean. Kemudian, ia kembali menatap bibir ranum yang mengkilap itu.
"Aku mau merasakannya setiap hari. Lebih manis dari rasa s**u ini," ucap hati Sean tak henti-henti tersenyum.
"Sudah selesai? Aku akan berangkat sekarang. Tolong jangan mandi lagi, kalau mau ke toilet pegang remot ini!" Sean menggenggamkan satu benda pipih berukuran mini. Ada tombol merah di tengah-tengahnya. "Pencet kalau butuh sesuatu, kamu gak perlu melakukan segala hal sendiri tanpa Surti. Kalau dia belum juga datang, baru teriak sekuatnya. Kamu paham?"
"Itu menyusahkan. Aku gak mau nyusahin dan jangan sampai menyusahkan, itu juga yang Kak Sean bilang dulu!" balas Hara.
"Baiklah, itu dulu 'kan? Sebelum kamu mengandung anakku, sekarang lakukan saja apa yang aku bilang!" Akhirnya Hara mengangguk, menyimpan benda itu di kantungnya.
"Aku berangkat!" Pamit Sean. Namun, Hara lagi-lagi melotot kaget. Ia merasakan benda yang sama tadi rasanya mengenai bibir. Kali ini lebih lama terasa.
"Kok rasanya sama?"
Sean langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Kini, hanya ada Hara yang sedang bergelut dengan pikirannya. "Kenapa sama? Tangan kok basah terus, atau ...."
Setelah ia menyadari beberapa detik, ia pun terkejut dan berkata, "Kak Sean nakal!"
***
Sepanjang berjalan, Sean baru pertama kali menyapa para stafnya dengan senyuman, biasanya ia hanya menggunakan satu tangan.
"Morning too!" Ya, itulah balasnya satu persatu saat melewati para pekerja kantor, dan itu tak luput dengan senyumannya yang memesona.
Tentu menjadi perbincangan bagi mereka karena merasa pagi ini ada perbedaan dari sang pemimpin.
Selly yang memang menyaksikan itu, keheranan sama halnya dengan Deffa. "Ada yang aneh gak si?" tanya Selly berbisik.
"Saya rasa itu bagus!" balas Deffa.
"Ya, tapi aneh aja. Bapak kayak habis kerasukan!"
"Tanyakan saja Nona, Anda yang lebih tahu tentang kehidupan Tuan, bahkan, dari segala hal intim bukan?" balas Deffa. Seketika wajah Selly berubah pias, kaku dan mati gaya.
"Astaga bahaya ini, Deffa mulai tahu skandalku," batin Selly.
Sementara saat ini Sean sudah menduduki kursi kebesarannya. Mulai membuka laptop dan bekerja dengan semestinya. Namun, aktivitas tersebut terganggu dengan kedatangan Selly.
"Permisi Pak ...."
Selly terlihat celingak-celinguk mengontrol kondisi sekitar. Saat dirasa sudah benar-benar hanya ada mereka berdua, Selly pun menghampiri sedekat mungkin.
"Kenapa Selly? Ada siapa yang kamu hindari? Ruanganku tidak ada siapa-siapa."
"Baiklah Sean, sepertinya Deffa mengawasi kegiatan kita. Apa ini gak bahaya?"
Sean tampak terkekeh. Ia bersandar sembari menyatukan tangan dengan anggun. "Deffa itu orang terpercayaku. Aku yakin, hal apapun yang menjadi rahasiaku, tahu atau tidak diketahuinya, pasti akan aman."
"Aku tahu asistenmu itu terlihat dekat dengan keluargamu, apalagi dengan pak Nathan ayahmu. Bisa saja dia menjadi mata-matamu Sean, sebagai perintah darinya!" balas Selly memuntahkan semua rasa kecurigaan. Sejujurnya, ia hanya cemas perihal kedudukannya di sini. "Aku takut dia mengadu, setelah itu Ayahmu mencabutku dari perusahaan!"
"Ya sudah. Kita sudahi saja hubungan seperti ini, aku mau fokus pada istriku yang sedang hamil!"
Tentu menjadi keterkejutan bagi Selly, sampai tak percaya dan berkata, "What Sean?! Are you okay?"
Selly cemas akan pekerjaannya, tetapi ia lebih cemas jika sang pemimpin bukan lagi menjadi wadahnya meminta atau sekedar menumpahkan sikap manja.
***
Di rumah.
Hara keluar dengan senyuman segar, tanpa ada yang memapah. Akan tetapi, perempuan itu mampu melangkah sesuai tujuan.
"Ante!"
Ya, itu adalah teriakkan Mola tatkala dirinya pulang sekolah. "Hei ... baru pulang anak cantik?" Hara meraba-raba tubuh Mola, ternyata tas sangkil yang ia pegang.
"Iya Ante, ayo main lagi!"
"Ayo Sayang, tapi kamu harus ganti baju dulu, oke?"
"Baik Ante!"
Akhirnya, Hara menyusuri jalan menuju halaman belakang tempat biasanya bermain. Sembari menunggu, Hara menyempatkan membaca buku Braille. Di sela kegiatan itu, tiba-tiba seseorang datang menghampiri dan menyentuh pundaknya.
"Siapa itu? Mola 'kah?"
"Masih kenal dengan aku Hara? Nathie!"
"Bibi jahat!"
Terbesit ingatan dulu, Hara pernah mendengar wanita itu mengomelinya saat Elthan berkunjung. Suaranya yang lantang dan keras, membuat Hara menyebutnya dengan panggilan 'bibi jahat' tetapi itu hanya di dalam hati.
"Apa kabar Bibi?"
"Masih ingat rupanya? Ya, aku yang sangat galak dulu!" balas Nathie. Tampak menyentuh-nyentuh ujung rambut Hara. "Apa alasanmu menerima Sean?"
"Karena ayah," jawab Hara tersenyum.
"Hara, kamu tau 'kan keberadaanmu itu sebenarnya orang lain di keluargaku? Elthan adikku bukan ayah kandungmu, kenapa mau menurut dengannya?"
Hara masih tetap tersenyum, walaupun sungguh hatinya merasa miris mendengar ucapan sang bibi. Memang, sudah dari dulu Hara menyadari itu karena waktu dirinya diangkat oleh sepasang pasutri yang sangat baik, ia sudah berusia anak-anak, sudah mampu mengerti dan mengenal melalui pendengaran. Ia juga masih mengingat ibu dan ayah kandungnya, bahkan dalam kejadian terenggutnya mereka telinga Hara menjadi saksi jeritan suara sang mama.
"Ayah Elthan dan bunda Liana bukan orang tua kandung aku, maka dari itu aku berpikir pernikahan ini wajar. Sah secara hukum, agama dan negara. Ayah menghormati permintaan kakaknya, maka aku pun menghargai permintaan ayah. Bibi paham?"
"Tapi, keponakanku menderita karena kamu Hara! Briana jauh lebih baik dari kriterianya, tidak sepantasnya digantikan kamu. Aku rasa kamu cukup mengenal apa itu sadar diri. Lantas, kenapa sampai sekarang masih mau bertahan? Meminta talak itu tidak sulit!" seloroh Nathie terdengar begitu menekan.
"Menderita? Bibi, kalau dia menderita aku gak akan hamil anak ini. Buktinya ini hasil pembuahan kami dan bukan cuma aku yang bahagia, tapi mereka juga. Mungkin terkecuali Bibi karena aku tahu di antara yang lain hanya Bibi yang berpikir beda, lebih dangkal!"
Nathie begitu melotot menahan kesal, bahkan ia terkejut dengan tutur kata Hara yang terdengar berani, menantang. Namun, belum sempat ia berbalas, tiba-tiba Metha datang dengan Yora yang membawa putrinya.
"Tumben Bibi? Ada apa?" tanya Yora menelisik. Kemudian ia melihat Hara yang masih tetap tersenyum dengan pandangan yang selalu lurus ke depan. Padahal tadinya ia mengira jika Nathie melakukan sesuatu kepada Hara, secara mereka tahu bagaimana sikap ketidaksukaan Nathie terhadap ibu hamil itu.
"Ajarin dia bertutur kata yang bagus dan sopan. Tidak tau diri, sombong pula, cih. Lebih baik Briana ke mana-mana!"
"Lagi-lagi dia, kenapa nama itu selalu disebut. Jelas-jelas dia yang membuat Kak Sean menderita, bukan aku!"