Kini, Sean berakhir masuk persidangan sang ayah. Dia tidak merasa bersalah, tetapi sang ayah juga memanggilnya bukan karena kesalahan.
"Masih biarkan istrimu tidur di sofa?"
"Nggak Pa, kita tidur bareng!" balas Sean. Kemudian ia melanjutkan ucapannya dengan lirih, "Mulai malam ini."
Nathan pun menghela napasnya. "Beri dia pelayanan, jangan acuh, kasar, apalagi terbesit membunuh cucuku. Manjakan Hara, setidaknya selama dia hamil. Papa akan membebaskanmu setelah anak itu lahir," ucap Nathan. Seketika membuat senyum Sean menjadi cerah.
"Papa harap, sebelum anak itu lahir kamu sudah mencintainya Sean," batin Nathan.
"Papa serius?"
"Ya."
"Aku boleh menikah lagi?"
"Terserah!"
Sean tersenyum senang, seperti sebuah harapan di masa depan. Kemudian ia berpikir keras untuk mengungkapkan permintaannya yang lebih istimewa lagi. "Peralihan nama perusahaan, dan aku mau membeli club yang ada di kota ini!"
"Otak ranjang!" cemooh dalam hati Nathan.
"Boleh!"
"Baik, Pa. Aku akan bersikap apa yang papa mau, di depan atau pun di belakang Papa!" tegas Sean.
"Bagus son, tapi kalau kamu melanggar semua itu. Bersikap seperti biasa, suka melakukan perbuatan di luar yang papa gak suka sebelum anakmu lahir, maka perusahaan dan aset yang kamu miliki akan pindah tangan kepada Zack!"
"No! Aku gak mau kalah sama adikku sendiri!"
"Good. Papa, tunggu perubahanmu!"
****
Sudah kembali ke kamar, Sean lagi-lagi memergoki istrinya yang baru saja selesai membersihkan diri untuk yang ketiga kalinya.
"Kenapa mandi melulu?"
Pertanyaan Sean dibalas ketus oleh Hara, "Gerah, panas dan gak nyaman!"
Ya, mungkin karena itu terciptanya rasa cemas Surti. Hara memang salah satu tipe perempuan yang lama dan betah di kamar mandi. Namun, bagi mereka jelas menjadi kekhawatiran apalagi mengingat kondisinya saat ini.
"Mulai sekarang jangan banyak bergerak dari kasur. Mau sesuatu, panggil Surti atau aku. Daripada harus mengganggu satu rumah, lebih baik repotkan aku!" ucap Sean terdengar cerewet di telinga Hara. Padahal istrinya itu hanya merespon ....
"Hmm ...."
Sekali lagi kesabaran Sean diuji. Ia hanya mampu memejamkan mata, sembari berkata, "s**t!" Dan, itu dapat di dengar oleh isterinya. Lucunya Hara justru tersenyum.
Kemudian ia pergi menjauh dari Sean, mencari tempat yang tadi ia singgahi. Kini, pakaian Hara terlihat semakin terbuka karena suhu panas di tubuhnya meningkat, bahkan seharian ini Hara jadi sering berkeringat. Entah itu efek kehamilan atau memang cuaca. Tetapi, yang jelas ... ya, jujur saja Sean tergoda. Bodohnya pria itu masih menyangkal.
Mereka sudah sama-sama di atas ranjang, momen kedua kalinya Sean tidur bersama dengan isterinya setelah beberapa Minggu lalu. "Pakai selimut!"
"Gerah. Kakak saja yang pakai!" Hara berbalik badan memunggungi. Ia memberi batasan dengan satu guling di tengah-tengah.
Akan tetapi, jahatnya Sean justru membuang benda penghalang itu, menarik Hara masuk ke dalam selimut. "Mau kucabik-cabik seperti malam itu? Aku sedang haus darah ingin memakan daging bibirmu!"
Trauma, masih mengingat bagaimana kasarnya Sean yang gagah perkasa itu menggaulinya di tengah malam. Walau tidak pernah melihat rupa atau bentuk tubuh sang suami, Hara tahu betapa kuatnya Sean jika urusan ranjang karena ia sendiri yang sudah merasakan.
"Aku masih sayang hidup," batin Hara.
Hara terburu-buru meraba-raba hujung selimut, menenggelamkan tubuhnya dan mulai tertidur. Saat ini Sean justru tersenyum senang karena berhasil membuat istrinya menurut. Ia segera membenarkan selimut Hara yang dilihat kurang rapi. Pria itu mendelengi wajah sang istri, ternyata Hara sudah terpejam.
Menunggu sampai beberapa menit, Sean masih khawatir jika sang istri belum tidur sepenuhnya, sementara saat ia tidur duluan Hara akan mandi lagi. Mungkin saja. "Sudah benar-benar tidur 'kah?"
Sean melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajah Hara, sembari ia tatap begitu intens. Ternyata tidak ada pergerakan darinya.
Sean pun menarik napas panjang, kemudian ia merebahkan tubuhnya dengan santai. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang. "Kak Sean terlupa, tertutup atau tidaknya mataku, yang aku rasakan sama saja seperti tidur!"
Sean terhenyak, seketika ia kembali melihat istrinya. Ternyata mulutnya yang berbicara, tetapi matanya tetap terpejam. "Siang dan malam bagiku sama saja, yang aku lihat hanya kegelapan."
Sampai pagi ucapan itu menyangkut di benak Sean, sehingga waktu tidurnya terkikis untuk berpikir.
***
Sampai di keesokan hari.
Di meja makan Sean tampak mandiri, ia menyiapkan roti tanpa bantuan pelayan dapur. Namun, porsi ia kali ini yang menjadi keheranan mereka. Ya, dia membuat dua porsi sarapan.
"Hara di mana, Sean?" tanya Metha.
"Tuntun dia ke sini Sean, kita sarapan bareng!" sahut sang kakak.
"Mau ke mana? Itu roti buat siapa aja?" tanya Nathie.
"Untuk istriku, aku gak ikut sarapan bersama!" Sean kemudian pergi. Tentu saja, Nathie terkejut sama halnya dengan Metha dan juga Yora, terkecuali Nathan.
"Karena ancamanmu pasti!" tuding Nathie.
"Gak, aku sendiri pun merasa aneh. Tapi, biarlah, itu urusan mereka. Kita memang tinggal satu rumah, tapi keluarga kita tetap masing-masing!" balas Nathan.
"Jangan berbohong, aku tahu bagaimana caramu mendidik anak!" tekan Nathie.
"Mama senang gak si rasanya?" Tiba-tiba Yora mengeraskan suaranya, seakan menangkis ucapan sang tante. Seketika suasana menjadi panas.
"Tentu, mama selalu mengharapkan yang terbaik untuk kebahagiaan anak-anak mama," balas Metha.
"Bahagia apa? Aku paling tua di sini, paling tahu bagaimana kondisi ponakanku itu. Apa yang membuatnya bahagia? Sedangkan dia tertekan dan terpaksa!" seloroh Nathie, seketika semua terdiam. Bukan berarti mengalah, tetapi mereka sudah muak dengan pengaturan wanita paling tua itu.
Di dalam kamar.
Sean membawa sarapannya ke dalam kamar, dan mengajak istrinya duduk bersama untuk menyantap sarapan itu. Kini, keduanya sudah saling berhadapan.
"Bisa sendiri?" Sean menggenggamkan sepotong roti, lalu tangannya mengarahkan tangan Hara ke mulut.
"Aku cuma nggak bisa lihat, bukan berarti aku gak bisa gerak!" balas Hara.
"Baiklah ...." Sean pun membiarkannya makan sendiri dan ia sibuk dengan sarapannya. Namun, mata pria itu tak luput untuk memantau.
"Kenapa kita nggak sarapan bareng mereka?"
"Kamu mandi aja lama, mau sarapan bareng sementara saat ini mereka sudah selesai!" cetus Sean.
Entah kenapa, di kehamilan pertama ini Hara sangat gemar mandi. Durasinya pun tidak sebentar, bahkan Sean cemas hingga menunggunya di depan pintu. Sungguh kebiasaan itu sangat dirutuki olehnya, pasalnya Hara tidak normal seperti yang lain, sementara kondisi kamar mandi tentu licin.
"Aku mandinya kelamaan ya?" Sean salah fokus, tidak mendengar ucapan polosnya, tetapi matanya tertuju pada bibir Hara yang terkena saus.
"Makan saja seperti anak kecil!" gerutu Sean.
Refleks Hara mengusapnya. Namun, bukan bersih melainkan lebih banyak noda saus itu mengenai bibir wanita itu. "Masih ada nodanya?"
Sean menghela napas panjang. Merasa istrinya itu sok pintar dan tidak mau melibatkannya. "Semakin banyak. Biar aku yang bersihkan!"
"Ah!" Hara terperanglah merasakan bibirnya basah. Namun usapan itu terasa sangat singkat.
"Tangan Kak Sean, basah!"
"Aku menggunakannya dengan bibir, bukan tangan," batin Sean tersenyum jahil.