Bab 2. Kekejaman Sean

1063 Words
Tidak bisa melihat bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa. Hara cukup mandiri untuk mengurus diri sendiri, justru saat ini dia sedang belajar melayani kebutuhan suaminya. "Kira-kira betul nggak, ya? Semoga sesuai sama pakaian yang mau dia pakai!" Tampak Sean baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di pinggangnya. Atensinya teralihkan saat melihat almari miliknya berantakan dengan baju berserakan. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Sean, sudah terlihat ingin marah. "Kak, aku sudah siapin pakaianmu untuk berangkat ke kantor. Apa itu benar?" Sean tersulut emosi, bukan pakaian yang ingin dia kenakan yang tersedia, justru baju-baju yang tidak penting di keluarkan. Sean hanya melihat celana jeans dan juga kaos oblong, sementara dasi tampak ada tiga di sana. Sungguh, pagi-pagi seperti ini dia sudah dibuat marah. "Kamu tau apa yang kamu sediakan, itu?" "Salah, ya?" Sean berusaha mengontrol emosi, ia hanya mampu mengepal kuat dengan gigi bergemelatuk menahan amarah. "Kamu bergerak sedikit saja sudah membuatku susah, jadi diamlah di tempatmu!" "Tapi aku seorang istri ...." "Menurut saja apa salahnya?!" Sean membentak. "Sudah kukatakan, jangan menganggap seolah-seolah pernikahan ini sungguhan. Kamu itu cuma istri terpaksa, cukup sadar sama kondisi kamu. Kalau gak bisa bantu, setidaknya jangan menyusahkan!" Saat itu Hara hanya mampu berekspresi lemah. Ia tahu, pernikahan terpaksanya yang membuat Sean sangat sensitif, walau sebenarnya Hara juga tahu jika sang suami adalah pria baik dan lembut. "Baiklah, maafkan, Hara ...." "Ternyata menjadi istri tidak semenyenangkan yang bunda ceritakan. Lagi-lagi karena kondisi dan kekuranganku," batin Hara. *** Saat sarapan bersama, di meja makan Nathan menanyakan keberadaan menantunya kepada Sean, "Di mana, Hara?" "Kamar!" Semua keluarga tahu, termasuk para maid yang bekerja, atas insiden kemarin. Mereka mengira jika Sean tidaklah bahagia dengan rumah tangga yang sedang ia jalani, terlebih yang menjadi pendamping hidupnya adalah wanita buta. "Sean, papa tau kamu belum bisa nerima pernikahan ini, tapi tolong jangan perlakukan Hara dengan kasar. Hargai om Elthan sebagai ayahnya, bagaimana kalau mereka tau anak yang sudah dititipkannya, gak kamu jaga!" "Papa, memang aku melakukan apa? Dia baik-baik aja. Hari ini gak mau sarapan bareng karena dia bilang sudah kenyang!" "Kenyang dengan ucapan dari mulut pedasmu?" Sean terdiam sebab, merasa ucapan ayahnya benar, bahkan sedikit rasa bersalah karena membentak istrinya tadi. "Bawa dia ke sini, tuntun selayaknya kamu menjadi seorang suami yang mencintai istri!" "Pa, aku gak cinta ... cuma Briana yang—" "Setidaknya di hadapan, papa!" sela Nathan. Sean memasang raut wajah kesal, menatap sang mama, berharap mendapat pembelaan. Namun, ternyata tidak sama sekali. "Ayo Sayang lakukan! Ikuti kata Papamu, ya ...." Akhirnya pria itu melangkah, walau rasa malas melihat wajah sang istri kian menjadi. "Rasanya aku mau ke Amerika saja tinggal dengan nenek!" gerutunya. Saat tiba memasuki kamar, lagi-lagi pandangan tidak mengenakan terlihat. Sean menatap melongok melihat kondisi kamarnya. Pas bunga kesayangannya jatuh bersamaan dengan tanahnya. Percayalah itu sangat mahal. Lebih parah dari itu, ia melihat parfum favoritnya pecah. Kini, sang istri tampak memunguti serpihan belingnya. "Aduh!" Sean langsung menghampiri, emosinya tertunda karena melihat banyak darah yang keluar dari jari telunjuk istrinya. Sean bereaksi cepat dengan menyedot jari itu ke mulutnya. "Kak, Sean ...." Sean masih fokus mengisap darah Hara, bahkan tidak menyecap apa rasanya. Sehingga panggilan Hara dihiraukan. "Hentikan, Kak!" Tangan sebelah Hara berfungsi meraba-raba wajah suaminya, sementara tatapannya tidak pernah beralih dari depan. "Itu pahit!" Seketika Sean segera meludah, baru merasakan apa yang mengenai lidahnya. Ya, tentu saja jari-jari Hara menyentuh cairan parfum miliknya. "Maaf, tadi tongkat Hara gak sengaja pecahin benda bertanah itu, dan parfum ini kesenggol lengan ...." Hara kelihatan takut dengan nada bicaranya yang lemah. "Pagi sial!" Sementara amarah Sean yang sempat tertunda kembali meluap. Entah, balasan apa yang mampu membuat sang istri jera. "Gak becus, ceroboh, keras kepala. Sudah buta, bodoh!" Akhirnya semua cemoohan keluar, Sean memuntahkan kekesalan isi hatinya, tepat di wajah Hara yang polos. Kemudian, pria itu menggendong paksa istrinya di ranjang, mengikat tangannya menggunakan dasi yang ia kenakan. Sean juga mengikat kaki Hara menggunakan dasi yang berbeda. "Kak ..., tolong lepas, Hara minta maaf. Hara lapar!" Sean menarik napas dengan memegang lakban hitam di tangannya. Keringatnya terlihat berjatuhan, tetapi matanya masih terfokus menatap wajah sedih sang istri. "Demi mengamankan semua benda-bendaku, kamu harus seperti ini. Ingat Hara, menjadi istriku itu banyak memiliki persyaratan, selain gak sempurna kamu juga jauh dari kriteria. Jadi, jangan berusaha mencari perhatianku karena aku sangat benci keberadaanmu!" bisik Sean sebelum memasangkan lakban itu di mulut istrinya. Setelah itu ia pergi tanpa memiliki perasaan kasihan sampai terkesan begitu kejam. Buruknya ia tidak menyadari perbuatannya. "Aku akan memberi alasan kalau dia sedang tidur!" *** Malam hari, saat di kantor. Sean memiliki satu asisten pria dan satu sekretaris perempuan. Masing-masing memiliki tugas khusus, seperti Deffa yang membantu segala kebutuhan Sean, sementara Selly hanya membantu kebutuhan di kantor saja. "Def, sudah menemukan jejak Briana?" "Masih dalam proses, Tuan. Saya rasa nona Briana kabur meninggalkan negeri. Posisinya sangat sulit dilacak!" Sejujurnya tak pernah terprediksi jika kekasihnya akan meninggalkan, pasalnya Sean merasa hubungannya baik-baik saja. Hatinya bertanya-tanya apakah ia melakukan kesalahan atau memang selama ini ia hanya menjalani cinta palsu. "Jujur, aku masih mencintainya," batin Sean. "Baiklah ..., usahakan terus, kalau dalam jangka bulan ini belum ditemui juga, hentikan pencarian!" "Baik, Tuan. Kalau begitu saya pamit. Permisi ...." Saat asisten itu mengundurkan diri, kini hanya ada Selly yang akan menemaninya sampai jam pulang nanti. "Pak, sudah malam apa tidak sebaiknya pulang saja? Bapak terlihat kelelahan." Selly mulai mendekati di saat Sean tampak frustrasi. Kini, tatapan sayu menghunus untuk wanita seksi itu, kemudian memberinya senyuman, seketika berubah dalam sekejap. "Sini!" Selly menahan-nahan senyum karena Sean memerintahkan untuk duduk di pangkuan. Tentu, wanita itu dengan sangat senang hati menurut. "Bagaimana dengan wanita itu? Bapak terlihat tidak bahagia sepertinya!" Selly bertingkah manja dengan tangan bergelayut di leher Sean. "Pernikahan itu tidak pernah kuanggap." "Apa karena Briana? Pak—" Sean menjeda ucapannya dengan gerakan yang ia letakkan di mulut Selly. "Hanya ada kita berdua ...." "Baiklah, Sean. Kamu terlihat belum bisa melupakan Briana, sementara kita sering melakukan hubungan diam-diam seperti ini, tanpa kamu sadar ada istri sah di rumah. Sebenarnya hatimu sedang berada di mana, aku, istrimu, atau Briana?" ujar Selly. "Yang jelas bukan untuk istriku!" "Aku?" tanya Selly percaya diri. "Sedikit!" Seketika ekspresi kesal terlihat, tetapi ia kembali bertanya, "Briana?" "Maafkan aku Selly, bahkan kamu termasuk wanita yang kujadikan penghibur di antara yang lain. Tapi, di rumah statusku diikat oleh pernikahan sial itu, sementara wanita yang kucintai hanya Briana!" "b******k sekali, my Boss!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD