Aku keras kepala dan siapa yang menyangka jika Mas Damar jauh lebih keras kepala. Kalimat Mas Damar tentang dia menyukai sikap keras kepalaku yang akan membuat kami adu banteng dalam berbicara benar adanya. Setengah mati aku menolak kehadirannya karena merasa rendah diri, dan Mas Damar justru main angkat tubuhku yang semakin mengurus ini dengan mudahnya. Tidak ingin celaka karena hal yang konyol aku buru-buru menaikkan infusku agar darahku tidak balik masuk ke dalam selang. Dibandingkan memprotes Mas Damar yang sudah kepalang kesal, aku memilih untuk berpegangan dengannya erat-erat. Tubuhku sudah penuh dengan luka aku tidak ingin menambahnya dengan luka lainnya jika memberontak dari gendongannya. Baru saat akhirnya Mas Damar mendudukanku di kursi roda aku bisa melayangkan tatapan protes