Lia menepuk-nepuk lembut punggung sang suami, pun mengusap lembut. Tak berkata apa pun, hanya membiarkan Deni meluapkan emosinya. Lia pernah bertanya perihal kemungkinan Deni memiliki trauma karena kecelakaan itu. Dan harusnya, Lia tak perlu terlalu khawatir kan?
“Waktu rehabilitasi kan ngga hanya belajar jalan, Li. Tapi aku juga konsul ke psikiater. Syukur alhamdulillah … kalau shock pasti iya, tapi kalau trauma yang sampai menyebabkan gangguan psikologis – kata dokter sih ngga. Mungkin karena Mama waktu itu langsung tanggap ya? Ngga menyepelekan kemungkinan buruk sekecil apa pun.”
Lia menyerongkan sedikit wajahnya, mengecup singkat rahang Deni. “Kak … Kak Deni ngga sendirian lagi dalam menghadapi ini. Bahkan apa pun. Kak Deni sekarang punya Lia kan?"
Beberapa saat kemudian, napas Deni mulai teratur. Lia masih menunggu. Biar Deni yang memutuskan kapan ia akan menegakkan punggungnya kembali. Tak butuh waktu lama ternyata, sang suami menarik diri, lalu Lia menghapus sisa air mata Deni – mungkin sudah terlalu lama prianya tak menangis.
“Aku harus lihat korban, Li,” ujar Deni.
“Kak Deni bisa? Orang-orang dari rumah sakit juga pasti lagi menuju ke seberang.”
“Aku bisa!”
“Oke. Lia temani ya?”
“Ngga usah, aku bisa.”
Lia tersenyum, lalu menangkup wajah Deni seraya membelai lembut dengan ibu jarinya. “Semua yang tarjadi di pernikahan ini adalah urusan kita. Jadi, Lia harus mastiin suami Lia baik-baik aja. Lia ikut, Kak. Tenang aja, Lia ngga akan ganggu Kak Deni.”
“Lia ….”
“Lia ngga apa-apa. Yuk?”
Sang istri begitu yakin, menularkan keyakinan yang sama pada Deni.
“Lebih baik kamu nunggu aku di rumah sakit. Gimana? Aku justru khawatir kalau kamu desak-desakan sama pengguna jalan yang berkerumun itu.
Logis. Lia pun mengangguk, tak lagi ngotot mempertahankan kemauannya. Ia lalu meraih jas yang sedaritadi masih menaungi mereka. Outer itu Lia dekap seraya memerhatikan langkah Deni yang gegas mendekati lokasi kejadian. Begitu nampak sang suami bersimpuh di samping korban, Lia pun gegas masuk ke balik kemudi, membawa sedan mereka menuju rumah sakit.
“Stetoskop, penlight!” ujar Deni seraya mengulurkan tangan pada seorang perawat yang datang bersama beberapa tenaga kesehatan lain. Mereka pun baru saja menjejakkan kaki di sana.
Korban pertama yang Deni periksa adalah perempuan yang tadi terlempar dan langsung tak bergerak saat mendarat, atau mungkin ada sedikit pergerakan namun tidak tertangkap oleh titik pandang Deni.
Denyut nadi perempuan itu lemah, namun masih ada. “Pulse, 51 permenit.”
Deni memeriksa kedua mata korban lebih kemudian. “Kanan 5 mm, kiri 3 mm.”
Ia lalu melakukan tes refleks di beberapa titik sensitif, namun tak ada respon sama sekali. Terakhir, Deni menempelkan stetoskop di d**a korban, mendengar suara organ. Di bagian jantung, Deni terdiam. Ia mengintip tubuh korban, beberapa memar besar yang Deni duga sebagai pertanda adanya cedera dan menyebabkan fungsi jantung terganggu nampak di sana.
“Neck brace!” pinta Deni kemudian. Perawat tadi tak lagi sendiri, beberapa lainnya sudah berdiri di belakang Deni beserta sebuah brankar. Jalanan pun semakin kosong karena disiapkan untuk evakuasi korban. “Angkat kepalanya perlahan,” ujarnya kemudian seraya memasang penyangga leher tersebut.
“Cepat bawa pasien. Hubungi bedah toraks untuk melakukan punksi perikardium.”
“Cardiac tamponade, Dok?”
“Betul. Jangan lupa lakukan CT, hubungi bedah saraf juga, katakan ada kemungkinan cerebral edema.”
Tak menunggu pasien tersebut dipindahkan ke dalam ambulans, Deni gegas berlari semampunya ke korban lainnya. Nampak seorang dokter tengah memasangkan neck brace di leher pengendara motor tersebut. Korban masih cukup sadar.
“dr. Luca?” tegur Deni.
“dr. Deni,” balas Luca seraya mendelik singkat.
Deni bukan hendak menyambangi Luca dan korban tersebut, melainkan mendekati pengemudi mobil bak terbuka.
“Bagaimana kondisinya, La?” tanya Deni pada Isla. Salah satu teman sejawatnya yang juga merupakan istri dari Zhen – putra pemilik rumah sakit. Deni tertegun, menatap kedua kaki korban yang terjepit. Korban pasti membanting setir setelah benturan tadi dan justru menabrak pembatas jalan dan sebuah tiang rambu.
“Cedera abdominal dan toraks, Dok. Sepertinya ada fraktur di rusuknya. Plus kondisi kakinya belum bisa diprediksi.” Isla mengatakan itu dengan nada tak yakin. Deni menunduk, memeriksa kedua kaki korban yang terjepit. Keduanya sudah diikat oleh Isla tadi, tinggal menunggu tim penyelamat memotong penghalang dan mengeluarkan korban dari sana.
“Sakiiit,” rintih korban.
“Nama Bapak siapa?” tanya Deni.
“Salim.”
“Umur?”
“Empat lima.”
“Pak Salim, saya tau rasanya amat sangat sakit. Tapi, saat ini Bapak harus berusaha tenang, dan bernapas perlahan supaya pendarahan Bapak tidak semakin parah. Bisa?”
Pria itu menatap nanar pada Deni, wajahnya menyiratkan rasa sakit yang teramat sangat. Namun, ia akhirnya mengangguk.
“Dok, balik ke rumah sakit aja. Takutnya Dokter dibutuhin di sana. Dokter juga ada jadwal operasi kan?” ujar Isla saat mendengar suara sirine yang tak asing semakin mendekat. “Rescue team sudah mau sampai.”
“Oke. Saya tinggal ya La?”
“Baik, Dok.”
***
Lia bingung harus ke mana. Ia tak pula membawa apa pun kecuali sling bag miliknya dan sang suami. Tak juga ia melipir ke toko ponsel yang Deni maksud tadi, rasanya tak tepat memikirkan gawai baru sementara Deni tengah sibuk menangani korban.
Bunyi ketukan dari heels sepatu sampai tak terdengar setiap kali Lia melangkah. Kalah dengan kebisingan yang mungkin terjadi sebagai efek dari kecelakaan tadi. Ada beberapa korban lain selain tiga yang terparah. Mereka-mereka yang mengalami cedera ringan dan mampu berjalan sendiri ke IGD.
Lia mengambil beberapa brosur yang tersimpan di rak dinding. Ia lalu memilih sebuah sofa di area yang cukup sepi, sedikit menjauh dari keriuhan di depan Istalansi Gawat Darurat. Doctors Room, Trauma Team. Tulisan yang terpampang di door sign tepat di seberangnya.
“Sayang?”
Lia menoleh saat suara Deni menyapa pendengarannya. Sang suami nampak bermandi peluh, kuyup.
“Kak?”
Deni mendekat, begitu saja bersimpuh di hadapan Lia. Sikap itu tentu saja membuat para tenaga kesehatan di sekitar mereka menoleh. Kabar jika Deni sudah menikah kemarin memang sudah menyebar, namun dengan siapa … tentu saja itu hal yang berbeda.
“Lia, aku ditunggu di OK, habis dr. Irgi dan dr. Zhen selesai, giliran aku menangani cedera abdominal. Habis itu langsung nyambung operasi pasienku.”
“Kak, jangan bersimpuh gini.” Lirih Lia, kikuk.
Deni sebenarnya tak sadar jika ia tengah menarik perhatian. Ia menyapukan pandangan, melempar senyumnya yang teramat manis pada teman-teman sejawat dan koleganya yang lain.
“At least kamu ngga perlu aku bawa keliling rumah sakit, Li. Habisnya ngga pernah ke sini sih, kan mereka jadi ngga tau kalau kesayangan aku tuh kamu.”
“Bukan itu masalahnya. Kita aja yang norak, Kak. Sosial media pribadi aja ngga ada yang punya coba,” balas Lia. Keduanya lalu tergelak bersama.
“Jadi gimana Sayang?”
“Ngga apa-apa, Kak. Lia juga masih kikuk kalau sendirian di rumah. Lia nunggu Kak Deni aja.”
“Sama siapa?”
“Sama gue,” ujar seorang dokter perempuan. Umurnya tak muda lagi, namun masih nampak begitu cantik. Penampilannya pun stylish dengan pembawaan yang begitu santai.
“dr. April,” sapa Lia. Mereka baru berkenalan saat pernikahan kemarin namun Lia bisa langsung mengingatnya. Istri dari Irgi yang juga seorang psikiater. “Mau ke mana Dok?”
“Tadinya mau shopping sama Ara,” jawab April, mengacu pada nama anak bungsunya. “Tapi karena ada kecelakaan, ke sini jadi macet banget. Akhirnya ngga jadi. Ara udah sampai rumah. Gue mau langsung balik juga masih ngga gerak tuh ke arah Bintaro.”
“Ngobrol sama Lia dulu ngga apa-apa Dok?” sambar Deni seraya berdiri dari posisinya.
“Sana buruan, tenang aja. Gue bawa ke The Hiding Place ya?”
Deni memberengut, Lia sontak terkekeh. “Kenapa? Emang The Hiding Place apa, Kak?” tanya Lia pada Deni.
“Kafe. Enak banget tempatnya. Makanannya apa lagi. Biasa begitu mereka kalau ngga diajak atau ngga bisa ikut.” April yang menjawab. “Buruan sih dr. Deni.”
Deni mengangguk. Ia mengecup punggung tangan Lia sebelum melangkah ke pintu Ruang Dokter. “Sayang, cobain menu Surprise Me! Ngga bakalan nyesel. Jangan lupa butterscotch latte-nya,” ujar Deni kemudian sebelum menutup pintu.
***
April tak langsung membawa Lia ke kafe tersebut, namun menyambangi sebuah toko ponsel lebih dulu, menemani Lia tentu saja. Mereka berdua tak berkendara, memilih berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga tipis-tipis seraya membunuh masa berhubung akan butuh waktu lama bagi suami mereka menangani korban kecelakaan.
Baru saja April mendorong pintu toko tersebut, teriakan Lia terdengar lantang.
“LEP ….”
April tak jadi masuk, mengikuti Lia yang tengah dibekap oleh seseorang. Pria itu berjalan mundur, memaksa Lia mengikuti langkahnya ke sebuah sedan. Perlahan, nampak Lia panik. Sepertinya manusia bodoh itu tak sadar jika tangannya menutupi hidung dan mulut Lia.
“PERGI!” ujar pria itu. “Saya ada perlu dengan Lia.”
“LO YANG PERGI!” bantah April. Tak gentar sedikit pun.
Area itu memang lebih sepi dari biasanya, mungkin karena lalu lintas tertahan di jalan utama sana.
Pria itu nampak geram karena April terus saja mengikuti. Ia berusaha meraih tuas pintu seunit SUV, membuat cengkraman salah satu tangannya di lengan Lia terlepas. April melangkah sekali, melompat seraya mengangkat kaki, lalu … ‘BUGH!’
Sang penjahat tersungkur, merintih seraya memegangi lengannya yang April tendang. Sementara Lia yang terduduk tepat di samping pintu mobil terbatuk saat udara menyapa paru-parunya kembali.
April mendekati lawannya yang masih saja menahan nyeri. Wajar memang jika sesakit itu. April lupa mengontrol kekuatannya tadi. Lagipula pria pengecut seperti itu tak perlu dikasihani bukan? Dengan tetap awas, istri dari Direktur Utama RSPI itu menarik topi dan masker sang penyerang, ternganga dan terbelalak.
“Lia? Dia … kakek-kakek?”