09: IDE INDAH

2281 Words
“Saya hanya ingin bicara dengan kamu, Lia!” ujar Burhan seraya berusaha duduk. Ia masih memegangi lengan kanannya. Sementara itu, April sudah melangkah, kini tengah membantu Lia berdiri dan menjauhi SUV Burhan. “Apa kamu tidak ingin tau mengapa orang tuamu mengambil pinjaman yang begitu besar padaku? Apa kamu tidak penasaran?” “Ayo, Li … kita pergi. Ngga usah dengarin kata-kata orang manipulatif kayak dia,” ujar April. “Manipulatif? Saya terima tuduhan itu! Tapi saya tidak berbohong!” tegas Burhan. “Bagaimana Lia? Apa kamu takut jika tau apa yang sebenarnya terjadi, hidupmu akan hancur?” “DIAM!” pekik Lia. “Sekali pun Anda mengatakan suami saya adalah pembunuh, saya tidak akan pernah mempercayai Anda!” “Seharusnya kamu tidak menolak pernikahan kita, Lia. Aku akan menunjukkan buktinya padamu. Dan kita lihat, siapa yang akan menyesal nantinya!” pungkas Burhan seraya menarik tuas pintu mobilnya. “Jika Anda tidak ingin saraf Anda terkena dampak yang bisa saja berakibat fatal, saya rasa IGD kami masih bisa merawat Anda,” ujar April. “Pastikan tirainya tertutup, atau dr. Deni bisa saja menemukan Anda sambil membawa pisau bedahnya!” *** Tadi, April menarik Lia ke dalam toko ponsel. Meski Lia sudah kehilangan mood-nya untuk melihat-lihat beberapa tipe dan merek sebelum memutuskan membeli, tempat tersebut rasanya lebih aman untuk disinggahi sambil menunggu taksi yang April pesan tiba. “Ada yang cocok, Li?” tanya April. Lia diam saja, hanya menatap April. Jika April di posisi Lia, April juga pasti akan merasakan hal yang sama. Gelisah, khawatir, kecewa. Emosi-emosi yang menghadirkan kondisi di mana otak tak bisa memproses banyak hal, bahkan yang sederhana sekalipun. “Mau gue pilihin?” “Boleh, Kak.” “Lo butuh buat apa?” “Yang utama buat kerja, Kak.” April mengangguk paham. Ia kemudian beringsut, memerhatikan beberapa handphone seraya menatap layar ponselnya. Entah siapa yang April hubungi, namun sepertinya lawan chat-nya cukup membantu pemilihan gawai sesuai kebutuhan Lia. Lia sendiri adalah seorang fotografer profesional. Secara khusus, spesialisasinya adalah membidik kehidupan urban terutama di Ibu Kota. Dari hasil bidikannya, Lia kemudian membuat ilustrasi-ilustrasi. Jika seorang fotografer dan ilustrator memiliki ciri khas, maka Lia adalah fotografer sekaligus ilustrator yang senang memfoto dan menggambar lingkungan-lingkungan padat – walaupun tak bisa dikatakan kumuh – yang kerap terhimpit di antara gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Contohnya, lingkungan masa kecilnya bertumbuh. “The best one, Li?” tanya April sebelum melabuhkan pilihannya. “Iya, Kak.” “Even pricy?” “Hmm. Ngga apa-apa, Kak.” April menyodorkan ponsel pilihannya pada sang pramuniaga. Perempuan itu mengangguk kemudian melangkah ke ruangan yang hanya bisa dimasuki staf toko, mengambil unit baru dari produk yang sama. Tepat setelah Lia membayar gawai barunya, kendaraan yang mereka tunggu-tunggu tiba jua. April tak mengganggu sesi melamun Lia selama dalam perjalanan. Padahal, mereka tak lagi menuju kafe yang April sebutkan sebelumnya. Tujuan mereka langsung ke Natayu Residence, perumahan di mana Deni dan Lia tinggal. “Ayo, Li … sudah sampai,” ujar April begitu taksi mereka menepi tepat di depan rumah bergaya modern itu. Rumah seluas 130-meter persegi tersebut bisa dikatakan beruntung Deni temukan. Di perumahan itu, propertinyalah yang memiliki luas tanah terkecil, hanya 150-meter persegi. Mungkin sisa tanah yang dimanfaatkan developer. Pemilik sebelumnya menjual cepat. Sayangnya, berhubung bangunan itu berada di pojok dan berbatasan dengan dinding permanen alias buntu, sungguh tak mudah mendapatkan pembeli. Yang sangat Deni sukai dari rumah itu adalah posisinya yang tepat di puncak bukit. Bangunannya berlantai dua, namun bagian atas hanya berupa aula tanpa sekat sama sekali. Ruangan itu dikelilingi dinding kaca, menghadirkan pemandangan lingkungan dari segala sisi. Deni sengaja mengosongkan ruangan itu, ia suka menyendiri di sana, kala waktu matahari terbit atau tenggelam, bermuhasabah, bicara dengan rabb-nya. Di bagian bawah hanya ada dua kamar tidur, living room, dapur dan carport. Sisa tanah 20-meter persegi Deni gunakan sebagai kebun kecil-kecilan. Lia sudah pernah melihat area hijau tersebut dan ia tau pasti jika sang suami sungguh asal mengelola kebunnya. “Kok kita pulang, Kak?” tanya Lia begitu keduanya turun dari taksi. “Gue udah bilang sama Lian, kirimin makanan ke sini. Kita tinggal tunggu.” “Lian?” “Iya. Lupa ya? Kemarin datang juga kok.” “Ingat, Kak. Istrinya dr. Kane kan? Apoteker RSPI? Yang lagi hamil?” “Betu! Dia juga yang punya The Hiding Place.” “Oh gitu.” “Nanti, lo sama Deni aja makan di sana, dijamin nyandu, bakal sering balik.” “Kenapa kita ngga ke situ, Kak? Kan Lia jadi penasaran.” “Karena … lo ngga akan bisa nikmatin suasana magis kafe itu kalau pikiran lo lagi ngga fokus,” jelas April. Lia mengatupkan bibir, tak sanggup menyanggah. “Gue ngga diajak masuk nih? Apa jangan-jangan lo ngga punya kunci?” “Punya, Kak,” kekeh Lia. “Yuk masuk, Kak.” Lia mengajak April menikmati panganan – yang baru saja tiba – dan indahnya evening glow dari lantai dua rumahnya. Ia menggulung semua tirai, membuat keduanya laksana berada di dalam akuarium besar. Namun tenang saja, semua kaca di rumah itu menggunakan one-way mirror glass di mana hanya sisi dalam ruangan yang dapat melihat sisi luar, namun tidak sebaliknya. “Jadi, gimana caranya lo kabur sampai bisa ke sini dini hari, Li?” “Pakai tang, Kak.” “Hah?” Lia tergelak renyah sebelum menjelaskan maksud kata-katanya. “Kamar Lia kan pakai teralis, Kak. Bingung kan mau kabur gimana? Mana ngga ada alat-alat pertukangan gitu. Ada obeng, tapi yang kembang, ngga bisa dipakai. Pas lagi bengong sambil mainin koin seribuan, tiba-tiba aja kepikir, bisa ngga ya pakai koin yang dijepit tang? Dan ternyata … sumpah keras banget Kak! Lia cobain tuh satu-satu bukain setiap baut, ada yang bisa. Berarti kan yang lain juga bisa, cuma keras aja.” “Makanya tangan lo sampai lecet-lecet gitu?” Lia mengangguk seraya membuka telapak tangan kanannya. Menatap bekas luka hasil perjuangannya melarikan diri. “Deni tau?” “Iya, Kak. Tau.” April kembali melahap makanannya, mengunyah perlahan seraya menyapukan pandangan. Tempat ini memang menghadirkan view yang sungguh indah. Jika saja tak terbentur jalan buntu, rumah tersebut pasti tak akan kosong lama. “Ayah udah lama ngga ada Li?” tanya April kemudian. “Iya, Kak. Sudah lumayan lama,” jawab Lia. “Ayah tuh dulu petani hidroponik, Kak. Beliau kerja di Puncak dan pulangnya cuma weekend atau kami yang ke sana. Tadinya begitu. Sampai akhirnya kami pindah ke Bogor. Waktu itu Lia pikir supaya bisa ngumpul aja. Ternyata … kesehatan Ayah malah menurun. Setahun setelah kami pindah, Ayah meninggal.” “Sakitnya apa?” “Ngga tau sih persisnya, Kak. Soalnya berobat ke mana aja kayak ngga kunjung fit lagi. Tapi kalau meninggalnya karena serangan jantung,” jelas Lia lagi. “Ayah tau soal Deni?” “Ngga, Kak. Lia dan Kak Deni kan pacarannya backstreet. Soalnya Lia ngga boleh pacaran. Waktu pindah pun Lia masih kuliah, jadi ya ngga pernah cerita-cerita soal pacar. Ngga berani, Kak.” Lia menyesap kopinya. Ia lalu berdiri dari sofa yang mereka duduki, melangkah ke tepi jendela. Ponsel barunya yang ia genggam Lia angkat hingga lensa kameranya membidik panorama Ibu Kota nan bermandikan bias cahaya keemasan. Jika dalam efek fotografi, mahfum dengan istilah sephia, namun versi asli tanpa editan. Sungguh indah, baik lukisan Tuhan atau pun yang tertangkap di layar gawainya. Lia membuka aplikasi obrolan, mengirimkan foto tersebut pada Deni. Lia: Kamera dari hape baru. Lia: Bagus kan Kak? Chat itu tak langsung Deni balas. Checklist-nya pun masih berwarna abu-abu. Lia kemudian membidik lagi, mengambil beberapa gambar dengan sudut yang berbeda. “Oh iya, Kak,” ujar Lia. Ia gegas kembali ke tempatnya duduk. “Pas kecelakaan tadi, Lia dan Kak Deni baru keluar dari kafe es loli. Itu kecelakaannya pas banget di seberangnya, Kak. Jadi kami lihat pas benturan tragis itu.” April mengerutkan kening, logikanya langsung bekerja. “Deni?” “Iya. Kak Deni sempat kayak shock gitu, Kak. Ngejambak rambutnya, nangis. Lia buru-buru dekatin, nutupin pandangan Kak Deni pakai jas yang Lia taruh di atas kepala. Lia takut Kak Deni panik.” “Tapi ngga apa-apa?” “Bukan ngga apa-apa, Kak. Ya … Kak Deni ketakutan gitu. Tapi setelah tenang, dia langsung meriksa korban. Apa Kak Deni trauma ya Kak?” “Hampir semua orang punya trauma, Li. Sebagian lagi punya fobia. No body’s perfect kan?” ujar April. “Iya sih.” “Tapi, waktu wawancasa psikologi sama gue, he’s fine kok. Ngga ada sindrom pasca trauma. Kalau tadi Deni shock, ya wajar banget Li. Bahkan orang yang ngga pernah ngalamin kecelakaan kayak Deni pun, ngelihat kejadian adu banteng live di depan mata begitu ya pasti megap-megap.” “Iya sih, Kak.” “Dia tenang, dia masuk ke tempat kejadian, dia meriksa korban, itu udah nunjukin he’s really fine.” “Hmm. I hope so.” “Kenapa?” tanya April kemudian. Sepertinya ada yang membuat Lia gelisah. “Kak Deni tuh ngga pernah mau nyeritain masa lalu dia, Kak. Apa yang menyebabkan kecelakaan itu? Sebelum kejadian gimana? Kenapa Mama Papa cerai? Kenapa Mama meninggal?” Lia mendengkus lemah, kedua bahunya jatuh terkulai. “Lia juga ngga berani ngorek, Kak.” “Jangan. Mungkin terlalu sakit buat Deni membuka memori itu. Meski ngga menutup kemungkinan, satu hari nanti dia akan cerita sendiri. Yang penting Deni tau lo selalu ada buat dia. Tugas lo cuma buat dia nyaman. Mereka ngga kayak kita yang saat galau maunya curhat sampai pagi. Cowok tuh, seringkali dapat masalahnya kapan, ceritanya udah lewat lama. Bahkan udah selesai dia hadapi dulu.” “Iya, Kak.” Obrolan itu berlanjut ke hal-hal lainnya. Yang ringan-ringan saja, seputar pengalaman April menjalani mahligai rumah tangga dengan Irgi. Ditambah kisah hubungan jarak jauh yang mereka tempuh selama tiga belas tahun sebelum akhirnya menikah dan akhirnya bersama seutuhnya. Lia begitu menikmati cerita itu, hingga ia sampai tak sadar jika hari beranjak gelap dan senja seutuhnya menyapa. My Dear Doctor: Operasinya baru selesai, Sayang. Aku bersih-bersih dulu, baru pulang. Ngga jadi ke The Hiding Place? Kayaknya bagusan hape kamu ya? Apa aku ganti juga? Kak April di rumah ya? Sayang, ada makanan ngga di rumah? Lia terkekeh, lucu melihat balasan yang bertubi-tubi itu. Gegas ia membalas. Lia: Iya, Kak April ada di sini. Lia: Makanan juga ada. Lia tunggu di rumah ya Kak? My Dear Doctor: Oke. Chat itu dipungkaskan dengan emoji hati dari masing-masing. *** Entah sudah pukul berapa, yang jelas Lia terbangun karena merasa dirinya terkukung. Benar saja, ternyata sang suami pelakunya. Ruang tengah rumah itu sudah gelap. Deni tertidur pulas di sampingnya dengan tangan kiri yang melingkar di tubuh Lia. Sandaran sofa yang sebelumnya tegak kini sudah berbaring, mengubah dudukan menjadi dipan. ‘Ya ampun, kapan ketidurannya gue?’ Dengan gerakan seringan kapas, Lia mengubah posisinya. Kini berbaring menyamping, berhadapan dengan Deni. Tak ada yang ia lakukan setelahnya, kecuali memandangi sang suami penuh kasih. “Jangan dilihatin,” gumam Deni. Lalu … kedua kelopak matanya terangkat perlahan. “Lia ketiduran, Kak,” ujar Lia. Memberi informasi yang pastinya tak lagi penting bagi Deni. Toh ia mendapati sendiri yang sang istri terlelap pulas saat menunggunya pulang. “Iya.” “Kak Deni udah lama pulangnya?” “Hmm.” “Udah makan?” “Hmm.” “Bener?” “Bener.” “Kenapa ngga bangunin Lia?” “Kamu tidur.” “Ya kalau bangun, ngga minta dibangunin, Kak.” Deni malah terkekeh. “Lia?” “Apa?” “Aku ngga bisa gendong kamu.” “Lia ngga minta digendong.” “Kalau pakai prostesis, aku ngga bisa gendong kamu,” ulang Deni. “Terus kenapa?” “Kalau pakai kursi roda bisa.” “Itu mangku, Kak. Bukan gendong. Kursi rodanya yang gendong kita.” Deni tergelak lagi, namun mengangguk. Gemas! Lia mencubit kedua pipi sang suami, menariknya mendekat, menagih ciuman yang begitu manis terasa. “Jadi, emang kenapa kalau Kak Deni ngga bisa gendong Lia?” “Mmm … kalau kamu ketiduran di sofa, aku ngga bisa angkat ke kamar.” “Oh. Makanya Kak Deni ikutan tidur di sini?” “Iya.” “Harusnya Kak Deni bangunin Lia. Biar kita pindah ke kamar.” “Kamu tidur.” “Iya, Kak. Makanya dibangunin, biar kita ngga tidur di ruang tengah. Besok-besok kalau kejadian lagi, bangunin ya?” “Ngga.” “Kenapa?” “Kamu tidur.” “Iiih!” Lia mendengkus keras. Kesabarannya setipis tisu. Deni malah makin tergelak. Lia sungguh paham, suaminya memang sengaja membuatnya kesal. Tak lagi aneh, memang kelakuan Deni seperti itu, mengulang-ulang omongan sampai Lia kesal dibuatnya. ‘Cup!’ “Kangen, Lia,” ujar Deni setelah melabuhkan satu kecupan singkat. “I miss you, too.” Deni mengangkat tubuhnya, sebagian menindih sang istri. Bibir mereka sudah menyatu kembali, tak perlu waktu lama untuk mendapatkan gairah pengantin baru. “Kenapa Kak?” tanya Lia saat mendapati Deni yang terdiam tiba-tiba. “Tadi, ada email masuk ke hape kamu,” ujar Deni. “Kamu belum bikin kunci layar?” “Iya belum. Lagian kan Kak Deni doang yang suka kepo bukain hape Lia. Email apa emangnya?” “Ireland.” Lia sontak membelalak. “Kamu dapat project itu, Li. Congratulations, Sayang.” “Project-nya mulai bulan depan, Kak.” “Iya. masih sempat ngajuin cuti. Aku boleh ikut kan?” “Boleh. Kak Deni bisa?” ujar Lia, penuh harap. Binar matanya jelas menyiratkan, ia ingin sang suami mendampinginya. “InshaaAllah. Sekalian honeymoon. Plus nyari lokasi buat our lighthouse home in the future. Sounds good?” Lia tak menjawab dengan lisannya. Hanya pelukan eratnya di tubuh Deni yang menyiratkan jika ia sangat setuju dengan ide indah itu. “I love you, Lia.” “I love you too, Kak. So much!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD