“Lia harap, Ibu bisa memahami Lia. Dan entah kapan, Lia juga berharap kita ngga akan saling nyakitin seperti ini lagi, Bu.”
Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan atau dijelaskan bukan? Lia mengajak Deni meninggalkan rumahnya, memberi punggung pada Haya yang masih kehilangan kata-kata.
Tepat saat pagar manusia yang menjaga Deni dan Lia tadi memberi celah untuk keduanya, tim Burhan melangkah pongah.
“Kalian pikir semudah itu untuk pergi? Bayar dulu hutang ibumu!” ujar Burhan. Sontak, langkah keduanya terhenti. “Hutang ibumu sudah mencapai lima ratus juta. Selama ini ia hanya mampu membayar bunga, pokoknya belum tersentuh sama sekali. Aku menawarkan pernikahan ini sebagai solusi. Aku menginginkanmu, dan ibumu terbebas dari hutang!”
Baru saja Lia hendak menjawab, suara Bonte menyahut lebih cepat. “Baru juga lima ratus juta! Eh Bandot Tua! Segitu doang mah ngga ada artinya buat Bos gue! Tapi pantas sih lo tagih, secara harga diri lo aja ngga sampe segitu.”
“DIAM KAMU!”
“LO YANG DIAM! Ngembik aja kerjaan lo! Ngga ada tagih-tagihan! Urusan hutang, nanti lo ketemu sama pengacara Bos gue!”
Bonte memang sudah diamanahkan oleh Ian agar jangan terprovokasi persoalan perdata jikalau ternyata pemicu pernikahan itu salah satunya adalah hal tersebut. Deni tertegun, ia tak di-briefing bagian ini. Jika soal lima ratus juta yang tadi, meski tetap berarti baginya, namun tak masalah jika memang ia harus menggunakan tabungannya untuk membayar hutang itu. Tapi soal pengacara? Seingatnya ia tak punya pengacara pribadi.
“Bang,” sapa Bonte begitu panggilannya ke Ian diangkat sang penerima. Tak lupa ia menekan tombol pengeras suara. “Si Bandot mau nagih hutang, Bang. Lima ratus juta katanya.”
“Lima ratus juta doang aja pake ditagih!”
‘Bang Ian ternyata,’ batin Deni.
“Tadi juga gue bilang gitu, Bang.
“Bakal beli kavling kuburan dia kali.”
“b******k!”
“Lah, lo loudspeaker?” tanya Ian kemudian.
“Iyalah, Bang. Kalau mau ngomongin orang ngga boleh di belakangnya. Di depannya langsung.”
“Benar sih,” ujar Ian pada Bonte. “Pak Burhan, untuk urusan hutang piutang atau apa pun yang berkaitan dengan urusan perdata antara Anda dengan ibu dari klien saya, silahkan datang ke firma hukum saya. Jangan lupa bawa pengacara Anda jika tidak ingin tuntutan berbalik ke diri Anda sendiri,” lanjut Ian, tertuju pada Burhan.
“SIAPA KAMU?”
“Hati-hati radang tenggorokan Pak teriak-teriak begitu. Selow aja, ngga usah ngegas!” balas Ian, datar. “Te, tinggalin anak-anak lo di sana. Ibu Haya lecet sedikit aja, gue bikin tuh aki-aki ngabisin sisa umur di balik jeruji!” titahnya kemudian pada Bonte, tak lagi merasa perlu menjelaskan identitas dirinya pada Burhan.
“Siap, Bang!”
Burhan terkekeh sinis, geram bukan kepalang.
“Bawa tim si Burhan, Te?”
“Bawa, Bang.”
“Siapa bosnya?”
Bonte – yang sedari tadi masih berhadapan dengan Burhan – berbalik, kini saling menatap dengan team leader gerombolan tukang pukulnya Burhan. Pria di seberangnya sontak terdiam sementara Bonte menunjukkan wajah bengisnya.
“PERGI LO PADA! GUE ACAK-ACAK MARKAS LO! Gue kepret lo!” omel Bonte.
“Siapa?” tanya Ian lagi.
“Anak-anaknya si Gareng, Bang.”
“Gareng Codet?”
“Iya, Bang!”
“Gue tutup bengkel gue baru mampus tuh orang-orang!”
“Jangan Bang! Please, jangan! Saya aja yang pergi, Bang,” ujar sang leader. Jika sudah bicara bengkel, jelas sudah bengkel mana yang apabila tutup mereka bisa mampus. Pasti punya bosnya bos mereka. “Maaf, Bang.”
Tanpa berpamitan, gerombolan itu gegas berbalik, melangkah menjauh. Bahkan saat Burhan memekik – memanggil mereka, pentolannya hanya bilang agar tak perlu membayar dan DP uang jasa yang sudah diterima akan secepatnya dikembalikan.
“Lo cari masalah dengan orang yang salah, Bandot Tua!” ujar Bonte. “Itu akibatnya kecanduan konten m***m. Udah tua tuh fokus ibadah, kalau lowong cari tanah buat siap-siap., bukannya sibuk pengen nikah lagi! Sekarang lo pergi, ngga ada gunanya lagi lo di sini. Pestanya bubar!”
***
Deni dan Lia memisahkan diri lebih dulu. Bonte masih di sana mengatur anak buahnya, menunggu beberapa saat untuk memastikan tak lagi ada geng Burhan yang lain menyusul datang. Menuju tengah hari, jalanan protokol sudah cukup padat. Deni harus tiba di rumah sakit sebelum pukul dua siang, ia tak begitu suka tergesa-gesa melakukan tindakan pada pasiennya. Namun, bukan itu yang membuatnya pening. Adalah sang istri yang sedari tadi bungkam dan membuang muka, melamun sambil entah menatap apa.
Tombol menu di car MP5 player Deni ketuk hingga muncul beberapa opsi aplikasi. Ia memilih radio, dan otomatis speaker di sekitar mereka menggemakan irama dari lagu yang tengah diputar.
“Kurasakan ku jatuh cinta. Sejak pertama berjumpa. Senyumanmu yang selalu menghiasi hariku.”
Lia akhirnya menoleh, menatap sang suami yang tengah berdendang dengan suara pas-pasannya. “Yang penting happy,” kata Deni dulu.
“Kau ciptaan-Nya yang terindah. Yang menghanyutkan hatiku. Semua telah terjadi. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Dan kuharapkan engkau tahu.
“Kau yang kuinginkan meski tak kuungkapkan. Kau yang kubayangkan, yang s'lalu kuimpikan.”
“Aku jatuh cinta. T'lah jatuh cinta. Cinta kepadamu. Ku jatuh cinta. I am falling in love. I'm falling in love with you,” dendang keduanya. Kompak.
Dan saat irama masuk ke interlude, Deni mengepalkan kedua tangannya di depan d**a, berwajah sumringah. Ternyata trik jadulnya masih cukup berhasil dan ia cukup berbangga diri bisa membuat Lia tergelak kembali. Dulu, saat masih di masa putih abu-abu, jika Lia tengah merajuk, biasanya Deni akan menyanyikan lagu yang mereka sukai. Tak butuh waktu lama, Lia akan turut menyatukan suara.
“Pasti sengaja,” ujar Lia.
“Iya. Abisnya kamu diam aja dari tadi.”
“Kak ….”
“Ada kafe es loli di dekat kantor aku, Li,” potong Deni. “Konon katanya, kalau nge-date di sana, kisah cintanya bakal berujung pernikahan atau langgeng Li.”
“Ngarang! Mana ada tempat begitu?”
“Ada.”
“Siapa yang ngeklaim kalau ke situ cintanya langgeng?”
“Ya yang suka jajan di sana,” jawab Deni seraya tersenyum menggemaskan.
“Kak Deni ih. Kayak gitu aja dipercaya,” balas Lia dengan satu tangan terulur mencubit pipi sang suami.
“Kalau ada buktinya, aku percaya. Lagian, kalau makan es loli di sana, mood kita jadi enteng, Li. Coba yuk?”
“Oke.”
Sekitar setengah jam kemudian, Deni sudah memarkir sedannya di depan kafe dessert tersebut. Ia turun lebih dulu, menyeberang ke sisi kopilot, membukakan pintu untuk Lia. Dari eksteriornya saja, tempat tersebut sudah begitu menarik. Pintu utamanya diapit dua jendela kaca tanpa bukaan. Di depan masing-masing jendela tersebut terdapat papan tulis – yang berisi menu khusus di hari tersebut – dan sebuah cutout standee bergambar ilustrasi es loli berwarna pink. Atap kafe itu bertipe mansard roof, bagian yang menjorok diwarnai pink dan putih dengan konsep checkered pattern.
Interior kafe tersebut full color dengan warna-warni pastel. Tak lupa wall art berbentuk lelehan yang membingkai dinding dengan cantiknya. Sofa-sofanya berwarna pink, sementara kursi-kursi tunggal warnanya beragam; mint, kuning pucat, dusty purple, dan soft blue.
Deni membawa Lia ke lemari pembeku di samping meja kasir agar Lia memilih makanan manis dan segar itu sendiri.
“Kafenya keren ternyata,” ujar Lia begitu duduk di salah satu sofa. Deni memilih duduk di samping sang istri.
“Rasa es lolinya juga enak,” sambut Deni.
“Pure ya Kak? Tadi aku lihat tulisannya gitu?”
“Ada yang pure, ada yang combine sama s**u, coklat atau cold pressed juice.”
“Mmm … pantes sih harganya lumayan.”
“Iya. Sekarang mereka jual es krim juga. Tapi jagoannya tetap si loli.”
Tak berselang lama, seorang pelayan menyambangi meja mereka, meletakkan piring saji dengan menu pilihan keduanya. Deni membiarkan Lia mencicipi lebih dulu. Begitu kedua mata sang istri melebar dan bibirnya tersenyum, Deni menyambut dengan kekehan riangnya.
“Enak!” ujar Lia. “Kak Deni pesan rasa apa tadi?”
“Mint chocolate sama berry buttermilk.”
“Enak ngga?”
“Pasti mau minta.”
Lia ngangguk-ngangguk. Deni misuh-misuh. Bercanda saja, hanya untuk menghadirkan gelak tawa sang kekasih hati. Piring keduanya didekatkan, saling menyinggung. Mereka menikmati makanan dingin itu bersama, tak membedakan mana milik Lia dan mana milik Deni.
“Kak?” tegur Lia begitu es loli mereka tandas.
Deni menoleh. Kembali mendapati wajah muram Lia. Ia mendengkus lemah. Mulai berpikir, apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat Lia tak bersedih hati.
“Kak Deni?”
“Kenapa Sayang?”
“Kak Deni … jangan benci Ibu ya? Lia … minta maaf atas nama Ibu, Kak,” lirih Lia, sengau menjelang kata terakhir.
“Sebelum datang ke rumah kamu pun, aku sudah siap dengan kemungkinan ini, Li. Ngga apa-apa. Tenang aja. Aku ngga benci Ibu.”
“Kak Deni ngga nyesal kan nikahin Lia?”
“Sama sekali ngga. Masa nyesal nikahin perempuan yang aku cintai? Memangnya kamu menyesal menikah denganku? Pernikahan yang membuat Ibu marah.”
“Ngga Kak. Ngga sama sekali.”
“Kalau gitu sama. Lia … jangan beratkan pikiranmu dengan hal-hal yang sudah jelas ngga mungkin. Seperti aku nyesal nikahin kamu, seperti aku ngga cinta kamu, seperti aku akan ninggalin kamu dan mungkin banyak lagi. Itu semua ngga akan terjadi, Li.”
“Iya, Kak.”
“Ngomong-ngomong, kamu tau soal hutang Ibu?”
“Oh itu … Kak Deni ngga usah bayar. Biar itu urusan Lia.”
“Lia,” lirih Deni, lesu. “Ngga ada lagi urusan kamu, urusan kita. Apa pun yang terjadi di pernikahan ini ya namanya urusan kita.”
“Tapi, Kak ….”
“Kamu tau ngga soal hutang itu, Sayang?”
“Ngga sama sekali, Kak. Ibu kan kerja. Gaya hidupnya juga sederhana. Rasanya ngga mungkin Ibu berhutang sebesar itu.”
Deni mengangguk. Di dalam pikirannya masih bergulat segala kemungkinan yang menyebabkan Haya begitu membencinya. Masuk akal memang jika Haya benci Deni karena membuatnya gagal melunasi hutang. Namun, lima ratus juta untuk harga anaknya sendiri? Sepertinya bukan itu masalah utamanya. Deni bisa melihat jelas, Haya menyayangi Lia saat perempuan itu menatap nanar sang putri yang menangis kecewa tadi. Pasti bukan uang satu-satunya penyebab.
“Kak?”
“Ya?”
“Kok melamun sih?”
“Ngga, Li. Aku mikirin Ibu. Kira-kira apa yang bikin Ibu bisa punya hutang sebesar itu?”
Lia mengatupkan bibirnya, menggeleng lemah. Ia pun memikirkan itu sedari tadi, dan tak menemukan clue apa pun.
“Lia pulang naik taksi aja ya, Kak? Kalau ke rumah dulu, Kak Deni mutar lagi, ketemu macet lagi. Nanti malah telat. Mau ada operasi kan?”
“Kamu ngga mau ikut ke rumah sakit, Li?”
“Nanti ganggu Kak Deni?”
“Ngga. Sekalian aku lapor ke HRD kalau kita sudah menikah.”
“Boleh deh. Tapi Lia ke toko hape dulu ya Kak? Hape Lia kan di rumah. Kayaknya ngga mungkin Lia ambil lagi. Sudah dua minggu Ibu ngurung Lia. Lia harus beresin kekacauan yang Lia buat, Kak. Kayaknya Lia bakalan kena banyak denda karena ngga datang kerja. Kak Deni buru-buru ngga?”
“Ngga. Masih ada waktu kok. Ayo kita beli hape. Kita mutar aja, nanti masuk dari gerbang belakang rumah sakit. Sebelum gerbang ada toko hape.”
Lia mengangguk. Keduanya pun berdiri. Seraya menautkan jemari, mereka berjalan beriringan, meninggalkan ruang cantik itu. Lalu lintas di seberang kafe tak ramai seperti tadi, justru terkesan lengang. Langit pun cerah, dan matahari bersinar terik.
Deni membukakan pintu kopilot untuk Lia. Ia menunggu hingga sang istri duduk dengan nyaman lalu memasangkan sabuk pengaman sambil mencuri-curi kecupan. Gelak renyah keduanya mengisi ruang, rasanya tak akan puas bercengkerama seperti itu dengan yang terkasih.
Pintu Deni tutup kembali, ia melangkah, hendak menyeberang ke sisi pengemudi.
Namun, tepat di tengah kap sedan, suara yang memekakkan dan membuat linu terdengar mengerikan. Deni membelalak, menatap langsung adu hantam sebuah sepeda motor dengan satu unit mobil bak terbuka. Kedua pengendara motor terpental jauh. Salah satunya yang nampak di titik pandang Deni, seorang perempuan, langsung tak bergerak setelah menyentuh tanah.
Deni … pias!
Air mata sontak mengalir di wajahnya.
Kelebat kenangan di masa lalu menghantam keras.
Tangannya yang bergetar naik ke kepala, menjambak surainya kencang. Geraman menderita pun terdengar menyayat hati.
Belum sempat Deni berteriak panik, seseorang menelungkupkan kain – jas Deni sendiri – di atas kepalanya. Sang pelaku ikut berada di bawah naungan itu, menangkup wajahnya.
“Kak Deni … Kak Deni ngga apa-apa? Breath! Napas Kak. You’ll be ok. You’ll be ok.”
“Lia,” lirih Deni. “Kak Sherry ….”
Iris mata Deni yang bergetar jelas mengatakan jika Deni kalut mengatasi kenangan buruknya. Lia menarik sang suami dalam dekapannya. Membiarkan Deni menyandarkan kepala di bahunya. Di saat yang sama, tangis Deni pun pecah begitu saja.
“Kak Sherry meninggal, Lia … karena aku.”