“Kita langsung ke Sudirman, Kak?” tanya Bonte seraya menekan pedal gas. Hari ini Deni meminjam Bonte dari Ian untuk menemani sang istri mengurus beberapa pekerjaan yang terbengkalai akibat dikurung Haya kemarin.
Lia menelan nasi dan rendang belut yang dibawakan Bonte – hasil masakan sang istri – lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan pemuda di balik roda kemudi tersebut. “Ke rumahku dulu, Bang.”
“Rumah Kak Lia? Rumah Bu Haya?”
“Iya.”
“Waduh? Saya perlu kontak anak-anak ngga, Kak?”
“Ngga usah sih. Aku cuma mau ketemu Ibu sebentar, sekalian ngambil kamera dan alat-alat yang lain. Kalau Ibu masih di rumah.”
“Oke, Kak.”
Lia menikmati kunyahannya kembali sementara Bonte mengetuk salah satu playlist yang muncul di layar mp5 player mobil itu. Baru saja dua kali ia menyentuh tombol skip, laju sedan itu melambat, Bonte tergelak geli.
Di depan sana, Dariel tengah menari konyol di depan SUV Andra. Menjegat lebih tepatnya. Lia menghentikan kunyahannya lagi, ikut menatap ke arah pandang Bonte, turut tergelak. Nampak Andra turun dari mobilnya, bertolak pinggang seraya melangkah. Ia lalu mengangkat satu kaki, menendang b****g Dariel agar menyingkir dari jalannya.
Lia membuka kaca jendela, menyuarakan tawanya. Ia lalu mengulurkan tangan yang menggenggam dua mesh bag berisi nectarine.
“Maaf, ngga turun ya?” ujar Lia.
“Buat gue?” tanya Dariel.
“Buat Aluna, sama buat Diana.”
Istri Dariel dan istri Andra sama-sama mendekati jendela, mengambil jatah buah masing-masing dengan wajah sumringah, terutama Ardhan – putra kecil Andra dan Diana.
“Ardhan ikut Ante Lia yuk?”
“Ardhan belum mandi, Ante. Masih bau acem,” ujar Diana.
“Enak!” gumam Dariel yang sudah mencaplok salah satu buah itu.
“Dari Bang Irgi dan Kak April. Semalam hujan deras kan, ribet katanya naik turun mobil, jadi nitip,” jelas Lia.
“Bang Irgi atau Kak April?” tanya Andra.
“Bang Irgi yang bawa,” jawab Lia. Sudah pasti itu, karena saat bersamanya April tidak membeli buah.
“Nyolong pasti!” ujar Andra dengan wajah datar.
Lia otomatis tergelak, teringat pesan Deni sebelum sang suami berangkat bekerja lebih pagi tadi.
“Bilangin buahnya beli ya Sayang. Tekankan kata beli!”
“Kenapa emangnya?”
“Nanti dikira buah curian.”
“Kok bisa?”
“Bang Irgi suka ngembatin makanan Zhen. Abis itu dia makan sambil bagi-bagi sama yang lain.”
“Hah? Robin Hood?”
“Ngga kok Bang Andra. Bang Irgi beli.”
Andra hanya mendengkus keras, sepertinya tak percaya, sementara putranya sudah asik menggerogoti buah itu.
“Eh, udah dicuci kan ya, Kak?” tanya Diana pada Lia.
“Sudah dong, tenang aja Di.”
“Istriku … kenapa baru nanya? Udah digraok Ardhan ih!” sambat Andra kemudian. Diana hanya mencengir lebar.
Andra lalu mengecup kening Diana dan sang putra, menerima suapan dari tangan keciln Ardhan, menendang b****g Dariel sekali lagi, lalu kembali masuk ke balik kemudi, melaju menjauh.
“Gue juga jalan ah,” ujar Dariel.
“Lun?” tegur Lia pada Aluna begitu Dariel masuk ke dalam sedan mewahnya.
“Apa?”
“Nanti sore atau malam gue main ya? Mau konsul traveling capsule wardrobe. Pengen ngerapihin portfolio gue di sosial media. Pengen nyoba menambah keahlian memfoto object hidup. Siapa tau nanti dikontrak lo dan Diana kan?”
Aluna mencengir sesaat. “Emang lo mau ke mana?”
“Ireland, inshaaAllah.”
“Ikuuut!”
Diana malah ngekek. “Pasti sekalian honeymoon kali, Kak.”
Lia ngangguk-ngangguk, Aluna memberengut, Diana makin tergelak.
“Ya udah deh, gue mau menyerahkan diri dulu nih. Takutnya makin lama nongol, diminta denda gara-gara mangkir kerja,” jelas Lia kemudian.
“Kok sama Bang Bonte doang? Ngga minta temanin Kak Meta?” tanya Diana. Mengingat bisa saja menghilangnya Lia dua minggu terakhir memicu klien-kliennya menuntut ganti rugi.
“Gue dulu aja. Mudah-mudahan sih ngga usah sampai minta temanin Kak Meta. Syukur-syukur kalau mereka maafin dan mau ngasih kesempatan lagi. Iya kan?”
“Aamiin,” ujar Diana dan Aluna serempak.
“Ya udah ya gengs, gue jalan dulu.”
***
“Bang Bonte tunggu di mobil aja.”
“Maaf, Kak. Ngga boleh. Saya diamanahin dr. Deni dan Bang Ian supaya ngga jauh-jauh dari Kakak.”
“Gitu ya? Ya udah deh, yuk.”
Lia keluar dari mobil, melangkah menuju kediamannya sebelum menikah dengan Deni. Tepat di depan pintu pagar Lia tertegun, pandangannya menelisik, motor sang ibu tak lagi di sana, apa Haya sudah pergi bekerja?
Bonte membukakan pintu pagar, membiarkan Lia melewatinya. Di depan pintu utama, Lia mengetuk beberapa kali.
Tak ada jawaban.
Lia pun beringsut, ke jajaran pot yang tergantung di dinding bagian dalam. Di salah satunya, Haya biasa meletakkan kunci. Baru saja tangan Lia hendak mendorong dedaunan yang menutupi dasar pot, terdengar seseorang membuka kunci.
Pintu itu terbuka, menampakkan Haya yang berdiri tanpa ekspresi.
“Ibu …” lirih Lia. Ia mendekat, meraih tangan Haya untuk dikecupnya takzim. “Ibu sudah sarapan?”
Haya diam saja, enggan menjawab.
“Lia bawa rendang belut. Enak deh. Ibu pasti suka. Lia juga bikin ayam panggang pakai resep Ibu. Sama ada buah nectarine, kayak peach tapi kulitnya ngga berbulu, Bu.”
Haya masih bungkam. Ia lalu mendengkus, berbalik begitu saja, tak menyambut tangan Lia yang menggantung di udara seraya menggenggam oleh-olehnya.
“Kak?” tegur Bonte. Seketika merasa iba.
“Bang Bonte tunggu di luar aja. Ya?” pinta Lia.
“Kak Lia ngga apa-apa?”
“Iya. Ngga apa-apa.”
Lia pun menyusul masuk, mendapati Haya duduk berhadapan dengan televisi. Tak langsung Lia dekati, ia memilih ke dapur lebih dulu, memotong-motong buah yang ia bawa.
“Motor Ibu ke mana? Kok ngga ada?” tanya Lia seraya meletakkan piring saji lalu duduk tepat di samping Haya.
Masih sama, Haya seolah kehilangan kemampuannya berbicara.
Lia menyapukan pandangan, mencari perihal yang mungkin saja berubah. Namun, yang ia dapati justru selembar kuitansi yang tergeletak di atas salah satu rak ambalan, tepat di samping televisi. Lia berdiri dari duduknya, mengambil kertas tersebut, membaca kalimat yang tercantum di atasnya. Ia mendengkus, miris.
“Ibu, Lia mau ambil kamera Lia. Boleh ya Bu?”
Hanya sebentar Lia menunggu Haya meresponnya, meski nihil. Barulah ia beranjak ke kamarnya, mengambil segala keperluan.
Tepat saat koper yang selalu Lia bawa ke mana pun terbuka, Lia kembali tertegun. Ia menarik udara sedalam mungkin, memerangkap di dalam paru-parunya untuk beberapa saat, lalu ia hembuskan perlahan. Beberapa kali Lia melakukan itu sebelum akhirnya ia merogoh sling bag-nya, mengambil ponsel, menghubungi Deni.
Lia: Sayang, lagi sibuk ngga?
Niatnya, Lia akan menunggu beberapa menit. Jika tak ada balasan barulah Lia menjelaskan apa yang ada di pikirannya via text message. Tapi, voice call dari sang suami justru masuk ke nomornya.
“Kak?”
“Kenapa Sayang?”
“Bukannya lagi jadwal poli?”
“Iya, poli cinta.”
Lia tergelak.
“Lagi minta hold sebentar. Tadi sampai rumah sakit, aku langsung visit pasien, belum sempat sarapan,” lanjut Deni.
“Ini sambil makan?”
“Hmm. Sandwich aja.”
“Kak?”
“Kenapa Li?”
“Lia udah di rumah Ibu.”
“Baru sampai?”
“Udah lima belas menitan deh Kak.”
“Ibu ada?”
“Ada, Kak. Tapi diam aja, ngga mau ngomong.”
“Kan tadi aku bilang, harusnya aku ikut.”
“Terus Ibu teriak-teriak lagi?”
“Iya sih, kasian Ibu. Nanti malah sakit gara-gara ngelihat aku.”
“Maafin Ibu ya Kak?”
“Ngga usah bahas itu. Ada apa Sayang?”
“Lia mau ngeberesin barang-barang Lia. Tapi kok ….”
“Bawa barang yang berkaitan sama pekerjaan kamu aja. Kebutuhan dasar ngga usah. Kita beli aja, Li. Kalau sampai baju-baju dan pernak-pernik kamu angkut, Ibu bisa tambah sedih.”
“Iya sih, Kak. Lia juga kepikiran begitu.”
“Hmm. Terus, ada apa lagi?”
“Motor Ibu diambil Burhan, Kak.”
“Hah?”
“Di kuitansinya sih buat bayar bunga dua bulan. Bunganya aja sebulan lima juta coba Kak? Motor Ibu padahal masih baru. Lia belinya cash, lima belas juta.”
“Astaghfirullah.”
“Gimana ya Kak?”
“Kita beiiin Ibu motor lagi?”
“Ngga akan nyelesaiin masalah sih Kak. Bisa-bisa diambil Burhan lagi. Kayaknya dia sengaja.”
“Bang Ian nelpon Ibu berkali-kali, tapi Ibu ngga ngangkat, Li. Si Burhan juga ngga muncul-muncul di kantor hukumnya. Abang juga sudah kirim chat, ngga Ibu balas.”
Lia mendengkus resah. Haya pasti sebegitu marahnya hingga dirinya sendiri pun ia biarkan tersiksa.
“Lia coba ngomong sama Ibu deh, Kak.”
“Hmm. Dicoba dulu aja, Li. Soalnya harus ada permohonan dari Ibu baru masalah ini bisa diselesaikan.”
“Oke, Kak.”
“Kabarin aku ya?”
“Iya. Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Seperti yang Deni katakan, Lia hanya mengemas peralatan fotografi, skincare, dan makeup-nya. Ia lalu mengganti baju baru kemudian melangkah keluar dari kamar, kembali ke ruang tengah – tempat Haya masih termenung.
“Bu?”
Haya masih saja tak sudi menyahut.
Lia kehabisan akal. Mau tak mau ia terpaksa bicara tanpa mengharapkan respon sang ibu.
“Ibu … bulan depan Lia mau ke Irlandia. Lia masuk finalis kontes fotografi yang terakhir di Capetown kemarin, Bu. Semua finalisnya bakal beradu lagi di satu project, sekaligus nentuin siapa pemenangnya. Kalau Ibu mau ikut, Ibu segera kabarin Lia ya? Biar kita urus visa Ibu.
“Terus, Bang Ian, pengacara yang Lia dan Kak Deni pilih, katanya berusaha nelpon dan sudah chat Ibu. Beliau mau bantu soal hutang Ibu dengan Pak Burhan. Tapi, kalau Ibu ngga mau ngerespon, Bang Ian ngga bisa gerak Bu. Kan harus ada penunjukan resmi dari Ibu sebagai penggugat yang meminta beliau sebagai perwalian hukum. Tolong direspon ya Bu? Atau, nanti Lia atur deh, siapa tau Bang Ian bisa nyisihin waktunya tatap muka langsung sama Ibu.”
Lia mendengkus kembali, pilu mendapati Haya yang tetap bergeming. Sebegitu bencinyakah Haya padanya? Apakah hidupnya selama 30 tahun sebagai anak satu-satunya tak lagi berarti di mata dan hati Haya?
“Ya sudah kalau Ibu masih ngga mau ngomong sama Lia. Ngga apa-apa. Nanti Lia datang lagi ya Bu? Mau bagaimana pun sikap Ibu, Lia tetap sayang Ibu.” Lia mengulurkan tangan, memeluk Haya dari samping. Meski Haya tak membalas, Lia bisa berbesar hati. Memeluk sang ibu satu arah jauh lebih baik dibandingkan mendengar pekikan dan makian Haya seperti kemarin.
Lia mengurai pelukannya, meraih tangan Haya untuk ia kecup takzim sebelum berdiri dari duduknya dan melangkah menjauh.
“Kalau kamu sayang Ibu, tinggalkan suamimu!” ujar Haya tepat saat Lia akan menekan tuas pintu.
Lia tertegun, hatinya kembali berdenyut nyeri. Kedua mata Lia sontak berembun, tergenang air mata. Lia sudah berjanji, ia akan tegar karena apa yang ia jalani saat ini adalah pilihannya sendiri. Ia kembali bernapas dalam, lalu membuka daun pintu di hadapannya.
“Ibu … hati Lia masih cukup besar untuk tetap menyayangi Ibu, sekaligus mencintai suami Lia. Tidak ada yang perlu Lia pilih untuk bersama atau tinggalkan, karena kalian berdua adalah orang-orang yang sangat Lia kasihi.”