Keyra baru saja tiba di depan rumahnya dan langsung berlari tergesa-gesa masuk ke dalam rumah, terdorong oleh suara motor ayahnya yang mendekat.
Adam, kakak Keyra, melihat adiknya itu lari dengan tergesa-gesa dan menggelengkan kepala, menghela nafas karena kelakuannya.
Tidak lama kemudian, Adam berjalan menuju teras rumah untuk menyambut ayahnya yang baru pulang dari luar kota.
Dengan senyum hangat, dia melangkah ke depan ayahnya. Adam memiliki wajah tampan dan usianya dua puluh sembilan tahun. Ayah mereka, Surya, adalah seorang buruh bangunan yang pulang ke rumah seminggu sekali.
"Selamat malam, Ayah. Aku sudah siapkan makan untukmu," ucap Adam dengan penuh perhatian.
Surya tersenyum, merasa senang dengan perhatian anaknya. "Terima kasih, Adam. Oh iya, dimana Keyra?" tanyanya, kebingungan melintas di wajahnya saat tidak melihat Keyra di sekitar.
Adam menjawab, "Dia ada di kamarnya. Ini motornya," sambil menunjuk ke arah motor Keyra yang baru saja diparkir.
Surya melihat motor tersebut dengan seksama, namun tiba-tiba wajahnya berubah menjadi cemas. "Keyra!" teriak Surya, suaranya melonjak tajam dan membuat Adam terkejut, menutup telinganya karena kejutan suara tersebut.
Sementara itu Keyra duduk di tepi ranjang kamarnya, memejamkan matanya dan mengambil napas dalam-dalam setelah mendengar teriakan keras Surya, ayahnya.
Dia merasa tertekan dan cemas menghadapi kemarahan ayahnya. Lalu, dengan nada putus asa, Keyra berbicara pada dirinya sendiri, "Matilah aku! Ayah pasti tahu kelakuanku."
Tidak butuh waktu lama bagi Keyra untuk memutuskan untuk menghadapi ayahnya. Dia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan kamarnya dengan cepat. Begitu dia keluar dari kamar, tatapan tajam Surya sudah menatapnya, menyiratkan rasa marah dan kekecewaan.
"Keyra, apa lagi yang kamu tabrak?" tanya Surya dengan suara yang penuh ketidakpuasan, tanpa memberikan kesempatan pada Keyra untuk memberi penjelasan.
Rasa kekhawatiran dan kesalahan yang ada dalam diri Keyra terasa semakin dalam saat melihat ekspresi wajah ayahnya.
Keyra menjawab dengan nada santai, mencoba meredakan ketegangan, "Ayah, tenang saja. Yang aku tabrak hanya mobil orang kaya. Dia tidak meminta ganti rugi seperti yang pernah aku tabrak sebelum-sebelumnya."
Adam menggaruk kepalanya yang bingung, seolah tidak bisa mengerti dengan pola pikir Keyra yang sepertinya meremehkan tindakannya yang sering menabrak.
Sementara itu, Surya, ayah mereka, terlihat tidak percaya dengan penjelasan Keyra. "Mana mungkin!" desis Surya, ekspresinya mencerminkan ketidakpercayaan yang mendalam.
Surya merasa geram dan marah karena perilaku Keyra yang tampak sembrono. Dia tidak bisa menahan perasaan kesalnya lagi.
"Dari pada kamu membahayakan jiwa orang lain dan dirimu sendiri, mulai besok jangan lagi bawa kendaraan! Jangan lagi pakai motor!" ucapnya dengan tegas, memberikan hukuman dan larangan yang jelas pada Keyra.
Kepedulian dan kekhawatiran ayahnya terhadap keselamatan Keyra menjadi alasan mengapa dia harus mengambil langkah tegas seperti ini.
Keyra merajuk saat mendengar ayahnya mengatakan itu, "ayah, jika aku tak ada motor bagaimana aku kuliah dan kerja."
Tetapi Surya dengan mantap berkata, "naik kendaraan umum, ayah sudah memutuskan akan menjual motormu secepatnya."
Keyra mencoba menahan kekecewaan dan frustasi yang terus bertambah. Dia ingin membela motornya, tetapi mendengar kata-kata ayahnya membuatnya tertunduk lesu. Dia tahu dia tidak bisa lagi mempertahankan motornya.
Perasaan bersalah yang dalam semakin menguat saat dia menyadari bahwa masalah yang diakibatkannya telah memaksa ayahnya mengeluarkan banyak uang untuk mengganti rugi akibat tabrakan yang sering terjadi.
"Baiklah, tidak apa-apa, " jawab Keyra berlagak baik-baik saja. Padahal dalam hatinya Keyra merasa sedih harus merelakan motornya.
Adam memutuskan untuk meredakan ketegangan dalam keluarga dengan mengajak ayahnya, Surya, dan adiknya, Keyra, untuk makan malam bersama. Dia merasa bahwa momen ini penting untuk mengembalikan kehangatan dalam hubungan mereka.
Dengan senyum lembut, Adam mendekati ayahnya dan adiknya yang masih tampak cemas. "Ayah, Keyra, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Ayo, mari ke meja makan," ajaknya dengan ramah.
Surya melihat ke arah Adam, kemudian pandangannya bergeser ke Keyra yang masih merasa sedih. Setelah beberapa saat, Surya mengangguk perlahan. "Baiklah, mari kita makan malam bersama," kata Surya dengan suara lembut.
Keyra mengangguk pasrah, merasa bahwa momen ini mungkin adalah kesempatan untuk meredakan ketegangan dalam keluarga. Mereka semua bergerak menuju meja makan dan duduk bersama.
Di meja makan, suasana yang tadinya tegang perlahan berubah menjadi lebih hangat. Makan malam bersama adalah cara Adam untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki perbedaan dan masalah, tetapi keluarga tetap penting dan dapat mengatasi segala hal bersama-sama.
Di tempat lain Anggara telah tiba di rumah mewahnya, dan begitu ia keluar dari mobil, ia langsung disambut oleh seorang pegawai rumah tangga.
"Selamat malam, Tuan," ucap pegawai laki-laki senior tersebut dengan ramah. Lelaki tersebut tampak sudah cukup tua, dengan pengalaman yang terpancar dari tatapannya.
Anggara langsung memandang ke arah pegawai tersebut, mengalihkan perhatiannya dari mobil. "Di mana anakku?" tanya Anggara, ingin mengetahui keberadaan putranya.
Pegawai itu memberikan jawaban dengan lembut, "Tuan muda sudah tidur sejak tadi setelah mengerjakan tugas sekolahnya." Dia menjelaskan situasi putra Anggara dengan penuh hormat.
Anggara mengangguk sebagai tanggapan, memahami bahwa putranya mungkin lelah setelah melewati hari yang panjang. Lalu, ia berjalan melewati pegawai tersebut dan melangkah masuk ke dalam rumahnya yang begitu mewah. Dalam ruang keluarga yang besar dan indah, Anggara merasa seperti pulang ke tempat yang nyaman setelah seharian beraktivitas.
Anggara memasuki kamarnya yang luas adegan ranjang berukuran king size, seolah kesunyian dan luasnya kamar tersebut memantulkan perasaannya yang sedang berkecamuk.
Dia perlahan menundukkan tubuhnya di tepi ranjang yang luas, membiarkan berat badannya merasa nyaman dan ringan di atas permukaan yang empuk.
Dalam kesendirian yang ada, pikirannya melayang-layang, dan pandangannya terarah pada langit-langit kamarnya yang tinggi.
Anggara terdiam, membiarkan pikirannya melayang ke saat pertemuan dengan Keyra. "Mengapa baru saja bertemu dengannya pikiranku terus-terus saja ingat padanya," gumamnya dalam hati.
"Padahal aku baru saja bertemu dengannya dengan durasi cukup cepat. Gadis itu."
Sebuah pertanyaan yang tidak kunjung mendapatkan jawaban dalam benaknya. Rasa penasaran dan bingung yang menghantuinya seolah menjadi beban yang sulit dihindari.
Tatapan Anggara menerawang ke langit-langit kamarnya, seolah mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.
Rasa frustasi yang terpendam muncul lagi saat dia mengingat penolakan mentah-mentah yang diterimanya dari Keyra.
Dia merasa seperti ada magnet yang menariknya pada sosok Keyra, meskipun hal ini sulit dipahami olehnya.
Anggara duduk dan mendengus dengan rasa keberanian yang tumbuh dalam dirinya. "Jika aku menemukan gadis itu, tidak akan aku lepaskan. Aku belum merasa puas."
"Aku harus menemukannya, bagaimana pun caranya."