Sembilan

3334 Words
Ya, harus aku akui kalau di Malang itu memang cozy banget. Dingin, asri, dan maju. Kalau dibandingkan dengan kata bapak soal Bangkalan itu, aku mengakui memang jauh—secara kompleksitas makanan, perbelanjaan, dan lain-lain dibandingkan dengan Malang. Aku pernah pergi ke Bangkalan untuk sebuah tour akademis di salah satu kampus. Dan di sana sangat gersang—mungkin bertepatan dengan musim kemarau. Juga di seputar kampus itu, hanya dikelilingi hamparan sawah yang luas. Bayangkan, ya, bagaimana jengahnya para mahasiswa yang kuliah di sana. Mereka pasti sulit untuk menemukan bioskop, mereka harus terlebih dahulu menyeberangi Jembatan Suramadu dan singgah ke Mall di Surabaya untuk bisa menikmati makanan-makanan seperti Mcdonald's dan KFC. Kembali ke topik. Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang begitu aku berhasil membuka pintu kamar. Jika dilihat dari aktivitas fisiknya, pertemuan tadi tak begitu berat. Tapi tetap saja, meladeni keramaian dan tekanan-tekanannya membuat mataku terasa berat. Aku terpaksa membebaskan pikiranku dari apapun untuk membantuku bisa terlelap sejenak. Tapi baru saja aku mencoba melakukan itu, lalu aku mendengar ponselku berdering. "Hemm?" Aku menggeram. Aku menyambar ponsel tanpa melihat terlebih dahulu siapa gerangan yang berani mengganggu jadwal istirahatku. "Arum?" "Hem..." "Lagi tidur, ya? Maaf ganggu, nanti aku telepon lagi, deh." "Udah, nggak perlu nanti-nanti. Cepat bilang ada perlu apa." Suara malas yang fasih dibalut dengan emosi kesal sepertinya mantap. "Aku Kevin. Tadi kita kan belum sempet buat ngomong empat mata. Bisa tidak kalau besok kita ketemu dan bicara? Toh hari Minggu kau sudah balik ke Malang. " Tadi memang aku belum bisa bicara empat mata dengan Kevin. Baru saja keluar dari area pameran, kami langsung dihujani lampu blitz. Jadi, setelah mengucapkan sepatah dua patah kata kalau aku dan dia belum bicara saat itu, aku langsung ditarik oleh Arsyad untuk pulang. Dan sialnya, para reporter itu lincah sekali, langsung menghunjami kami dengan segudang pertanyaan. "Okelah, tapi tidak perlu jauh-jauh. Aku belum tahu apa-apa dari kota ini. Kalaupun kau tahu, aku tidak bisa mempercayaimu," jawabku dengan mata terpejam. Tiba-tiba mataku terbuka lebar karena baru disulut rasa penasaran yang terlambat. "Kau tahu nomorku dari mana?!" "Tenang, tadi aku kirim pesan ke Arsyad. Dia yang ngasih nomormu. Dan janji nggak aku sebarin ke manapun." "Ya, tetep aja. Nomor telepon adalah privasi seseorang yang tidak boleh disebarluaskan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Dah lah, aku ngantuk…" Tanpa menunggu jawaban Kevin, aku langsung mematikan ponselku. Setelah meletakkan handphone di nakas samping tempat tidur, aku langsung terbang ke alam mimpi. *** "Ibu!" Hening. Tidak ada jawaban. "Ibu!" Masih sama. Tidak lama setelah salakan tak terbalas, terdengar langkah orang berjalan terburu-buru. Kenop pintu kamarku berdecit terbuka. Aku melihat Arsyad yang berdiri di sana. Bukan ibu yang aku harapkan. "Sepertinya tadi aku nyebut-nyebut nama ibu, deh." "Suara-suara dari luar membuat kita tuli untuk mendengar suara-suara dari dalam." Arsyad mengutip Ayu Utami. "Emang kau lagi semedi?" "Paling tidak kau harus tahu, yang ada di sini bukan cuma kau. Ibu sama bapak lagi lari pagi di luar." "Hah? Bisa-bisanya malah lari-lari saat anak-anaknya ke sini…" "Lah, memangnya kenapa? Olahraga ya, olahraga dong. Jangan dipisah-pisahin." Kemudian aku menunjuk layar televisi. Di sana tampak sudah tersiara berita dari salah satu televisi nasional mengenai pameran semalam. Dan satu topik p********a utama yang ditayangkan adalah mengenai kemunculan seorang Arum Chandara Prima di sana. Beri tepuk tangan!!! Banyak kometar muncul, sifatnya yang beragam membuatku secara tidak langsung ikut memperhatikan hal itu. Ini terasa menyeramkan. Ada komentar yang baik dan buruk. Apalagi saat tampak video ibuku berbicara tentang bakatku adalah menyanyi lalu tiba-tiba muncul Kevin yang berkata tentang lowongan vokalis di band-nya. Hatiku benar-benar berdegup kencang mengetahui berita itu muncul. Aku memikirkan, bagaimana keadaan usai aku sampai di Malang. Dan yang jadi masalah besarnya menurutku kalau hingga kini aku belum membalas satu pesan pun dari Gea. Aku sempat berharap kalau tugas yang diberikan sekolah cukup banyak sehingga menyita waktunya. Tapi sekali lagi aku berpikir dengan jernih kalau itu mustahil, sebab ada idolanya di pameran ini. Aku sempat lihat tadi malam soalnya. Aku bisa menduga kalau Gea kembali mencoba menghubungiku berkali-kali semalam. Pun aku juga tidak berani sedikit pun untuk membuka media sosial. Aku sampai mengira kalau pengikut di media sosialku kemungkinan bertambah signifikan karena efek dari berita itu. Tapi semakin aku pikirkan dan semakin hal itu membuat aku gugup, hingga takut, aku merasa kalau ini bukanlah Arum. Aku masih ingin tetap menjadi diriku yang tidak diketahui siapapun, maksudku, tetap menjadi diriku yang seolah bukan bagian dari keluarga seniman terkenal. Aku masih ingin hidup dalam balutan kesederhanaan tanpa gosip, tanpa pembicaraan yang macam-macam. Aku masih ingin bersenang-senang tanpa perlu ada yang tahu aku anak dari seorang aktor. Aku masih ingin fokus untuk mengejar cita-citaku masuk kuliah di UI dan menjadi peneliti alih-alih mengikuti jejak kedua orang tuaku. Tapi kalau sudah begini, aku takut dalam sekejap hidupku akan berubah. "Ibu ngapain juga bilang kayak gitu ke media? Bilang kalau bakatku di suara seolah aku jago nyanyi. Ibu inget nggak waktu itu aku pernah ikut seleksi paduan suara di SMP, dan aku diberhentiiin di tengah jalan karena suaraku sumbang. Kalau memang ingin melindungiku dari sorotan publik perihal bakatku, ya nggak perlu membawa-bawa suaraku." "Eh, jangan lihat apa masukan ibu apa. Ibu tuh udah baik banget pengin lindungin dirimu dari eksploitasi berita media." "Ya enggak. Justru kalau ibu bilang seperti itu malah membuat potensi cacian semakin besar. Orang aku ndak bisa nyanyi, malah dibilang aku punya potensi suara." "Duh, ni anak masih aja suka ngomel ya…" Arsyad mendekat dan mencubit pipiku. "Wajar toh. Buat pihak yang dizolimi, dia berhak mengomel. Dan ya, temenmu si Kevin itu nggak jelas banget. Tahu-tahu ngajak aku buat ngomong empat mata…" Di akhir ucapan aku mendengus kesal. "Ha ha ha, Kevin," Arsyad tertawa pelan. "Terus jadi ngomongnya?" "Belum sempet." "Eh, tahu nggak. Menurutku loh ya ini. Menurutku dia itu sedang nyimpen rasa penasaran sama kau. Soalnya, sejak di kereta, dia itu nanyain soal kau terus. Untuk orang seperti Kevin yang biasanya nggak sepemerhati itu soal perempuan, kali ini dia punya aura yang beda dengan nanya-nanya soal kau. Padahal dulu waktu pertama kali ketemu sama Arsyi, dia nganggep Arsyi nggak ada. Eh kemarin, dia langsung duduk di samping kau, kan waktu pemutaran perdana film bapak. Aku curiga kalau dia suka sama kau," kata Arsyad sambil senyurn menggelikan. Spontan aku langsung melempar bantalku ke arah waiahnya yang terlihat menyebalkan itu. "Jangan membuat konspirasi cinta denganku, dasar!" "Konspirasi cinta? Oh iya aku lupa, kau bukannya sudah punya Darsam, ya? Ah iya…" Suasana hati Arsyad sepertinya sedang baik, hingga dia bisa mengejek dan tertawa selepas itu. "Eh, dan gimana kalau dia nanti benar-benar nyuruh kau buat nyanyi beneran?" "Gila aja." "Ya udah, tinggalin aja kalau gitu," kata Arsyad. "Ya kali," kataku tepat ketika ponselku berdering tanda ada pesan masuk. Dengan cepat, aku menyambar ponsel itu sebelum dilihat oleh Arsyad yang identik memiliki mata yang gesit saat berhadapan dengan adik-adiknya. Dan benar, dia nyengir begitu matanya itu bisa menyusup ke sela-sela jariku dan melihat nama Kevin di sana. "Kevin?!" "Hei," sapaku begitu menemukan Kevin. Dia mengenakan kemeja motif kotak-kotak. Terlihat elegan. Lumayan keren, sih. "Hei. Udah siap?" Aku cuma mengangguk. Kevin langsung membuka pintu mobil, mempersilakanku masuk. "Kalau gitu ayo jalan sekarang," katanya. Aku merasa gugup, baru pertama kali ini aku naik mobil dengan laki-laki. Dengan Arsyad pun tidak pernah. "Mau ke mana ini?" tanyaku sambil melihat ke arah luar jendela. Aku masih terlalu awam untuk mencoba berkeliling Yogya. "Tahu UGM kan?" tanya Kevin. "Iya tahu, tapi nggak pernah ke sana." "Ya udah kita ke sana." Aku hanya mengangguk. Setelah memutuskan untuk pergi ke sana, suasana mobil menjadi hening. Hanya ada suara deru mesin dan suara klakson pengendara di luar yang terdengar. Tanganku menyusup ke dalam tas hendak mengambil headset, dan seketika aku meraih resleting tasku, aku mendadak tersadar kalau aku tidak sendirian di mobil. Seacuh tak acuhnya diriku, aku tetap merasa tidak nyaman jika aku membiarkan Kevin diam saja dan aku menyumpal telingaku dengan headset. Ya, ini tidak lucu. Memangnya sekarang dia jadi sopir? "Aku punya playlist yang enak. Mau tahu?" tawarku. Sebenarnya aku sedang basa-basi, aku berharap dia terlebih dahulu tanya, soal apa lagu kesukaanku sebelum dia mengiyakan tawaranku. Tapi Kevin langsung menjawab, "boleh." Tidak ada pilihan lain. Aku sudah telanjur memberikannya tawaran. Aku meraih headset dan aku masukkan di telinga kiriku, sementara satunya aku berikan ke Kevin. "Nih," tawarku. Dia mengambil dan memasangnya. Aku membuka playlist iPod-ku dan sibuk mencari lagu yang kira-kira aku dan Kevin suka. Tapi, aku kan tidak tahu dia suka lagu apa. Baru juga kenal kemarin. "Kok nggak ada suaranya?" tanyanya. "Ya emang belum aku putar lagunya." "Dih." "Bingung," jawabku. "Lah, bingung kenapa coba?"" "Bingung mau muter lagu apa, yang sama-sama kita suka gitu," jawabku sambil mencari lagu ke atas ke bawah. "Ya ampun," Kevin tertawa. "Lagu apa aja boleh, aku suka semua jenis musik. Jadi, terserah kau saja." "Oke, deh." Dan setelah itu jariku berhenti di lagu Pamungkus- To The Bone—yang mengalun di telinga kami. Aku mendengar Kevin terkekeh pelan ketika musik mengalun. Aku tidak mengerti kenapa dia bereaksi seperti itu, yang jelas dia tidak mengatakan apa pun. Aku memperhatikan jalan dan mendapati beberapa anak UGM sedang melintas. Mereka kebanyakan memakai almamaternya. Ini pemandangan yang sangat berbeda dengan pandangan umum tentang mahasiswa yang diidentikkan dengan pakaian serba casual. Dan membandingkan anggapan itu di UGM, ternyata tidak seluruhnya benar. Mereka—mahasiswa UGM—itu masih modis dengan pakaian formal. Celana chinos, sedang di bagian atas mengenakan kaos yang dibalut jas almamater. Tapi, ada satu hal yang membuat aku penasaran. Warna apa sih, yang dipakai di almamaternya UGM? "Aku kuliah di sini," kata Kevin sambil memperlambat laju mobilnya ketika melewati gerbang UGM. Aku langsung kaget. Tidak terduga sama sekali. Anak band yang aku anggap 'tidak begitu' memprioritaskan pendidikan, ternyata kuliah di kampus sebagus UGM! Apalagi kalau kau tahu dari informasi yang beredar di media sosial, banyak sekali mereka yang membanding-bandingkan antara UI dan UGM. Mulai dari hal-hal paling receh: perbandingan total budget outfit, misalnya. "Keren juga, sih," komentarku sambil menggeleng tidak percaya. "Jurusan apa?" "Coba tebak, dong," kata Kevin dengan nada yang terkesan tengil. Aku paling malas kalau sudah main tebak-tebakan seperti ini, Dia sebelas-dua belas dengan Arsyad kalau soal ini. Tapi, untuk menghindari rasa sungkan, aku tetap mencoba menebak. "Seni musik?" Siapa tahu kalau dia mencari jurusan yang linier dengan hobi yang dia geluti sekarang. "Bukan," jawabnya sambil tersenyum. Oke, kali ini Kevin mendapatkan pengecualian. "Salah, ya?" Aku masih mengira-ngira. "Kalau gitu pasti sastra..." "Kayaknya tampangku bukan anak sastra banget deh, baca n****+ saja nggak pernah tamat," kata Kevin. "Ya, nggak ada hubungannya wajah sama kau baca n****+ sampai tamat atau nggak," kataku. "Iya, kan jadwal manggung padat. Jadi nggak sempet baca-baca gituan," kata Dave mencoba berkelit. "Yang jelas bukan anak matematika." Aku masih berupaya menebak. "Emang mustahil banget ya, musisi kuliah di matematika?" Aku tertawa. "Ya, nggak gitu juga. Aku justru tahu kalau matematika itu penting banget di musik. Cuma kadang beberapa musisi yang mengaku nggak paham matematika itu bukan karena musik atau matematika nggak ada hubungannya. Mungkin karena cara penyampaian pelajarannya yang salah." "Iya, sih..." Ada jeda sebentar di percakapan kami. Mungkin dia memikirkan kata-kataku barusan. "Eh, tebak lagi dong." Duh kenapa dia maksa banget sih. Padahal aku lagi nggak ekspresif banget sebenarnya, gerutuku sambil memperhatikan jalan. Lagu di telinga kami sekarang terputar Happier-Olivia Rodrigo. Setiap liriknya luar biasa, benar-benar mewakili perasaan pasangan kekasih. Tapi timing-nya nggak pas. Oleh karena itu, jariku tergerak untuk menekan lagu berikutnya. Tapi Kevin tahu gerak-gerikku dan menghentikan upayaku. "Udah, lagu ini aja," katanya sambil nyengir lagi. "Abis putus dari pacar, sampai nggak bisa move on gitu," ucapku asal. Kevin tertawa mendengarnya. "Nggak, lah, siapa juga yang habis putus sama pacar. Orang aku masih lajang gini. Kentara kalau kau nggak pernah nonton beritaku." "Ish, ngapain juga nyari berita soal kau. Kayak nggak ada kerjaan lain aja," Heran, ketika aku menepis dengan rasa jijik, wajahku sangat ekspresif. Giliran ketika menginjak topik yang menurutku seru, tapi wajahku kaku banget. Lagi-lagi dia tertawa. Kali ini sampai berani mengusap rambutku. Ini membuatku merasa tidak nyaman, tapi rasa sungkan itu kembali menjadi alasan untuk aku tidak menepis tangannya. "Gimana mau putus sama pacar, sementara aku baru suka sama perempuan yang baru aku temui kemarin," katanya. Nada menggelikan itu seperti menggerayangi tengkuk leherku. Aku ingin sekali bilang padanya bahwa aku bukanlah tempat curhat yang tepat buat dia. Jika dia mengajakku jalan keluar hanya untuk dimintai pendapat mengenai perempuan yang dia maksud itu, dari awal aku pasti sudah menolak tawarannya. Terlepas gimana pengaruhnya ke hubungannya sama Arsyad. Aku tidak punya pilihan reaksi lain selain hanya mengangguk. "Eh omong-omong, kau belum bilang kau kuliah jurusan apa di sini. Dan satu yang jadi penasaranku, sebenarnya warna apa sih yang dipakai di almamaternya UGM itu? Dibilang cokelat kayak cream, dibilang cream, kayak... Pokoknya nggak jelas. Nggak kayak kampus lain, warna almamaternya jelas. UI misalnya, kuning. ITB, biru tua... Kalau UGM almamaternya kayak butek gitu warnanya," kataku. Tidak ada cara lain untuk menyingkirkan topik tadi selain mengalihkan pembicaraan dengan topik pembahasan yang sepadan bobotnya. Dan sedetik kemudian, aku merasa bahwa tujuanku berhasil saat dia menyergah ucapanku. "Warna absurd. Ha ha ha..." Kevin tertawa. "Tapi beneran, kritikus seni dadakan yang coba nyari tahu apa warna jas almamaternya UGM, pasti jawabnya kalau nggak cokelat ya cream, ada yang bilang hijau malah." "Terus kalau bukan ketiga warna itu lalu warna apa?" "Sulit sih, sebenarnya, aku pun juga nggak tahu pasti warna apa... Tapi dulu ada dosenku yang pernah bilang kalau jas UGM itu terinspirasi sama warna karung goni." "Karung goni?" "Iya, karung goni yang biasa dipakai buat nyimpen beras. Nah warna itu yang dipakai buat jas atau almamater UGM." "Terus maknanya apa coba?" "Melambangkan perjuangan dari rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia zaman dulu kan banyak yang nggak punya pakaian yang layak... Pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan Indonesia dulu itu. Rakyat Indonesia banyak yang pakai karung goni buat pakaian sehari-hari mereka. Oleh karena itu, diambilah warna karung goni sebagai warna jas almamater UGM. Warna yang sama seperti pakaian kebanyakan rakyat Indonesia di masa itu, warna yang juga serupa dengan warna pakaian tentara Indonesia pada masa itu. Dan makna yang tersirat di baliknya adalah kesederhaan, tidak eksklusif, dan yang pasti bermakna perjuangan." Tanpa aku sadari, yang tadinya aku hanya bermaksud memakai topik itu untuk berbasa-basi, kini aku masuk di dalam penjelasannya. "Keren..." Kevin hanya mengangguk-angguk. Senyumnya merekah, mungkin dia merasa puas karena bisa membagi informasi itu padaku. "Eh, tadi belum selesai..." "Hah?! Apanya?" Aku sedikit terkejut. Aku kira usahaku untuk mengalihkan pembahasan seputar gadis yang dia sukai tidak berhasil. "Kau belum bisa nebak aku jurusan apa..." "Oh..." Aku lega, ternyata bukan pembahasan tentang gadis itu. "Mungkin ekonomi, manajemen," tebakku asal. Karena biasanya kalau di n****+-n****+ anak kaum borjuis itu jika di antara mereka kuliah pasti mengambil ekonomi atau paling tidak manajemen. Biar bisa melanjutkan perusahaan keluarganya gitu. Sayangnya, aku tidak tahu bagaimanadan siapa orang tua Kevin jadi aku asal sebut saja. "Papa nyuruh ambil manajemen, sih, tapi akunya yang nggak mau. Jadi, salah dua-duanya," kata Kevin sambil tersenyum. Aduh, udah dong tebak-tebakannya. "Nyerah?" tanyanya. Wah, pertanyaan bagus, nih. "Iya, nyerah..." Baru kali ini aku mengucapkan kata menyerah dengan bahagia. "Hukum." Aku langsung melongo. Hah? Hukum? Sebagai orang yang menekuni bidang studi ilmu sosial, jurusan hukum adalah jurusan paling populer di antara disiplin ilmu sosial. Tidak jarang para pelajar IPS di SMA punya keinginan untuk masuk jurusan hukum ketika kuliah. Termasuk aku. "Seriusan?" "Hem. Wajar sih, reaksimu begitu. Karena teman-temanku juga nggak nyangka. Dikira aku bohong, karena kalau aku ngaku ambil hukum dikira biar kelihatan populer, secara anak-anak hukum identik gitu. Padahal kurang populer apa aku? Tanpa masuk hukum pun, aku sudah lebih dulu populer kali," celetuknya. Aku menganggap dia terbawa arus pembicaraan hingga dia terkesan sedikit angkuh—kalau aku menilai kalimatnya barusan. "Nggak nyangka aja, sih. Tadi kau bilang kalau kau termasuk orang yang nggak sempat buat baca buku. Tapi kau ambil hukum yang sebetulnya harus punya banyak referensi bacaan." "Iya, sih. Tapi mau gimana lagi. Itu sudah tujuan hidup." Sejenak aku berpikir, bagaimana kalau dia nanti bisa menggapai tujuan hidupnya itu? Misalnya dia jadi seorang lawyer—Pengacara, hakim atau jaksa—semua itu termasuk profesi yang benar-benar membutuhkan karakter orang yang benar-benar progesif dalam bidang keilmuan dan menguasai sejumlah literatur hukum. Tapi kalau dipantau dari pengakuan Kevin tadi, dia termasuk orang yang nggak punya waktu untuk membaca buku. Tanpa aku sadari, mobil berhenti di sebuah gedung yang ramai pengunjung. Rata-rata, remaja dengan jas almamater berlogo kampus UGM, ada beberapa yang memakai kemeja fakultas masing-masing dengan nama fakultas yang tertulis di bagian belakang baju dan beberapa anak sekolah yang memakai puth abu-abu. Aku tidak kaget kalau nanti bakal banyak teman Kevin di sana. Jelas-jelas ini pasti tempat nongkrongnya langganannya. Beberapa perempuan di sana memekik kegirangan ketika melihat Kevin berjalan di dekat mereka. Bahkan, ada yang menghampiri Kevin dan minta foto bareng. Aku menyingkir ketika mulai berdatangan perempuan lain yang ingin meminta foto bersama Kevin. "Maaf kalau lama," kata Kevin yang tahu-tahu sudah ada di depanku. Beberapa gadis yang barusan sudah foto dengannya melambaikan tangan sambil tersenyum kegirangan. "Maklum," kataku singkat. Ternyata itu adalah sebuah kedai kopi yang bernama Kopi Lembah UGM. Kevin langsung menggandeng tanganku dan mengajakku untuk memilih menu. Ada beberapa varian kopi, special coffee: robusta dan Arabica, hingga ada jus. Aku bingung mau memilih apa, yang jelas aku ragu bila rasanya nanti membuatku merasa asing. Jadi aku memilih yang rasanya sudah pasti aku ketahui. Yaitu Lime tea. Tapi aku mendadak sadar. Kenapa aku dibuat seolah-olah aku harus menikmati pertemuan ini? Bukankah acaranya cuma mau ngobrol empat mata? Kenapa jadi ke tempat ramai dan terlihat seperti nongkrong? "Bentar, aku penasaran..." Sambil melihat sekeliling, aku memastikan ada apa di tempat ini. "Bukannya kamu cuma mau ngomong? Kenapa sampai ajak aku datang ke tempat kayak gini segala? Lagian mau ngomong apa, sih? Kalau soal tawaran jadi vokalis itu, aku jawab sekarang aja. Aku nggak bisa terima tawaran itu. Suaraku pas-pasan." Dia acuh tak acuh dengan ucapanku. Dia menguap dan melihat sekeliling. "Ya, aku paham. Tapi aku tetap saja mau kalau kau yang jadi vokalisnya." "Hah?" Aku terkejut, apa maksud dia. Dia bilang paham dengan ucapanku, tapi dia masih bersikukuh agar aku jadi vokalis di band-nya. "Gini, kau nggak takut dicaci maki para penggemarmu kalau aku gabung di band-mu? Aku yang nggak bisa nyanyi ini. Jadi, aku juga nggak mau ribet, aku nggak mau terima tawaranmu. Benar-benar nggak masuk akal. Menjadi vokalis grup musik itu tidak ada dalam daftar asumsi cita-citaku. Aku merasa kalau tujuanku sekarang sangat sulit buat dicapai, dengan ditambah menjadi vokalis di band-mu sekarang, itu nggak mungkin." "Soal tujuanmu yang bisa kuliah di UI dan jadi peneliti itu? Keren, sih. Tapi apa salahnya kalau kau udah jadi peneliti sekaligus jadi penyanyi..." "Ya mana ada, lah, peneliti masih sempet-sempetnya nyanyi. Sedangkan, penelitiannya aja banyak. Nggak masuk akal. Lagian ibu kemarin itu bohong besar. Dia aja nggak pernah dengerin aku nyanyi. Karena aku emang nggak pernah nyanyi lagi sejak insiden seleksi paduan suara dulu." "Nggak masuk akal? Siapa bilang. Maudy Ayunda contohnya. Jangankan UI, di Stanford aja dia bisa. Ini bukan soal nggak sempat atau apa ya, ini soal ambisi dan kepercayaan diri. Dan ngomongin soal omongan ibumu kemarin itu, menurutku kamunya aja yang minder. Nih ya, nggak mungkin ibumu rela ngomong di depan publik seperti itu kalau nggak ada fakta. Kenapa dia bilang kalau potensimu di suara, kenapa nggak bakatmu menari atau melukis? Atau memahat mungkin. Kenapa harus nyanyi? Pasti dia punya alasan di baliknya." Sejenak aku jadi berpikir keras. Ada benarnya juga apa yang dia katakan. "Ya tapi, kan ini soal bakat turunan. Mungkin saja ibu bilang bakatku di suara karena menganggap kalau penyanyi itu adalah profesi sentral dari bidang seni. Jadi dia pengin buat para wartawan itu langsung puas dengan jawabannya." "Mana ada kayak gitu," kata Kevin. "Ya, terserah kaulah. Yang penting aku udah bilang kalau aku nggak bisa nyanyi." "Oke, kau tetap akan ikut seleksi vokali di band-ku," tutur Kevin. "Terus kapan?" "Kenapa tanya gitu? Antusias?" kata Kevin dengan menjengkelkan. "Hah?! Enggak. Ya soalnya kan, besok aku udah harus balik ke Malang." "Gampang itu. Buat orang yang kita suka, apa sih yang enggak," katanya sambil memasang wajah menggoda. Aku terkejut dengan kalimatnya. "Apaan, sih?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD