Delapan

1077 Words
"Anak bungsuku masih belum siap…" "Apa karena penampilannya tidak serupawan kakak-kakaknya?" tanya seorang reporter lain dengan frontal. Aku sendiri langsung kaget gimana bisa dia seberani itu bertanya pada anak seorang publik figur yang sebetulnya menjadi aset pencahariannya. Mendengar itu, bapak langsung mendengus kesal. "Tidak rupawan katamu? Sepertinya kau harus melihat menggunakan lensa matamu, bukan melalui lensa kamera. Dia yang tercantik dibandingkan dengan semua gadis yang ada di sini." Mendadak hatiku langsung plong, usai bapak memujiku seperti itu di depan orang asing. Baru kali ini aku langsung dipuji di depan media. "Tapi mengapa dia baru muncul sekarang?" Tampaknya para reporter masih belum puas. "Kebetulan dia sedang tidak ada jadwal padat di sekolahnya, sehingga dia punya waktu buat hadir di pameran kali ini. Bagaimana pun, pendidikan adalah yang terpenting bagi anak-anak saya." Para reporter itu tiba-tiba terlihat paham dan langsung puas dengan alasan bapak. Karena ya, memang begitulah alasannya. Sejauh ini aku tidak bisa hadir dalam setiap pameran atau pentas bapak ya, karena aku benar-benar sibuk dengan kegiatan sekolah. Dan syukurnya, bapak paham betul dengan itu. "Lalu apakah dia punya bakat seni seperti yang dimiliki oleh dua kakak lainnya?" Deg! Pertanyaan pamungkas yang langsung membuatku kaget. "Tentu saja," jawab bapak dengan meyakinkan. Aku lebih kaget dengan jawaban bapak daripada pertanyaan dari reporter itu. Aku mempersoalkan jawaban bapak—dia menjawab seperti itu dengan maksud untuk tetap menjaga citra keluarganya, atau memang dia tahu mengenai bakatku yang sebenarnya aku tidak tahu. Sebab aku merasa kalau aku memang tidak memiliki bakat seperti dua kakakku. Aktingku buruk, aku tak pandai bermain musik. Pernah aku mencoba seleksi teater, tapi aku gagal total. Aku pernah mencoba berjalan di catwalk seperti ibu, hasilnya memalukan. Arsyi langsung mendekat ke arahku, dan mengatakan, "Kau memang punya bakat apa, Rum?" "Nah itu dia, aku juga nggak tahu, sumpah. Aku kaget bapak bilang aku punya bakat. Ha ha ha…" Sialnya, aku malah ketawa nggak jelas saat menjawab Arsyi. "Kalau kau tanya bakatku di sekolah, aku punya bakat story telling, pelajaran sejarah, sosiologi, ekonomi, mau aku ceritain?" "Dasar kuno," cibir Arsyi yang kemudian segera menjauh dariku. Sudah lumayan lama pertanyaan dari reporter itu menggantung tanpa jawaban. Akhirnya ibu datang dan menyambar, "Arum akan mengikuti jejak kakak laki-lakinya, Arsyad." Satu kalimat pamungkas lagi muncul dari mulut ibu. Tak berdasar, dan tak berbukti. Sontak membuat aku menoleh kaget. "Suara Arum adalah bakatnya," tambah ibu. Semua pasang mata langsung menoleh padaku. Aku sendiri masih mencerna kata-kata ibuku itu. Suaraku adalah bakatku? Bagaimana bisa? Sejak kapan aku pernah tes vocal di hadapan ibu? Sekali lagi aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Apakah mereka berdua—bapak dan ibu—menjawab seperti itu hanya untuk melindungi citra keluarga saja karena mengetahui kalau aku sebenarnya tidak punya bakat, atau apa; entahlah, aku tidak tahu. Tiba-tiba, muncul seorang laki-laki mengacaukan kerumunan. Dia berdiri di depanku menutupi sorotan reporter yang kini sibuk menjadikanku sebagai objek untuk dipotret itu. Aku seperti pernah .melihat wajahnya, tapi lupa siapa dia. "Kevin?!" pekik Arsyad. Ah, iya, namanya Kevin, dia adalah putra seorang musisi terkenal. Kalau tidak salah, dulu Gea pernah bilang, tapi aku lupa siapa namanya. "Aku mau bicara sama Arum secara empat mata. Kebetulan vokalis band kami mengundurkan diri…" Tunggu, tunggu. Ada apa ini? Kenapa hari ini seperti dipenuhi dengan hal-hal kecil yang mengejutkan? Tadi bapak, ibu, dan sekarang laki-laki ini. Apakah alur k*****s dalam hidupku disiapkan Tuhan salah satunya hari ini? Seketika aku mematung di tempat. Aku kesulitan mencerna kata-kata laki-laki yang namanya Kevin itu. *** Pemutaran film sudah berjalan sejak setengah jam yang lalu. Namun sayangnya aku tidak bisa fokus sama sekali. Mataku memang menuju ke film, tapi pikiranku berkeliaran ke mana-mana.. Setiap penonton bersorak-sorai ketika muncul adegan luar biasa di film, sementara aku bergeming. Aku tidak mampu menampilkan reaksi apapun selain melongo seperti orang bodoh. "Gila, bapak kamu keren banget," komentar Kevin yang entah kenapa bisa duduk di sebelahku, alih-alih di sebelah Arsyad. "Iya, lah. Anak-anaknya pun keren," balasku datar. Anak yang aku maksud di sini adalah Arsyad dan Arsyi. "Kamu punya rasa percaya diri yang tinggi juga, ya," kata Kevin sambil senyum. "Maksudku, anak-anaknya yang keren itu Arsyad dan Arsyi. Aku nggak termasuk." Ini untuk menjawab dia yang salah paham. "Benarkah? Kau tidak perlu merendah. Biasa saja… Oh, ya, aku nggak sabar nanti denger kau nyanyi." Aku kesal dengan kalimat terakhirnya itu. Sejak kapan aku memutuskan mau nyanyi? Gerutuku sudah memuncak, aku tidak sabar ingin pulang. Tapi orang-orang di sini semua terlihat nyaman, agak risih misalnya aku berbuat sesuatu yang bukan-bukan. Aku juga memikirkan bapak. "Kau percaya kalau aku bisa nyanyi?" tanyaku yang masih dengan nada datar. Sama sekali aku tidak memalingkan wajah padanya. "Belum," jawabnya. Sontak itu membuatku kaget. "Lalu, buat apa kau bicara di depan para wartawan itu dengan sok menawariku buat jadi vokalis band-mu?" tanyaku. "Kalo menurutmu, buat apa?" tanya Kevin.. Aku memutar mata sebal dan tidak menanggapi pertanyaannya tadi. Aku sudah tidak tertarik untuk meladeni teka-teki. "Yang perlu kau camkan bukan di situ. Aku cuma pengin ngobrol empat mata denganmu. Segera!" Kevin sedikit menekankan ucapannya di kata terakhir. "Cuma aku dan kau?" "Namanya juga empat mata." Aku tak terlalu memikirkan tawaran itu. Pembicaraan dalam hal apa, untuk apa, dan mengapa hanya aku dan dia. Sementara, untuk membuat dia tidak mengoceh lagi, aku hanya mengangguk tanpa peduli dia melihat atau tidak. *** Aku terbangun ketika seseorang menepuk pipiku. Tahu-tahu aku melihat wajah Arsyad yang sudah berada di depanku. "Tidur mulu," katanya sambil melepas headset yang masih menempel di telingaku. Aku menyeka mata sambil menghela napas berat karena kaget dengan tepukan Arsyad. Arsyad turun lebih dulu. Sedang aku masih menggeliat dan perlahan mencoba melepaskan high heels yang terpaksa untuk aku kenakan. Memang benar kata Nawal El Saadawi, cantik itu luka. Aku sendiri yang membuktikan itu. Untuk menjadi cantik itu siksaan, berjam-jam aku memakai high heels, kakiku terasa sakit, dan saat aku mencoba berjalan tanpa alas kaki, menyentuh lantai terasa seperti berjalan di atas bebatuan tajam—efek dari high heels itu. Aku berjalan langsung ke kamarku. Di Yogya, bapak memang sengaja membeli rumah. Selain ibu dan bapak lebih sering menghabiskan waktu bekerja di sini, katanya kota ini memiliki nuansa seni yang luar biasa. Dan di sini, keterlibatan media juga tidak seramai di Jakarta. Meskipun padahal menurutku ya tetap saja ramai. Tapi yang bikin aku bingung, kenapa mereka harus membuat pemetaan seperti itu. Mereka punya rumah di Yogya, dan kami—Aku dan dua kakakku—disekolahkan di Malang. Suatu ketika, bapak menjawab dengan alasan klise. Malang itu enak, dingin, tidak semegapolitan Surabaya, juga nggak sesepi Bangkalan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD