Aku duduk di kamar tepat di samping jendela, memandang keluar dan memikirkan kata-kata Kevin. Terpikirkan tepatnya, bukan memikirkan. Kalimat yang dia ucapkan sebelumnya secara tidak sengaja merasuk ke dalam pikiranku. 'Buat orang yang kita suka, apa sih yang enggak'. Aku pernah mendengar konsep godaan serupa dengan itu. Teman-teman Arsyi sering mengatakan hal yang sama. Aku nggak mengerti dari segi niat mereka seperti apa, yang jelas kata-kata Kevin itu membuatku merasa menggigil seketika.
Pintu kamar terbuka, muncul seorang gadis berambut pirang, tinggi semampai dan b*******a yang tidak terlalu besar, dengan penampilan ekspresi yang penuh dengan kemurkaan.
"Habis dari mana kau sama Kevin?" tanyanya ketus. Aku cuma melengos, dan kembali menatap pemandangan di luar jendela.
"Eh, denger nggak, sih? Ditanya diem aja! Habis dari mana sama Kevin?"
"Muter-muter deket UGM."
"Oh. Terus ngapain aja di sana?"
"Mampir ke Kopi Lembah, ngobrol." Aku masih menjaga ritme bicaraku yang dingin.
Alih-alih ingin menjawab 'mau tahu aja urusan orang', aku malah menjawab dengan jujur padanya. Tak apalah, hitung-hitung untuk menghindari perang.
"Ngobrolin apa?" Dia semakin penasaran.
Tak ada pilihan lain selain menjawab, "Ngomongin tentang jadi vokalis band dia."
Rasa kesal makin terpancar di wajah Arsyi. "Kau jawab gimana? Bisa atau enggak?"
"Aku sudah menekankan ke dia berkali-kali kalau aku nggak bisa nyanyi, suaraku sumbang, intinya aku berupaya agar dia tidak memaksaku buat gabung ke band-nya. Aku sih santai-santai saja, ya. Toh dari awal memang aku nggak ada niat buat terkenal. Tapi dia maksa, dia tetap mau supaya aku gabung di band dia," jawabku dengan nada datar tapi tegas.
Aku bisa menduga kalau pernyataanku itu bisa masuk tepat sasaran di lubuk hatinya. Selama ini, dengan kebencian yang kian telanjur besar, dia berusaha melakukan berbagai cara untuk menggagalkan aku mendapatkan hal-hal yang sekiranya menarik. Misalnya soal teman. Dia berusaha supaya aku tidak memiliki teman satu pun. Gea itu—teman satu-satuku—pun dibuatnya menderita karena berteman karena aku. Apa sih, dampaknya buat dia karena aku hanya punya satu teman?
Itu untuk satu teman, nah ini kami sedang membicarakan mengenai popularitas. Kalau aku populer dan kepopuleranku melebihi dia, bagaimana perlakuan dia nanti padaku? Mungkin nanti aku akan segera dibakar dan dimusnahkan.
"Bodo amat, sih, aku cuma pengin tahu aja. Dan ya, aku juga nggak ada niat buat deketin Kevin, kok. Meski menurutku Kevin itu ganteng, anak konglomerat terkenal. Tapi sayangnya, aku udah punya Arga. Jadi, nggak perlu sok manas-manasin aku. Toh aku nggak perlu repot-repot ngelakuin apapun karena Dara belum tentu rela dengan kedekatan kalian," kata Arsyi sambil tersenyum penuh kemenangan.
Lagi-lagi aku mengangkat alis. "Apa hubungannya sama Dara? Toh aku nggak ada hubungan apa apa sama Kevin. Dia cuma ngajak jalan. Udah selesai, nggak lebih. Toh besok kita kan balik ke Malang."
"Gitu ya? Tapi aku tetep nggak percaya. Rasa-rasa, dia naksir sama kau. Oh, kalau gini ya namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Kasihan Kevin ya kalau gitu. Kau itu mustinya bersyukur, bisa ditaksir sama laki laki ganteng."
Sepertinya aku butuh jasa tukang sedot WC buat menyumpal mulut Arsyi. Kupingku pengang mendengar ocehannya yang nggak pernah punya sejarah menentramkan.
"Sekali lagi, aku nggak punya hubungan apa-apa sama si Kevin itu. Dan aku nggak pernah berharap apapun sama dia."
"Siap-siap saja waktu sekolah nanti, bukan berarti kalau kau udah masuk berita di media, kau udah terbebas dari stigma negatif dan langsung naik daun, tidak sesederhana itu, Kau akan mendapati pengalaman yang jauh lebih buruk," kata Arsyi dengan ketus. Setelah itu, dia keluar tanpa menutup pintu.
Kau bisa perhatikan apa yang dia lakukan dari awal masuk ke kamarku hingga dia pergi? Tidak ada hal berguna yang aku dapatkan dari ucapannya. Tak ada selain memanas-manasiku.
Aku menarik napas dalam-dalam, berharap semua ucapan Arsyi tadi tidak mengganggu mimpi indahku.
***
Aku berlari mengejar Arsyad yang sudah beberapa langkah di depanku, sambil menenteng kopernya. Sementara Arsyi dan ibu sudah terlampau jauh di depan. Mereka berdua memakai high heels, tapi jalannya cepat sekali. Sementara aku yang pakai sepatu olahraga, intensitas jalanku cukup memprihatinkan.
"Arum, cepat!" gertak Arsyad.
Aku berjalan setengah berlari menyusul Arsyad. Hingga tepat di belakangnya, jidatku menabrak punggungnya.
"Tuh, kan, karena kesalahanmu sendiri jatuhnya aku yang jadi korbannya." Reaksinya ketika aku menabrak punggungnya.
Ketika kereta sudah sampai di stasiun, kami bersiap naik. Mencari tempat duduk seperti yang tercantum di tiket. Berjejalan dengan para penumpang lain seperti biasa. Menurutku, kereta eksekutif memang tidak sebanyak kereta ekonomi. Tapi naik kereta eksekutif sudah benar-benar menyita kesabaranku.
Aku duduk di samping Arsyad, sesuai kesepakatan sebelumnya.
"Nggak ada yang ketinggalan?"
"Pertanyaanmu telat. Kalau ada yang tertinggal, memangnya bisa diambil lagi?" kataku ketus.
"Bisa lah. Tapi kau nanti ditinggal."
"Ngaco!"
"Oh, ya, besok kalau sekolah, kau bisa berangkat bareng sama aku," katanya. Ini maksudnya karena dia merasa bahwa publik sudah tahu siapa aku, dan apa hubunganku denga Arsyad.
Aku menatap ke arah Arsyad sejenak lalu menggeleng. "Kayaknya enggak, deh. Aku mau berangkat kayak biasanya aja. Toh kalau cuma ikut nonton ke pameran bapak kemarin, efeknya mungkin nggak besar-besar banget. Maksudku, pasti nggak semua orang nonton itu, kan? Sebenarnya, aku mencoba menghibur diriku sendiri dengan berkata seperti itu. Aku cukup takut dengan ancaman konyol Arsyi sebelumnya. Bagaimana jika hari-hariku ke depan jauh lebih buruk dari sebelumnya.
"Sebenarnya aku nggak gimana-gimana kalau kau lebih nyaman berangkat sendiri. Tapi banyak orang yang tahu kalau kita satu saudara kandung, nggak enak satu saudara kalau kita berangkatnya pisah-pisah," kata Arsyad sambil menggeleng tidak setuju.
"Biarin, ah. Itu kan cuma persepsi mereka. Aku lebih nyaman berangkat pakai busway kayak biasanya," kataku keukeuh.
"Dasar, calon mahasiswi UI yang ngeyelnya kelewatan," katanya sambil mencubit pipiku.
Arsyad terkekeh melihatku yang sibuk mengusap pipiku. Setelah itu dia seperti teringat sesuatu dan mengambil ponselnya yang ada di saku jaketnya.
Aku mau nunjukin sesuatu yang bagus. Tampak sebuah tangkapan layar percakapan antara dia dan Kevin.
Dari: Kevin
Bro, titip tolong sampein ke Arum. Kalau dia harus bersiap-siap. Aku bisa menjemputnya kapan saja. Dan satu lagi, bilang dia untuk hati-hati, ponselnya mati, aku nggak bisa hubungi dia. Terima kasih dan semoga selamat sampai tujuan, Bro!
Setelah menunjukkan tangkapan layar itu, ekspresi Arsyad berubah drastis. Terkesan mencurigai aku. "Heran, deh. Sebenarnya kalian berdua ini ada hubungan apa, sih? Sampai si Kevin bilang kayak gitu... Hati-hati, ponselnya mati, aku nggak bisa hubungi dia. Itu sudah nggak wajar."
"Gak ada hubungan apa-apa, Kak. Beneran deh. Dia aja kali yang ngebet mau nyusul aku ke Malang," candaku.
"Duh, gimana kalau si Darsam tahu nanti?" Disusul dengan gelak tawa yang menyebalkan.
Aku menatapnya ngeri. "Kenapa hubungin aku sama Darsam terus, sih. Aku sama dia itu cuma teman satu bangku, Kak, ya ampun. Aku tuh nggak pernah punya temen satu bangku sebelumnya. Tapi, masa gara-gara jalan sama teman sebangku dibilang saling suka, sih," kataku sewot.
"Lagian kalau kalian ke mana-mana selalu berdua, sih," kata Arsyad nyengir. "Darsam boleh juga, kok, Rum. Kalau kau disuruh milih sih, mending milih Darsam. Dia kan anak kesayangan guru, dia juga menguasai pelajaran-pelajaran IPS. Dia juga orang yang merdeka, nggak mau dipengaruhi orang lain. Dia benar-benar spesies langka."
"Dibilang spesies, emangnya dia hewan..."
Tapi, omong-omong ketika Arsyad bahas soal Darsam, aku jadi memikirkan gimana setelah aku sampai Malang nanti.
Bagaimana reaksi Dea dan Darsam nanti. Terutama Gea. Apa dia bakal marah padaku karena telah menutup-nutupi identitasku yang sebenarnya. Terus gimana dengan Arga dan Vita? Pasti mereka akan semakin menindasku.
Benar-benar membuatku penasaran. Karena tidak bisa aku prediksi apakah akan baik atau buruk suasana di sekolah ke depan.
***
Aku turun dari kereta dengan jantung berdegup kencang. Hidupku sudah berbalik gara-gara ke pameran itu. Apakah dampak dari datang ke pameran bapak di Yogya lantas akan mengubah hidupku?
Arsyad merangkulku, seperti mencoba menenangkan. Dia bahkan sama sekali tidak mencium kegugupanku yang jauh lebih besar daripada ketika aku menginjakkan kaki di Yogya kemarin. Ini berbeda. Rasanya aku takut kalau aku akan segera dijauhi oleh teman teman dekatku, dan takut teman-teman lain akan mencapku yang tidak-tidak, dan takut aku semakin sibuk, di mana hal itu malah membuatku jauh dengan tujuan hidupku.
Rasanya, kembali ke Malang tidak membuat hidupku jauh lebih baik. Apalagi dengan adanya bayang-bayang Kevin yang kapan saja bisa menyusulku. Dan aku berharap dia tidak akan melakukan itu. Semoga citra seorang Arum yang tidak populer dan culun tidak akan berubah. Lebih baik tidak dianggap daripada jadi bahan pembicaraan.
Aku tersenyum kaku ketika Arsyad berkata, "Malang, aku pulang..."
"Beneran nggak mau berangkat bareng?" tanya Arsyad sambil mengedikkan dagunya ke arah mobil. Aku lagi-lagi menggeleng. Arsyad sudah menanyakan pertanyaan yang sama sejak aku bangun tadi. "Enggak, Kak... Aku berangkat sendiri aja," jawabku dengan nada sabar.
Arsyad menatapku lalu menepuk pundakku pelan. "Ya sudah kalau gitu, kakak duluan, ya," katanya kemudian dia berjalan masuk ke dalam mobil. Mobil itu kemudian meninggalkanku di halte yang cukup ramai ini. Aku berjalan mendekati letak di mana bus biasanya akan parkir.
Aku memasang headset di telinga dan menaikkan tudung jaketku hingga menutupi rambutku. Seperti yang kalian tahu aku tidak suka menjadi pusat perhatian—pameran bapak hanya pengecualiannya—jadi hoodie dan kacamataku benar-benar membantu supaya orang-orang tidak memperhatikanku yang cukup mencolok dengan tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak SMA di Indonesia kebanyakan. Dan wajahku, tidak ada unsur Indonesianya sama sekali.
Sebuah bus dengan jalur menuju ke arah sekolahku berhenti di tempat pemberhentian. Orang-orang yang telah ada di halte ini lebih dulu lantas berdesakan masuk karena bus ini cukup lama datangnya. Melihat desakan itu, aku perlahan menepi. Tapi ketika aku melirik jam, kalau tidak berdesakan, bisa-bisa aku terlambat ke sekolah dan menyesali tawaran Arsyad tadi. Jadilah aku berdiri di tengah-tengah bus dengan tangan terlipat di depan d**a. Aku hanya menggunakan bahu orang lain sebagai sasaran bila tubuhku hendak mau roboh.
Aku berusaha berpijak tanpa membuat tubuhku maju ke depan setiap bus berhenti. Ya, mungkin sejak aku SMP aku sudah sering naik bus ke mana pun aku pergi. Tapi ini masalahnya berbeda, aku tidak bisa memanfaatkan apapun yang bisa aku pakai buat pegangan. Karena nggak mungkin juga jariku berusaha menggapit jaket—yang cukup longgar—milik bapak-bapak.
Aku menarik napas sejenak, aku melihat sekeliling dengan saksama. Aku memperhatikan jika bus ini semakin hari semakin banyak jumlah penumpangnya. Aku mengecek jam melalui iPod, bel masuk masih tiga puluh menit lagi. Aku merasa lega ketika aku mampu melihat kalau bus ini sudah akan sampai di tempat pemberhentian berikutnya. Jadi ada kemungkinan bus ini akan semakin longgar.
Tapi ketika wajahku berseri-seri menunggu bus ini berhenti, sopir bus dengan tiba-tiba menginjak rem dengan tajam hingga membuatku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terjungkal ke depan karena di sisi kananku memang tidak ada orang. Ketika aku sudah tahu kalau wajahku benar-benar akan mencium lantai, aku bersiap menahan malu. Tapi tiba-tiba, tubuhku berhenti di udara...
Seseorang menahan tubuhku. Dalam hati: Tuhan, terima kasih! Aku segera berdiri dan mundur dua langkah menjauh dari orang yang memegangi tubuhku. Menurutku nggak estetik kalau berusaha melihat orang yang memegangiku ketika wajahku masih di bawah.
Aku berusaha mengangkat tubuhku kembali. Dan sejenak aku terdiam ketika melihat siapa orang yang menolongku.
Darsam!
Aku mengira kalau dia bakal kaget juga sepertiku, karena tahu kalau orang yang dia tolong adalah aku. Tapi dia hanya menampilkan senyum tipis dan sambil mencubit pipiku. Spontan aku juga tersenyum sambil memukul bahunya dengan tanganku.
"Sakit, ish," gerutuku.
"Keseimbanganmu buruk banget," katanya.
Sontak aku merasa kesal dengan pekikannya itu. Dia secara tidak langsung menyerang daya fisikku yang lemah.
"Wajar kali, tiba-tiba sopir bus ngerem mendadak kayak gitu dan aku posisinya tidak pegangan apa-apa. Kalau kau ada di posisiku, pasti kau juga bakal nyungsep."
"Kayak peramal aja. Tahu kalau aku di posisimu nantinya juga bakal nyungsep."
"Kau yang peramal."
"Peramal dari mana. Kalau intuisiku bagus, mungkin iya. Tapi sumpah deh ya, nggak lucu kalau misalnya tadi nggak ada aku. Pagi-pagi udah nyungsep di kerumunan orang sebanyak ini," katanya sambil melihat sekeliling.
"Mending kau diem." Ya pasti aku mikir dong, soal ucapannya barusan. Pasti bakal malu banget kalau sampai tadi aku benar-benar jatuh.
"Hemmm..."
"Di kelas biasanya kau cuma ngangguk-ngguk doing, atau paling-paling cuma bilang iya dan enggak."
Darsam manggut-manggut mendengar ucapanku kemudian dia tersenyumlagi. "Sampai bisa membekas kayak gitu ya ternyata..."
Takut salah tingkah, aku segera memutar bola mata. Kemudian mengalihkan pandangan tanpa menjawab ucapannya dan kembali memperbesar volume iPod-ku.
Tak kuasa aku segera mencegah, earbud -ku sebelah dicabut oleh Darsam dan sudah berpindah ke telinga kirinya. Kami berdiri dalam diam dengan lagu dari iPod-ku yang mengiringi hingga berhenti di halte dekat sekolahku.
Ketika turun, Darsam melepaskan earbud di telinganya kemudian memasangkannya ke telingaku seperti semula. Dia kembali berjalan tanpa berkomentar apa-apa dan menjadi seperti Darsam yang aku tahu seperti sebelumnya.
***
Aku berjalan memasuki sekolah, secara tidak sengaja langkah kami seirama. Entah kenapa aku merasa bahwa satu-dua tatapan orang mulai berdatangan ke arah kami. Entah hanya aku yang merasakannya atau apa, yang pasti Darsam terlihat acuh tak acuh. Yang pasti dia juga tahu kalau beberapa orang mulai memperhatikannya.
Aku mulai agak risih. "Kok kayaknya mereka pada ngelihatin kita, ya."
Darsam melirik ke arahku sekilas kemudian kembali menatap ke depan. Dia tidak menjawab pertanyaanku, s**l.
Aku menoleh ke arah gadis-gadis yang berdiri di dekat loker yang sedang sibuk saling berbisik. Ketika mata mereka beradu dengan mataku, mereka dengan kompak langsung memalingkan wajah. Aku mengerutkan dahi, apaan c*k. Aku memilih tak berkomentar dan berjalan ke arah kelas Sosiologi. Seperti biasa, kelas masih kosong karena kebanyakan murid memilih duduk di luar kelas—ada yang di kantin, ada yang di depan kelas untuk sekedar sarapan atau kumpul bareng.
Belum waktunya bel masuk berbunyi, aku segera mematikan iPod-ku dan memasukkannya beserta earbud ke dalam tas. Dan di dalam tas, aku melihat ponselku dan terpikirkan untuk membukanya selagi kelas belum masuk. Asal kau tahu, aku sama sekali belum sempat menyalakan ponsel sejak kemarin. Dan setelah aku lihat-lihat di bagian LED Flash, terus berkedip. Tanda ada notifikasi masuk. Bisa notifikasi pesan, panggilan, atau notifikasi yang lain.
Aki buka layar kunci dan muncul seketika pemberitahuan miscall dari Gea sebanyak dua puluh kali dan tiga puluh pesan spam darinya. Juga ada satu nomor tak dikenal juga sempat memanggil dan mengirim dua pesan.
Dan seketika pandanganku terfokuskan ke layar ponsel, murid-murid lain mulai berhamburan masuk ke kelas. Sepertinya aku tidak mendengar kalau bel masuk sudah berbunyi. Dan beberapa di antara para murid itu meliriku secara diam-diam, yang secara tidak sengaja terbalas tatapannya itu olehku. Dengan lucu, mereka langsung membuang muka, seolah tidak sengaja saling melihat.
"Hai," sapa seseorang yang ternyata pacar Arsyi yang tengil itu.
"Kenapa ya?" Balasan yang pas untuk laki-laki tengil sepertinya. Aku memang tidak akan pernah sudi untuk beradu sapa dengannya.
"Mukamu kayak familiar gitu, deh..," katanya sambil menelengkan kepalanya seolah agar dia semakin jelas melihatku. Spontan aku langsung membuang muka dari hadapannya.
"Ya, kan? Ya nggak sih?" tanyanya pada antek-antek yang dari tadi ada di belakangnya.
"Ya iya lah orang dia udah sekelas sama kita dari semester kemarin. Masa nggak familiar," jawab salah satu laki-laki di belakangnya dengan nada bosan. Aku hampir saja ketawa dengan jawabannya itu, bisa-bisanya dia pakai alasan itu untuk tahu siapa aku. Sepertinya memang dia kudet banget.
"Aku juga tahu," kata yang lain sambil menjitak kepala laki-laki itu.
"Coba kau buka kacamata," perintah Arga tanpa menghiraukan ocehan anak buahnya yang lain.