007:TAMAKI DRIVE

1866 Words
MITA POV “Tris?” panggilku saat ia melewatiku beberapa langkah. “Lho, kok belum pulang?” balasnya seraya duduk di sampingku. “Masih nunggu suplemen?” Aku menggeleng lalu menunjukkan resep darinya yang sudah kutebus di farmasi. “Lo masih ada kerjaan?” tanyaku kemudian. “Ngga sih. Habis praktek kan gue ada SC, sudah selesai, pasien gue juga lagi dipindah ke bangsal. So, gue tinggal bersih-bersih dan pulang,” jelasnya. “Justru lo yang kenapa bisa masih di sini setelah berjam-jam keluar dari ruang praktek gue?” “Gue lapar, Tris.” Tangan kiri Tristan angkat, menatap penunjuk waktu di pergelangan. Aku mengikuti. Ternyata sudah jam setengah empat sore, pantas saja aku lapar. “Lo belum makan siang, Mit?” tanyanya. “Belum,” jawabku. Ia menghela napas. Tangannya terkepal, lalu mendarat lembut di kepalaku. Lembut saja, bukan bermaksud menyakiti. “Ini cewek bikin gue khawatir banget!” sambatnya. Aku hanya mencengir. Hanya dia yang nyaman untuk kujadikan sandaran sejak kedatanganku ke kota ini. Katakanlah aku tak tau malu, atau mungkin tak kenal sungkan. Tapi, bolehkan untuk kali ini saja aku bersikap demikian? Memanfaatkan kebaikan seseorang. “Mau gue temanin makan di kafe, atau mau makan di luar aja?” tanyanya kemudian. “Di luar aja,” jawabku. “Lo nunggu teman makan bareng apa dari tadi?” “You know me so well.” Tristan memutar bola matanya. “Oke. Tunggu di sini ya?” ujarnya kemudian. “Iya.” Ia beranjak. Titik pandangku mengikutinya dan ternyata Tristan tak langsung menuju ruangannya melainkan bergeming di depan meja kasir coffee shop di lantai dasar rumah sakit ini. Kuperhatikan ia berinteraksi dengan staf di sana. Dan beberapa saat kemudian, ia mendekatiku kembali. “Nih,” ujarnya seraya menyodorkan yang ia genggam padaku. Satu cup su5u coklat hangat dan sekeping biskuit. “Buat gue?” “Hmm,” gumam Tristan seraya mengangguk. “Thanks, Tris.” “Habisin, sambil nunggu gue.” “Iya.” Tak lagi pakai permisi, ia berlari kecil menjauh. Aku menghela napas, kedua sudut bibirku terangkat naik. Sungguh aku bersyukur dipertemukan dengan seseorang seperti Tristan di tengah hidupku yang carut marut ini. Pukul 16:07 saat mesin mobil Tristan menyala. Aku sudah duduk di sampingnya, bersin untuk kali ketiga. “Mobil gue kotor?” tanyanya. Bahuku naik turun. “Standar lo segini kotor? Menurut gue sih ngga.” “Lo bersin-bersin maksud gue, Mit. Ada alergi debu mungkin?” “Gue alergi sama lo, Tris?” “Masa?” Aku tak menjawab, hanya kekehanku yang mengisi ruang. Manalah mungkin aku alergi pada Tristan. Setiap pagi dan malam saja aku nongkrong di teras rumah hanya untuk meledek atau menyetor cengiran untuknya. Setiap ia akan berangkat ke rumah sakit, dan saat ia kembali. Kalau weekend, matahari baru naik, aku sudah memanggil-manggilnya, mengajaknya jalan pagi. Bahkan aku cukup akrab dengan Mama Aghni, ada saja yang jadi bahan tertawaan kami tiap kali bertemu. Dengan kedua adik Tristan? Aku ini sudah menjadi obyek bullying favorit mereka. “Lo mau makan apa?” tanya Tristan kemudian. “Roti panggang dan sup tomat?” “Alright, ma’am!” Tristan pernah cerita, tak jauh dari rumah sakit, ada sebuah restoran yang menyajikan menu tersebut. Kurasa ia akan membawaku ke sana. Dan tak salah memang, hanya berselang lima menit setelah keluar dari hospital exit gate, kami sudah tiba di tujuan. “Di sini, Tris?” “Iya. Kenapa?” “Mmm … dekat banget ternyata ya?” Tristan malah terkekeh. “Emang lo ngarepin gue bawa ke mana?” “Yang jauh?” candaku. Tapi, kalau ia tak keberatan, aku happy sih. Memang aku tengah malas buru-buru pulang ke rumah. “Makan dulu, Mit. Habis ini kita lihat sunset di Tamaki Drive.” “Serius?” tanyaku seraya mencengir. “Jadi, lo nungguin gue selesai kerja cuma supaya gue ajak jalan-jalan?” “Dih, siapa yang nunggu lo? Gede rasa lo!” dustaku. “Suka-suka lo dah bumil! Ayo turun!” Ia membuka seatbelt, meninggalkan balik kemudi, lalu menyeberangi kap mobil ke sisi kopilot. Pas ia membuka pintu, aku mencengir. “Ayo!” ujarnya. “Lo biasa ya bukain pintu buat cewek? Kalau lo pacaran, lo perlakuin cewek lo kayak begini?” cecarku, usil. “Ngga, kalau pacaran, gue nyuruh cewek gue keluar dari kaca jendela, Mit.” Aku tergelak. “Sinting lo!” “Buruan turun!” titahnya kemudian. Gemerincing bel terdengar merdu saat Tristan membuka pintu. Kala kaki menjejak lantai kayu, kami disambut aroma harum dari roti yang baru dipanggang. Karena hari sudah sore, tentu saja restoran tak ramai, hanya beberapa meja saja yang terisi. Aku yang memilih meja untuk kami. Karena aku tengah tak nafsu dengan window seat, jadilah kami menempati salah satu meja di pojokan. Aku memilih duduk di banquette seating beralas vintage, sementara ia menyusul duduk di sampingku. Tristan bilang, kalau makan berdua dengan siapa pun, ia kurang suka duduk berhadap-hadapan. Lebih nyaman samping-sampingan seperti ini. Tristan meraih tablet di atas meja, membuka menu, memasukkan dua porsi roti panggang dan sup tomat ke dalam keranjang, juga sebuah lamb meat pie yang katanya seukuran telapak tangan. “Lo mau minum apa, Mit?” “Air mineral aja, kan tadi gue sudah minum coklat.” “Oke.” Kalau Tristan, ia memilih ginger tea. Memang sih, rasa pedas dan hangat teh itu pasti cocok dinikmati dengan pai daging. “Mau tambahan lain, Mit?” tanyanya kemudian. “Cukup.” Tombol submit order ia ketuk. Ia lalu langsung membayar dari tempat duduk, mungkin agar nanti bisa langsung pergi setelah kenyang. Sehabis itu, Tristan meletakkan ponselnya kembali ke tas, lalu menoleh ke sisi kiri di mana aku berada. Aku tak berkata apa pun, lantas menyapukan pandangan ke seantero restoran. Memerhatikan desain ruangannya. Dinding tempat ini sebagian besar dicat putih, memberikan kesan bersih dan terang, sementara beberapa bagian dinding lain terbuat dari bata ekspos yang memberikan nuansa rustic dan alami. Ada beberapa meja yang dipadukan dengan banquette seating dan kursi kayu. Meja-meja di window seat hanya dipasangkan dengan dua vintage sofa yang berhadapan. Sementara meja-meja di bagian tengah dikelilingi kursi-kursi kayu berbagai bentuk. Saat menoleh ke dinding, keunikan dan segarnya tanaman gantung dan pot di sudut ruangan terasa menyejukkan mata. Pesanan kami tak lama pun tiba. Tristan membukakan tutup botol, lalu beralih ke sup tomat yang masih mengepulkan asap di mangkuknya. Sendok ia genggam, lalu mengaduk-aduk sup perlahan agar suhunya menghangat. Sementara aku, memerhatikannya sembari melahap roti panggang segigit demi segigit. Yang tak aku sangka adalah saat setelah uap panas yang mengepul di mangkuknya tak lagi terlalu heboh, Tristan menukar supnya dengan milikku. “Ngga begitu panas, tapi tetap hati-hati, oke?” ujarnya lembut. Aku sontak membeku. “Makan, Mit. Rotinya celupin ke sup,” lanjutnya lagi. “Thanks,” tanggapku akhirnya setelah mengangguk kaku. Tristan lalu membelah pai menjadi dua untuk mengeluarkan uap panas yang terperangkap di dalam adonan pastry. “Painya enak juga, Mit. Makan yang bener lo!” “Hmm.” “Kenapa jadi ngirit ngomong lo? Terpesona lo ya sama gue?” “Tris, jangan sampe muka lo yang gue celupin ke sup tomat!” tanggapku, sinis. Dasar error! “Nah, itu baru Mita yang gue kenal. Juteknya sadeees!” Beres makan, aku menagih janjinya, meminta Tristan membawaku melihat sunset. Dari balik roda kemudi, ia melajukan santai, menyusuri Tamaki Drive yang merupakan salah satu kawasan populer untuk berkendara sembari menikmati pemandangan laut di Auckland. Tristan mengeluarkan digital recorder, memasang mic yang ia selipkan ke telinga, lalu menekan tombol rekam. *** TRISTAN POV “17:16 waktu Auckland, bulan September – awal musim semi,” ujar gue. Mita menatap gue sesaat, tersenyum, lalu ia memalingkan wajahnya untuk menikmati keindahan pemandangan di balik jendela. “Gue sama Mita. Ngajak bumil menyusuri Tamaki Drive,” lanjut gue. “Sudah masuk golden hour, sudut datang sinar matahari perlahan merendah. Langit semakin cantik, semburat jingga dan merah muda ikut menghias langit. Perpaduan warnanya yang cakep pake banget memantul di permukaan air Waitemata Harbour. Suasana kayak begini cocok banget buat bengong. Iya ngga, Mit?” “Nyindir gue lo?” “Iyalah. Emang ada orang lain di sini?” Mita ngga menggubris, ia justru membuka kaca jendela. Kedua matanya terpejam, menikmati hembusan angin di parasnya. Satu bulanan sudah gue mengenal Mita, sampai detik ini gue masih beranggapan dia cewek yang polos, smart, manja, dan lembut hati. Satu lagi … rapuh. Agak bingung aja sih gue kenapa mantan suaminya bisa tiba-tiba sinting dan main pukul ke dia. Tapi, ya namanya bukan urusan gue, apalagi gue orang baru di hidup Mita, ngga mungkin kan nanya-nanya sedalam itu? Tamaki Drive yang membentang di sepanjang garis pantai memberikan pemandangan laut yang memukau di satu sisi dan perbukitan hijau yang menenangkan di sisi lainnya. Jalanan berkelok lembut, membuat gue kian melambatkan laju dan membiarkan Mita menikmati suasana. Angin laut yang sejuk membawa aroma asin yang menyegarkan. Samar suara ombak dan merdu kicau burung-burung camar menambah harmoni yang menangkan. “Tris?” “Ya?” “Infeksi apa yang mungkin banget menyerang anak gue nanti?” tanyanya tiba-tiba. Langsung sedih perasaan gue. Pasti isi kepala Mita sudah kepingin meledak sejak tadi. Mungkin, itulah yang membuat dia ngga sadar sudah menghabiskan waktu berjam-jam melamun di rumah sakit. “Lo yakin mau ngomongin ini?” balas gue. I mean, dia butuh menenangkan diri dulu bukan? “Gue takut, Tris ….” Ia kembali menangis. Gegas gue memilih sebuah tempat di mana kami bisa tetap menikmati pemandangan laut dan langit tanpa perlu meninggalkan mobil. SUV ini gue parkir, barulah atensi penuh gue berikan ke Mita. “Ngga bisa gue aja yang sakit ya, Tris?” tanyanya kemudian. Asli, speechless gue. Sama sekali ngga punya jawaban untuk pertanyaannya barusan. Di luar sana, lampu-lampu mulai menyala, memancarkan cahaya lembut yang berpadu dengan sisa-sisa sinar matahari. Nampak pula restoran dan kafe di sepanjang jalan mulai dipadati pengunjung yang datang untuk menikmati makan malam sembari menatap terbenamnya mentari. “Lo tau ngga Tris … tadi, gue sempat mikir, kayaknya better anak gue ngga usah selamat daripada dia menderita,” isak Mita. Tangisannya sungguh menyayat hati ini. Gue menariknya ke pelukan, membiarkannya menumpahkan sedu-sedan. Andai gue tau apa yang bisa gue lakukan untuk menghiburnya. “Gue harus gimana, Tris?” Jadi, begitu mendapatkan hasil uji janinnya Mita, gue langsung nge-share ke beberapa sejawat gue. Ada immunologist, hematologist, neonatologist, juga pediatrician alias dokter spesialis anak. Gue ngga tau sih apakah ini salah satu pertanda baik atau tidak. Tapi, teman-teman gue ini sudah pernah menangani kasus serupa. Dari lima kasus, tiga pasien sehat setelah menjalani transplantasi sel punca atau stem cell transplant dari darah tali pusar. Apa sudah gue jelaskan ke Mita? Tentu saja sudah. Tapi, ya namanya ibu, anak demam aja mereka pasti sedih, apalagi terdiagnosa penyakit langka dengan tingkat kematian yang tinggi. Ngga usah Mita, gue aja berasa hancur membaca hasil tes genetik pra-natal tersebut. “Tris?” Kemeja gue diremasnya, bahu kiri gue kuyup dengan air matanya. “Kita rawat dia selama di kandungan, kita lahirkan, dan kita beri haknya untuk bertahan hidup. Upayakan, Mit. Gue yakin lo mampu.” Mita mendongak, menatap gue dengan matanya yang masih terus menderaikan tangis. “Ada gue. Ngga boleh takut! Oke, ma’am?” Ia semakin terisak, namun … ia pun mengangguk. ‘Ya Allah, Mit … kasihan banget sih lo.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD