008:SAGA-KABAR YANG DISEMBUNYIKAN

2006 Words
"Seperti yang kita lihat, omset kuartal kedua mengalami peningkatan sebesar 15% dibanding kuartal pertama.” Eylo sedang memaparkan laporan keuangan. Pagi ini kami memiliki jadwal meeting direksi dengan agenda; evaluasi kinerja kuartal ketiga tahun berjalan. Layar proyektor tengah menyajikan grafik dan angka-angka yang memperlihatkan kondisi keuangan perusahaan. Saat Eylo masih cuap-cuap, aku memerhatikan lagi isi materi meeting yang dicetak. Tabel demi tabel arus uang di titik pandangku ini sungguh tidak sinkron dengan diagram di depan sana. “Kenapa bisa ada penurunan laba bersih sebesar lima persen?" tanyaku. “Pendapatan meningkat 15-persen tapi laba menurun lima persen? Menurut Anda aneh atau tidak, Pak Eylo?” Suasana meeting direksi seperti ini memang selalu terasa tegang. Terutama sejak kepergian Kakek dan Papa. Karena apa? Sikap dingin dan skeptisku tentu saja. Aku tidak seperti ini sebelumnya. Hanya saja, hati kecilku terus mengatakan jika para bajing4n di ruangan ini tak ada yang tulus mendukungku. Mereka hanya menungguku jatuh lalu serempak bertukar uang. Yang prediksinya paling tepat – tentang berapa lama aku mampu bertahan tanpa Kakek dan Papa – yang menjadi pemenangnya. Sebagai CEO, aku duduk di ujung meja, memasang raut wajah kaku dengan tatapan tajam dan sinis. Di sebelahku, CFO Zalman Holdings – Eylo Bastian Ilan, berdiri mempresentasikan financial statements. “Anda sedang menutupi bangkai?” cecarku lagi. Pandanganku menyapu setiap wajah yang hadir, diakhiri di paras Eylo yang mulai terlihat gugup. "Pak Saga, penurunan laba bersih ini disebabkan oleh peningkatan biaya operasional dan beberapa investasi jangka panjang yang belum memberikan hasil,” jawabnya. Ia berusaha tenang, meski kata ‘berusaha’ tak cukup berhasil untuk membuatku menyadari memang ada yang tidak beres di laporan kuartal ini. Aku menggelengkan kepala, enggan puas dengan alibi yang Eylo tuturkan. "Pak Eylo, angka-angka ini tidak masuk akal. Saya ingin tahu detailnya. Kenapa biaya operasional bisa meningkat sedemikian rupa? Dan investasi apa yang belum memberikan hasil? Bukankah kita sudah melakukan analisis risiko sebelumnya?" Jakunnya Eylo naik turun, raut wajahnya semakin kaku. Yang kutangkap, ia tengah merasa kian terpojok. "Pak, investasi di sektor teknologi memang membutuhkan waktu untuk membuahkan hasil. Biaya operasional meningkat karena ada beberapa pengeluaran tak terduga, seperti perbaikan mesin dan peningkatan biaya logistik." "Pengeluaran tak terduga?" Aku mengulang kata-kata Eylo dengan nada skeptis. "Mengapa ini tidak ada dalam laporan risiko? Kenapa kita baru tahu sekarang? Anda yakit tidak sedang menyembunyikan bangkai?" Ruangan otomatis sunyi senyap. Eylo terlihat panas dingin, keringat gugup mulai mengalir di pelipisnya. "Pak, saya jamin tidak ada yang disembunyikan. Mungkin ada kesalahan dalam pencatatan atau laporan yang belum lengkap." Aku menghela napas panjang, mencoba menahan amarah. "Pak Eylo, kita tidak bisa bekerja dengan asumsi. Ini perusahaan besar, bukan bisnis kecil di pinggir jalan. Saya minta laporan lengkap dan detail tentang apa yang sebenarnya terjadi! Berikan saya analisis mendalam dan solusi konkret untuk mengatasi masalah ini!" Eylo sontak mengangguk patuh, mungkin berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Baik, Pak. Saya akan segera menyiapkan laporan lengkapnya." “Satu minggu! Saya ingatkan, masih banyak orang lain yang menginginkan kursi CFO Zalman Holdings!" tegasku. "Kita akhiri meeting hari ini,” pungkasku, menutup pertemuan. Aku pergi lebih dulu, langsung beranjak ke ruanganku. Lima menit menjelang tengah hari. “Bapak mau makan siang apa?” tanya Areum. “Ngga usah. Jangan lupa Areum, nanti sore saya ada meeting sama Pak Dirga.” “Bapak yakin mau mencoba mengajukan permohonan investasi dari beliau? Saya dengar-dengar, orangnya agak sulit, standarnya tinggi.” “Jadi, menurut kamu, perusahaan kita ngga sesuai standar dia?” “Bukan begitu, Pak.” Aku malas memperpanjang dialog. Belakangan Areum jadi banyak bicara! Apa karena ia sakit? Kegelisahan membuatnya senang bertutur. Kulanjutkan langkah lalu mendorong pintu. “Saya mau istirahat.” Tak menunggu responnya, pintu kututup, kaca kugelapkan, lalu aku melangkah ke sofa dan merebahkan diri dengan tatapan kosong. Bolehkah aku mengaku? Sungguh … aku rindu hidupku yang dulu. Aku … rindu Mita. Lima bulan terakhir sejak aku menjatuhkan talak padanya, aku terus mencari tau benang merah antara kematian Kakek dan Papa dengan Om Rasen. Lucunya, hingga detik ini tak juga aku temukan. Aku bahkan mulai ragu akan kebenaran desas-desus itu. Dan justru berasumsi ada seseorang yang sengaja melempar umpan ke media untuk memanaskan suasana. Nyatanya … kini aku begitu takut jika keputusanku melepas Mita juga Om Rasen adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Selain itu, aku juga habis-habisan mempertahankan perusahaan kami. Merosotnya nilai saham mengakibatkan banyak investor kehilangan kepercayaan pada kami. Belum lagi tekanan dari para pemegang saham yang semakin membuatku ketar-ketir. Aku sangat tau, jika tidak bertindak cepat, semua yang telah dibangun oleh Kakek dan Papa akan benar-benar hancur berantakan. Akhirnya, aku tidak punya pilihan lain selain menggunakan 'dana terdarurat' yang selama ini disimpan secara rahasia oleh kedua almarhum. Dana yang disiapkan untuk situasi krisis terburuk. Tiga-perempat dari dana tersebut habis kugunakan untuk menstabilkan kembali nilai saham perusahaan. Getar ponselku beradu dengan permukaan meja. Bunyinya membuatku tak nyaman. Menahan kantuk, kutatap nama yang muncul di layar. Lagi-lagi ibuku! Enggan kujawab, kutekan tombol power lama-lama lalu menutup rapat kelopak mataku. *** “Maaf, Bu. Tapi, Bapak sedang beristirahat.” Samar suara Areum menyapa pendengaranku. “Mau saya pecat kamu?” Lalu berganti dengan suara Mama. “Buka pintunya!” titah beliau kemudian. Aku membuka mata, bernapas dalam beberapa kali diiringi suara langkah yang kian mendekat, juga putaran anak kunci. Saat pintu terbuka, aku sudah duduk sempurna. “Maaf, Pak,” ujar Areum. “Ibu Felita ….” “It’s ok!” tanggapku. Areum mengangguk sopan, ia kemudian melangkah mundur seraya menutup pintu. Sementara Mama, menyeringai sinis. Oh, beliau tidak datang sendiri. Namun, dengan seorang perempuan ‘bernilai mahal’ yang entah Mama pungut di jalan mana. Kuangkat tangan kiriku, memerhatikan penujuk waktu. Sudah pukul satu lewat sepuluh menit. “Kamu sudah makan, Ga?” tanya Mama seraya duduk di depanku. “Ada perlu apa Mama ke sini?” balasku. “Kok diam saja sih, Run? Duduk tuh di samping Saga.” Perempuan itu mengangguk, lalu sambil malu-malu duduk tepat di sampingku. Kepalaku menoleh, dan dengan sengaja aku bergeser hingga kini posisi kami terpisah satu dudukan. “Ngga usah tersinggung ya? Kan Tante sudah bilang kalau Saga memang nyebelin,” ujar Mama. “Kenalan dong, Ga! Gimana sih kamu?” omel Mama kemudian. Malas berdebat, aku mengulurkan tangan lebih dulu. Tentu saja ‘si Lari’ menyambut. “Saga,” ujarku dingin. “Binar Seruni,” balasnya. Berharap aku memuji namanya kah? Cih! Kuusaikan jabat tangan kami. “Kalau Mama bilang saya nyari istri baru, tolong lupakan. Faktanya, saya ngga berminat! Kecuali Anda mau saya pakai dengan gratis! Saya malas membayar perempuan bawaan Mama!” “SAGA!” pekik Mama. Perempuan di hadapanku sudah membelalak sejak aku meluncurkan kata ‘lupakan’. Kedua tangannya bahkan mengepal erat sekarang. “Bagaimana? Gratis tidak apa ….” ‘PLAK!’ Seperti yang kuharapkan! ‘Si Lari’ kini benar-benar berlari meninggalkan ruanganku. Tersisalah Mama yang siap merepet. “Keterlaluan kamu, Saga!”’ Aku meraih ponselku, lalu kembali mengaktifkannya. Tatapanku fokus ke layar gawai, malas meladeni Mama. “Niat Mama tuh baik, Saga! Kamu itu laki-laki! Butuh perempuan untuk merawatmu, memenuhi kebutuhanmu, menjaga martabatmu!” “Oh ya? Mama lupa bagaimana sikap Mama ke Mita dulu?” “Dia tidak pantas menjadi istrimu! Derajatnya berbeda dengan kita!” “Derajat apa? Memangnya Mama pikir, kalau Mama tidak menikah dengan Papa, Mama punya apa sekarang?” “Lancang kamu, Saga!” “Mama cuma mau punya menantu yang bisa mama setir. Dan Mita tidak demikian!” “Tapi akhirnya kata-kata Mama benar kan? Satu, dia mandul! Dua, dia hanya memanfaatkanmu!” Mama tak mau kalah. “Faktanya, keduanya tidak terbukti hingga kini,” balasku. “Jangan buta kamu, Saga!” “Pergi! Saga mau Mama pergi! Masih banyak pekerjaan yang harus Saga selesaikan!” “Kamu ngusir Mama?” “Iya!” tanggapku dingin dan tajam. Mama menghempaskan napas keras. Beliau berdiri dari duduknya, lalu melangkah dengan tangan yang terkepal. Ya, pergilah! Jauh-jauh dariku! Bebanku sudah terlalu banyak untuk ditambahkan lagi dengan urusan perjodohan. “Bapak ngga apa-apa?” tanya Areum yang menyisipkan kepalanya di antara pintu dan bingkainya. “Hmm,” gumamku seraya mengangguk. “Mau saya pesankan makanan, Pak?” “Boleh. Salad dan panini saja.” “Baik, Pak.” “Dan tolong cek ulang data yang mau saya bawa sore ini, Rum.” Areum mengangguk. Sesaat kemudian pintu ruanganku kembali tertutup rapat. Aku membuka call log, menekan salah satu nomor yang sudah dua bulan terakhir selalu kuhubungi. Nada sambung terdengar, entah beberapa kali sampai akhirnya suara di ujung panggilan menyapa. “Kamu sudah menemukan jejak Mita?” *** Aku mengaktifkan rem tangan lalu menutup pintu garasi melalui aplikasi di ponselku. Lampu mobil kemudian kumatikan, begitu pun mesin mobil. Namun, aku tak langsung membuka seatbelt. Pandanganku tertuju ke pintu yang mengantarai ruangan ini dengan bagian dalam rumah. Titik di mana biasanya Mita akan muncul dan menyambutku. “Saya masih butuh waktu untuk memperhatikan kondisi perusahaan Anda. Saya tidak akan bicara di belakang seperti kebanyakan orang. Pasca penurunan nilai saham yang sangat signifikan beberapa bulan lalu, saya tau Anda sudah berusaha menangani itu. Namun, untuk menyimpulkan progress dari recovery perusahaan tidak bisa dilakukan secepat ini, Pak Saga.” “Saya paham, Pak Dirga.” “Saya tidak tau apakah saran saya ini akan bermanfaat. Tapi, ada baiknya Anda melakukan cross check antara soft file laporan keuangan perusahaan dengan versi cetaknya. Saya paham ada banyak faktor eksternal yang terjadi belakangan ini. Tapi, penurunan nilai saham yang signifikan dalam semalam biasanya akibat dari combo antara kekacauan di luar dan di dalam dalam satu waktu. Atau ….” “Ada pihak di dalam yang sengaja membuat kekacauan saat kondisi di luar pun sedang tidak baik-baik saja?” “Agar Anda tidak curiga!” sambung Pak Dirga. “Apa Anda sudah memeriksa laporan tiga kuartal tahun ini?” “Sudah, Pak.” “Ada kondisi di mana omset naik sementara laba cenderung jalan di tempat?” Aku membeku. Dan Pak Dirga seketika paham jika hal yang barusan beliau ungkapkan memang terjadi. “Fraud,” lirihku. Dering ponsel membuatku terhenyak. Memori pembicaraanku dan Pak Dirga selama satu jam sore tadi pecah bak gelembung sabun, membawaku kembali ke kenyataan. Kuraih ponselku, lagi-lagi Mama. “Saga baru sampai rumah. Capek! Kalau Mama sakit suruh supir antar ke dokter. Kalau lapar suruh art Mama masak. Kalau mau curhat silahkan cari psikolog yang cocok!” Kututup panggilan itu setelah meracau tanpa memberi kesempatan Mama bicara. Aku muak dengan segala celoteh Mama tentang perjodohan. Perempuan yang menjadi menantunya hanya memiliki dua pilihan; disetir atau disiksa. Kutinggalkan balik kemudi lalu melangkah gontai ke dalam rumah. Istana ini kini terasa amat sunyi karena ratunya telah pergi. Sapaan asisten rumah tanggaku tak kusahuti, kakiku terus menapak ke lantai atas. Bukan ke kamarku yang sekarang, namun kamar yang dulu kutempati bersama Mita. Dua bulan terakhir, aku selalu kembali ke sini, duduk di tepi ranjang, melamun, lalu tau-tau tersadar di pagi hari. Namun kali ini, tidak demikian. Aku menyusuri setiap sisi dan sudut, membuka setiap ruang penyimpanan yang ada. Entah apa yang kucari, satu kenangan remeh tentang Mita pun tak apa. Aku … rindu. Ya, aku sungguh menyesali perbuatanku padanya. Tibalah aku di depan pintu lemari yang bersisian dengan floor to ceiling window. Aku tak pernah berani mengintip ruang yang satu ini sejak perpisahan kami. Mita menyimpan buku-bukunya di dalam sana. Meja kerjanya tak pernah rapih, apalagi rak bukunya. Karena pusing melihat kekacauan setiap kali kembali dari kantor, akhirnya aku meminta Mita untuk meletakkan semua barang-barangnya di penyimpanan tertutup. Begitupun segala sesuatu yang ada di atas office desk. Apakah aku sudah bilang jika istriku adalah seorang Independent Financial Advisor? Maksudku … mantan istri. Kubuka pintu lemari, perasaan gugup menyerang begitu saja. Pandanganku menyapu ke setiap judul buku. Hanya ada n****+-n****+ fantasi dan buku-buku keuangan. Hingga, titik pandangku berhenti di sebuah jurnal bersampul kulit berwarna oranye yang kukenali sebagai milik Mita. Catatan harian itu aku ambil. Selembar kertas terselip di bagian tengah. Glossy seperti kertas foto namun nampak lebih tipis. Penasaran, lembaran itu kutarik, dan seketika … lututku melemah. Aku terduduk dengan kedua mata yang lekat melihat hasil pencitraan rahim Mita. Apa aku … menceraikannya saat ia tengah mengandung?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD