Gue merogoh saku coat, mengambil bungkusan camilan yang berisi bola-bola coklat. Baru juga gue makan sebiji, si Mita main rebut aja. Mending kalau habis ambil sebutir, bungkusannya dia balikin. Ini mah ngga, dikekep aja terus, mana sekali masuk mulut langsung beberapa butir. Maruk juga nih bumil!
“Masuk lo sana. Dingin banget di sini, Mit,” ujar gue kemudian.
“Lo aha eng halik,” ujarnya dengan mulut penuh coklat. Sampai giginya ikutan coklat. Pake muncrat pulak ke muka gue.
“Jorok lo!” omel gue.
“Hori.”
“Malah hore!” ketus gue lagi, eh dia malah ngekek.
Setelah berhasil menelan emutannya, barulah dia ngoceh lagi. “Gue bilang, lo aja yang balik. Gue masih pengen di sini. Dan gue bilang sorry karena tadi muncrat, bukan hore,” jelasnya sembari terkekeh.
Musti gimana coba gue? Masa iya gue tinggal? Ditempelin kunti Auckland kan ngga lucu.
“Ngapain lo?” tanyanya kemudian sambil nepuk tangan gue yang mau ngambil bungkusan coklat.
“Punya gue, Mit.”
“Lo beli lagi aja sana! Ini buat gue!”
“Buset! Lagi hamil ngga boleh ngerampok, Mit!”
“Kalau ngga hamil boleh?”
“Ya ngga juga.”
“Eh, nama lo siapa?” tanyanya lagi.
“Kenapa emangnya?”
“Ngga usah ngasih tau kalau ngga mau! Gue juga ngga butuh nama lo! Berasa penting banget lo!”
Sabar Tris! Sabar! Orang sabar bokongnya lebar! Asyem bener ini cewek!
“Gue nanya cuma dua kata, bumil! Ngapa lo balesnya panjang banget?” balas gue, ikutan nyolot.
“Suka-suka gue!”
“Astaghfirullah. Untung gue sabar.”
“Ish!”
“Lo ada dendam apa sih sama gue? Salah gue apa sama lo hah?” Emosi juga gue lama-lama. “Yang salah mobil kan lo, Mit. Yang main ngomel aja juga lo. Lo yang salah sasaran kenapa jadi kayak gue yang salah?”
Bukannya ngejawab, dia malah mewek.
“Waduh!” gumam gue.
“Nih! Pergi! Cuma gara-gara coklat lo marahin gue! Sana lo!” omelnya kemudian, meletakkan coklat ke telapak gue dengan kasar, lalu menangis.
“Yah, Mit. Cup cup!” Duh, musti gimana nih gue?
“Pulang lo sana!”
“Maaf, Mit. Ngga kok, gue ngga marah. Gue gemes doang sama lo. Abisnya lo galak banget. Nih, makan lagi deh coklatnya. Besok gue beliin lagi, yang banyak. Oke?”
“Awas lo boong?”
“Iya, ngga.”
Gue balikin deh tuh coklat ke tangan dia. Gue doang apa ya yang ngerasa ini cewek absurd banget? Kagak jelas sumpah!
“Jadi, nama lo siapa? Gue lupa,” ujarnya lagi, sambil ngunyah coklat yang combo dengan mewek.
“Tristan.”
“Oke.”
Gue terkekeh.
“Thanks, Tris. Maaf soal di airport tadi.”
“Hmm. Ngga apa-apa.”
***
Satu bulan kemudian.
Tepat pukul sepuluh pagi, Marta – seorang perawat yang mendampingi gue pagi ini – meletakkan tumpukan medical record di meja gue.
“Bagaimana hari ini?” tanya gue.
“Pasienmu terus bertambah. Aku akan menginformasikan admin untuk membatasi jumlah pasienmu mulai minggu depan, Dok,” jawab Marta.
“Apa aku setenar itu?”
“Sayangnya begitulah, Dok.”
“Baiklah. Kita mulai untuk hari ini. Mohon kerja kerasnya.”
Marta mengangguk. Ia meninggalkan gue. Sementara menunggu pasien pertama masuk, gue nyeruput hot chocolate dulu. Subuh tadi sudah ngopi, dan saat praktek gue lebih suka didampingi se-tumbler coklat hangat. Lumayan membantu mengendalikan kewarasan saat ketemu kasus-kasus sulit. Semakin tahun, kasus komplikasi pada Ibu hamil semakin banyak variasinya. Faktornya banyak, dari mulai kondisi alam hingga gaya hidup. Miris ya? Begitulah kenyataannya.
“Halo,” sapa gue saat pasien pertama masuk. Ia tersenyum ramah seraya mengusap perutnya yang semakin membuncit. Di sampingnya, sang suami merangkul hangat. “Duduklah,” ujar gue lagi.
Kenapa gue jadi obgyn? Pertanyaan ini sering banget gue dapat. Dari mulai yang serius nanya, sampai yang model ngelecehin. So, let me tell you the story ….
Mama juga punya profesi yang sama dengan gue. Betul, beliau pun seorang obgyn. Hanya saja, sudah tiga tahun terakhir ini beliau pensiun. Umur beliau 58 tahun, menikah dengan Dad begitu lulus S.Ked di Jakarta.
Singkat cerita, berhubung gue si Sulung, ngikutin bangetlah perjalanan hidup Mama meniti karir di sini. Jujur aja, gue selalu takjub pada beliau. My favorit person ya Mama. Dan moment bersama beliau yang paling gue suka dan nantikan adalah saat sebelum tidur, beliau akan bercerita tentang betapa ajaibnya kehidupan di dalam rahim, atau kelahiran seorang bayi ke dunia. Kalau banyak anak diceritain dongeng fabel, legenda, atau cerita fiksi … gue malah familiar sama dugdugdug – suara jantung janin – dan oekoek – suara tangisan bayi saat lahir.
Tapi, dorongan paling besar justru hadir saat Mama akan melahirkan Storm. Waktu itu cuaca lagi ganas banget. Pengasuh yang biasanya nemanin gue dan Iram kalau Mama and Dad lagi kerja, ngga bisa datang. So, mau ngga mau Dad harus menyertakan kami dalam perjalanan melawan hujan badai untuk membawa Mama ke rumah sakit.
Harusnya, situasinya sama seperti saat Mama akan melahirkan Iram bukan? Kami senang, kami bahagia, kami bersemangat menunggu Iram menangis pertama kali. Namun kali ini, keadaan yang gue rasakan justru bertolak belakang. Dad teramat tegang. Para dokter dan perawat juga terlihat terburu-buru. Mama terus merintih. Lalu beberapa saat kemudian, Mama berpamitan dengan gue dan Iram, menciumi kami seolah momen tersebut akan menjadi kebersamaan terakhir. Gue bahkan masih ingat jelas kalau gue dan Iram menangis kala itu.
Berdua dengan Iram kami menunggu di ruang tunggu operasi. Benar-benar bak anak ayam kehilangan induk. Dan Mama baru sadar keesokan harinya dalam kondisi yang teramat lemah.
Saat itu gue ngga paham apa yang terjadi. Namun, saat gue SMP, gue akhirnya nanya pada Mama. Apa yang terjadi, kenapa proses kelahiran Iram dan Storm berbeda? Di situlah gue baru tau kalau Mama mengalami komplikasi kehamilan yang disebut polihidramnion di mana terdapat terlalu banyak cairan ketuban atau amniotic fluid selama kehamilan. Penyebabnya apa, dokter pun tidak tau, Mama bilang itu terjadi begitu saja saat trimester terakhir. Dan komplikasi tersebut menyebabkan kondisi darurat yang lebih gawat lagi. Adalah abrupsi plasenta atau kondisi di mana plasenta terlepas dari dinding rahim sebelum persalinan, terjadi akibat peningkatan tekanan di dalam rahim. Mama kehilangan banyak darah saat melahirkan Storm yang membuat beliau sempat bersinggungan dengan titik kritis.
Dari situlah gue bertekad untuk menjadi seorang obgyn seperti Mama. Niatnya untuk membantu para bumil dalam momen-momen paling penting dalam hidup mereka. Cie banget ngga tuh?
Ngga terasa, sampai juga di ujung praktek hari ini.
Gue menatap nama yang tercantum di map medical record pasien terakhir.
“Belvina Paramita,” gumam gue, membaca rangkaian huruf tersebut. “Kayak ngga asing?” monolog gue lagi.
Dan ternyata dugaan gue ngga salah.
Saat pasien gue itu masuk, ngga lain ngga bukan adalah tetangga depan rumah. Si bumil absurd yang kelakuan randomnya selalu bikin gue mengalami dilema di antara dua pilihan, ngakak atau ikutan gila.
“Ngapain lo?” tanya gue.
Marta auto nge-freeze. Biarpun dia ngga tau gue ngomong apa, tapi dari nada bicara gue pasti dia paham gue nyolot.
“Ngajak lo main catur,” jawab Mita sembari duduk di hadapan gue.
“Aku mengenalnya. Ia tetanggaku,” ujar gue ke Marta. Biar ngga salah paham. “Lo sengaja periksa ke gue?” tanya gue kemudian, kembali ke Mita.
“Iyalah. Kenalnya sama lo.”
Gue menghela napas. Berhubung medical record-nya masih kosong melompong, tentu saja gue wajib ngulik kisah kehamilan dia sedari awal.
“Hmm … 22 minggu,” gumam gue. “So, pemeriksaan terakhir kapan, ma’am?”
Mita menggeleng.
“Kenapa lo?”
“Ini … pemeriksaan kedua, Dok. Pemeriksaan pertama saat enam minggu,” jawabnya.
Melotot dong gue. “Dan baru sekarang lagi?”
“Iya.”
“Begini, ma’am … jika hidupmu kacau, jangan kau kacaukan kondisi janinmu. Dia tidak bersalah,” ujar gue. Sorry, gue bukannya ngga iba sama Mita. Tapi, posisi gue di sini adalah seorang obgyn, bukan si Tetangga tempat dia curcol.
Kedua ujung bibir Mita sontak tertarik ke bawah.
Paham kok gue, omongan gue pedas! Tapi, kalau ada apa-apa sama janinnya, apa ngga Mita sendiri yang menyesal?
“Kau sudah melakukan tes apa saja sepanjang kehamilan?” tanya gue kemudian.
“Belum ada, Dok,” jawab Mita.
Kembali gue menghela napas. “Baiklah. Aku akan merekomendasikan beberapa tes. Salah satunya tes genetik pranatal. Gunanya adalah untuk meng-screening kemungkinan adanya penyakit genetik yang diidap janin. Well, aku sih berharap hasilnya negatif, tapi tetap saja, jika memang ada, kita bisa bersiap sedari dini. Belakangan, kasus-kasus komplikasi karena kondisi genetik agak banyak kutemukan.”
Mita mengangguk.
“Ayo, kita periksa dulu kandunganmu.”
Marta membantu Mita memposisikan diri di atas bed pemeriksaan. Setelah siap, gue mulai menjalankan transducer di atas perutnya.
“Apakah ada yang aneh, Dok?” tanyanya, jelas gelisah. Ia bahkan menggenggam tepi jas gue.
Gue ngga langsung menjawab, melakukan pemeriksaan hingga tuntas lebih dulu.
“Tidak ada,” jawab gue akhirnya setelah menunjukkan padanya jika denyut nadi dan parameter lain dari janinnya dalam kondisi normal.
“Berarti, aku tidak perlu khawatir?”
“Kuharap demikian.”
“Kenapa, Dok?”
“Apa ada penyakit tertentu yang diturunkan di keluargamu?” tanya gue kemudian seraya melangkah kembali ke meja kerja.
Mita menyusul, kembali duduk di hadapan gue. “Seingatku tidak ada.”
“Bagaimana dengan keluarga mantan suamimu?”
Ia mengerutkan kening, mungkin berusaha mengingat-ingat. Lalu … menggeleng.
“Kau anak ke berapa?” tanya gue lagi.
“Satu-satunya.”
“Ada penyakit yang menyebabkan hal itu?”
“Aku tidak tau, Dok. Ibuku sudah meninggal sejak aku belum paham soal kehamilan.”
Gue mengangguk.
“Kalau ayah janinmu, anak ke?”
“Dia anak tunggal. Tapi ….”
“Tapi?”
“Dia pernah cerita jika ia punya seorang adik. Hanya saja, adiknya meninggal beberapa jam setelah dilahirkan.”
“Kenapa?”
“Aku tidak diceritakan detailnya. Tapi, dia bilang, imunitas adiknya sangat rendah.”
‘Deg!’
“Kenapa wajahmu begitu?” tanya Mita kemudian.
“Soal tes genetik prenatal, aku hanya memberi saran. Tapi, mengingat ada riwayat seperti itu di keluarga ayah janin ….”
“Lakukan saja, Dok.”
***
Dua minggu kemudian.
Gue belum bicara, namun Mita sudah menangis. Mungkin, ekspresi gue mengatakan banyak hal.
“Kenapa, Tris? Ada apa?”
Dia bahkan ngga manggil gue Dok.
“I’m so sorry, Mit.”
“Anak gue kenapa?”
“Janin lo mewarisi salah satu penyekit genetik langka. Namanya adenosine deaminase deficiency-severe combined immunodeficiency, disingkat ADA-SCID. Janin lo mengalami kekurangan salah satu enzim yang diperlukan untuk fungsi sistem kekebalan tubuh. Kita belum bisa menilai separah apa kondisinya sebelum dilahirkan.”
“Apa kemungkinan terburuknya?” tanyanya di antara sedu sedan.
“Pada kasus buruk, kondisi ini bisa menyebabkan gangguan kekebalan tubuh yang parah, meningkatkan risiko infeksi yang serius dan berulang.”
“Kematian?”
Gue ngga sanggup menjawab.
Gue beranjak, mendekatinya. Lalu … di depannya gue bersimpuh.
"Need a hug, ma'am?"