SAGA POV
“Enam bulan?” lirihku.
Ya Tuhan, kegilaan apa yang sudah kulakukan?
Kuselipkan hasil USG itu di dalam dompetku. Jurnal Mita kuletakkan ke tempatnya kembali. Aku ingin membaca setiap kata di dalamnya, namun keberadaan Mita saat ini jauh lebih penting untukku. Dan kurasa satu-satunya orang yang mengetahui Mita hanyalah Om Rasen. Aku harus melunturkan egoku bukan?
‘Ya Tuhan, sumpah lo t0lol banget, Ga!’
Aku berdiri, dengan cepat melangkah turun ke lantai bawah, dan keluar menuju garasi. Hujan deras masih mengguyur, seakan langit pun turut meratapi kebodohanku. Aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin. Suara derunya bergabung dengan dentuman petir. Ku injak pedal gas, melaju meninggalkan rumah.
Perjalanan ke rumah Om Rasen terasa lebih lama dari biasanya. Penglihatanku terhalang oleh derasnya hujan yang mengaburkan pandangan. Kilatan petir sesekali menerangi langit, menciptakan bayangan menakutkan di sekitar jalan. Angin kencang menggoyangkan pepohonan, dahan-dahannya seperti tangan-tangan yang berusaha meraihku ke dalam kelam.
Genggamanku di roda kemudi kian erat seiring dengan pikiran yang terus berkecamuk tentang Mita dan bayi yang mungkin ada di kandungannya saat kami berpisah. Bolak-balik aku melirik jam di dashboard, waktu seolah berjalan teramat lambat. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit seperti jam. Rasa cemas dan penyesalan semakin menekan dadaku. Aku harus menemukan Mita, aku harus memperbaiki kesalahan yang telah kubuat.
‘Maafin aku, Mit! Maafin aku, sayang! I hurt you, and in doing so, I lost a part of myself.’
Akhirnya, di tengah badai yang semakin menggila, rumah Om Rasen di ujung jalan tertangkap titik pandangku. Lampu-lampu luar yang biasanya terang tampak redup di balik derasnya hujan. Kuhentikan mobil di depan pagar, memukul-mukul papan kayunya. Beberapa saat kemudian, akses masuk itu terbuka. Dengan napas terengah dan tubuh basah kuyup, aku berlari menuju pintu, mengetuk dengan penuh kegelisahan.
“Om! Om Rasen! Om!”
Entah berapa lama aku terus menggedor pintu itu. Hingga akhirnya Om Rasen muncul di ambang pintu dengan raut wajah datar.
“Ngapain kamu?” ketus beliau.
"Om, di mana Mita? Apa Mita benar-benar sedang hamil saat kami bercerai?" tanyaku tanpa basa-basi, suaraku nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Seringai sinis muncul di wajah beliau, dan jantungku seolah luruh ke perut.
‘Ya Tuhan … Mita, anakku … bagaimana nasib mereka?’
Om Rasen tak menjawab, hanya gurat wajahnya yang semakin tegang.
“Saga?”
Itu Ante Rifa, istri beliau.
“Ada apa?” tanya Ante lagi,
“Mita di mana, Ante? Saga baru tau kalau Mita hamil,” jawabku.
Beliau pun diam, lalu menggeleng cepat dan mengerjapkan mata. Kurasa teringat akan keadaan Mita.
“Ante? Please ….”
“Ma ….”
“Tidak perlu!” potong Om Rasen. “Tidak akan lagi kubiarkan bajing4an yang menyakiti putriku menapakkan kaki di rumah ini! Pergi!”
“Om,” lirihku. Sesak di dadaku rasanya semakin menjadi.
“Banci kamu! Mita tidak perlu laki-laki banci sepertimu di sisinya!”
Air mataku … tak lagi bisa kutahan, mengalir deras, sinergi dengan hujan yang tak kunjung mereda.
Aku sontak bersimpuh di hadapannya.
“Saga minta maaf, Om,” tangisku.
Om Rasen memandangku sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang.
“Tolong, Om. Kalau Saga nyakitin Mita lagi, Om boleh bunuh Saga. Saga hancur, Om. Apa pun yang Saga lakukan rasanya salah. Semakin Saga mencari tau siapa yang membunuh Kakek dan Papa, semakin ngga ada tanda-tanda keberadaan kalian di dalamnya. Saga mengaku salah, Om.”
Sekali lagi, kudengar suara dengusan napas beliau. Sementara Ante Rifa memilih diam, tak berani berucap sepatah kata pun.
“Maafmu sudah terlambat, Saga!” ujar Om Rasen akhirnya. “Kamu boleh meragukanku, bahkan saat desas-desus itu dimulai, aku tidak akan sakit hati jika kamu langsung memecatku. Aku bisa memahami kekalutanmu. Tapi memukul putriku? Sampai mati pun tidak akan pernah kuikhlaskan!” Om Rasen meneteskan air matanya saat mengatakan kalimat terakhir. Ya, aku salah. Bahkan untuk berharap maaf dari Mita pun sungguh tak pantas kulakukan.
"Aku tak bisa memberitahumu di mana Mita sekarang," jawab Om Rasen kemudian. Pelan namun tegas.
“Tapi janin di kandungan Mita anak Saga juga, Om,” tangisku lagi. “Tolong, Om." Suaraku penuh keputusasaan.
Om Rasen menggeleng, "Kamu harus tau, tidak mudah untuk Mita bertahan sejauh ini. Mita perlu waktu untuk sendiri. Jika tidak demikian, tidak mungkin kamu menemukan saya dan istri saya masih berada di sini. Kemunculanmu hanya akan membuat emosinya berantakan. Dan ya, Mita memang sedang hamil saat kalian bercerai. Tiga bulan dia menghabiskan masa menunggumu, berharap kamu datang mencarinya. Tapi, yang kamu kirimkan justru surat cerai kalian. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi dan memulai hidup baru. Seperti yang kamu bilang, janin itu juga anakmu, maka berpikirlah bijak sekali ini, Saga! Apakah kehadiranmu nanti membahagiakannya atau justru membunuh keduanya!"
Kata-katanya membuatku tersentak. Rasa bersalah menghantamku seperti badai yang berkecamuk di luar sana. "Tolong, Om Rasen. Saga harus bertemu dengan Mita. Saga harus memperbaiki semuanya. Atau setidaknya menjaganya dari jauh hingga ada saat yang tepat untuk kami bicara."
Om Rasen menatapku lekat sebelum akhirnya menjawab, "Saga, terkadang ada hal yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan permintaan maaf. Tapi, saya akan mencoba bicara padanya. Tunggu kabar dari saya."
Beliau lalu menutup pintu, meninggalkanku yang masih berlutut dan basah kuyup di teras rumahnya. Aku bergeming, kuremas kemejaku di bagian d4da, sungguh sesak ini begitu menyakitkan. Hujan yang terus turun di luar sana bahkan tidak lebih deras dari perasaan penyesalan yang mengalir di dalam darahku.
***
Tristan POV.
‘PRANG!’
Empat pria bermarga Weren berlari kompak menuju sumber suara. Sementara ibu hamil yang baru saja menjatuhkan baki berisi enam gelas chai latte panas membeku di titik kejadian.
“Diam di situ, sayang!” ujar Mama pada Mita.
“Ya, jangan bergerak, sweetie,” timpal Dad. “Ya Tuhan, kakimu.”
Iram bergerak lebih dulu, lalu Storm mendekat dan mulai memunguti pecahan-pecahan mug. Mama meraih baskom, mengisi wadah tersebut dengan air dingin dan es batu. Sementara Dad menerima kain lap yang dilempar Iram, beliau langsung menyeka lantai dari serpihan halus kaca begitu Iram menarik pecahan-pecahan besar dan genangan cairan dengan squeegee.
Giliran gue mendekati bumil yang meresahkan itu. Di titik temu, Mita otomatis mewek.
Gue menggendongnya, membawanya ke ruang tengah, diikuti Mama.
“Bersihin kakinya, habis itu rendam di air es,” titah Mama.
“Maaf, Ma,” lirih Mita.
“Maaf apa? Kamu yang luka kok minta maaf?” tanggap Mama.
“Mita ….”
“Ngga apa-apa,” potong Mama. “Minuman bisa dibikin lagi, ngga usah ditangisin.”
Sejak Granny Hazel kembali ke rumahnya dan hanya sesekali melihat Mita, otomatis tetangga gue ini hidup sendiri. Jadilah setiap pagi Mama yang heboh. Kalau dia ngga muncul di rumah ini, musti gue yang narik dia untuk sarapan bersama kami. Pas gue siap-siap untuk bekerja, baru deh Mita balik setelah bantuin Mama bebersih dapur. Scene selanjutnya yang akan gue alami adalah berhenti sejenak di depan rumahnya, ngacak-ngacak puncak kepalanya yang kadang Mita balas dengan tempelengan di kepala gue. Ngga ada sopan-sopannya emang, bukannya cium tangan malah ngeplak!
Perlahan gue membersihkan kaki Mita dari percikan chai latte. Setelah itu, satu persatu kakinya gue rendam di baskom. Ia meringis saat kulitnya yang hangat dan memerah tenggelam di dalam dinginnya air.
Gue mendongak. “Sakit banget?”
Kenapa sih nih cewek bikin gue was-was terus?
Mita mengangguk.
“Sabar ya, kalau langsung dikasih obat, kaki lo bisa melepuh.”
Ia mengangguk lagi.
“Lo kenapa sih bikin gue sport jantung mulu, Mit?”
“Sorry ….”
Gue menghempaskan napas, menatapnya lekat. Mungkin karena tak nyaman, Mita menutup kedua mata gue dengan jemari lentiknya.
Tangannya gue genggam, gue turunkan ke pangkuannya, sementara tatapan ini masih lekat padanya.
“Ada apa?” tanya gue selembut mungkin.
“Ngga ada apa-apa kok,” jawabnya.
“Perut lo sakit?”
“Ngga, Tris.”
“Terus?”
“Perasaan gue tiba-tiba aja ngga enak. Tau-tau gelasnya pada jatuh duluan. Kayaknya gue megang nampan miring. Maaf ya, gue nyusahin lo terus.”
“Bukan gitu maksud gue, Mit.”
“Iya, gue ngerti kok, lo khawatir.”
“Ngga boleh?”
“Boleh.”
“Tapi?”
“Gue jadi manja sama lo.”
“Penting banget ya dipermasalahin?”
“Ngga tau.”
“Kami baik-baik saja, sweetie. Tidak ada yang merasa terbebani karena kehadiranmu,” ujar Dad.
“Mama yang paling senang. Akhirnya dia punya seorang putri,” ujar Storm, melompati sandaran sofa, duduk di samping Mita.
Tawa Mama sampai ke telinga kami. Ya, beliau sudah kembali sibuk di dapur bersama Iram.
“Kau tinggal memilih, di antara kami bertiga, siapa yang kamu mau menjadi ayah dari bayimu!” seru Iram. Minta dihajar emang tuh orang!
Storm menaikturunkan alisnya, sementara Mita malah tergelak. Dad dan Mama ikutan ngekek. Gue doang apa yang ngerasa kontennya si Iram ngga lucu?
Gue menghela napas. Kedua tangan ini menyentuh perutnya yang kian membuncit. Bayi di dalam sana menyapa gue dengan gerakan lembutnya.
"Hey champ, how are you this morning?"
Tendangannya membuat gue terkekeh.
Gue lalu mendongak, bertemu pandang dengan Mita. Ia tersenyum, semanis madu.
Entah sejak kapan ini terjadi … sungguh menyebalkan! Love was never part of my plan, but sometimes the heart has its own agenda.