Aria terdiam memikirkan tawaran Arsa. Pria itu bersedia membantunya mengambil kembali apa yang telah Hengki dan Marisa kuasai. Namun, harus dibayarnya dengan tetap berada di sisi Arsa sebagai mata keduanya. Ia juga harus menuruti semua yang Arsa perintahkan dan inginkan tanpa terkecuali, tanpa boleh bertanya kenapa atau karena apa.
“Kau bersedia?” tanya Arsa dengan tangan terulur ke depan.
Aria menatap tangan Arsa yang menggantung di udara. Tawaran yang Arsa berikan sama artinya ia harus mengorbankan seluruh hidupnya, tetap menjadi istri Arsa yang buta dan mengabdi layaknya seorang b***k. Namun, apa yang Hengki dan Marisa lakukan tak dapat lagi dimaafkan. Selama ini ia sudah mengalah berharap dua orang itu berubah, tapi justru sebaliknya. Jadi, mungkin ini lah saatnya ia membalas perlakuan Hengki dan Marisa dan mengambil kembali apa yang harusnya menjadi miliknya.
Perlahan tangan Aria terulur hingga berhenti dalam genggam tangan Arsa. Ia sudah memutuskan, ia akan menerima bantuan Arsa meski harus ditukar dengan hidupnya
“Aku … bersedia.” Dua kata itu terucap dari mulut Aria sebagai tanda setuju dengan tawaran Arsa. Entah bagaimana ia merasa bisa mempercayai Arsa bahwa Arsa dapat membantunya.
Sudut bibir Arsa sedikit terangkat merasakan tangan Aria yang kasar mendarat perlahan di atas tangannya. Ia tahu Aria tak akan menolak tawarannya. Jika sampai Aria menolak, ia akan menggunakan berbagai cara agar istrinya itu menerimanya.
Sejak hari itu kehidupan baru Aria dimulai. Ia benar-benar menjadi mata kedua untuk Arsa membantunya melakukan apapun.
Arsa mengunyah makanannya perlahan. Saat ini ia dan Aria tengah menikmati sarapan bersama di mana Aria dengan telaten menyuapi suaminya itu.
“Setelah ini aku ingin pergi ke suatu tempat,” ucap Arsa setelah menelan kunyahan makanannya.
“Ba- baik,” jawab Aria tanpa bertanya ke mana tujuan mereka.
Tak lama kemudian, Aria dan Arsa telah berada di sebuah pusat perbelanjaan. Arsa mengatakan bahwa ia akan menghadiri sebuah acara dan menyuruh Aria memilihkan baju untuknya.
“Ta- tapi … aku tidak tahu bagaimana cara memilih baju yang sesuai,” ucap Aria. Meski Arsa tak dapat melihat apakah ia akan cocok dengan baju yang ia pilihkan atau tidak, ia tidak ingin mengecewakan Arsa.
“Tanyakan saja pada penjaga tokonya,” kata Arsa. Sebenarnya ia memiliki tujuan lain mengajak Aria belanja hari ini. Ia hanya ingin memastikan sesuatu.
Aria tampak cemas dan ragu saat akan memasuki toko pakaian pria. Ini kali pertama ia belanja sendiri, beli baju sendiri apalagi untuk seorang laki-laki. Selama ini ia hanya memakai baju bekas yang Marisa beri.
“Apa yang kau tunggu?” tanya Arsa karena sedari tadi Aria tak segera mengajaknya kembali berjalan. Wanita itu masih menggenggam tangannya dan ia dapat merasakan tangan Aria berkeringat dingin.
“Aku … tidak pernah beli baju untukku sendiri sejak ibuku meninggal. Ini kali pertama aku ke sini setelah sekian lama. Bagaimana jika aku membuat kesalahan?” ungkap Aria jujur. Ia tidak ingin membuat Arsa malu jika ia melakukan kesalahan saat membeli baju.
Arsa hanya diam kemudian tiba-tiba saja mengeratkan genggam tangannya pada tangan Aria.
“Mereka tidak akan peduli kesalahan yang kau buat asal kau mampu membayar barang yang mereka jual.”
Seperti yang Arsa duga, hal pertama yang harus ia lakukan pada Aria adalah, mengubah kepribadiannya. Akan sulit bagi Aria melawan Marisa jika masih memiliki sifat penakut dan mudah cemas seperti sekarang ini.
Arsa mengambil sebuah kartu yang sudah disiapkannya dari saku jas yang dipakainya kemudian memberikannya pada Aria.
“I- ini ….” gumam Aria menatap black card di tangan Arsa.
“Pilihkan yang paling sempurna untukku,” perintah Arsa.
Dengan ragu Aria mengambil black card tersebut dari tangan Arsa. Dan saat Arsa kembali menekannya agar bergegas, ia tak punya pilihan lain selain segera memasuki toko pakaian pria.
Arsa dan Aria segera disambut dua wanita penjaga toko dan langsung menawarkan brand terbaiknya saat Aria memberitahu tujuannya yakni memilihkan baju formal untuk Arsa.
“Jas ini terbuat dari kain wol kualitas terbaik. Brand internasional ini hanya memproduksi seratus jas setiap tahunnya. Mengenai kualitas, tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Suami anda akan sangat sempurna dengan jas ini,” ujar penjaga toko menjelaskan detail jas yang mereka pilihkan. Sebuah jas dari merk brand terkenal berwarna khaki.
Melihat Aria menggenggam black card di tangan, mata mereka seakan menjadi hijau. Mereka pun sengaja memilihkan brand paling mahal di toko tersebut.
Aria tidak begitu mengerti mengenai kualitas jas, bahkan jika penjaga toko memberinya jas dengan kualitas terburuk tapi mengatakan bahwa itu kualitas terbaik, ia akan percaya begitu saja.
Penjaga toko itu mempersilakan Arsa memeriksa detail jas yang ia promosikan. Melihat pakaian Arsa yang bermerek, wanita itu tahu Arsa merupakan pria kaya, hanya saja minus karena buta.
“Saya akan membantu anda mencobanya,” ucap penjaga toko itu.
Arsa hanya diam seakan mempersilakan wanita itu melakukan tugasnya. Aria pun hanya bisa melihat tanpa berani berucap.
“Lihat, sangat cocok dan pas untuk suami anda. Sesuai harga, terlihat dan elegan,” ujar penjaga toko itu setelah selesai memakaikan jas itu untuk Arsa coba.
“Ambil ini saja,” ucap Arsa dan meminta penjaga toko melepas jas itu.
Penjaga toko itu tampak antusias berhasil menjual salah satu brand dengan harga mahal.
“Pilihan yang sangat tepat, Tuan. Dengan harga tak sampai lima puluh juta anda sudah bisa memiliki jas berkualitas tinggi ini.”
“Tu- tunggu, maaf, maksud anda … berapa harga jas ini?” tanya Aria mendengar ucapan penjaga toko itu.
Wanita itu tersenyum merekah. “Hanya empat puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah, Nyonya.”
Waktu di sekitar Aria seakan berhenti berputar. Apa ia tak salah dengar? Ia kemudian mengajak Arsa bicara, mengatakan berapa harga hanya untuk satu buah jas, belum kemeja dan celana mengingat Arsa memintanya membelikan satu set pakaian untuk acara formal.
“Harganya sangat mahal,” bisik Aria. Ia seakan lupa siapa Arsa dan mengira uang dalam kartu yang digenggamnya tidak akan cukup nanti. Hanya satu kemeja sudah puluhan juta, bisa-bisa mereka menghabiskan ratusan juta hanya untuk satu set pakaian.
“Kau kira aku tak sanggup membayar?” balas Arsa bernada sarkas.
“Ti- tidak, bukan begitu. Maksudku, apa kau yakin membeli sesuatu dengan harga semahal itu? Aku tahu ini uangmu, hanya saja … bukankah lebih baik menggunakan uang sebanyak itu untuk sesuatu yang lebih penting?” ujar Aria.
Arsa hanya diam kemudian mengatakan, “Bagiku pesta itu sangat penting. Jika kau tahu kita membeli dengan uangku, maka diamlah. Aku juga tidak melarangmu menggunakannya. Gunakan sesuka hatimu membeli apapun yang kau mau.”
“A- apa? A- aku?”
Seketika sebuah keinginan merasuk. Aria menginginkan sesuatu sedari dulu dan tak pernah bisa ia wujudkan. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membeli benda itu. Apakah ini kesempatannya? Bolehkah ia memanfaatkan kesempatan yang Arsa berikan?
Di sisi lain, seorang wanita terlihat memasuki toko pakaian tersebut bersama seorang pria. Hingga tanpa sengaja pandangannya tertuju pada Aria.
Wanita itu menajamkan penglihatannya dan bergumam, “Loh, bukankah itu ….”