1. Menggantikan Menikah
“Tak sudi!”
Dengan lantang dan tegas wanita itu berucap menolak tawaran dari pria yang saat ini duduk di sofa tunggal ruang tamu rumahnya. Dengan wajah congkak dan angkuh wanita berusia 23 tahun itu kembali mengucap kalimat penolakan dengan kasar.
“Siapa yang sudi menikahi lelaki buta? Ada banyak pria sempurna yang tergila-gila padaku, untuk apa aku menikah dengan pria buta itu?”
“Semua terserah anda. Kedatangan saya ke sini hanya untuk menyampaikan mandat dari klien saya. Jika anda ingin masalah ini diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa harus dibawa ke jalur hukum, anda harus menikah dengan beliau. Harusnya anda sadar, kebutaan yang klien saya alami disebabkan oleh anda sendiri,” tegas pria berkacamata itu kemudian bangkit berdiri dan pamit pergi.
Gemeretak gigi wanita itu terdengar dengan tatapan tajam pada pria yang baru saja keluar dari rumahnya. Pria itu merupakan seorang pengacara dan datang karena diutus korban kecelakaan yang ia sebabkan.
Satu bulan yang lalu wanita bernama Marisa Nancy itu menabrak sebuh mobil yang terparkir di pinggir jalan karena di bawah pengaruh alkohol. Akibat kecelakaan itu, pengemudi mobil yang berada di dalamnya kehilangan penglihatannya sementara Marisa sendiri hanya mengalami cedera ringan.
“Jangan ambil pusing, Sayang. Suruh saja adik tirimu menggantikanmu.”
Marisa menoleh ke arah tangga di mana seorang pria paruh baya menuruni setiap anak tangga dengan tenang.
Dahi Marisa berkerut samar dan saat pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya berdiri di hadapan, senyum miringnya terukir jelas.
“Hm, ayah benar. Kenapa tak terpikirkan olehku?”
Tepat di saat itu, pintu utama terbuka menunjukkan seorang wanita muda yang berjalan memasuki rumah.
“Aku pulang, Ayah, Kakak,” ucap wanita itu sambil menunduk.
Marisa melirik ayahnya yang bernama Hengki dan melempar seringai licik kemudian berjalan menghampiri wanita tersebut yang tak lain adalah adik tirinya, Aria Hanum.
“Tepat sekali. Sepertinya, ini memang keberuntunganmu.”
Aria tetap menundukkan kepala seakan mengangkat kepala menatap kakaknya adalah sesuatu yang tak pantas ia lakukan. Ia tetap diam menunggu kakaknya bicara dengan perasaan mulai tidak enak.
“Kau harus menikah.”
Deg!
Detak jantung Aria seolah berhenti dengan mata melebar. Apa ia telah salah dengar?
“Kakakmu benar, Aria. Kau sudah harus menikah,” sahut Hengki yang kini berdiri di samping putrinya. “Usiamu sudah dua puluh satu tahun, sudah saatnya bagimu menikah dengan laki-laki yang tepat,” imbuhnya.
“Kau tenang saja. Aku sudah menemukan lelaki yang tepat untukmu karena aku tahu, tak ada lelaki manapun yang mau denganmu.”
Tubuh Aria tampak kaku. Kenapa begitu tiba-tiba Dan bukankah harusnya kakak tirinya itu yang lebih dulu melepas masa lajang? Kakaknya lebih tua darinya, sudah lulus kuliah setahun yang lalu dan pekerjaannya saat ini hanya berfoya-foya menghabiskan uang. Sedangkan dirinya masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas dan tinggal menghitung bulan akan lulus.
Mata Aria mulai berair. Bisakah ia menolak? Mengatakan tidak? Tapi itu tidak mungkin. Melawan atau membantah keputusan atau perintah ayah dan kakak tirinya adalah jalan menjemput luka baru pada tubuhnya, jalan menjemput siksa fisik dan psikis untuknya.
“Kurasa cuma itu. Sekarang pergi dan lakukan tugasmu seperti biasanya,” perintah Marisa. Ia kemudian mengajak ayahnya membicarakan rencana mereka agar korban kecelakaan yang disebabkan olehnya mau menikah dengan Aria.
Aria menggigit bibir bawahnya kuat-kuat kemudian berlari menuju kamarnya di kamar paling belakang.
Sesampainya di kamar, Aria segera memeluk foto mendiang ibunya. Ibu Aria telah lama meninggal saat Aria masih duduk di kelas 5 SD. Sejak saat itu lah neraka Aria dimulai. Kebaikan serta kasih sayang yang Hengki berikan, berubah menjadi kesengsaraan. Sejak ibunya tiada, Hengki dan Marisa kerap melakukan kekerasan padanya bahkan menjadikannya babu di rumahnya sendiri. Mereka memecat para ART dan menyuruh Aria menggantikan mereka. Aria tak punya pilihan lain selain menurut. Ia tak bisa melawan karena saat ia melakukannya, Hengki dan Marisa akan semakin kejam memperlakukannya.
Tetes demi tetes air mata Aria jatuh membasahi foto sang ibu. “Harusnya Aria ikut dengan ibu,” ucap Aria lirih.
Beberapa hari kemudian, hari pernikahan pun terjadi. Aria dinikahkan dengan seorang pria bernama Arsa Leon, pria buta yang merupakan korban kecelakaan yang disebabkan Marisa. Tangis Aria pun tak terbendung, ia tak tahu bahwa pria yang menikahinya adalah pria buta. Ia baru mengetahuinya beberapa menit sebelum pernikahan yang diadakan secara sederhana itu dimulai. Ia juga baru tahu bahwa kebutaan yang pria itu alami disebabkan oleh Marisa. Ia pun mengerti, bahwa ia hanya dijadikan tumbal karena sempat mendengar harusnya Marisa lah yang menikah dengan pria itu sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Beberapa waktu setelahnya, pernikahan yang hanya dihadiri beberapa orang itu telah selesai dan sekarang, Aria telah berada di kamarnya bersama pria buta yang baru menikahinya.
Suara isakan terdengar membuat pria yang sejak memasuki kamar Aria hanya diam, menoleh ke arah sumber suara. Ia tahu yang dinikahinya bukanlah orang yang sudah menyebabkannya buta. Tapi, entah karena apa dirinya bersedia menerima Aria sebagai ganti Marisa.
“Harusnya mengatakan sejak awal jika kau menolak pernikahan ini,” ucap Arsa dengan tatapan kosong karena hanya kegelapan yang dirasakannya.
Aria yang terduduk memeluk tubuhnya sendiri di sudut kamar berusaha menahan tangisnya, meredam isakannya. Namun, justru membuat ulu hatinya semakin terasa sakit. Mana mungkin ia menolak? Ia tak bisa berbuat apa-apa atau melawan keinginan ayah dan kakak tirinya. Bayangan saat rasa sakit mendera akibat ulah ayah dan kakak tirinya membuatnya terpaksa menurut.
Tangis Aria tak juga reda. Ia kira suatu saat hidupnya akan seperti Cinderella, menemukan cinta sejati yang akan menyelamatkannya dari kekejaman ayah dan kakak tirinya.
Arsa tak lagi membuka suara sampai tiba-tiba ia berdiri dari duduknya di tepi ranjang Aria dan menggunakan tongkatnya guna membaca jalan. Ia berniat mencari kamar mandi.
Brugh!
Arsa jatuh saat kakinya tersandung sesuatu. Kebutaannya membuatnya tak melihat apa yang ada di depan mata. Meski menggunakan tongkat tapi ia belum terbiasa.
“Aagh!” Arsa menggeram marah dan membanting tongkatnya. Tentu saja kebutaannya bukan hal mudah karena sebelumnya dirinya bisa melihat.
Aria yang melihatnya terkejut dan seketika menghentikan tangisnya sejenak. Seketika rasa iba timbul di benak Aria melihat Arsa meraba mencari tongkat yang baru saja dibantingnya. Dan setelah mendapatkannya pria itu berusaha berdiri dengan susah payah.
Hati Aria bergetar. Meski ia telah mengalami kemalangan selama ini, kemalangan yang suaminya alami terasa lebih buruk. Setidaknya ia tidak mengalami kecacatan hingga kehilangan salah satu fungsi anggota tubuhnya berbeda dengan Arsa. Pria itu masih muda, dia cukup tampan di mata Aria tapi, harus kehilangan penglihatan karena kakak tirinya.
Aria bangkit berdiri, dengan kaki bergetar ia menghampiri Arsa, memegang tangannya dan membantunya berjalan di sela isakan yang masih samar terdengar.
Arsa terkejut saat merasakan seseorang menggandeng tangannya membantunya berjalan. Dan ia yakin, itu adalah Aria.
Aria tidak tahu kenapa dirinya membantu Arsa. Yang ia tahu, ia merasa iba. Namun, tiba-tiba langkah Aria terhenti saat Arsa memberitahuku ke mana ia ingin pergi.
“Bawa aku ke kamar mandi. Aku ingin buang air kecil.”