PART 5 - WULANDARI

1844 Words
Dari kejauhan aku dapat melihat Dewi masih berada disana, didekat motor dibawah lampu jalanan. Saat ia melihat kami, ia berlari dengan kencang menghampiri kami dengan wajah yang terlihat sangat ketakutan bercampur khawatir. “Oh my God! Kamu yang tadi teriak-teriak minta tolong? Sini kubantu juga.” dengan cepat Dewi menopang tangan kiri gadis yang bersamaku ini hingga kedua tangannya sudah tertopang membuat gadis ini  bisa berjalan dengan lebih cepat. “Aku tadi nyaris pingsan saat lihat kamu, Mal. Kupikir kamu digelayutin hantu. Aku kira ada hantu yang nempel dikamu.” Dewi mencoba berbisik kepadaku namun suaranya terlalu keras hingga membuat gadis yang bersama kami ini menoleh kearah Dewi. “Wi, dia manusia. Kakinya nampak.” aku menatap serius ke Dewi. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk membahasa hal-hal mistis seperti itu. Dewi menyadari maksud tatapanku dan segera mengalihkan pembahasannya “Nama kamu siapa?” “Wulan, namaku Wulandari.” dari tadi bersama gadis ini aku lupa menanyakan namanya. "Kamu kenapa bisa luka begini? Kamu kena tabrak lari?” tanya Dewi bak seorang detektif. “Tadi aku terjatuh…” gadis itu tampak ingin melanjutkan ucapannya namun ia hentikan. Ia meringis kesakitan kembali, lukanya pasti sangat menyakitkan. “Ceritanya panjang. Intinya Wulan ini korban perdagangan manusia. Dia berhasil melarikan diri.” bibirku reflek begitu saja menjelaskan kepada Dewi. “Really? Oh my God! Kita harus segera laporkan ini kekantor Polisi.” Dewi tampak tak kalah terkejut degan ekspresiku saat pertama kali mendengarkan infromasi yang diberikan Wulan. Belum sampai kami berjalan menuju motor yang jaraknya sebenarnya tak jauh lagi. Terdengar suara klakson mobil dari arah belakang kami. Kami serentak menoleh ke belakang dan melihat sebuh mobil Carry berwarna hitam dengan lampu berwarna kuning melaju cukup kencang  dari kejauhan. “Astaga…” Wulan terlihat terkejut melihat mobil itu. Ia melepaskan rangkulan dari tanganku dan tangan Dewi. “Kenapa?” tanyaku tak kalah terkejut. “Itu mobil yang akan membawaku nanti malam.” Wulan terlihat begitu ketakutan. Mobil itu jelas milik para penjahat yang akan menjualnya.  “Kalau begitu, ayo cepat naik motor atau bersembunyi disuatu tempat!!” Dewi terlihat begitu panik. Ia merangkul kembali tubuh Wulan, akupun melakukan yang sama. Kami segera berjalan secepat yang kami bisa. Mobil itu terlihat semakin mendekat. Benar-benar tidak mungkin mengalahkan kecepatan mobil itu. Untuk bersembunyipun akan terasa sulit dengan keadaan Wulan yang sedang terluka cukup parah saat ini. “Kalian pergilah. Sepertinya mereka belum melihat kalian karena jaraknya jauh.” Wulan melepaskan tanganku dan Dewi lalu mendorong kami agar  menjauh darinya. “Kamu gila? Terus kamu bagaimana? Masa kami mau tinggalin kamu.”aku sependapat dengan pernyataan Dewi. Sangat tidak mungkin kalau kami harus meninggalkan gadis malang ini dan membiarkannya kembali ke para penjahat itu begitu saja. “Aku tidak sanggup lagu untuk berjalan dan kalau kalian tetap bersamaku. Kalian akan dalam masalah. Kalau seperti itu , kalian tidak akan bisa menolongku. Tolong laporkan ini ke pihak berwenang. Lalu kembalilah untukku.” Mata Wulan berkaca saat itu. Ia pasti sangat berta melakukan ini semua.  Aku benar-benar ingin menangis melihatnya. Aku terlalu takut meninggalkannya seorang diri. Bagaimana kalau para penjahat itu melakukan hal yang kejam padanya. *** Mungkin ini adalah salah satu hal paling berbahaya yang aku dan Dewi akan lakukan. Kami memutuskan mengikuti permintaan Wulan walau dengan sangat berat hati. Kami berpikir jalan terbaik yang bisa kami lakukan saat ini adalah mengikuti mobil yang membawa Wulan secara diam-diam untuk memastikan dimana Wulan akan dibawa, dan nanti paman Bayulah yang akan melaporkan ke pihak berwajib mengenai hal ini. Aku dan Dewi  bersembunyi dibalik pepohonan dipinggir jalan karena inilah satu-satunya tempat teraman bagi kami untuk memantau Wulan yang tengah dihampiri oleh dua orang pria yang menggunakan jaket kulit berwarna hitam. Satu pria berambut panjang dikuncir, satunya lagi nyaris botak. Mereka mengangkat tubuh Wulan yang terlihat begitu tak sepadam dengan mereka dengan paksa. Aku benar-benar tak tega melihat hal ini. Sudah hampir semenit Dewi bericara dengan ayahnya. Kuyakin pamanku itu pasti sangat khawatir mendengar apa yang diberitahukan Dewi kepadanya. Dari ekspresi wajah Dewi, kurasa ayah dan anak itu sedang berdebat cukup hebat. Terlihat jelas bagaimana Dewi berbicara dengan nada suara cukup tinggi mengatakan kalau ia ingin membututi mobil yang telah membawa Wulan, namun sepertinya paman Bayu tidak menyetujui rencana yang akan aku dan Dewi lakukan. “Wi?” kucoba memanggil Dewi yang sepertinya sudah hampir selesai berbicara di handphone. Aku terus menfokuskan pandanganku pada  mobil Carry hitam yang mulai berjalan semakin menjauh dari kami.  “Wi… Mobilnya…” kutunjuk kearah mobil saat Dewi akhirnya mengakhiri perdebatannya dengan ayahnya. Menyadari mobil Carry itu sudah semakin jauh, Dewi segera mendorong motornya keluar dari semak-semak menuju jalanan dan naik keatasnya. “Cepat naik, Mal.” Kuikuti perintah Dewi tanpa banyak berkata-kata. Ia segera melajukan motornya dengan cukup kencang. Kami tidak boleh sampai kehilangan mobil itu. “Mungkin begini ya rasanya jadi agen rahasia.” ujar Dewi ditengah ketegangan yang sedang kami rasa.Sepupuku ini memang sangat unik. Bisa-bisanya ia berpikir menjadi agen rahasia saat kondisi kami berdua sedang dalam keadaan seperti ini. “Jadi paman bagaimana?” tanyaku dengan suara cukup keras agar Dewi bisa mendengar suaraku. “Tenang aja. Bapak akan melaporkan ke polisi. Nanti kita kasi tahu lagi lokasi terbarunya kepada bapakku.” “Baguslah kalau begitu. Semoga kita bisa tolong Wulan dan teman-temannya.” “Iya,Mal.” Dewi menaikan kecepatan motornya lagi hingga membuatku sontak memeluk tubuhnya dengan erat agar tidak terjatuh. Dari luar mobil Carry hitam yang membawa Wulan tampak seperti mobil biasanya. Tak akan ada yang menduga didalamnya terdapat gadis-gadis malang yang menjadi korban tindakan kriminal. Aku mencoba mengingat nomor  plat mobil itu agar memudahkan kami untuk menemukannya seadainya kami kehilangan mobil itu karena lajunya yang cukup kencang. Saat memasuki jalan utama, mobil itu melaju dengan lebih kencangnya, melewati beberapa mobil tanpa hambatan. Aku khawatir Dewi tak akan bisa melakukannya, mengingat ia belum satu tahun ini baru bisa mengendarai motor. Tapi sepertinya dugaanku salah, Dewi dengan begitu lihainya menyalip motor-motor dan mobil didepan kami hingga posisi kamu berada hanya sekitar 8 meter dari mobil para penjahat itu. Aku benar-benar kagum pada sepupuku ini. Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya mobil itu berbelok keluar dari jalan utama. Hal ini benar-benar menakutkan untukku. Karena jalan yang kami lewati kini terlihat lebih sepi. Ini akan jelas lebih berbahaya untuk kami karena akan mudah bagi mereka mengetahui bahwa ada yang sedang mengikutinya. Seakan mengetahui pikiranku, Dewi memelankan laju motornya, agar jarak kami menjadi lebih jauh dari mobil itu. Dengan begini dapat mencegah timbulnya kecurigaan para penjahat itu. Kami tiba didepan sebuah komplek perumahan baru yang sepertinya masih dalam proses pembangunan, karena terlihat belum ada penghuninya dan bangunannya yang masih banyak belum rampung. Mobil  para penjahat itu memasuki komplek perumahan itu sedangkan aku dan Dewi memutuskan untuk berhenti dulu sejenak memikirkan rencana kami selanjutnya. “Wi, kayanya kamu diam disini saja deh. Aku coba jalan kaki ikutin mereka.” “Bahaya Mal.” Dewi tidak menyutujui saranku. “Kalau sambil naik motor kita mengikuti mobil itu akan lebih bahaya Wi. Kalau masuk kekomplek seperti ini  pasti akan mencolok banget, kita bisa ketahuan dengan mudah.” “Tapi Mal, kita gak tahu mobil itu akan berhenti dimana. Kalau ternyata mereka pergimya jauh bagaimana? Kan gak mungkin sanggup kamu mengikuti mereka dengan jalan kaki.” Pernyataan Dewi ada benarnya juga. Akhirnya aku menyutujui saran Dewi untuk tetap mengikuti mobil itu memasuki komplek dengan mengendarai motor. Sebelum itu, Dewi memutuskan untuk menelpon ayahnya dulu untuk menginformasikan posisi kami saat ini. Pembicaraan mereka sangat singkat tidak seperti sebelumnya, sepetinya paman Bayu memang sudah benar-benar menyutujui rencana kami. “Wi, lampu motornya bisa dimatikan aja gak?” tanyaku penasaran sesaat setelah Dewi menghidupakn motornya. “Bisa kok, ini kita matikan saja ya, supaya gak mudah ketahuan. Begitu kan?” tanya Dewi balik kepadaku. “Iya, lebih baik begitu.” “Oke.” Dewi mematikan lampu motornya dan mulai berlahan memasuki komplek. Mobil van itu sudah tidak terlihat lagi dihadapan kami. Syukurnya komplek-komplek ini diteringi lampu-lampu jalanan jadi tidak sulit untuk kami unutk mencarinya. Setelah beberapa kali berbutar, akhirnya kami menemukan mobil itu yang sudah terparkir didepan bangunan ruko yang terlihat masih baru. Ruko itu kemungkinana merupakan satu proyek dengan komplek perumahan ini karena posisinya yang masih berada dibagian komplek perumahan ini. “Itu ada jalan menuju jalan utama kayanya, Mal?” Dewi menunjuk jalan besar didepan gapura dari komplek perumahan ini. “Iya, sepertinya begitu Wi.” Kuperhatikan jalanan yang Dewi tunjukan padaku. Jalan itu terlihat sangat sepi, nyaris tak ada kendaraan yang berlalu lalang. Kalaupun ada hanya satu atau dua kendaraan saja dengan jarak waktu yang berjauhan. “Kita taruh motor disini saja ya. Disini sepertinya aman.” Aku dan Dewi memarkirkan motor dihalaman depan sebuah rumah komplek yang belum ada gerbangnya. Halaman rumah ini sangat gelap karena tidak terkena pencahayaan dari lampu jalanan Dewi menelpon ayahnya lagi untuk memberitahukan posisi kami dan tempat para penjahat itu membawa Wulan dan gadis-gadis lain. “Paman sudah sampai dimana?” tanyaku memastikan kapan pertolongan akan datang. “Masih dijalan, Mal. Kemungkinan 30 menit lagi baru sampai paling cepat. Bapak suruh kita gak usah mendekat dulu. Sembunyi lebih aman, tunggu sampai bapak sama polisinya datang.” Dewi mengusap keringat dikeningnya. Ia pasti merasakan tegang seperti yang sedang aku rasakan saat ini. Udara malam saat ini sebenarnya cukup dingin, namun karena suasana ketegangan yang kami rasakan membuat udara  terasa sebaliknya. “Iya Wi. Lebih baik begitu saja. Dari sini juga kita masih bisa memantau mereka.” aku memerhatikan Ruko 2 lantai yang berjumlah 7 ruko berjejer panjang dari timur ke barat. Semua ruko itu jelas belum digunakan sama sekali, bahkan mungkin belum ada pemilk atau penyewanya. Hanya ada dua ruko yang digunakan yaitu ruko paling barat, dan itu digunakan oleh para penjahat yang kuharap akan segera mendapatkan hukuman setimpal karena perbuatannya. Posisi tempat kami bersembunyi kini berjarak sekitar 20 meter lebih dari bangunan ruko. Kami berada  dibalik tumpukan batu-bata disalah satu halaman rumah yang belum usai dibangun di komplek perumahan ini. Batu bata ini disusun cukup tinggi, sekitar 1 meter lebih. “Wi, awas ketahuan.” bisikku pada Dewi saat ia hendak berdiri. Saat kami berdiri maka tubuh kami akan dengan mudah ditemukan. Dewi sepertinya merasakan keram dikakinya karena kami sudah duduk disini sekitar 20 menitan. “Awas Wi. LIhat tuh!” aku mearik tangan Dewi cukup keras agar ia duduk kembali dibalik tumpukan batu bata tenpat kami bersembunyi. “Ya ampun. Hampir aja!” Dewi mengusap dadanya. Ia tampak terkejut saat melihat ada tiga orang pria yang keluar dari ruko itu dan berdiri didekat mobil Carry yang sedari tadi kami buntuti. Para pria tampak membicarakan sesuatu sambil tertawa santai. Benar-benar tidak bisa kupercaya. Bagaimana mungkin bisa mereka berekspresi dengan wajah yang sesantai itu padahal mereka sedang melakukan tindak kejahatan. “Sudah jam berapa, Wi?” tanyaku pada Dewi. Aku benar-benar berharap paman Bayu dan polisi segera datang dan menangkap para penjahat itu. “Sudah jam 9 kurang 11 menit, Mal.” Tinggal beberapa menit lagi, kuharap paman Bayu bisa menemukan lokasi kami dengan lebih cepat. Kuperhatikan tiga orang penjahat yang masih terlihat asik membahas sesuatu, tak lama kemudian seorang pria dengan penampilan yang tak jauh berbeda dengan pria-pria itu memanggil salah seorang temannya lalu masuk kedalam ruko. Kini hanya ada dua orang yang berjaga didepan Ruko. “Ya Tuhan….” Pria-pria yang masuk tadi kini keluar membawa  gadis-gadis yang kemungkinan besar akan segera mereka jual. Satu persatu gadis-gadis itu dipaksa masuk kedalam mobil. Kedua tangan mereka  diikat tali dengan mulut yang di lakban isolatip dan mata yang ditutupi kain hitam. Mereka ditarik dengan keras, tampak beberapa gadis memberontak, mencoba melepaskan diri, namun sayang tak berhasil.  Dari fisik mereka, mereka terlihat masih sangat muda. Perjalanan masa depan mereka masih penjang dan mereka berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kutatap Dewi, sepertinya ia memahami ketakutan yang aku rasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD