Chapter 3

1512 Words
Sean memperhatikan keadaan di sekitarnya yang hanya diterangi dengan pencahayaan yang remang. Hanya ada lampu berwarna-warni di sana. Ia juga bahkan mengabaikan seorang wanita yang duduk di sebelahnya. Wanita itu terlihat sedang berbicara, entah apa yang dibicarakannya namun Sean sama sekali tidak tertarik dengannya. 'Membosankan’ batin Sean . Ia segera meraih gelas wine di hadapannya dan langsung meminumnya dengan sekali teguk. Kemudian ia merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya lalu mengetikkan sebuah pesan. To : Satria Hei, kau di mana sekarang? (Send) Sean kemudian menatap wanita yang berada di sebelahnya malas. Ia memperhatikan penampilan wanita itu. Mini dress berwarna merah yang menunjukkan lekuk tubuhnya dengan jelas. 'Dasar jalang.' "Kenapa, Mas?” tanya wanita itu. Tangannya memegang lengan Sean , lalu mengelusnya perlahan sembari menunjukkan senyumannya. Sean segera menepis tangan wanita itu begitu ponselnya bergetar. Pasti balasan dari Satria . From : Satria Aku berada di tempat billiard. Elang dan Jimmy juga ada di sini. Sean tersenyum miring. Ia segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan langsung menyambar sebuah jaket kulit di atas meja. Begitu ia berdiri, wanita di sebelahnya itu langsung memegang pergelangan tangannya. "Mau ke mana?” tanyanya dengan nada manja, seolah tidak ingin ditinggalkan. Sean menatapnya tajam. "Singkirkan tanganmu,” ucapnya dengan nada dingin. Wanita itu langsung melepaskan tangannya. Ia menghela napas berat begitu melihat Sean pergi. Sean langsung menghampiri motornya. Ia segera pergi menuju ke tempat biliar yang biasa ia kunjungi bersama dengan teman-temannya. Tidak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di sana. Jika dengan seorang Sean Erlangga, hanya butuh waktu kurang lebih sepuluh menit jika menggunakan motor. Padahal jika bersama teman-temannya bisa menghabiskan waktu selama dua puluh menit menit. Sean segera memasuki sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi baginya. Di dalam, ia mendapati beberapa orang yang tengah sibuk bermain biliar. Ah, jangan lupa dengan para wanita yang biasa menemani mereka bermain. Pemandangan seperti itu sudah tidak asing lagi. "Hei, Sean!" panggil seseorang. Sean langsung menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya Jimmy yang sedang duduk di salah satu sudut ruangan bersama dengan Elang. Sean segera mendekati mereka. "Hoi! Mana Satria ?” tanyanya. Jimmy menoleh ke salah satu sudut ruangan lain. Sean menoleh dan mengikuti arah pandang Jimmy . Ia melihat pria berharga Jung itu tengah asyik bermain biliar dengan seorang wanita di sampingnya. Sean berdecak. Ia kemudian mendudukkan dirinya di sebuah sofa yang sama dengan Jimmy dan Elang. "Dari mana saja kau?” tanya Elang sesaat setelah meminum bir miliknya. Sean menuangkan bir ke dalam gelas di hadapannya. "Aku baru saja dari bar. Sangat membosankan. Elang tertawa pelan. "Apa kau tidak menemukan sesuatu yang menarik lagi di sana?" Sean mendengkus. "Aku bahkan tidak tertarik sama sekali melihat para jalang yang ada di sana. Mereka terlalu menjijikkan,” ucapnya. Kedua matanya tampak semakin menyipit begitu bir itu mengalir melewati kerongkongannya. "Lalu bagaimana dengan gadis yang tadi siang itu?” tanya Jimmy . Salah satu sudut bibir Sean terangkat. "Aku akan segera mendapatkannya." "Maksudmu gadis yang tadi siang bersamamu saat pulang sekolah? Apa kau benar-benar akan menjadikannya targetmu yang selanjutnya?" Elang menatapnya tidak percaya. "Tentu saja. Heol, apa kalian tidak lihat? Dia cantik. Dan juga pintar." "Ya, aku tahu. Tapi kurasa dia sangat jauh dari tipe wanitamu yang sebelumnya. Dia seorang kutu buku. Kau yakin?" "Kenapa? Ada yang salah? Ucapanmu sama saja dengan Jimmy . Apa kau khawatir aku akan bernasib sama dengan Satria ?" Sean tertawa, lalu disusul teman-temannya. "Bagaimana jika itu memang terjadi?" Jimmy menaik-turunkan alisnya. "Sebelum itu terjadi, aku akan membuatnya bertekuk lutut padaku. Ah, bagaimana jika aku menculiknya dan membawanya ke apartemenku,” ucap Sean . "Kau gila. Apa kau berniat mengurungnya?” Jimmy tidak habis pikir dengan kelakuan "Dia bukan peliharaanmu. Astaga.” Elang menggelengkan kepalanya. Sean tertawa. "Aku harus melakukan itu agar dia tidak lari dariku." "Wah ... sepertinya kalian sedang membicarakan sesuatu yang menyenangkan.” Seseorang tiba-tiba mendekati mereka. Satria terlihat berjalan dan langsung mendudukkan dirinya di sebuah sofa yang berdekatan dengan mereka. Tanpa persetujuan ia langsung menyambar gelas bir milik Elang hingga pria itu menatapnya sengit. Namun yang ditatap tampak tidak merasa bersalah sama sekali. "Ayo kita berjalan-jalan!" ajak Elang sembari menaik-turunkan alisnya. Jimmy tampak menyeringai. Ia mengerti maksud dari ucapan Elang. Berjalan-jalan dalam kamus seorang Elang, berarti menaiki motor secara ugal-ugalan sepanjang jalanan kota Jakarta di malam hari. "Baiklah. Ayo,” ucap Satria .Jakarta Mereka berempat pun segera berjalan keluar dari tempat itu dan berjalan ke parkiran. Mereka menghidupkan motor masing-masing dan tanpa pikir panjang satu per satu dari mereka langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. *** Rachel segera melirik sebuah jam dinding yang terpasang tidak jauh darinya. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Gadis itu kemudian melepaskan apron yang dipakainya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. "Kau akan pulang?” tanya seseorang yang tengah duduk disalah satu meja pelanggan yang kosong. Rachel tersenyum. "Iya, Kak. Ini sudah waktunya aku pulang,” ucap Rachel. Ia segera memakai tasnya. "Kau ingin pulang?” tanya lagi seseorang. Perlahan gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati Jin di sana. Pria itu berjalan menghampirinya. "Ah, Iya, Pak. Besok aku harus sekolah," ucap Rachel. Sebenarnya kafe tempat ia bekerja tutup jam 11 malam. Namun karena ia masih sekolah, Jin membiarkannya pulang jam 10. Pria itu tidak ingin membuat prestasi Rachel menurun di sekolahnya. Pria itu begitu baik hati. "Aku akan mengantarmu pulang. Ini sudah malam," ucap Jin. Rachel tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku akan naik bus,” ucap Rachel. Ini bukan pertama kalinya Jin mengantarnya pulang. Dan ini juga bukan pertama kalinya Rachel menolaknya. Gadis itu tidak ingin merepotkan Jin. Jin beberapa kali berhasil mengantar gadis itu pulang hingga sampai ke flat miliknya. Itupun karena paksaan. Pria yang bernama asli Vincent Wijaya itu terlalu khawatir padanya. "Kau yakin,” ucap Jin. Rachel kembali tersenyum. "Iya. Tidak apa-apa, Pak. Aku terbiasa pulang sendiri,” ucap Rachel. Gadis itu segera pamit pulang. Rachel langsung berjalan menuju ke sebuah halte yang berada tidak jauh dari kafe tempatnya bekerja. Ada beberapa orang yang juga sedang berada di sana. Gadis itu sedikit merasa lega, setidaknya ia tidak sendirian. Meskipun ia hampir setiap hari pulang sendiri, namun tak ayal kalau ia juga takut sesuatu yang buruk terjadi. Bagaimana pun ia pulang sendirian di malam hari. Apalagi ia seorang wanita. Tidak lama kemudian sebuah bus tampak berhenti di depannya dan gadis itu segera naik. Ia memilih tempat duduk yang berada di tengah. Perlahan gadis itu merogoh tasnya dan mencari ponselnya. Begitu ia membuka kunci layarnya, benda tipis itu langsung menunjukkan sebuah foto. Foto selfie dirinya bersama dengan seorang pria. Tangannya terlihat melingkar di lengan pria itu. Senyum keduanya tampak mengembang. Rachel menatap wallpaper ponselnya cukup lama. Ia menghela napasnya pelan sebelum akhirnya ia menaruh ponselnya kembali ke dalam tas. Ia kemudian mengalihkan pandangannya keluar jendela. Hingga tanpa disadarinya, bus yang ia tumpangi sudah berhenti di sebuah halte. Gadis itu segera beranjak dari kursinya dan keluar. Ia menatap ke sekitarnya. Sepi. Membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di flat miliknya. Jika siang hari mungkin ia akan mencari taksi atau bahkan dengan berjalan kaki saja ia masih berani. Jika malam? Suasana begitu sepi. Dan setahu dirinya jarang ada taksi yang lewat pada jam seperti ini di sana. Jadi setiap pulang kerja ia pasti akan buru-buru melangkahkan kakinya agar cepat sampai di flat sederhana miliknya. Di saat ia sedang berjalan, samar-samar ia mendengar kegaduhan yang entah kenapa ia merasa suara itu semakin dekat dengannya. Ia semakin mempercepat langkahnya menyusuri jalanan yang mulai sepi. Semakin jelas suara itu terdengar. Dan bersamaan dengan itu, ia mendengar segerombolan motor datang dari arah belakangnya. Gadis itu meremas tali selempang yang ia pakai. Semula ia mengira kalau gerombolan itu akan melewatinya begitu saja. Namun dugaannya salah. Firasatnya mendadak tidak enak saat motor-motor itu justru malah memperlambat lajunya. Bahkan terdengar seperti mengikutinya dari belakang. Rachel samar-samar mendengar si pemilik motor itu bersiul, membuat gadis itu semakin tidak berani menolehkan wajahnya ke belakang. "Wah.. wahh.. siapa ini,” ucap salah seorang dari mereka. Gadis itu tidak tahu jumlah mereka ada berapa orang. Yang pastinya ia yakin kalau jumlah mereka lebih dari satu. "Hei, Nona. Kau butuh tumpangan? Tidak baik seorang gadis berjalan sendirian saat malam." Salah satu dari mereka tertawa. Rachel sama sekali tidak menggubris ucapan mereka. Ia semakin mempercepat langkahnya. Namun mereka justru semakin menyusulnya. Ia sedikit membuang muka ke arah lain, tidak berani untuk menunjukkan wajahnya. "Aku akan mengantarmu pulang. Di mana rumahmu, hm?” tanya salah satu di antara mereka dan terdengar tawa setelahnya. "Sudahlah. Kasihan dia,” ucap yang lain. Rachel menelan salivanya dengan susah payah. 'Bagus. Cepatlah pergi.' batin gadis itu. "Hey, Nona. Kami akan mengantarmu pulang. Gadis cantik sepertimu tidak boleh pulang sendiri," goda orang itu. Mereka kembali tertawa. Rachel mengigit bibir bawahnya. "H-hei, sepertinya aku mengenalmu,” ucap salah seorang di antara mereka. Rachel mengerutkan keningnya. Namun ia masih belum berani menoleh. Hingga salah satu dari mereka mempercepat laju motornya dan berhenti sekitar satu meter di depannya. "Rachel Adrea?" Rachel reflek menghentikan langkahnya. Dengan ragu ia menatap ke depan sana. Kedua matanya seketika membulat. "K-kau..... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD