"K-kau ... “
"Apa yang kau lakukan di jam segini? Ini sudah malam,” ucap Sean .
"A-aku sudah terbiasa pulang jam segini. " ucap gadis itu kemudian dan buru-buru pergi. Namun dengan sigap Sean menahan pergelangan tangannya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Naiklah,” ucap pria itu.
Sontak rekan-rekannya menjadi sedikit gaduh. Mereka berdeham sembari membuang pandangannya ke arah lain seakan berpura-pura tidak melihat.
"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri,” ujarnya sembari melepaskan tangan Sean . Gadis itu kembali melangkahkan kakinya. Namun di luar dugaannya Sean malah mengikutinya dari belakang. Meninggalkan motornya bersama dengan teman-temannya.
"Semoga sukses, Bung!" teriak Jimmy , disusul oleh siulan teman-temannya yang lain.
Sean hanya melemparkan senyum padanya.
Pria itu segera menyusul langkah Rachel dan berjalan berdampingan dengannya. “Ini sudah malam. Apa kau tidak takut?” tanya Sean sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.
"Apa yang harus kutakutkan,” ucap Rachel.
"Bagaimana jika ada orang jahat, hm? Kau ini seorang wanita,” ucap Sean . Pria itu memperhatikan wajah Rachel dari samping tanpa gadis itu sadari.
"Satu-satunya yang harus kutakuti di sini adalah kau,” ucap Rachel ketus, namun malah mengundang tawa Sean .
"Pergilah. Jangan menggangguku,” ucap Rachel. Ia semakin mempercepat langkahnya. Kini ia mulai jengah. Kenapa jalan menuju flatnya terasa sangat jauh?
"Aku hanya mengantarmu pulang. Ini sebagai ganti karena tadi siang kau menolak permintaanku." Sean berujar dengan masih mengikuti Rachel.
"Kau kan bisa mengajak yang lain,” ucap Rachel. Gadis itu masih enggan menoleh pada Sean .
Sean tertawa pelan. Ia benar-benar gemas melihat tingkah Rachel. Terlihat dengan jelas kalau gadis itu tengah merasa kesal, sekaligus ... takut.
"Aku hanya ingin mengajakmu,” ucap pria itu.
Rachel mendengkus.
'Sampai kapan dia mau mengikutiku?!' batinnya sebal.
"Kembalilah. Aku bisa pulang sendiri,” ucap Rachel sedikit menolehkan kepalanya pada pria jangkung yang berjalan di sebelahnya.
"Aku tidak akan kembali sebelum melihatmu sampai di rumahmu,” ucap Sean .
Mendengar itu, Rachel membuang napas kasar. Kenapa pria itu benar-benar keras kepala?
Akhirnya Rachel sampai di depan pintu flatnya. Ia berhenti dan membalikkan badannya menghadap Sean .
"Aku sudah sampai. Jadi pulanglah,” ucap gadis itu.
"Kau.. tinggal di sini?” Sean mengedarkan pandangannya.
"Ya. Kenapa? Ada yang salah dengan itu?”
"Sendiri?"
Kali ini pandangan Sean mengarah padanya. Rachel berulang kali mengerjapkan matanya.
"Y-ya, jadi kau pulanglah. Aku tidak mau jika ada yang salah paham,” Rachel mendorong pelan bahu Sean agar pria itu segera pergi dari sana.
"Hei, apa kau tidak membiarkanku masuk dulu? Perlakuan macam apa ini?" protes Sean .
Rachel melotot. "A-apa?! Kau gila! Pergilah sekarang juga. Jangan menggangguku!"
Sean malah tertawa. "Baiklah. Tugasku sudah selesai. Aku akan pergi.” Kemudian ia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan gadis itu.
Rachel menatap sengit punggung Sean yang semakin menjauh. "Dasar tidak waras,” ucap gadis itu sebelum memasuki flatnya.
***
Suasana kelas hening selama pelajaran berlangsung. Seorang gadis yang duduk disalah satu bangku di dekat jendela tampak fokus memperhatikan penjelasan gurunya yang sedang menerangkan materi di depan sana.
Namun tanpa sengaja pandangannya teralih ke luar jendela. Ia melihat ke arah lapangan dibawah sana. Terlihat segerombolan siswa tengah berlari mengelilingi lapangan. Dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya mereka sedang ada kelas olahraga.
Awalnya pandangan gadis itu biasa saja. Hingga pandangannya teralih pada salah satu siswa di sana. Bahkan tanpa memicingkan kedua matanya pun gadis itu sudah tahu siapa pria itu. Ia menghela napasnya pelan, kemudian segera mengalihkan pandangannya ke depan, kembali memperhatikan gurunya.
Hingga 45 menit kemudian bel berbunyi tanda kelas selesai.
"Rachel Adrea?" panggil gurunya.
Merasa namanya dipanggil, gadis itu mendongak. "Ya, Pak?”
"Tolong simpan buku ini ke perpustakaan."
Rachel segera melangkahkan kakinya ke salah satu meja yang paling depan. Dia membawa sekumpulan buku paket yang berjumlah sekitar 28. Ia membawa buku itu dengan susah payah karena beratnya yang tidak ringan.
Pandangannya sedikit terhalang oleh buku itu hingga dia harus memiringkan kepalanya untuk melihat jalan di depannya.
BRUUKKK
"Akkhh.... “
Buku paket yang dibawanya seketika berantakan di lantai koridor.
"Ah, maafkan aku. Aku tidak melihat jalan,” ucap Rachel sembari mendudukkan dirinya. Ia kemudian memunguti buku-buku itu.
"Rachel?"
Reflek gadis itu menghentikan aktivitasnya dan mendongak. Kedua matanya terbelalak.
"Kau tidak apa apa?” tanya orang itu.
"Ya."
Rachel buru-buru membuang kembali pandangannya kepada buku-buku itu.
"Kenapa kau membawa buku sebanyak ini?” tanya orang itu. Ia kemudian berjongkok dan membantu Rachel mengambil bukunya yang berserakan.
"Pak Galih memintaku menyimpannya di perpustakaan,” ucap Rachel tanpa menolehkan kepalanya. Kini perasaannya mendadak campur aduk. Entah apa yang sedang dirasakannya.
"Ini berat. Aku akan membantumu,” ucap orang itu sembari membawa sebagian buku.
Namun dengan cepat Rachel mengambil kembali buku itu. "Tidak usah. Terima kasih,” ucapnya. Gadis itu langsung pergi meninggalkannya dengan langkah lebar.
Orang itu perlahan berdiri sembari menatap punggung Rachel yang semakin menjauh.
Rachel segera pergi ke perpustakaan. Kedua matanya memerah. Beruntung buku paket yang dibawanya bisa sedikit menutupi wajahnya.
Begitu sampai di perpustakaan, ia langsung memberikannya kepada penjaga dan langsung pergi keluar. Ia menuju atap.
Rachel membuang napasnya kasar.
"Aish.. Apa yang kau tangisi, Rachel Adrea?!" geramnya pada dirinya sendiri begitu setetes air keluar dari salah satu matanya. Ia meremas pembatas atap.
Ddrrtt.. drrtt..
Ia segera mengelap pipinya dengan punggung tangannya sebelum akhirnya mengambil ponsel di dalam saku almamaternya. Sebuah pesan terlihat masuk.
From : Andre
Apa kau masih marah padaku?
Rachel menatap layar ponselnya. Ia bahkan tidak berniat sama sekali membalas pesan itu.
Namun beberapa detik kemudian dilihatnya layar ponselnya menunjukkan kembali nama pria bernama Andre. Pria itu meneleponnya.
Rachel langsung memasukkan benda tipis itu ke dalam saku, membiarkan benda itu bergetar. Ia bahkan tidak berniat menekan tombol merah yang ada di sana.
Rachel meluruskan pandangannya ke depan. Ia kembali membuang napasnya sebelum akhirnya berbalik dan pergi dari sana.
"Mungkin aku harus memakan sesuatu agar mood-ku tidak kacau. Setelah ini kelas matematika. Dan aku harus fokus,” ucap Rachel. Ia pun segera pergi ke kantin.
Suasana di kantin saat ini masih cukup ramai. Orang-orang terlihat sibuk menikmati makanan mereka. Selesai mengambil makanan, Rachel pun segera pergi menuju salah satu meja yang masih kosong. Ia kemudian segera mendudukkan dirinya di sana.
Namun baru saja ia memakan makanannya beberapa suap, aktivitasnya mendadak terhenti begitu tiba-tiba seseorang duduk di kursi yang berada di depannya. Gadis itu hampir saja tersedak.
"Apa yang kau lakukan?!" Rachel menatap tajam orang di depannya.
"Kau tidak lihat aku sedang makan?"
"Carilah kursi lain,” ucap Rachel dingin. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Aku tidak mau,” balas orang itu.
Rachel memutar bola matanya. "Baiklah. Jika kau tidak ingin pergi, biar aku saja yang pergi,” ucap Rachel. Gadis itu segera mengambil nampan miliknya dan berdiri.
Namun sesuatu di belakang menahan pundaknya hingga gadis itu kembali terduduk. Rachel menoleh ke belakang. Ia mendapati Satria dan Elang di sana. Mereka berdua terlihat sedang menikmati makanan mereka. Jimmy terlihat berdiri menatapnya.
Rachel berdecak. Ia kembali menolehkan kepalanya menatap Sean yang juga sedang sibuk memakan makanannya.
"Sebenarnya apa maumu,” ucap Rachel.
"Mauku? Aku ingin makan bersamamu,” ucap Sean tanpa mengalihkan pandangannya dari piringnya.
"Sudah kubilang jangan menggangguku."
"Aku tidak mengganggumu."
"Tapi aku merasa terganggu."
"Dan aku tidak merasa mengganggumu."
Rachel mendengkus. Dengan kasar ia segera meraih sumpitnya dan langsung menyuapkan nasi ke dalam mulutnya hingga sebelah pipinya tampak menggembung.
Sean meliriknya. Ia terkekeh pelan melihat tingkah gadis di depannya itu.
"Sean , aku mencarimu,” ucap seseorang. Mereka berdua menoleh dan mendapati seorang siswi berambut panjang dengan seragam ketatnya.
"Pergilah,” ucap Sean malas. Ia kemudian kembali memakan makanannya.
Rachel menatap penampilan wanita itu. Ia menggigit ujung sumpitnya. Dia tahu betul siapa wanita itu.
"Sean ~~" rengeknya dengan nada menggelikan, membuat telinga Rachel terasa gatal saat mendengarnya.
"Pergilah, Erika. Aku tidak mau melihatmu,” ucap Sean dingin.
Wanita bernama Erika itu mengerucutkan bibirnya. Kemudian pandangannya teralih pada seorang gadis yang duduk di depan Sean . Gadis itu terlihat sedang menyuapkan sayur ke dalam mulutnya.
Erika menatapnya sengit. "Sean , siapa gadis ini?” tanyanya.
Reflek Rachel mendongak. "Ah, kau ingin duduk di sini? Silakan. Aku akan pindah ke tempat lain,” ucapnya sembari berdiri.
"Duduklah,” ucap Sean dingin tanpa mengalihkan pandangannya.
Namun di detik berikutnya pria itu menatap Rachel tajam saat gadis itu tidak menurut. "Apa kau tidak bisa dengar? Kubilang duduk,” ucapnya.
"Hei.. tapi pacarmu—“
"Duduklah, Rachel!!" bentak Sean tiba-tiba hingga tubuh Rachel terkesiap. Bahkan orang-orang di sana mulai memperhatikannya.
Dengan masih terkejut, Rachel kembali mendudukkan dirinya di kursi.
"Sean ~ siapa dia? Apa kau berselingkuh dengannya,” ucap Erika.
Sean menatap Erika sinis. "Berselingkuh kau bilang? Memangnya siapa kau berani mengataiku berselingkuh?"
"Sean ~ aku tidak mau putus denganmu." Gadis itu kembali merengek.
Rachel menatapnya jijik. 'Jadi mereka benar-benar putus?' batinnya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Erika saat menyadari tatapan Rachel padanya.
"Tidak,” ucap Rachel. Kemudian ia meminum minumannya.
"Apa dia pacar barumu?” tanya Erika kemudian.
"Jangan campuri urusanku,” ucap Sean .
Erika tertawa sinis. "Jadi karena jalang ini kau memutuskanku?" Ia menatap Rachel tajam.
Rachel reflek mendongak. "Jalang? Maaf, Erika. Tapi aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalian berdua. Dan bisakah kau menjaga mulutmu?” emosi gadis itu mulai tersulut.
Orang-orang semakin memperhatikan aktivitas mereka. Beberapa di antaranya terlihat berbisik-bisik satu sama lain.
"Hentikan itu, Erika,” ucap Sean .
Erika semakin menatap Rachel tidak suka. "Oppa, dari bar mana kau mendapatkan jalang ini?"
Kedua mata Rachel terbelalak.
Ia merasa direndahkan. Apalagi ketika gadis bernama Erika itu menyebut nama bar.
"Erika—"
BRAAKKK
"Apa kau tidak bisa menutup mulut kotormu?!!" bentak Sean tiba-tiba.
"Sean ... “
Sean berdiri dan menatap Erika tajam.erik
"Seumur hidupku, aku tidak pernah memukul seorang wanita. Jadi jangan biarkan aku melakukannya padamu,” ucap Sean . Bahkan ketiga temannya yang juga berada di sana tidak bisa berbuat apa pun saat mood pria itu sedang down.
Pria itu langsung berjalan menghampiri Rachel dan menarik tangan gadis itu. Melewati Erika begitu saja.
Sean tidak memedulikan tatapan orang-orang dan juga protesan Rachel.
Erika mendengus sebal. Ia mengentak-entakkan kakinya.