Mimpi

1393 Words
Saat mata terbuka suasana gelap menyelimuti. Sebuah tempat duduk di bawah lampu terlihat menakutkan. Gue tidak tahu di mana ini. Tidak ada orang lagi. Kaki ini perlahan melangkah mendekati cahaya lampu satu-satunya. Saat itu suara aneh terdengar rapuh. “Kutukan itu akan menghilang saat kalian bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu. Kalian bisa saling membantu masalah satu sama lain.” Cahaya itu meredup dan perlahan menghilang. Hanya kegelapan yang mengelilingi. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh. Napas terengah saat membuka mata. Kamar masih gelap itu artinya matahari belum terbit. Mimpi aneh. Suara nenek itu terdengar nyata. “Kanaya kamu di mana? Mama bawakan makanan kesukaan kamu.” Teriakan itu membuat mata gue terbuka. Itu suara mama. Gue rindu masakan mama dan juga omelannya setiap libur. “San bangun. Mama gue sudah pulang.” Santi menggeliat lalu duduk di atas tempat tidur. Ia duduk sebentar lalu berjalan mengambil kaca yang ada di meja. Santi berteriak membuat gue kaget. “Kenapa belum balik juga?” Santi menoleh menatap gue. “Sepertinya tidak berhasil. Cuma nenek itu yang bisa membantu.” Santi meletakkan kaca itu kembali ke meja. Wajahnya terlihat sedih dan bahkan ia ingin menangis. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Gue juga berharap ini bukan kutukan. “Kanaya kamu kenapa teriak-teriak, Nak?” Suara mama terdengar jelas di luar sana. Ketukan pintu semakin kencang. Gue segera membuka pintu sedikit untuk melihat mama. Ia terlihat khawatir sekali. “Eh, ada Santi,” ucapnya membuat hati gue sakit. Andai mama tahu kalau gue adalah Kanaya bukan Santi. “Iya, Ma- eh, tante.” “Kanaya kenapa teriak-teriak, San?” tanya mama berusaha untuk masuk, tapi gue menghalanginya. “Itu si Santi eh maksudnya Kanaya lagi kecewa skincare di marketplace sold out,” ucap gue. “Astaga, tante kira apa. Ya, sudah kalian berdua turun kita makan bersama, ya.” Gue langsung tutup pintu setelah mama pergi. Santi sudah duduk di lantai menenggelamkan wajahnya pada kaki yang tertekuk. Gue masih bisa mengontrol emosi tapi Santi sepertinya sudah tidak tertolong. “San, semalam gue mimpi aneh. Gue dengar suara nenek-nenek. Seram banget.” Santi mengangkat kepalanya. “Gue juga mimpi aneh. Gue gak ngerti lagi harus bagaimana. Kenapa sih kita harus jalani kehidupan yang tidak kita suka?” Sejujurnya gue juga bingung kenapa ini terjadi. Tidak tahu alasan dan bagaimana cara untuk kembali. Gue dan Santi bergegas turun ke lantai bawah untuk sarapan. Kak Stefan, papa dan mama sudah menunggu. “Eh, ada Santi, tumben nginep kamu gak ada pemotretan?” tanya papa. Aku menggeleng. “Lagi senggang, Om. Bulan depan baru sibuk lagi.” Papa mengangguk. Kami sarapan bersama, tidak seperti biasanya Kak Stefan hanya diam tanpa menyapa. Mungkin dia adalah masalah dengan Kak Silvi. Salah sendiri kenapa tidak mau menikah padahal pacaran sudah bertahun-tahun. “Ma, Pa, aku berangkat, ya. Ada meeting sebentar lagi,” kata Kak Stefan lalu beranjak. Seperti biasa ia mencium papa dan mama. Kak Stefan menjulurkan tangannya pada Santi. Biasanya aku akan langsung mencium tangannya supaya dia cepat pergi tapi sepertinya Santi enggan melakukannya. “Gue lagi makan jangan diganggu,” ucap Santi ketus. Kak Stefan menarik kembali tangannya. “Kamu semakin aneh, Nay,” ucapnya lalu pergi. Setelah Kak Stefan pergi kami kembali sarapan. “Kanaya mama mau kenalin kamu sama anak teman mama.” Santi meletakkan alat makannya lalu menatap mama. “Mama mau menjodohkan aku lagi? Maaf, Ma hari ini aku sibuk, lain kali saja.” Santi meninggalkan meja makan. Mama terlihat sedih terlebih Santi terlihat tidak peduli lagi. “Kenapa tante terus menjodohkan Kanaya?” Mama menghela napas, “Supaya Stefan bisa menikah dengan Silvi. Stefan sangat keras kepala, ia tidak akan menikah sebelum adiknya punya pendamping. Santi tolong kamu bujuk Kanaya, ya,” ucapnya. Ada rasa sakit saat mama mengucapkannya. Semua ini dia lakukan untuk Kak Stefan bukan untuk aku. “Tentu. Aku permisi dulu.” Gue langsung menemui Santi di kamar. Ia melamun menatap jendela . Santi yang biasanya ceria kini jadi pemurung. “Lo mau temui anak teman mama gue?” Santi menoleh lalu menggeleng. “Seumur hidup gue gak pernah dijodohkan.” Gue duduk di samping Santi. “Gue punya ide. Gue bakalan bantu lo buat baikan sama mantan-mantan lo yang bermasalah tapi dengan satu syarat lo harus nurut ucapan mama gue. Bagaimana?” Santi mengusap dagunya. “Oke, gue setuju.” Kami saling berjabat tangan. “Gue minta list nama pacar lo yang bermasalah selengkap-lengkapnya. Santi mulai menulis di sebuah buku tentang mantan pacarnya. Gue gak yakin dia selesai dalam waktu singkat. Santi merenggangkan tubuhnya setelah satu jam menulis dia memberikan gue nama beberapa pria yang mengganggu hidupnya. “Eh? Cuma lima orang? Kenapa lama banget nulisnya?” “Bukan nulisnya yang lama tapi mikirnya. Gue hampir lupa nama mereka tapi masih ingat wajahnya,” ucap Santi. “Kebanyakan mantan sih.” “Aish, sudahlah. Gue janji kalau nanti gue bisa kembali ke tubuh yang asli gue mau tobat. Mau setia sama satu cowok. Gak main-main lagi,” ucapnya. Si kolektor mantan mulai tobat. Santi tidak pernah seserius ini. Itu artinya dia sudah lelah menjadi Kanaya yang hidupnya kurang b*******h. “Oke, janji sudah disepakati. Lo baik-baik jadi Kanaya jangan sampai mencoreng kejombloan gue jadi lebih parah.” Santi menyentil dahi gue. “Tenang, lo bakalan jomblo sampai jiwa kita kembali.” Sepertinya Santi bahagia melihat gue jomblo. *** Berurusan dengan anak TK sudah biasa buat gue, tapi tidak dengan Santi. Hari ini gue mau mencari mantan Santi yang bermasalah, tapi sebelum itu gue mau memastikan Santi meminta maaf pada anak-anak. Gue Cuma bisa melihat dari luar saat Santi berdiri di depan kelas. Seketika anak-anak diam, tidak ribut seperti biasanya. Mungkin mereka takut karena Santi sempat membentak mereka. “Pagi anak-anak yang manis?” Santi menyapa dengan senyum lebar, tapi mereka hanya menatapnya datar. Santi menatap gue yang berdiri dekat pintu. Ia sepertinya tidak nyaman dengan suasana kelas yang sepi. Gue memberi isyarat agar Santi melanjutkan ucapannya. Ia harus minta maaf dan mempertanggung jawabkan perbuatannya. “Ibu guru minta maaf karena membuat kalian takut dan menangis. Sebagai permintaan maaf ibu berikan kalian coklat.” Santi mengeluarkan coklat dari tasnya. Tidak ada anak-anak yang beranjak mereka masih diam menatap Santi. “Bu guru bilang tidak boleh makan coklat nanti giginya rusak. Ompong kayak Odo.” “Odo? Siapa itu?” “Teman bu guru yang jadi model. Giginya ompong makanya jarang senyum,” celetuk salah satu anak perempuan yang duduk di depan. Santi menatap gue meminta penjelasan. Sebenarnya itu hanya karangan agar anak-anak mau nurut. Gue jadi terharu ternyata selama ini mereka dengar apa yang gue katakan. “Iya, itu.. kalau makan lupa gosok gigi baru giginya rusak. Jangan makan coklat banyak-banyak bukan berarti tidak boleh makan,” jelas Santi. Sepertinya ia mulai bisa mengatur anak-anak. Gue segera pergi setelah Santi membagikan coklat pada mereka. Gue benar-benar rindu bekerja sebagai guru TK. Setelah dari taman kanak-kanak gue langsung meluncur ke studio. Salah satu teman Santi bilang kalau Max akan pamit. Pada akhirnya gue kehilangan orang yang gue cinta tanpa pernah mengungkapkan perasaan gue. Setidaknya gue pernah merasakan cinta. Sampai di studio teman-teman langsung menyambut. Max melambaikan tangannya agar gue mau bergabung duduk di sampingnya. Tentu gue merasa senang sekaligus sedih. Ini terakhir kalinya gue melihat Max, kalau suatu hari gue bertemu dia lagi mungkin kita akan mengulang berkenalan antara Kanaya dan Max. “Kamu benar mau pergi?” Max menundukkan kepalanya. “Iya, aku akan menerima pekerjaan di luar negeri. Aku ingin sekali kamu ikut,” ucapnya. Gue ingin mengiyakan tapi gue masih sayang nyawa. Santi bisa mencekik leher gue kalau melakukan sesuatu tanpa persetujuannya. “Kapan kamu berangkat?” “Sore ini.” Max meraih tangan gue lalu menggenggamnya erat. Rasa nyaman ketika dia menyentuh tangan gue. Max berpamitan pada kami semua sebelum akhirnya ia pergi. Benar-benar pergi selamanya. “Aku pergi, San. Jaga diri kamu baik-baik.” Max masuk ke dalam mobil yang akan membawanya pergi. Gue pikir tidak akan pernah merasakan yang namanya galau dan sakit hati tapi sekarang gue merasakannya. Max pergi membawa separuh hati gue. Gue termenung sempat terlintas dalam pikiran gue untuk pergi bersama Max. Mungkin Tuhan membuat takdir ini supaya gue bisa bahagia. Gue bisa hidup bahagia dengan Max melalui tubuh Santi, tapi pikiran itu segera gue enyahkan. Bagaimanpun gue tidak memiliki hak atas tubuh ini. Gue tetap Kanaya si cewek jomblo yang selalu menjadi bayangan Santi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD