7. Pertanyaan Sulit

1777 Words
Mobil swift putih Ranis memasuki sebuah kawasan perumahan di daerah Bogor. Satpam perumahan membungkuk saat Ranis membuka kaca mobil. Perumahan ini bukan perumahan mewah, hanya sedikit sebuah perumahan berbentuk regency menengah ke atas. Setelah berputar beberapa blok Ranis menghentikan mobilnya di depan rumah type 45. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi terlihat asri dengan tatanan taman yang indah. Rumah bercat hijau daun ini adalah kediaman bapak Halim, orang tua Ranis. Bapak memutuskan kembali ke Bogor saat Ibu sudah mulai lemah karena penyakit komplikasi yang dideritnya. Demi mendapat lingkungan yang asri dan jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk ibu kota, akhirnya Bapak memilih Bogor, yang masih dekat dengan Jakarta. Jadi tidak perlu terlalu jauh dari anak dan menantunya. Wanita paruh baya yang sudah menjadi ART Bapak selama hampir 10 tahun berjalan cepat membukakan gerbang yang terkunci saat mendengar bunyi sekali klakson dari mobil Ranis. "Makasih, mbok Rum," sapa Ranis pada Mbok Rumi. "Sama-sama, Mbak. Monggo masuk, Bapak lagi istirahat di kamar." Ranis memarkir mobilnya di depan garasi, kalau Bapaknya sedang di rumah, berarti mobilnya sekarang ada di dalam garasi. Setelah bersalaman dengan Mbok Rumi, Ranis masuk ke dalam rumah dan mendapati rumah dalam keadaan sepi, padahal ini hari Sabtu. "Neng Ila belum pulang sekolah, lagi latihan marching band kata Bapak," mbok Rumi menjawab pertanyaan yang ada di benak Ranis tepat saat dia agak bingung melihat rumah dalam kondisi sepi. "Pulang jam berapa, Mbok?" "Katanya sampai sorean. Mbak Ranis mau makan siang? Mbok siapin ya." "Boleh deh mbok. Masak apa emang?" "Ada cah kangkung, udang goreng, sama tempe mendoan." Ranis tersenyum lalu mengangguk. Cacing-cacing di perutnya langsung berdemo mendengar menu masakan yang disebutkan mbok Rumi. Ranis masuk ke kamar bapak yang tak dikunci. Dilihatnya pria paruh baya itu sedang tertidur lelap di atas ranjang king size. Kemudian Ranis mengecup kening Bapak dan duduk di pinggiran tempat tidur. Bapak mengerjap saat menyadari ada orang sedang duduk di sampingnya. "Kapan datang, nduk?" Tanya bapak tanpa membuka matanya. Seolah tahu bahwa yang datang adalah anak perempuannya. "Baru aja, Pak." Akhirnya bapak membuka kedua mata saat mendengar jawaban dari Ranis. Bapak mengangkat badannya dan bersandar di ujung tempat tidur. "Bapak dengar Aditya ada Indonesia ya?" "Iya," jawab Ranis dengan malas. "Netep apa cuma berkunjung, Nis?" "Mana Ranis tau pak." "Kok nggak nanya?" "Males." "Mau sampai kapan, Ranis?" "Ranis makan dulu ya, Pak. Laper. Tadi pagi cuma sarapan roti bakar." "Mas Rey, Kak Luna sama Daren sehat?" "Sehat semua, Pak." Bapak tidak bertanya lagi soal Aditya. Ranis pun melangkah menuju dapur tempat Mbok Rumi sedang menghidangkan makan siang untuknya. Ranis makan dengan tenang dan lahap, berusaha membuang jauh pikirannya tentang Aditya dengan makan. (-) Sore harinya Ranis sudah berada di depan gerbang salah satu Sekolah Dasar Swasta di daerah Bogor yang cukup ternama. Sebenarnya itu bukan sekolah swasta biasa. Namun sebuah yayasan milik keluarga teman baik Ranis semasa kuliah. Yayasan ini mempunyai jenjang pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas. Karena yayasan ini setiap tahunnya membutuhkan siswa sebagai salah satu syarat peningkatan nilai akreditasi sekolah, akhirnya teman Ranis itu mau menerima Ayla sebagai murid, meski dengan syarat berat yang telah Ranis ajukan sebelumnya. Saat ini Ayla sudah memasuki semester kedua sebagai murid di yayasan ini. Syukurlah Ayla adalah anak yang cerdas dan baik, sehingga guru-guru dan teman-teman sekolahnya menyukainya. Terlepas dari segala perbedaan dalam diri Ayla, yang membuat orang-orang mempunyai pertanyaan besar terhadap anak itu. Ranis melihat Ayla sedang berlarian menuju ke arah tempatnya berdiri menyandar di samping mobil. "Bundaaa..." Anak itu melompat ke gendongan Ranis dengan membawa sebuah tongkat berwarna keemasan yang biasa dipakai mayoret dalam kelompok marching band. "Makin berat kamu ih." "Ila dong sekarang jadi mayoret, Nda." "Kok bisa? Ila kan masih kelas satu." "Kata bu guru, karena Ila tinggi." Ayla tersenyum tiga jari hingga menampakkan deretan gigi kecil dan gingsulnya. Yang membuat dia lebih manis dengan adanya gingsul tersebut. "Ini udah selesai latihannya?" "Sudah, Nda. Tar ya, Ila balikin tongkatnya ke ibu guru." "Oke." Ayla kemudian berlarian menuju ke tempatnya tadi berkumpul. Setelah berpamitan kepada pelatih, guru pendamping dan teman-teman marching band nya, dia kembali pada Ranis. Masuk mobil, duduk dengan manis sambil tak lepas memandangi Ranis dengan senyum tulus. Setelah memastikan seat belt Aila terpasang dengan baik, Ranis mulai melajukan mobil dengan perlahan. Selama di mobil Ayla aktiv menceritakan kegiatan barunya di sekolah, teman-temannya hingga ada pertanyaan yang mengusik konsentrasi menyetir Ranis. "Bunda, masa kata teman-teman... ," Ayla tidak melanjutkan pembicaraannya dan malah menunduk lesu. "Kenapa, sayang? Ngomong apa temen kamu?" "Katanya Ila bukan anak bunda. Soalnya kulit Ila nggak seputih bunda, terus rambut Ila keriting nggak kayak rambut bunda yang lurus." Ranis menghela napas. Sebenarnya dari awal ia juga yakin, pertanyaan seperti ini sudah pasti akan terlontar dari Ayla, tanpa perlu temannya yang menyatakan langsung padanya. Ranis kembali menarik napas dalam-dalam lalu menjawab sesimple mungkin, agar anak cerdas itu bisa mencerna dengan baik jawaban Ranis nantinya. "Bunda putih karena bunda nggak suka maen panas-panasan kayak Ila. Rambut bunda juga lurus karena di rebonding, aslinya sih kayak Ila, keriting juga." Ranis tersenyum tulus saat berhasil melontarkan jawaban untuk pertanyaan Ayla. Semoga dia puas dengan jawabanku, batin Ranis mengharap. Bola mata Ayla yang berwarna coklat menatap Ranis dengan polosnya. "Gitu ya, Nda? Ila nggak panas-panasan lagi deh mainnya, biar bisa putih kayak bunda." Ayla tersenyum tipis seraya mengerjapkan kedua bola matanya. Ranis mengusap pelan puncak kepala Ayla dengan sayang, berusaha memberi ketenangan saat gadis kecil itu merasa gusar. Sebisa mungkin Ranis akan memberi jawaban yang menenangkan dan masuk akal. Sehingga Ayla tidak perlu bertanya lebih lanjut, kenapa fisik mereka berbeda. Belum saatnya Ayla mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Meski Ranis sadar, bahwa akan tiba saatnya Ayla akan mulai menanyakan hal-hal sensitif seperti itu. Ranis mengajak Ayla jalan-jalan di Mall untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak menyinggung hal-hal seperti tadi. Ranis takut tidak bisa menjawab dengan tepat, sehingga malah membuat hatinya menjadi gusar. (-) Setelah makan malam, Ayla kelihatan sudah sangat mengantuk dan mengajak Ranis menemaninya tidur. Di kamar Ranis mulai membacakan dongeng serial disney tentang Cinderella sebagai pengantar tidur Ayla. Tidak sampai selesai, Ayla sudah terlelap dengan memeluk gulingnya. Pelan-pelan Ranis beranjak dari tempat tidur single milik Ayla. Ranis mematikan lampu kamar, menyisakan lampu tidur hias yang akan menampilkan gambar bulan, bintang dan binatang-binatang laut seperti bintang laut dan kuda laut di dinding kamar. Ayla berbeda dengan Ranis yang tidak bisa tidur jika lampu kamar mati atau kurang cahaya. Setelah menutup pintu kamar, Ranis kembali ke ruang keluarga, dan melihat Bapak masih menonton televisi. "Bapak belum tidur?" "Belum ngantuk, Nduk." Akhirnya Ranis ikut menonton acara yang sedang Bapak tonton. Pikiran Ranis melayang ke pertanyaan Ayla sore tadi. Sekarang kenapa justru Ranis yang jadi kepikiran gini? Sampai-sampai ia tidak mendengar saat Bapak menegurnya. "Kemarin Ila pulang sekolah nangis-nangis sampai nggak mau makan." Ranis terkejut saat bapak menyentuh tangannya. "Nis, kamu dengerin bapak 'kan?" "I, iya pak?" "Ayla kemarin pulang sekolah nangis." "Loh nangis kenapa?" "Di bully temen sekolahnya." "Ck, Kenapa lagi? Anak SD jaman sekarang udah tau bully-bully aja." "Nggak ngomong dia. Cuma setelah tangisnya reda, Ila nanya yang bapak nggak bisa jawab." "Tanya apa emangnya, Pak?" "Nanya gini 'Ila punya Kakung Halim, Uti Citra, Bunda Ranis. Jadi, Ila punya ayah juga 'kan kung? Akung tau nggak, Ayah Ila siapa namanya?'. Dia nanya gitu. Bingung bapak mau jawab apa? Ya bapak bilang, tanya sama Bunda aja ya. Ila kecewa sama jawaban bapak. Makanya anak itu agak diemin bapak dari kemarin." Ranis mendengus pelan, lalu sedikit meringsut dari duduknya. Apalagi ini? Ranis belum siap menghadapi situasi seperti ini. "Mira ketemu Ayla ya pak?" Tanya Ranis mengalihkan pembicaraan "Iya. Bapak udah nggak sanggup nyembunyiin Ayla dari keluarga. Dia sudah besar. Sudah waktunya tau semua," ucap Bapak dengan bijak. "Enggak." "Nis, kamu jangan keras kepala. Ayla bukan hak kamu." "Tapi aku yang udah memperjuangkan anak itu." "Tapi seenggaknya biarkan dia tau, Ranis. Bapak kasian sama Ila. Makin besar dia akan semakin dapat cibiran dari lingkungannya." "Ya udah Ranis mau bawa dia ke Jakarta aja. Di sana manusia keponya lebih sedikit. Nggak kayak di sini." "Jangan Nis, bapak nanti sendirian di sini." "Bapak ikut Ranis aja. Ranis bisa cari rumah atau apartemen buat kita tinggal. Ranis akan keluar dari rumah mas Rey." Bapak diam tidak mendebat lagi ucapan Ranis yang mulai meninggi nada bicaranya. Masalah yang Ranis takutkan akhirnya mengucapkan selamat datang padanya. Biar bagaimanapun benar kata Bapak, Ayla harus mengatahui yang sebenarnya. Ranis tidak punya hak sepenuhnya pada anak itu. Namun Ranis juga bingung harus memulainya dari mana? Apa Ayla akan mudah mengerti dan menerima jika nanti Ranis memberinya penjelasan? Usianya baru 7 tahun, masalah seperti ini terlalu berat buat anak sekecil itu. Ranis juga takut jika Ayla nanti diambil karena dia tidak punya hak atas kehidupan anak itu, sedangkan Ranis sudah sangat menyayangi Ayla lebih dari hidupnya sendiri. "Cepet diselesaikan, Nduk. Semakin lama kamu nyimpen masalah ini, yang ada akan semakin runyam. Mending kamu sakit hati dan kecewa sekarang daripada menyesal di kemudian hari. Akan lebih menyakitkan rasanya." "Ya Pak, nanti Ranis pikirkan lagi." Bapak mengusap lembut punggung tangan Ranis, lalu mengecup puncak kepala anak perempuannya itu. Kemudian Bapak pamit untuk istirahat di kamarnya. Ranis masih duduk di depan televisi yang dibiarkan saja menyala dengan suara lirih. Tiba-tiba ponselnya bergetar sekali tanda ada pesan masuk. Entah BBM, Line atau WA. Saat melihat di layar ponsel ternyata pesan BBM, sebuah permintaan pertemanan dari Kevin Aditya. Awalnya Ranis membiarkan saja undangan BBM tersebut. Selang setengah jam baru Ranis menerima undangan kontak BBM tadi. Tak lama ponselnya kembali bergetar. Kevin Aditya: Hay! Ranis Maura: Apa? Kevin Aditya: Juteknya. Bales hay juga kek. Ranis Maura: Hay juga. Kevin Aditya: Cakep! Lagi apa Ra? Ranis Maura: Nonton tv. Kevin Aditya: Nggak keluar? Ranis Maura: Hujan deres. Kevin Aditya: Oh. Di Bali nggak ada hujan nih. Ranis Maura: Nggak nanya. Kevin Aditya: Sudah makan? Ranis Maura: Sudah. Kevin Aditya: Nggak pengen nanya balik aku sudah makan atau belum? Ranis Maura: Nggak penting! Kevin Aditya: Aku Selasa balik ke Jakarta. Jalan-jalan yuk! Pengen ke pantai sama kamu. Ranis Maura: Bangun tidur ya kamu? Kevin Aditya: Enggak. Kenapa? Ranis Maura: Bbm nya kayak orang lagi ngigau. Kevin Aditya: Serius ini Ra. Lihat pantai di Bali jadi kangen ke pantai sama kamu. Ranis Maura: Aku tidur dulu ya. Bye. Kevin Aditya: Ya udah. Met bobog ya. Ranis tidak lagi membalas BBM dari Aditya. Ranis merasa tidak boleh terlalu larut dalam semua bentuk perhatian Aditya. Aditya terlalu mengenalnya dengan baik. Ranis khawatir laki-lak itu akan bisa membobolkan benteng pertahanannya. Seharusnya dari awal Ranis menanyakan apa Aditya akan menetap atau sekadar berkunjung ke Indonesia? Supaya Ranis bisa segera menyiapkan strategi yang tepat untuk menyiapkan mental menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk di kemudian hari. Aditya nggak bisa seenaknya datang dan pergi begitu saja dalam kehidupan Ranis. Itu tekad Ranis. ----- Tbc... ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD