Aditya sibuk memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper berukuran sedang miliknya. Linda sudah duduk di ujung tempat tidur menunggui aktivitas puteranya yang membuat penasaran sejak bermenit-menit yang lalu.
"Kamu mau ke mana sih, Dit?" tegur Linda saat Aditya tidak memedulikan keberadaannya
"Ada urusan, Mi. Cuma beberapa hari."
"Kamu mau balik ke Inggris? Segitu aja perjuangan kamu untuk mendapatkan Ranis kembali?"
"Aku cuti 3 bulan, Mi. Kurang lama, apa? Aku beneran ada urusan ke luar kota."
"Buat kamuitu urusan apa yang lebih penting dari Ranis, sih?"
"Mami pengin aku balik lagi ke Indo atau seneng lihat aku nikah sama bule?"
"Mati aja mami, Dit."
Linda bersendekap dan membuang muka tidak memandang puteranya lagi. Aditya melanjutkan kegiatan mengepak semua kebutuhannya selama di Bali.
"Kok nggak dijawab sih, Mi?" Aditya iseng bertanya lagi pada Linda.
"Mami capek nahan kangen terus sama kamu. Apa Mami harus mohon sama Ranis ya supaya maafin kamu? 'Kan kalau kamu dimaafin sama Ranis, kamu nggak perlu kabur-kaburan ke Inggris lagi."
"Mami jangan gitu dong. Yang ada Maura bakal makin benci sama Adit. Lagian ini urusan perasaan Adit. Jadi tolong Mami nggak perlu masuk terlalu jauh. Biar Adit yang nyelesein semuanya sendiri, oke!"
Aditya pun mengakhiri kegiatan packing nya, kemudian menutup ristleting koper.
"Ya terus kamu mau ke mana? Mau kabur ke mana lagi?"
"Enggak kabur Mami, astaga parno banget. Adit mau ke Bali. Ada urusan bisnis. Doain aja lancar, jadi Adit nggak perlu kembali lagi ke Inggris. Cukup terima transferan gaji terakhir Adit dari Inggris."
"Mami selalu doakan yang terbaik untuk kamu. Berangkat kapan?"
"Sore ini. Sekarang Adit mau ke rumah Luna dulu."
"Jam segini Ranis belum pulang kerja."
"Mau ketemu Rey. Adit belum ketemu Maura lagi sejak malam itu. Dia marah besar karena udah buka semua sama Mami tanpa meminta persetujuan dari dia."
Linda menghela napas panjang saat mengingat apa yang sudah Aditya ungkapkan beberapa waktu yang lalu. Cukup menguras emosi saat mengetahui rahasia yang ditutupi puteranya itu.
"Ranis itu sosok yang tenang, lembut, dan penyayang tapi dia sangat keras kepala ya, Dit?"
"Bapaknya yang udah bentuk dia kayak gitu, Mi."
"Tapi Rey nggak sekeras Ranis loh Dit. Dia itu lemah banget sama Luna."
Aditya hanya tersenyum mendengar asumsi yang dibuat oleh Linda. Tidak salah memang. Ranis dan Rey dua sosok yang berbeda. Rey cenderung tergesa-gesa, tidak sabaran tapi gampang diredakan kobaran emosinya, apalagi dihadapkan pada Luna pasti langsung lemah dia. Berbeda dengan Ranis, dia sosok yang tenang, kalem tapi sekalinya terkobar api emosinya benar-benar susah diredakan.
***
Mobil Aditya berhenti di depan pagar rumah Rey. Berharap Ranis sudah pulang. Tapi Aditya tidak melihat mobil perempuan yang ingin dilihatnya itu. Semenjak kejadian malam di rumah sakit, Ranis menolak dengan tegas untuk diantar dan dijemput lagi oleh Aditya. Dia mengancam benar-benar tidak akan menemui Aditya lagi kalau masih nekat.
Aditya masuk ke dalam rumah setelah dibukakan pintu pagar oleh PRT rumah Kakaknya ini. Rumah ini adalah hasil karya iseng Aditya. Yang akhirnya menjadi hits di kalangan rekan kerja Rey, sehingga membuat jasanya sebagai tukang gambar bangunan berfungsi. Padahal waktu itu Aditya masih baru menamatkan kuliahnya. Kira-kira tahun 2008. Aditya masih pacaran sama Ranis waktu itu, Ranis juga lah yang memperkenalkan Aditya pada Rey.
"Om Adit..."
Daren berlarian mendekat dan melompat ke gendongan Aditya.
"Mama mana?" tanya Aditya.
"Pipih di amal andi." (Pipis di kamar mandi)
"Onty Ranis mana?"
"Kelja, ali uwit." (Kerja, cari duit)
"Dey dibeliin apa kalau Onty Ranis punya duit?"
"Eli awat telbang." (Beli pesawat terbang)
Aditya tertawa mendengar ocehan balita ini. Dia menciumi kepala, wajah dan leher Daren yang bau asem khas anak kecil dengan gemas. Daren tertawa menahan geli lalu meminta turun dari gendongan Aditya. Luna datang menyambut dari arah dapur.
"Udah makan lo?"
"Udah. Eh, Rey masih lama nggak, Lun?"
"Biasain dong Dit, manggil Rey itu Mas. Lo boleh nggak manggil gue Kakak. Tapi Rey jangan disamain dong."
"Telat protesnya lo, Lun."
"Lo tu ye!"
Aditya mengempaskan tubuh ke sofa ruang keluarga. Pandangannya langsung dimanjakan oleh halaman belakang yang sangat asri, karena antara ruang keluarga ini dengan halaman belakang hanya dibatasi pintu geser dari kaca. Luna menyebut ini ruang keluarga, karena di sini lah tempatnya semua anggota keluarga berkumpul kalau berkunjung ke rumah ini.
Terdengar deru mobil Rey berhenti di carport. Tak lama ada suara salam dari pintu utama.
"Udah lama, Dit?" sapa Rey.
"Baru aja. Gue cuma mau pamit. Besok udah janjian sama orang yang lo ceritain waktu itu."
"Wah bagus dong. Eh, tapi lo gimana janjiannya? Dia orang sibuk loh."
"Ya gue turutin aja maunya dia ketemu di mana. Dia mintanya di Bali. Terpaksa gue harus cabut ke Bali sore ini juga."
"Oh gitu. Ya dicoba aja, kali aja langsung goal!"
"Amin."
Aditya terdiam sejenak menatap kembali ke halaman belakang, tapi pandangannya malah kosong. Rey sepertinya sadar, lalu melambaikan tangannya di depan wajah Aditya.
"Ngelamunin apa lo?"
"Emmhh, nggak ada."
"Ranis ya?"
Aditya mengangguk menanggapi pertanyaan Rey yang kini ikut bergabung duduk di samping Aditya. Ikut memandang ke halaman belakang.
"Sory ya, Dit. Gue nggak bisa banyak bantu. You know her so much. Selain keras dia juga tertutup banget orangnya. Sedekatnya gue sama dia, gue nggak berani ikut campur urusan pribadi dia."
"It's okey, gue ngerti kok. Ini masalah gue sama Maura. Jadi biar kita yang nyelesein sendiri."
"Gue kadang mikir, ada masalah besar apa yang bikin Ranis itu sampai mutusin elo, trus dia sampai segitu bencinya sama elo. Setau gue dia itu cinta banget sama elo. Kalo cuma sekedar lo nggak peka, kurang perhatian atau lo selingkuh sekalipun, dia pasti bisa maafin lo."
"Kita nggak pernah putus, Rey."
"Trus hubungan kalian ini gimana sebenarnya? Bingung gue." Rey menarik rambut depannya lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Tiap kali gue mau ngenalin Ranis untuk dekat sama temen gue, dia selalu nolak. Alasannya macam-macam dan kadang nggak masuk akal. Kadang gue juga ketar-ketir, adik gue sudah mau 29 tahun beberapa bulan lagi. Tapi belum ada satu pun laki-laki yang dia kenalkan ke keluarga sebagai calon suaminya."
Aditya memejamkan mata berusaha menekan perasaannya agar tidak terlalu terbawa suasana saat Rey mengatakan soal calon suami untuk Ranis. Kalau saja Aditya tidak bisa menahan diri, yang ada dia akan menyeret Ranis ke KUA secepatnya supaya Ranis tidak jadi milik orang lain. Namun Aditya tidak se-gegabah itu.
"Suatu saat lo bakal tau kebenarannya. Sekarang gue cabut ya Rey. Salam buat Maura. Lun, gue cabut ya."
"Om Adit itut, itut."
Aditya meraih tubuh mungil Daren yang merentangkan kedua tangannya pertanda dia minta digendong. Bagaimana anak ini bisa selengket ini dengan Aditya? Padahal mereka baru beberapa kali saja bertemu. Memang baru kali ini Aditya pulang ke Indonesia setelah pernikahan Kaluna dan Reynaldy beberapa tahun yang lalu. Aditya hanya tahu wajah dan tingkah polah keponakannya dari foto dan video yang dikirimkan oleh Luna.
"Om Adit mau kerja dulu. Cari duit juga kayak Onty Ranis."
"Itut om. Itut ya!" (Ikut om. Ikut)
"Dey. Om nya mau kerja. Sama mama aja yuk!" bujuk Luna saat melihat Aditya mulai kerepotan menghadapi Daren.
"Gak au. Huwaaa..."
Tangis Daren semakin menjadi diiringi teriakan-teriakan. Luna dan Rey tidak mampu menenangkan Daren. Bahkan ketika orang tuanya menarik tubuhnya, anak itu semakin meronta sambil meneriakkan nama Ranis. Orang tuanya hanya bisa pasrah dan geleng kepala tidak sanggup menghadapi Daren.
Saat sudah berhasil lepas dari gendongan Aditya, Daren malah menjerit makin kencang. Aditya tentu tidak tega, akhirnya dia kembali masuk ke dalam rumah dan Daren langsung berlarian ke arah Aditya.
"Om, nggak lama kok. Cuma pergi bentar aja."
"Itut om. Hiks ..." jawab Daren masih dengan suara sesenggukan.
"Biasanya cuma Ranis yang bisa ngademin Daren. Tapi nggak mungkin kita suruh dia pulang sekarang. Ini hari Jumat, hari tersibuk bagi Ranis."
Semua terdiam mendengar penjelasan Rey. Daren pun sudah berhenti sesenggukan dan menyandarkan kepalanya di d**a Aditya, seolah menemukan tempat paling nyaman disana.
Rey mulai terlihat gelisah dalam duduknya. Dia harus segera kembali ke kantor karena sudah terlalu lama pulang ke rumah. Rey meraih ponsel dari saku celana bahannya. Lalu menghubungi Ranis.
"Gue ke kantor dulu ya, Dit. Ada calon nasabah besar yang musti gue survey hari ini, kebetulan lagi ke Jakarta. Dari pada gue harus nemuin dia ke tempat usahanya di Kalimantan sono. Bentar lagi Ranis datang kok."
"Ma, Papa balik ke kantor. Jangan jawab apa pun omelannya Ranis loh ya," pesan Rey membuat Aditya bingung.
"Ya Pa, hati-hati di jalan ya."
Daren terlihat biasa saja melepas kepergian Rey. Balita itu nemilih tetap berada di gendongan Aditya.
"Lun, anak lo nih. Gue mau cabut."
"Jam berapa pesawat lo?"
"Empat sore," jawab Aditya ketus karena Luna sama sekali tidak berniat untuk menoleh sedikit pun dari televisi di hadapannya.
15 menit kemudian ada suara motor berhenti tepat di depan rumah. Aditya bisa merasakan derap langkah dari tempatnya berdiri saat ini, masih dengan menggendong Daren. Sepertinya anak itu mengantuk tapi enggan untuk memejamkan kedua matanya.
"Assalamualaikum ..."
Suara Ranis bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir saat ini bagi Aditya. Adem banget.
"Walaikumsalam."
Jawab Aditya dan Luna bersamaan. Ekspresi Ranis persis seperti orang keselek biji kedondong saat melihat Aditya di hadapannya. Kedua mata beloknya melotot dan bibir mungil yang agak tebalnya terbuka, lalu menyebutkan nama Aditya dengan berbisik, tapi dapat terbaca dari gerakan kedua bibirnya.
"Mas Rey mana, Kak?" tanya Ranis pada Luna.
Luna buru-buru mematikan televisinya saat menyadari Ranis sudah berada di dekatnya. Tadi saja Aditya yang mengajak ngomong, Luna cuek saja malah asyik menonton serial India, sekarang ditanyai oleh Ranis malah mematikan televisi.
"Rey mau ketemu calon nasabahnya. Buru-buru tadi Ra," jelas Aditya.
Ranis balik menatap tajam dan mengintimidasi ke arah Aditya, seolah tatapan matanya mengatakan 'Gue nggak tanya sama elo'.
"Tadi katanya Dey nangis gara-gara mau ditinggal Papanya? Lah itu gelayutan gitu?"
"Bukan nangisin papanya Nis, tapi nangisin Adit tuh."
Ranis mendengus kesal mendengar jawaban dari Luna.
"Untung aku lagi joint wawancara sama narasumber bareng juniorku di deket sini. Bisa bayangin kan kayak apa muternya aku kalau harus bolak balik Kalibata ke Rasuna Said?" Ranis malah mengomel sepanjang rel kereta api. Aditya menahan senyum melihat ekspresi cemberut Ranis yang lucu menurutnya.
"Duduk dulu, Nis. Kak Luna bikinin es teh kesukaan kamu ya."
Ranis mengangguk lalu kembali ke luar, tapi sepertinya tidak berniat pergi karena sling bag miliknya masih teronggok di atas sofa ruang keluarga.
"Ris, masuk dulu. Saya masih ada urusan sebentar."
"Ya, Bu."
Terdengar suara sahutan dari teras depan. Ranis meminta juniornya untuk menunggu di dalam. Setelah orang yang dipanggil itu masuk, Aditya langsung ingat kalau itu perempuan yang sama dengan yang membantu memapah Ranis di kantornya tempo hari.
Daren begitu saja mau ketika Ranis meraih tubuhnya. Lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Ranis. Sesekali Aditya mengusap punggung kecil keponakannya. Aditya tidak peduli meski Ranis meliriknya dengan tajam. Dia masih terus saja mengusap punggung Daren. Tak selang beberapa menit Daren sudah terlelap.
Ranis membawa Daren ke kamar anak yang terletak di samping kamar Rey. Aditya mengikutin tanpa merasa berdosa sedikitpun. Perlahan Ranis meletakkan Daren di box bayi yang sudah hampir tidak muat untuk tubuh balita itu. Ranis menepuk-nepuk pelan p****t Daren agar anak itu bisa kembali lelap meski telah berpindah tempat.
Aditya tersenyum memandangi moment ini. Ranis begitu menyayangi keponakannya, bagaimana dengan anaknya sendiri? Batin Aditya. Aditya masih tersenyum tepat ketika Ranis membalikkan tubuhnya dan mendapati Aditya masih berdiri di belakangnya.
"Ngapain kamu senyum-senyum?"
"Nggak abis pikir aja. Ini yang orang tuanya Daren kita atau kakak-kakak kita ya?"
Ranis hanya melirik lalu melangkah melewati Aditya tanpa menanggapi omongan laki-laki itu. Aditya menahan lengan Ranis agar menghentikan langkahnya.
"Apa lagi?" tanya Ranis dingin
"Kita harus bicara."
"Iya, tapi nggak sekarang. Aku lagi banyak kerjaan."
"15 menit, Ra."
"Ck, 5 menit," Ranis berdecak sebal.
"Oke, 10 menit!" tawar Aditya
"Yeah!"
Aditya mengajak Ranis keluar dari kamar Daren. Gadis yang selalu tampil fashionable itu mengikuti langkah Aditya ke taman belakang. Mereka duduk di sebuah gazebo kecil di samping kolam renang.
"Aku mau ke Bali sore ini."
"Kok nggak balik ke Inggris aja sih kamu? Tenang hidup aku nggak ada kamu."
Lagi PMS apa ya si Maura ini? Ketus amat omongannya dari tadi. Begitu pikir Aditya karena sejak tadi tidak mendapat tanggapan tidak baik dari Ranis.
Ada satu hal yang baru Aditya sadari, setiap kali berbicara seperti ini Aditya merasa jika Ranis selalu berusaha berpaling dari tatapannya. Ranis seolah menghindari beradu tatap dengan Aditya. Padahal Aditya tahu betul kalau Ranis paling tidak suka bila sedang berbincang tapi tidak saling menatap.
"Look at me, Ra!"
Ranis masih bergeming, pandangannya menatap kosong kolam renang di hadapan mereka saat ini. Entah apa yang sedang ada di pikirannya. Wajah ayunya sangat datar. Tak ada ekspresi apapun di wajah bundar itu, entah senang, marah ataupun sedih. Dan Aditya paling tidak suka jika harus menghadapi ekspresi terkutuk itu. Mending lihat Ranis dengan wajah jutek, marah, nyinyir, muring-muring, ketus daripada tanpa ekspresi begini.
"Rengganis Maura Halim. Lihat aku!"
Ranis mendengus kasar mendengar suara Aditya. Seolah sedang melepas beban puluhan kilo di bahunya.
"Apa sih? Waktumu cuma 10 menit. Dan kamu sudah menghabiskan waktu beberapa menit cuma dengan mengingatkan aku pada nama lengkapku."
Ingin sekali rasanya Aditya mencium Ranis detik ini juga, supaya Ranis sadar akan keberadaannya. Akhirnya Aditya meraih kedua pundak Ranis agar menghadap padanya. Ekspresinya masih saja datar. Seharusnya Ranis marah atau memaki-maki Aditya karena menekan pundaknya seperti ini.
"Kenapa kamu nggak pernah kasih aku kesempatan? Sekali aja, aku mohon kamu dengerin penjelasanku, Ra."
"Sudah aku bilang kan, nggak ada yang perlu dijelasin lagi. Dengan kamu memutuskan pergi ke Inggris 7 tahun yang lalu itu sudah penjelasan yang cukup kalau kita memang nggak bisa bersama."
"Aku ke sana demi masa depan kita, Ra."
Kali ini Ranis mulai berekspresi. "Masa depan apa, Dit? Membiarkan aku begitu saja? Sementara kamu bahagia di luar negeri sana?"
"Demi Tuhan, aku kuliah dan kerja, bukannya seneng-seneng. Aku pengen nantinya anak dan istriku hidup layak-"
"Iya tapi enggak ninggalin aku dalam keadaan paling hancur, Dit," suara Ranis bergetar menahan emosinya. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan agar tangisnya tidak pecah saat ini juga.
"Sekali lagi aku bilang, aku nggak pernah sekalipun berniat ninggalin kamu, Mora."
Ranis tidak peduli lagi apa yang akan dikatakan Aditya selanjutnya. Ia beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan Aditya begitu saja.
"Time is over!" ucap Ranis sebelum pergi dari samping Aditya.
-----
Ditunggu love dan coment-nya.
Happy reading...
^vee^