5. Dream Catcher

2266 Words
Gadis berambut sebahu itu memilih duduk di bangku dekat jendela yang mengarah langsung ke taman di samping kelas. Ini adalah hari pertamanya di SMA. Kata Rey, SMA adalah masa paling asyik, paling seru dan menyenangkan. Ranis akan menemui banyak teman di masa SMA. Tapi nyatanya sampai selesai masa orientasi siswa, Ranis tidak bisa menemukan teman yang tepat, bahkan hanya untuk sekadar diajak mengobrol ringan sekalipun tidak ada. Lagipula kebanyakan yang bersekolah disini adalah mereka-mereka yang dulunya saling mengenal saat masih di SMP. Tidak ayal jika sudah menemukan kecocokan satu sama lain dan kadang membuat anak pindahan dari luar kota seperti Ranis menjadi kesulitan untuk berbaur dengan mereka. Suasana sekolah mulai agak ramai. Satu per satu siswa siswi sudah masuk ke kelas. Saat semua bangku sudah terisi penuh, seorang laki-laki berkulit putih, bermata syahdu namun cara menatap yang tajam mendekat ke arah bangku kosong di sebelah Ranis. Begitu remaja laki-laki itu mendekat, Ranis menoleh dan memberi senyuman tipis padanya. Tapi nyatanya, remaja itu hanya menatap Ranis dengan wajah datar. Suasana kelas mulai tidak terkendali, karena belum ada satupun guru yang masuk di kelas ini. Kelas 1 C tepatnya. Untuk mengisi kekosongan waktu, Ranis mengeluarkan komik Detektiv Conan dari tas ranselnya. Dapat Ranis rasakan ada yang sedang memerhatikannya saat ini. Benar saja saat Ranis mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk, remaja laki-laki disampingnya itu kedapatan sedang memandangi Ranis. "Kenapa?" tanya Ranis agak sedikit takut. Remaja itu tersenyum sebelum berkata, "kita belum kenalan. Gue Kevin Aditya. Lo siapa?" "Rengganis Maura. Panggil aja Ranis." Kevin tersenyum dan mengangguk. Ketika hendak mengatakan sesuatu, ada suara lain yang meneriakinya dari bangku belakang. "Kevin, duduk di belakang yok. Udah gue siapin tempat duduk buat lo." Kevin mengangkat sebelah tangannya kemudian menunjuk bangku yang tengah ia duduki saat ini. "Gue di sini aja. Bosen dari SMP duduk belakang mulu. Sekali-kali jadi anak baek," Kevin tertawa di akhir ucapannya. Dia tidak lagi peduli meski gerombolan remaja yang berada di bangku belakang saat ini sedang menyorakinya. "Gaya lo, Kev. Serah lo deh." Remaja laki-laki yang mengajak Kevin duduk di bangku belakang tadi juga tidak terlalu ambil pusing. Dia melanjutkan lagi canda gurau dengan teman-teman lain yang juga teman SMP Kevin. "Namanya Jonas. Orangnya emang ngeselin, tapi sebenarnya dia baek kok," jelas Kevin tanpa diminta. Ranis menanggapi dengan tersenyum tipis penjelasan Kevin. "Lo SMP mana?" Kevin bertanya seperti itu karena hari ini mereka sudah mengenakan seragam SMA yang sama, tidak lagi mengenakan seragam SMP masing-masing seperti saat MOS. Jadi wajar jika Kevin tidak tahu asal SMP Ranis. Ranis menyebutkan salah satu SMP negeri terbaik di Bogor. Sebenarnya Ranis lebih nyaman tinggal di Bogor, tapi karena Bapak tidak sanggup lagi jika harus pulang pergi Jakarta-Bogor, memutuskan untuk pindah ke Jakarta Pusat. Akhirnya Ranis dan Ibunya di boyong ke ibukota. Sedangkan Rey sudah mulai kuliah di Universitas negeri terkemuka di Jakarta dan lebih memilih untuk tinggal di kosan yang lebih dekat kampusnya, dari pada harus wira-wiri rumah dan kampus. "Gue panggil elo Maura aja boleh?" "Kenapa?" "Biar beda aja." "Tapi aku nggak biasa dipanggil dengan nama itu." "Nanti juga biasa. Ra, Maura, Ra,Maura, Ra, Maura," goda Kevin hingga membuat Ranis tersenyum lebih lebar. Entah kenapa kalau Kevin yang menyebut nama itu terdengar sangat menyenangkan buat Ranis. Hari-hari berikutnya Ranis semakin dekat dengan Kevin. Ranis semakin mengenal sosok Kevin. Remaja laki-laki yang penuh kejutan, terutama otaknya yang sangat encer. Sebenarnya Kevin sama saja dengan kebanyakan anak laki-laki di kelas mereka. Nakal, badung, suka bolos, urakan, kadang juga suka godain cewek dari luar kelas mereka, meskipun tidak separah temannya yang lain. Tapi ada yang membedakannya dengan cowok lain. Kevin itu bisa dikatakan jenius. Hampir semua mata pelajaran bisa dia kuasai. Meskipun sering ikutan bolos, tapi nilai-nilai ulangannya selalu di atas siswa yang lain, yang notabene perlu kerja keras belajar semalaman untuk mendapatkan nilai yang baik. Dan satu lagi, Kevin selalu melindungi Ranis. Mereka berdua seperti memiliki insting yang kuat atau apa, karena Kevin selalu ada disaat Ranis membutuhkannya. Seperti saat bapak atau sopir pribadi bapak tidak bisa menjemput Ranis, Kevin akan bersedia mengantarkannya pulang. Meski pun sebenarnya daerah rumah mereka berlainan arah. Kevin juga akan marah besar jika ada siswa yang mencoba mengganggu Ranis. Ranis itu tipe cewek yang pendiam, introvert, independent, kurang suka bergaul. Teman-temannya bahkan mengatakan kalau Ranis itu cupu, kuper atau sejenis itu. Hal itu pulalah yang membuat siswa siswi lain gemas ingin mengganggu Ranis, apalagi Ranis cuma diam dan menghadapi gangguan itu dengan tenang. Ranis malas ribut. Ranis begini juga karena Bapak yang terlalu mengekangnya untuk bergaul. Sehingga sampai beranjak remaja pun dia terbiasa dengan pendidikan yang terkekang dari Bapak. Membuat Ranis akhirnya tidak memiliki teman dekat apalagi sahabat. Ranis selalu menutup diri, karena dia sadar kalau tidak bisa bergaul layaknya remaja pada umumnya. Ranis ingin berontak, tapi yang ada Bapak pasti akan semakin mengekangnya. Jadi lebih baik dia menurut saja. Kata Bapak ini demi kebaikan Ranis, Jika dia sudah siap Bapak juga pasti akan melepas dan tidak mengekangnya lagi. Begitu yang beliau katakan jika Ranis mencurahkan protesnya. (-) Hari ini adalah hari pembagian raport juga hari kenaikan kelas. Semua siswa siswi menunggu dengan perasaan ketar-ketir orang tua mereka keluar dari kelas. Tetapi tidak dengan Kevin yang asyik saja tertawa dan terus menggoda Jonas yang wajahnya sudah sangat pucat pasi karena ketakutan. "Belom sarapan lo Nas? Pucet amat?" Ledek Kevin dengan ekspresi wajah khawatir yang dibuat-buat. "Diem lo, Kev. Gue jejelin sepatu juga nih ya kalo lo nggak bisa diem!" "Hahaha..." Bukannya takut, Kevin malah semakin tertawa penuh kemenangan setelah berhasil menggoda Jonas. Seorang wanita berparas cantik di usianya yang belum memasuki 50 tahun berjalan keluar dari kelas dan mendekati Kevin yang sedang duduk dengan beberapa teman sekelas lain termasuk Jonas. Kevin mendekati wanitu itu, lalu mengajak sedikit menjauh dari gerombolannya. "Adit mau ikut Mami pulang atau masih mau di sekolah dulu?" Raut wajah wanita itu terlihat serius. Sedangkan Kevin terlihat biasa saja menanggapinya. "Adit di sekolah dulu. 'Kan bawa motor sendiri." Ranis yang duduk tidak jauh dari tempat Kevin saat ini, dapat melihat interaksi ibu dan anak itu. Bahkan bisa mendengar dengan jelas obrolan keduanya. Adit, ya Kevin menyebut dirinya Adit. Mungkin itu panggilan rumahnya. Karena semua teman dan guru-guru termasuk Ranis memanggilnya dengan nama depannya, Kevin. Tak lama Kevin menarik tangan Mami nya itu ke arah Ranis lalu memperkenalkan kepada Maminya. "Ra, kenalin ini Mami gue." "Ini pasti Ranis ya? Adit sering cerita tentang kamu loh. Emmhh pantes," Wajah Ranis menghangat, entah karena malu atau senang saat mengetahui kalau Kevin sering menceritakan tentang dirinya kepada Maminya. "Iya tante, saya Ranis," jawab Ranis sopan lalu mencium punggung tangan Maminya Kevin. "Saya Linda, Maminya Adit." Kevin menyadari perubahan air wajah Ranis saat Linda menyebut nama Adit. Tanpa diminta Kevin pun menjelaskan tentang panggilan rumahnya itu. "Gue kalau di rumah dipanggil Adit, lo boleh kok manggil gue Adit kalo mau." Kembali wajah Ranis menghangat. Ranis bertanya-tanya dalam hati, Kenapa Kevin mau membiarkannya memanggil dia dengan nama rumahnya, sedangkan teman dekatnya yang lain saja memanggilnya dengan nama depannya. "Ciye, kalau Ranis aja boleh. Coba temen kamu yang lain, mana mau." "Mami pulang deh. Nanti Adit nyusul." Kevin mencium punggung tangan Linda dan membalikkan tubuh Maminya itu agar segera jalan meninggalkannya dan Ranis. "Ajak Ranis maen ke rumah, Dit. Tante tunggu ya, Nis." "Ya, Tan." Ranis membungkukkan badannya sedikit lalu tersenyum ke arah Linda. Tiba-tiba saja Kevin saat ini seolah menahan senyum saat bertatapan dengan Ranis. "Ra, lo pulang sama siapa?" "Sama Bapak, Kev." "Bareng gue ya. Kita jalan." "Emmh..." "Gue minta ijin bokap lo deh. 'Kan bentaran lagi keluar tuh." Ranis mengangguk dan kembali duduk di tempatnya tadi. Kevin juga sudah kembali ke gerombolannya. Mengapa rasanya Bapak lama sekali keluarnya. Belum lagi nama Ranis berawalan R yang pasti urutannya agak terakhir. Ranis jadi takut sendiri. Tapi bukan takut nilainya buruk. Dia hanya takut Bapak akan keras menghadapi Kevin saat cowok itu minta izin untuk mengajaknya jalan dan membuat Ranis malu di hadapan teman-teman sekolahnya. Tak lama Bapak sudah keluar dengan senyum saat tatapan mereka bertemu. "Selamat ya nduk. Kamu ranking 2. Eh, tapi kok bisa loh kamu kalah sama cowok. Yang ranking 1 itu juga lumayan jauh sama kamu nilainya." "Oya pak? Mana raport Ranis, coba lihat! Yang ranking 1 emang siapa, Pak?" "Siapa tadi ya namanya, Kevin Raditya sopo gitu, kalau nggak salah. Yang mana sih anaknya?" Gleg. Kegiatan Ranis melihat raportnya langsung terhenti saat Bapak menyebut nama Kevin. Tanpa diminta Kevin saat ini sudah berjalan mendekatinya. "Bukan Kevin Raditya pak. Tapi Kevin Aditya Syahid," bisik Ranis pada Bapak meralat nama Kevin. Begitu Ranis selesai menyebut nama Kevin, cowok itu sudah berada di sampingnya dengan senyum manisnya. Ekspresi Bapak seketika berubah datar dan susah ditebak. Ranis melafalkan berbagai doa dalam hatinya, semoga yang ia takutkan tidak sampai kejadian. "Emmhh ... Pak, ini Kevin. Kevin Aditya." Bapak membelalakkan kedua bola matanya saat melihat Kevin. Menilai Kevin dari ujung rambut hingga kaki. Rambut pendek milik Kevin hari ini sedikit panjang melewati ujung daun telinganya. Kalau ketahuan Guru BP/BK dia pasti akan mengambil langkah seribu untuk kabur, baju seragam putihnya keluar sebagian, dasi abu-abunya terikat longgar, sepatu yang dikenakan juga berwarna putih bukan hitam seperti peraturan sekolah. Incaran Guru BP/BK banget penampilan Kevin hari ini. Dan Ranis hanya bisa menarik dan mengembuskan napas dalam-dalam. "Ealah ... Bapak kira tadi di dalam yang namanya Kevin itu culun, pakai kacamata tebal, baju rapi, pakai sepatu pantofel hitam mengkilat. Ternyata kamu yang namanya Kevin?" Kevin nyengir kuda menanggapi omongan Bapak, lalu dia menjulurkan tangannya. "Ya Om, saya Kevin." "Selamat ya. Orang tua kamu pasti bangga. Saya Bapaknya Rengganis," ucap bapak sambil menepuk bahu Kevin. Mata dan kedua bibir Ranis otomatis terbuka melihat Bapak bersikap seperti ini pada cowok yang tiba-tiba datang mendekati anak perempuannya. Biasanya beliau akan menampilkan air muka menyeramkan. "Iya Om terima kasih. Emhh gini, Om," suara Kevin sedikit ragu saat ingin menyampaikan maksudnya. "Saya pengen ajak Ma-, emmh Rengganis jalan, Om. Cuma nonton aja kok. Nanti saya yang anter Rengganis pulang," ucap Kevin pasti. Bapak hanya berdeham pelan sekali lalu membuka mulut untuk berbicara. Jantung Ranis berdetak begitu cepat menanti jawaban dari Bapak. "Kira-kira pulangnya jam berapa?" "Sebelum maghrib saya antar Rengganis pulang, Om." "Ya sudah. Nduk ini raportnya Bapak bawa aja kalau kamu masih mau pergi. Soalnya Ibumu sudah tidak sabar pengen lihat." "I, iya pak. Jadi boleh Ranis pergi sama Kevin?" "Boleh. Asal jangan pulang malem. Kamu naek motor pasti kan? Ada helmnya? Jangan ngebut-ngebut ya Kevin!" "Ada kok Om helmnya. Iya saya santai kok kalau naek motor. Apalagi sama cewek," imbuh Kevin seraya menyeringai. Setelah memastikan tubuh Bapak Ranis menghilang di balik tembok pembatas antara kelas dan ruang guru, Kevin baru mengajak Ranis pergi. "Yuk Ra, jalan sekarang!" Kevin mengamit tangan Ranis. Otomatis napas Ranis sesak seketika itu juga. Baru kali ini ada laki-laki lain yang menggenggam tangannya selain Bapak dan Kakak laki-lakinya. Jantung Ranis pun ikut berdetak tidak karuan. "Ciye, ciye ... Udah berani pegang-pegang niye?" ledek Jonas begitu Kevin sudah sampai di tempat teman-temannya kumpul masih tetap menggandeng tangan Ranis. "Diem lo, Nas. Gue pinjem helm dong." "Lah terus gue gimana?" "Lo kan bisa lewat jalan tikus." "Bisaan banget lo ye. Ambil aja di ruang OSIS. Tadi gue taro situ." "Oke. Thanks ya. Gue cabut dulu." Semenjak hari itu genggaman Kevin tidak pernah lepas dari tangan Ranis. Kevin selalu ada di samping Ranis, begitu juga sebaliknya. (-) Ranis terjaga dari tidurnya dengan penuh peluh di dahi dan lehernya. Sepertinya dia mimpi buruk lagi. Mimpi yang nyaris sama seperti pernah mengalami kejadian persis di dalam mimpi itu. Ranis melihat jam yang berada di atas nakas, masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Karena haus Ranis beranjak dari kasurnya menuju dapur. Setelah mendapatkan cairan dingin yang bisa melegakan tenggorokannya, dia kembali ke kamarnya. Saat masuk ke kamar dilihatnya di atas headboard tempat tidur berukuran queen sebuah hiasan yang menggantung di dinding. Ranis mengambil hiasan berwarna ungu tua tersebut. Dia pernah mencari tahu nama hiasan dinding tersebut. Namanya dream catcher atau penangkap mimpi yaitu sebuah kepercayaan asal penduduk pribumi Amerika (Indian). Beragam legenda-legenda mengenai asal usul dream catcher. Menceritakan apa yang dapat dilakukan oleh si penangkap mimpi. Indian Lakota memercayai bahwa, mimpi yang baik ditangkap untuk menjadi bagian dari jaringan kehidupan, sementara mimpi buruk nantinya akan lolos begitu saja melalui lubang yang ada ditengah penangkap mimpi. Berbeda degan suku Chippewa, Navaji, dan Ojibwe yang menyatakan bahwa jarring itu digunakan untuk menangkap mimpi buruk dan mencegahnya masuk kedalam impian sang empunya, sementara mimpi baik anak lolos melalui lubang ditengahnya. Penangkap-penangkap mimpi ini semuanya terbuat dari simpai dan urat jarring pohon willow. Biasanya penangkap mimpi ini akan digantungkan diatas tempat tidur. Penangkap mimpi tidak permanen digunakan, ketika sudah tumbuh dewasa penangkap mimpi ini biasanya diganti dengan yang baru, mengikuti siklus kehidupan siempunya. Benda tersebut kerap kali dikaitkan dengan mimpi, namun sesungguhnya memiliki makna yang luas. Dream catcher ini tidak hanya berguna untuk menangkap mimpi baik atau buruk saja, namun lebih merupakan jimat yang dipercaya untuk memusatkan energi positif dan menghilangkan energi negatif. Begitulah penjelasan yang pernah Ranis baca dari sebuah situs di internet yang memberikan penjelasan tentang makna dream catcher, hiasan dinding yang telah lama teronggok di dinding kamarnya. Sampai sekarang entah Ranis lupa atau bahkan tidak pernah tahu siapa yang memberikan hiasan dinding tersebut dan apa tujuan orang itu memberikan hiasan dinding seperti itu kepada dirinya. Tapi yang jelas bukan dari Aditya. Karena jika barang dari laki-laki itu, Rey biasanya serba tahu. Lagi pula semua barang-barang milik Aditya sudah habis Ranis bakar tanpa tersisa satupun, sejak Aditya memutuskan pergi meninggalkan dirinya waktu itu. ----- Mau ngajak teman2 untuk ikutan PO Hey, Jodoh! nih. Capcuuzzz Find me on IG makvee79 ~~~~~ Tbc... Semoga masih ada yang mengikuti cerita ini ya. Enjoy... ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD