Don't Judge Book By Its Cover

1042 Words
"Dek!" Said memanggil. Dari tadi ia mencari adiknya itu, tahu-tahu sedang sibuk mengobrol dengan teman-teman yang lain. "Bawa mobil?" Salwa mengangguk. "Mau pulang sekarang? Tapi anak-anak baru mau jalan tuh." "Pulang aja. Disuruh Papa pulang," tukasnya. "Ya udah. Salwa pamit dulu sama yang lain." Said mengiyakan. Sementara cowok itu hendak mencari Ahmad tapi malah dihampiri Zahra. Tentu gadis itu tak sendiri. Ada gadis lain yang merupakan sahabatnya Zahra. Ya si Yolanda yang memang sejak lama naksir Said. Tapi Said mana tertarik dengan perempuan sekarang? Hahaaha. Fokusnya hanya masa depan dan pekerjaan di dunia film yang sangat ia inginkan. Tentu setengah hati juga mengikuti jejak Ayahnya. Tapi ya tak punya pilihan juga untuk saat ini. "Belum mau balik kan, Id? Nge-mall bareng yuk. Sama Mas Ahmad juga. Biar sekalian." "Oh lain kali aja, Zah. Aku harus pulang juga sama--" Seseorang menepuk bahunya. Itu Ahmad. Hal yang membuat Zahra memperbaiki sikap dan tatapannya agar menjadi lebih lembut. "Ayok. Katanya mau balik." "Nah, kita mau balik. Kalian jalan aja sama yang lain," ucapnya. Ahmad juga hanya mengangguk kemudian mengajak Said untuk segera pergi. "Yaaah, Zaaah!" Yolanda jelas kecewa. Ia gugup setengah mati sampai tak bisa bicara saking saltingnya. Zahra menghela nafas. Mau bagaimana lagi? Ia juga tak bisa melarangnya. Ia tak punya hak untuk melakukan itu. Dan ini membuatnya ingin segera memaksa Abahnya untuk menggedor Ahmad terkait ya perjodohan. Abahnya terus membiarkan Ahmad mengulur waktu sih. Ia jadi kecewa kan? Bagaimana kalau Ahmad memilih gadis lain? Gadis yang saat ini ia tatap dan berjalan ke arah Ahmad dan Said. Jadi mereka pulang bersama begitu? Meski ia tahu kalau Said itu kakaknya Zahra, ia tetap saja cemburu setengah mati. Berusaha untuk tak berpikir macam-macam juga percuma. Rasanya sakit dan ini baginya tak bisa diterima. "Fatimah mana sih?" Yolanda baru sadar kalau sahabatnya yang satu lahi tak terlihat. Jelas saja tak terlihat. Wong ia sedang menjauh dari keramaian. Tentu saja diam-diam menarik seorang lelaki agar bisa bicara berdua. "Imah gak bisa ikut malam ini, Mas. Nanti Zahra sama Yola curiga kalo Imah pamitan. Apalagi kan Imah gak punya keluarga di sini. Teman apalagi. Nanti mereka bertanya-tanya Imah ke mana dan jalan sama siapa." "Bilang aja teman lama atau alasan apalah. Kan bisa, Mah. Semalam aja. Kita udah lama gak bareng." "Mas sih. Giliran sama-sama di Jogja, susah banget ketemu akunya!" Ia jadi ngambek. Hidungnya disentil dan ditarik agak masuk ke dalam semak-semak yang sebenarnya pepohonan di sekitar gedung siaran itu. Mereka memang masih di sana karena asyik berfoto ria. "Ya kan kalau di sana, aku sibuk. Kamu juga kan sibuk." Ia berdecak. Masih pura-pura ngambek tapi senang lah karena dihibur begini. Akhirnya malah tertawa. "Oke? Ketemu nanti malam. Aku jemput gak jauh dari sana. Aku tunggu oke?" Pipinya dielus dan cowok itu buru-buru pergi lebih dulu. Takut ketahuan sama anak-anak kampus. Fatimah tampak girang karena diperlakukan manis seperti itu. Ya namanya juga cowok. Ia pergi dengan girang walau kemudian memperbaiki ekspresi wajahnya menjadi lebih normal. Ya biar tak ketahuan dua sahabatnya yang sedari tadi mencarinya. Ia muncul lagi dan kini berjalan bersama mereka menuju pintu keluar. Sementara itu, dari kejauhan sana memang ada seseorang yang menatap apa yang terjadi barusan. Tampak syok parah. Bahkan ia masih ternganga. Yang ia tahu, Zahra dan komplotannya itu kan alim-alim. Lihat saja pakaiannya yang selalu tertutup. Tapi barusan apa coba? Pegangan tangan dengan lelaki. Tertawa ketika memgelusnya. Masa iya sudah menikah? Ia tak yakin. Namun yang lebih parah itu si laki-laki menurutnya. Ia menatap ke arah si lelaki yang kini sudah bersama teman-temannya. Lelaki yang juga pernah ia lihat bersama dengan seorang perempuan sejenis Fatimah. Maksudnya, yang juga bergamis dan berhijab lebar. Mungkin kalau perempuan itu seperti Salwa tak akan menjadi masalah. Karena ia bisa menganggapnya biasa. Walau ya bagi orang lain itu jelas tak pantas. Karena mau bagaimana pun pakaiannya, hukumannya sama kok. Itu bisa digolongkan ke dalam perzinahan. Tapi ini? Hal yang menurutnya membuatnya sulit percaya dengan kenyataan ini adalah orang yang tampak alim namun kelakuannya seperti itu. Ketiga orang yang ia lihat ini sama. Semua tampak alim. Bukan hanya dari pakaian tapi juga kata-kata yang tampak mengejutkan. Namun lihat lah sekarang... Ia masih tak percaya rasanya dengan apa yang ia lihat barusan. Sungguh mengejutkan. Benar lah kata orang. Jangan menduga sesuatu karena belum tentu itu seperti dugaan yang dikira. @@@ Sementara itu, mobil yang dikemudikan Said melaju dengan santai siang ini. Mereka pulang ke rumah orangtua Said. Said kan memang belum pulang. Jadi ya pulang sekarang bersama Salwa yang duduk di belakang. Padahal tadi Ahmad mengira kalau Salwa akan pergi bersama anak-anak BEM seperti yang lain. Tapi saat ditanya ya jawabannya lebih memilih pulang. Capek katanya. Ada benarnya juga. "Fathur itu dulu ketua OSIS juga di SMA kalian, Sal?" tanyanya. Ya basa-basi dari pada diam-diam begini. Kan memang ingin mengenal Salwa lebih dalam. Soalnya, akan aneh kalau bertanya lanhsung pada Said. Tak yakin juga dengan pendapat Said soal dirinya. Ia takut ditolak Said jadi adik ipar sih. Hahahaha. "Iya, Mas. Eh iya, Salwa mau nanya deh, Mas. Kenapa sih, Mas Ahmad gak mencalonkan diri jadi ketua BEM? Anak-anak pada ngomongin tahu tadi, Mas." Menurutnya, potensi Ahmad jauh lebih besar untuk menjadi ketua BEM. Ya terlihat dari gaya bicaranya juga. Ya Fathur juga bagus. Ia tahu. Tapi Ahmad ini jauh lebih cocok saja untuk menjadi pemimpin menurutnya. Ia juga tak tahu kenapa. Ya hanya merasa kalau Ahmad jauh lebih keren dan cocok. Ahmad malah tertawa mendengar pertanyaan itu. Apalagi Said turut mengiyakan. "Dari dulu Ahmad memang begitu, Dek. Dari zaman kita sama-sama di pesantren dan gontor pun, Ahmad inu gak pernah mau dijadiin ketua. Padahal kalau mencalonkan diri, dia pasti terpilih." Said tentu saksi hidupnya sejak lama. Karena mereka terus bersama bahkan hingga sekarang. Ahmad menggaruk tengkuknya ketika hendak menjawab pertanyaan itu. Ia memang tak suka menjadi ketua tertinggi. Karena sudah pusing dengan pekerjaan sampingannya. Terlalu banyak hal yang harus dilakukan dan ia khawatir kalau nanti bagaimana jika tugasnya di BEM malah terabaikan? Karena menjadi intel memang ya yang paling ia prioritaskan saat ini "Eung....susah juga bagi Mas untuk jawabnya. Tapi itninya, kalau menjadi ketua itu pertanggungjawabannya kan sangat berat. Tanpa itu pun, hisab Mas udah berat. Apalagi kalau ditambah itu." "Halah....itu alasan klise kamu aja tuh, Mas!" Ahmad tertawa. Ya memang tampak seperti itu walau ada benarnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD