Tentang Said (Part 2)

1075 Words
Ia akhirnya kembali ke rumah kontrakan yang sudah ramai dijaga teman-temannya. Ia kembali ke rumah sakit tentunya dengan membawa baju gantunya dan juga milik Ahmad. Tak lupa laptop. Sepertinya ia tak akan bisa tidur semalaman ini untuk mencari tahu siapa yang mengeroyok Ahmad. Walau ya satu nama sudah terlintas sih. Begitu juga dengan Ahmad. Keduanya sama-sama bis mengira ini perbuatan siapa. "Ahmad aman. Kalian jagain aja. Jangan lupa pentungan dan segala macem!" Ia mengingatkan. Teman-temannya mengacungkan jempol. Said kembali ke rumah sakit dengan motornya. Ia menyuruh Ino pulang. Karena kalau tak begitu, ia tak bisa mengobrol dengan Ahmad dengan begitu terbuka. "Kamu di kontrakan aja. Biar yang lain ada temennya. Dan lagi, itu kontrakan kita. Nanti pak RT bertanya-tanya kalo salah satu dari kita gak di sana." Itu alasan yang cukup masuk akal sih. Jadi Ino ya mengalah. Ia pulang sekitar jam setengah satu pagi disaat Said menyodorkan laptop pada Ahmad. "Wah udah sakit masih disuruh kerja." Ia terkekeh. "Cuma kamu yang bisa bobol beginian." Maksudnya membobol akses CCTV publik. Dari lembaga hingga rumah pribadi pun bisa dibobol Ahmad. Ya secanggih itu lelaki ini. Said saja tak paham dengan apa yang di dalam otaknya itu. Hanya lima menit dan semua CCTV yang dibutuhkan sudah muncul. Maka tugas berikutnya menjadi tanggung jawab Said. Cowok itu memantengi semua CCTV yang mungkin merekam para pengeroyok itu lewat. "Dapat!" Ia sudah mencocokan kemungkinannya pada Ahmad. Ahmad tentu masih ingat jelas kejadian tadi karena baru berlalu beberapa jam yang lalu. "Menurutmu, siapa penyuruh mereka?" Ahmad menghela nafas. Ia jadi tak bisa tidur karena Said penasaran. Menurutnya itu mudah. Ia meminjam laptop itu hanya untuk menhubungkan sebuah aplikasi ke nomor Peter lalu menyambung ke data CCTV itu. Entah bagaimana caranya, Said saja pusing melihat jemarinya yang begitu cepat mengetik. Tahu-tahu melihat rekam jejak panggilan Peter yang terhubung pada salah satu dari para pengeroyoknya. Karena Ahmad memang suah menduga kalau dalangnya Peter. "Cara bodoh." Ya itu lah maksudnya. Cara Peter belum berubah sejak dulu. Hanya membayar orang untjk mengeroyoknya. Tapi ya ia akui baru kali ini hampir berhasil. Ya andai Salwa tak ada tadi entah apa jadinya. Ia bisa benar-benar mati. "Terus yang tadi nolong siapa?" Itu jelas menjadi pertanyaan besar kan? Ada yang kebetulan lewat kah? Ahmad terkekeh justru mendengar itu. "Adikmu." "Hah?" "Adikmu yang menolongku." Ia menatap tak percaya. Tapi dengan cara apa? Adiknya bahkan tak bisa bela diri dengan benar terkadang. Ya bisa sih. Tapi maksudnya tak terlalu jago. Ya seingatnya sih begitu. "Gimana caranya?" "Teriak minta tolong." Said tertawa. Aaaah. Ia mengangguk-angguk. Ia lupa kalau Salwa itu cerdik dan memang tak bisa ditebak sama sekali. Ahmad menceritakan detilnya. Said hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tertawa. Lucu tapi ya kagum juga. Adiknya memang begitu sih sejak dulu. Ia tahu sekali. Akhirnya malah mengalir banyak cerita tentang Salwa yang lain. Ya dari masa kecil ketika Said sering di-bully waktu SD dan SMP. Biasanya Salwa yang pasang badan. Said kan memang tak begitu suka bersosialisasi dengan banyak orang. Walau ya kalau urusannya dunia seni, ia akan berbeda. Ia akan berubah. Ia menjiwai seni dengan sepenuh hatinya. Pada akhirnya ya mereka tertidur hanya satu jam sebelum waktu subuh. Bangun pagi dan Ahmad kembali menjumpai Salwa yang mengantar sarapan untuknya ketika ia sedang menghubungi Aidan. Ia tak swmpat mengobrol lama dengan gadis itu. Disaat sedang bosan di siang hari, tahu-tahu Salwa muncul lagi. Sendiri? Tidak. Ada Raisa juga. Mereka membawa banyak makanan. Ia terkekeh. "Tuh bener kan, gak ada siapapun." Ia terkekeh. "Gak ada kuliah lagi?" "Aman kok, mas." "Yakin aman? Bukannya ada kumpul BEM?" "Bosnya aja di sini," ujar Salwa enteng. Ahmad tertawa. Tentu saja itu hanya bercanda kan? "Nanti dimarahin atasanmu. Eh iya, sama Zahra dan juga--" "Kak Renita kan, maksud mas? Uuurgh. Dia sama temen-temennya itu nyebelin banget deh." Ahmad terkekeh. Menurutnya masih lebih menyebalkan Zahra sih. Hahahaha. Mungkin kabarnya dikeroyok sudah menyebar ke seantero kampus. Sejak pagi, gadis itu terus berusaha menghubunginya. Padahal ia berusaha menghoematinya selama ini. Tapi gadis ini mengejarnya dengan agak blak-blakan. Gambaran perempuan muslimah luntur begitu saja di matanya karena hal-hal semacam itu yang terjadi tak hanya sekali. Mungkin yang lain memang tak tahu. Tapi ia tentu tahu. "Gengnya kak Zahra juga nyebelin." Ia keceplosan banyak hal. Ahmad tertawa melihatnya menutup mulut. Akhirnya Salwa menyebut nama itu kan? Hahahaha. "Nanyain kak Said mulu sama aku sih." "Fatimah ya?" Ia mengangguk. Salwa hanya sebal saja karena pendekatan padanya dilakukan hanya untuk meraih hati Said. Walau ia tahu kalau Said tak akan menyukainya juga sih. Ia berani bertaruh untuk itu. Sementara Raisa? Baru tahu kalau ada yang mengejar Said juga. Tapi Salwa belum bercerita sama sekali. "Lo gak pernah bilang--" "Ya elah. Gak bakal suka juga abang gue sama cewek kecentilan begitu." Raisa menghela nafas. Tapi masalahnya bukan itu sih. Ia tak bisa menebak isi hati Said. Itu adalah masalahnya. Keduanya sudah berjalan menuju parkiran. Tentu tak bisa lama-lama di rumah sakit tadi. Padahal tadi Raisa berniat ikut untuk melihat interaksi Salwa san Ahmad. Ya hajya menduga-duga kemungkinan Ahmad menyukai Salwa. Tapi sialnya, ia malah fokus pada dirinya sendiri dan Said. Ah lelaki itu kenapa tak terbaca sama sekali? @@@ "Masih gak ada kabar?" "Pesanku atau telepon gak diangkat apakagi dibalas. Kalian gimana?" "Ya sama. Mungkin mas Ahmad pengen istirahat kali. Biarin lah. Toh entar malem pada mau ke sana kan buat jenguk?" Ya sih. Ia tahu. Tapi tetap saja menganggu. Sialnya, perkuliahannya cukup padat hari ini. Kemudian bergegas pula menuju gedung BEM untuk rapat persiapan persemoan di Jakarta. Bukan kah mereka akan segera berangkat jumat nanti? Apakah Ahmad akan ikut? Zahra tak yakin. Ia mengemudikan mobilnya menuju gedung BEM. Memarkirkan di sana. Saat sudah turun dari mobil, ia melihat keberadaan Salwa yang juga baru meninggalkan motornya di parkiran. Gadis itu memang menyita perhatiannya. Teman-temannya lengah karena gadis itu adalah adiknya Said. Sementara ia? Ya tak ada kecurigaan sih. Percaya juga karena dia adalah adiknya Said. Hanya saja ada ketakutan. Melihat videonya dalam sekejab viral bahkan banyak lelaki yang membicarakannya. Ya oke sih. Seharusnya Salwa bukan apa-apa jika dibandingkan dengannya bukan? Karena menurutnya, Salwa itu jauh darinya. Bukan perempuan bergamis dan anggun. Kecerdasan? Ia tak bisa meyakinkan diri akan lebih menang hanya karena kuliah kedokteran. Sebab gadis itu pun masuk kelas internasional hurusan arsitektur. Menurutnya, itu juga bukan hal yang bisa ia remehkan. Lalu? Pandai menyanyi sementara ia justru pandai mengaji dan menghapal Quran. Bukan kah ia sudah menang? Karena dari segi manapun, ia nomor satu kan? Lalu apalagi yang membuatnya khawatir kalau sudah merasa menang? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD