"Mana sih si Zahra? Katanya mau berangkat sekarang!"
"Toilet katanya toilet."
Fatimah datang membawa kabar. Dua gadis menunggui satu gadis yang sesungguhnya sedang memperbaiki hijabnya. Ya setipis mungkin menaruh bedak biar tak lecek-lecek amat. Kemudian ia keluar dari sana dan buru-buru menghampiri teman-temannya.
"Lama amaaat!"
"Iya ayoook. Tapi jangan bareng sama yang lain deh."
"Kita lihat dulu."
Mereka buru-buru ke parkiran. Zahra mengendarai mobilnya sementara kedua temannya mengendarai motor. Mereka mengemudi beriringan. Rumah sakit di mana Ahmad dirawat tentu saja tak begitu jauh dari fakultas. Mereka tiba kurang dari lima menit. Masing-masing ya memarkirkan kendaraan. Lalu berkumpul di mobil Zahra.
"Aku berharap gak ada cewek itu."
"Adiknya Said?"
Zahra mengangguk.
"Kayaknya gak ada apa-apa sih di antara mereka. Temenan juga karena dia adiknya Said."
"Kata siapa?"
"Ino. Aku nanya tadi."
"Serius?"
Fatimah mengangguk. "Jadi, jangan khawatir. Lagi pula, kalo pun saingan nih, Zah. Cewek itu bukan apa-apa. Lihat aja deh pakaiannya. Mas Ahmad kan lulusan pesantren sama gontor. Mana mungkin naksir cewek kayak dia. Mana nyanyi pula. Hijab-hijab gaul kayak begitu ya lewat aja."
Yolanda turut mengangguk. Ia setuju dengan kata-kata Fatimah. Cewek kayak Salwa itu tak akan dilirik sama Ahmad. Ya dari pakaiannya saja sudah jauh. Bagi mereka sih begitu. Tapi hati manusia? Mana pakai logika sih? Hati ya hati. Begitu juga dengan perasaan kan?
"Iya. Nyanyi bagus, ngaji belum tentu bener kali."
Keduanya mengangguk bersamaan. Zahra hanya menghela nafas. Mereka langsung menuju ruangan di mana Ahmad dirawat. Karena sudah disebar di grup jadi tak perlu bertanya lagi. Langsung bergegas masuk ke dalam. Ketika hampjr tiba, dua gadis itu mengintip dulu untuk memastikan apakah ada orang lain yang menjenguk atau tidak. Namun memang ya tak terlihat. Tak terdengar apa-apa pula.
"Sepi kali ya?"
Fatimah melambaikan tangan ke arah Zahra. Memanggil gadis itu untuk mendekat. Lalu mengucap salam dan mengetuk pintukamar rawat itu. Terdengar suara yang menyuruh masuk. Ya Ahmad masih dirawat kok. Cowok itu masih harus menunggu hasil pemeriksaan. Dokter tentu khawatir meski ia tak merasakan apapun. Makanya ia diminta dirawat lagi semalam dan akan pulang besok kalau hasilnya bagus. Ah ia tak berharap aka parah kok. Siapa yang mau parah sih?
"Mas Ahmaaaad!"
Fatimah menyapa dengan ceria. Ia mengira kalau hanya ada Ahmad di sana. Eeh ternyata ada sang ketua BEM. Ya si Fathur. Hahaha. Ya setidaknya tak banyak orang sih. Fathur juga tak lama. Cowok itu segera pulang sekitar sepuluh menit kemudian. Selain menjenguk, ia tentu ingin bertanya terkait rencana mereka ke Senayan dalam waktu dekat. Waktunya sudah tak lama. Ahmad tetap akan berangkat kok. Walau ia butuh waktu untu memulihkan diri dan sekaligus mempelajari apa yang hendak ia bicarakan nanti. Bagaimana pun, ia sudah berkomitmen untuk menerima tawaran itu. Jadi ia harus tetap bertanggung jawab. Ya selagi kondisinya memungkinkan tentunya.
"Jadi mas akan tetap berangkat?"
Ia mengiyakan. Tentu saja. Ketiga gadis itu mengangguk-angguk. Belum lama kok di sini. Baru sekitar lima belas menit. Ketika Zahra hendak bicara, pintu diketuk. Gadis yang tak diinginkan itu muncul dengan salam ceria. Kaget dengan kemunculan tiga gadis lain yang tak terduga. Ia langsung membungkuk sebentar. Ahmad tersenyum kecil melihat tingkahnya.
"Oh kirain mas sama ababg. Abang mana, mas?"
"Said belum kelihatan. Mungkin masih di kampus."
"Ya udah ini Salwa taruh aja ya? Buat abang sekalian."
"Apa tuh?"
"Pesanannya abang," tukasnya. Ia menoleh ke arah tigas gadis lain yang mendadak diam. Tak sengaja bersitatap dengan Zahra meski hanya sebentar. Ia selalu penasaran kenapa tatatpan gadis itu tak pernah ramah dengannya?
"Mas, Salwa pulang ya?"
Ahmad mengangguk. "Makasih ya?"
Salwa mengangguk. Gadis itu berpamitan dengan yang lain. Ia terburu-buru berjalan usai menutup pintu. Tadi ia sempat melihat Fathur. Ia ingin menyusulnya. Ya setidaknya mengobrol sih. Ia mencari-cari keberadaannya tapi baru terlihat ketika ia hampir sampai di parkiran.
"Kaak!"
Ia memanggilnya. Fathur menoleh. Senyumannya mengembang karena baru melihat keberadaannya juga di sana. Kalau tahu kan ia pasti sudah berhenti sejak tadi deh.
"Abis jenguk mas Ahmad ya?"
Fathur mengangguk. "Kamu juga?"
"Tadi cuma nganterin makanan sih, kak. Pesanannya bang Said."
"Aaah. Said di sana juga?"
"Belum. Kayaknya di kampus deh."
Fathur mengangguk-angguk. "Bisa di sini?"
"Hah?"
Cowok itu tertawa. Ia mendadak mengalihkan topik pembicaraan sih.
"Maksudnya kok bisa di UGM. Arsitektur juga bagus kan di UI? Atau di ITB. Ada kelas internasionalnya juga."
"Eung....cari suasana baru aja sih. Lagi pula kalo di UI kan terlalu dekat. Kalo di Bandung, gak ada sodara jadi gak bakal dikasih izin juga di sana. Kalo di sini kan ada abang."
"Jadi intinya karena Said ya?"
Ia tertawa. Padahal tak begitu juga sih. Sebenarnya memang karena ia tahu Fathur di sini juga. Ia juga ingin merantau. Dunianya sempit makanya bisa bertemu lagi di sini.
"Lantas setelah di sini dua tahun, akan ke mana?"
"Mungkin Jerman atau Belanda."
Ia sedang memikirkan pilihan itu. Tak ada negara lain yang ia pikirkan sih. Untuk sementara ya pilihannya itu. Tapi mungkin negara-negara Eropa Utara bisa ia pikirkan. Banyak yang bagus juga kan?
"Kakak gimana? Abis BEM kan selesai tuh."
"Masih setahun."
Ia terkekeh. Ya maksudnya begitu. Intinya, ini memang menjadi dua tahun terakhir si sini. Sama seperti Salwa.
"Ya penelitian. Terus magang sembari mencari pekerjaan."
Salwa mengangguk-anggum. Rencana lulus memang tak akan jauh-jauh dari itu. Mereka masih mengobrol sedikit. Ya sekitar lima belas menit di parkiran? Hahaha. Tak sadar. Andai bukan karena suara panggilan azan yang tersengar sih ya tak sadar kalau ini sudah masuk waktu isya. Meski belum yang malam-malam amat.
Salwa memakai helmnya. Fathur tampak menunggu. Menunggunya untuk pergi lebih dulu karena motornya tak diparkir di sebelah sini. Ia membantu Salwa mengeluarkan motornya sembari tertawa-tawa. Entah apa yang mereka tertawakan. Hanya merasa lucu saja.
Adegan tawa sembari menarik motor keluar itu tentu saja dilihat oleh ketiga gadis lain yang sudah pulang diusir perawat. Tak boleh terlalu lama menjenguk. Tak boleh terlalu banyak orang juga karena bisa mengganggu pasien lainnya.
"Lihat tuh. Sama Fathur lagi."
Mata mereka tentu saja tertuju pada Salwa. Gadis itu mengucapkan terima kasih. Kemusian menarik gas motornya. Ia siap berangkat menuju rumah kontrakannya. Fathur menatap dari belakang dengan senyuman. Tentu saja Salwa masih bisa melihatnya dari kaca spion.
"Kenal juga sama Fathur. Kayaknya dia kenal semua orang deh."
"Dan tipe-tipe cewek kayak gitu biasanya tukang caper sih. Semua cowok dideketin sama dia. Kita lihat aja ke depannya, Zah. Kalo cuma sekedar temenan sama mas Ahmad karena dia adiknya bang Said sih gak masalah. Kalo kepengennya lebih sih baru."
Fatimah mengangguk-angguk. Zahra? Entah lah. Perasaannya tak pernah nyaman sih tiap melihat Salwa. Ia hanya merasa terdiskriminasi oleh sikap Ahmad? Ahmad cenderung dingin padanya. Namun ia bisa melihat tadi bagaimana senyuman Ahmad mengembang ketika melihat Salwa muncul. Itu berbeda dengan ketika ia tiba tadi. Ahmad tak seramah itu sekalipun ia bersama teman-temannya. Bagaimana mungkin kehadiran tiga orang dikalahkan oleh satu orang?
@@@