Gara-gara asyik mengobrol dengan Said semalaman soal Salwa, ia jadi lupa harus memberitahu Aidan soal kejadian semalam. Ya memang sih Nayla sudah tak ada hubungan apapun dengan Aidan. Tapi ia merasa kalau Aidan bisa membantu Nayla nantinya. Jadi ia menghubungi Aidan. Baru diangkat oleh Aidan ketika Ahmad sudah di kampus.
"Oh sorry, mas. Nanti aja gimana? Soalnya aku mau masuk kelas juga."
Ahmad mengiyakan. Ia juga akan kuliah. Usai solat jumat, akhirnya ya bertemu Aidan di masjid kampus. Ia mengajaknya untuk mengobrol di area yang lebih sepi. Ya biar aman juga. Tak perlu ada yang mendengarnya. Ya namanya juga aib kan harus dijaga ya? Bukan untuk diumbar.
"Ada sesuatu yang terjadi sama Nay semalam."
Aidan agak terkesiap. Ya kalau apapun yang berhubungan dengan Nayla. Bukan karena masih ada rasa cinta. Tapi masih ada rasa sayang. Ya bukan lagi sayang sebagai orang spesial sih. Tapi mungkin teman ya? Karena bagaimana pun, mereka pernah bersama dalam waktu yang lama.
"Apa yang terjadi?"
"Ya sama Peter lah."
Ia enggan menyebutkan detilnya. Tapi mungkin Aidan bisa mengira-ngira apa yang terjadi.
"Aku tahu sih kalo kalian memang udah gak ada hubungan apapun. Tapi aku rasa, Nay butuh bantuanmu."
"Parah, mas?"
Ahmad tak berani mengatakan apapun. Ia hanya menghela nafas. Namun Aidan bisa menangkap itu. Sepertinya memang cukup parah.
"Sebetulnya, aku sih pengennya Nay ngelaporin apa yang dilakukan sama Peter ke polisi. Tapi dia mungkin gak mau. Aku paham sih, gak gampang."
Aidan terdiam. Sepertinya ini memang masalahnya sangat besar. Karena Ahmad sampai membawa polisi. Tangannya terkepal mendengar itu. Ahmad tampak serius dengan kata-katanya. Makanya ia ingin Aidan menolong.
"Seenggaknya kamu bisa jaga dia dari Peter. Aku gak yakin dia berani jauh dari Peter. Mungkin Peter ngancem dia jadi dia gak berani putus."
Ia merasa mungkin Aidan bisa menolong Nayla. Ya kalau Nayla tak bisa meminta bantuan yang lain. Ia yakin Aidan pasti bisa melakukan apapun untuk Nayla. Ya untuk membantu tentunya.
"Itu aja. Biar gak ke ulang lagi sih."
Aidan mengangguk-angguk. "Makasih, mas."
"Aku yang makasih. Yang oenting kamu bisa bantuin Nay."
Aidan mengangguk. Keduanha berpisah. Aidan harus kembali ke fakultasnya untuk melanjutkan kuliah. Kalau Ahmad sih ke BEM. Ia ada urusan yang harus dituntaskan sebelum siap pulang ke Semarang. Tentunya dengan naik motor. Mungkin nanti mau menawarkan teman-teman kosan kalau sekiranya ada yang mau menemaninya. Ya biasanya sih mau karena bisa makan gratis di rumajnya. Hahaha.
Ia ke ruang BEM. Beberapa anak baru sih terlihat berkumpul dengan divisi baru. Ahmad sempat mencari tuh divisi di mana Salwa bergabung. Tapi sang ketuanya saja tak terkihat. Siapa ketuanya? Si Jamal. Berarti mungkin belum kumpul sekarang atau sudah berkumpul. Ia tak tahu.
Yang jelas, ia berkumpul dengan tim barunya. Saling berkenalan. Saling bercanda. Ada kekuarga baru lagi. Ia senang sekali bisa bertemu mereka. Ya hanya mengobrol usai berbagi soal program kerja. Kemudian ia pamit lebih dulu karena memang hendak bersiap. Di parkiran malah bertemu dengan Ino. Teman satu kontrakan yang paling jarang pulang. Hahaha.
"Aku mau balik ke rumah nanti malam, mau ikut, No?"
"Yah jangan nanti malam lah. Ada rapat lagi aku. Gak abis subuh aja?"
Ia menawarkan. "Ya nanti lah. Aku tanya dulu sama yang lain. Kalo pada bisa malem ini, kamu nyusul juga ndak apa-apa, No."
Ia mengacungkan jempolnya. Ahmad mengendarai motornya. Ia meninggalkan BEM menuju kontrakan. Baru berbelok sedikit eeh bertemu dengan Salwa yang membunyikan klakson motornya. Ia tersenyum kecil sembari membalas klakson motornya. Ia melihat Salwa berbelok memasuki gedung itu. Lalu? Ya hanya tersenyum seperti orang gila. Hahaha. Hanya berpapasan seperti itu, ia girangnya setengah mati. Hahaha.
@@@
"Kerja bagus!"
Ia tentu saja dipuji oleh ketua redaksinya. Ya hasil mewawancarai Ahmad yang ternyata memberikan banyak pesan bermanfaat untuk para pembaca. Veronika juga berhasil merangkum kisahnya dengan sangat bagus bahkan hanya dalam beberapa jam. Ya kan biar bisa terbit malam minggu ini diakun media sosial mereka. Sudah mepet pula.
"Kamu bisa kirim ini ke Ahmad. Konfirmasi saja kalau sekiranya ada yang mau diganti atau apapun. Kasih waktu juga sampai besok. Kalau sudah oke, segera kabarkan di grup."
Ia mengangguk. Kemudian lelaki itu menoleh ke yang lain. Ya diharapkan agar kinerja mereka bisa menyamakan Veronika. Karena kan biar bisa naik juga diakun sosial media mereka di malam minggu ini.
Veronika kembali menghubungi Ahmad melalui pesan. Ya berharap cowok itu segera merespon agar pekerjaannya segera selesai. Walau ia deg-degan juga saat menghubunginya. Apakah langsung dibalas Ahmad. Tentu saja tidak.
Ketika ia sedang memesan makanan di warteg untuk dibungkus, ada pesan masuk. Ya dari Ahmad. Ia tersenyum senang padahal hanya balasan singkat.
Dari saya sudah oke.
Hanya itu. Ia mengucapkan terima kasih. Mau mengajak mengobrol tapi rasanya sungkan sih. Akhirnya ya hanya itu. Hingga ia tiba di kosan pun, tak ada balasan lagi dari Ahmad. Suasana kosan cukup ramai ketika ia tiba. Seperti biasa, yang suka mengumpulkan banyak orang di sini kan si Renita. Gadis itu benar-benar menguasai kosan mereka. Kali ini?
Beta langsung melipir ke kamarnya begitu ia masuk. Ia menoleh ke arah Beta yang mengintip keramaian dari balik jendela. Ya tentu saja dongkol sih. Ia tak suka kalau ada yang membawa orang banyak ke kosan. Apalagi ya ini kan kosan perempuan. Meski ini malam sabtu, mereka juga butuh privasi.
"Kenapa?"
"Bete aja. Mana tugas aku kan banyak ya. Apa gak bisa tuh sehari aja tenang."
Ia mengeluh. Veronika malah terkekeh. Ia juga terganggu sih. Karena apa? Mau ke dapur jadinya sungkan. Padahal mereka yang ngekos di sini. Mereka yang bayar di sini. Tapi canggung di kosan sendiri. Sungguh tak nyaman.
"Berani lawan gak?"
"Yaaa....kalo sendiri agak gimana gitu?"
Veronika terkekeh. Ia juga merasa begitu. Mana yang lain belum bersuara. Mungkin juga bete tapi tak berani mengatakannya. Padahal mereka juga punya hak.
"Yang di atas juga tuh. Gak tahu aku siapa. Yang jelas, suka banget bawa cowok ke kamar."
Vero mengangguk-angguk. Ia juga tahu tuh pelakunya. Meski tak kenal orangnya. Namun hapak wajah. Ya memang sih itu urusan mereka. Hanya kan ia kasihan tuh sama teman-teman seabgkatan yang juga anak baru dan pakai kerudung. Kadang kan mikirnya karena di kosan yang pengennya bebas gak pakai kerudung lah. Tapi suka ad a cowok yang tiba-tiba naik ke lantai dua. Ya bisa bubar lah tuh yang gak lagi pakek kerudung. Ada yang panik berlari ke kamar masing-masing.
"Party mulu deh kalau malam libur."
"Tauk. Gak capek apa ya?"
Beta mengangguk-angguk. Ia setuju. "Eh tahu gak yang dilabrak tempo hari gara-gara urusan Mas Ahmad siapa?"
"Si Anita kan?"
"Ada satu lagi yang tadinya di lantai satu terus pindah ke lantai 2."
"Siapa?"
Ia baru tahu kalau ada kasus lagi.
"Si Demisya. Anak teknik. Sampai nangis tuh karena hapenya dibanting segala sama si Re sialan."
Vero terkekeh-kekeh. Dedemit sih mereka biasanya memanggilnya. Cewek itu memang orang yang paling tidak disukai oleh anak-anak baru sepertinya yang ada di kosan ini. Sayangnya, jumlah mereka tak begitu banyak.
"Bayangin, Ver. Masa cuma gara-gara nyimpen videonya mas Ahmad waktu jadi orator demo. Apa salahnya coba? Namanya juga orang suka."
"Tuh kan. Gak salah kan kalo suka?"
"Ya kalo kau beda lagi ceritanya."
"Yaaah kok dibedain sih, Beet?"
"Beda lah. Inget. Kalo mau suka tuh sekalian yang seiman."
"Ya elah. Kagum doang masa gak boleh sih?"
Beta tampak berpikir. Ya memang tak ada salahnya juga sih. Hahaha. Veronika mencebikan bibirnya sembari masuk ke dalam kamar mandi. Ia beneran hanya kagum kok. Gak suka. Ada rencana untuk mendekati tapi bukan untuk mengajak pacaran. Karena dari rumor yang menyebar, ia tahu kalau Ahmad itu tipe-tipe cowok lurus yang menghargai perempuan. Jadi tidak pacaran. Wong salaman pada perempuan saja tidak. Ia tahu sih. Makanya ya sudah lah.
@@@
"Apa?"
Ia memelototi salah satu anak kosannya yang ketahuan mengintip ke arahnya yang baru saja keluar dari kosan. Sudah ada satu mobil yang menunggu. Siapa yang mengintip?
Beta. Gadis itu kan hanya tak sengaja. Dan lagi, ini bukan kali pertamanya mendapati gadis yang baru saja tinggal di kosan mereka satu mingguan ini keluar dijam segini. Jam berapa? Sebelas malam dan tampaknya dijemput oleh seorang lelaki.
Renita dan yang lain juga melihat kehadirannya sih. Tadi kan lewat begitu saja tanpa perduli dengan Renita dan yang lain. Padahal usai magrib tadi, gadis itu sempat marah-marah pada Renita karena ia berisik bersama teman-temannya. Ia juga tak akur kok dengan gadis itu. Tapi kenapa sih cewek itu harus pindah ke sini? Ia baru tahu tadi karena baru melihatnya. Teman-temannya juga kaget. Jelas saja ini bukan kabar bagus. Yang ada nih, mereka malah bisa bertengkar tanpa henti.
"Pasti om-om deh."
Renita dan yang lain tentu saja tahu. Renita berdecih. "Manusia memang gak gampang berubah."
"Kamu jangan ladenin dehz Re. Dari pada entar ribut mulu."
"Gak bisa dong." Ia tak terima. "Suruh siapa dia malah tinggal di sini? Lihat aja, aku akan bikin dia keluar dari sini secepatnya."
Padahal setahunya, gadis itu tingal di apartemen. Lalu kok pindah ke sini? Ya kosan di sini juga tak kalah bagus sih dengan di apartemen. Tapi ia menduga kalau cewek itu punya klien baru lagi makanya mungkin tak tinggal di sana. Mungkin yang ini mau membayarnya tinggal di kos-kosan seperti ini.
@@@
"Sabar lah, Ra. Abahmu baru akan sampai. Jangan memberondongnya dengan itu."
"Justru mumpung abah di sini, um. Zahra perlu ngomong secepat mungkin."
Ia tak sabar. Setiap hari ia hanya gelisah memikirkan Ahmad. Takut sekali diambil orang. Apakagi kan Ahamd tak terlalu meresponnya. Tadi di BEM, tak menanggapi juga. Cowok itu sibuk dengan yang lain. Padahal ada banyak orang di sana yang pasti melihar bagaimana perlakuan Ahmad padanya yanh tak seperti rumor.
"Abaaah!"
Ia sudah berteriak ketika abahnya muncul. Mobil itu bahkan baru terparkir di deoan rumah. Umminya geleng-geleng kepala. Maklum anak bungsu. Selama ini kan selalu dituruti. Ya selagi permintaan jtu cukup baik, mereka tak masalah sebenarnya. Namun untuk urusan percintaan rasanya terlalu dini. Menurutnya, anaknya lebih baik fokus dulu dengan pendidikan. Tapi Zahra tak mau. Gadis itu berubah pikiran dengan cepat. Ia ingin menikah begitu selesai kuliah. Biar tenang katanya. Biar tak ad ayang mengambil Ahmad juga. Pusing kepala umminya.
"Abah bahkan baru saja tiba dan kamu sudah berbicara banyak hal."
Ia tentu saja langsung merengek. Ia sudah hapal abahnya. Tahu caranya agak bisa dikabulkan. Ia pikir, ini akan sama. Namun abahnya kali ini berbeda. Ini urusan pernikahan jadi tak gampang.
"Abah tak bisa memaksa seseorang untuk melamar anak abah. Semua perlu pemikiran panjang, Zahra."
Ia mengerucutkan bibirnya. Tentu saja tak menerima gagasan itu.
"Abah kan sudah tahu bagaimana mas Ahmad. Dulu abah juga pernah bikang kalau suka sama sosok mas Ahmad karena bisa jadi pemimpin."
"Iya, nduk. Memang benar. Tapi ini urusan pernikahan jelas berbeda aturannya dengan ketika abah dulu menitahkan para santri abah untuk memberikan ceramah. Berbeda etika dan caranya. Kalau yang itu kan abah memang bisa memaksa. Tapi kalau perkara ini? Abah tidak punya hak untuk memaksa orang lain melamar anak abah. Karena pernikahan itu harus terjadi atas persetujuan dari kedua belah pihak. Bukan hanya satu pihak."
Harusnya tak begini menurutnya. Harusnya abahnya menitahkan saja sama seperti mengutus santri untuk menjalankan tugas. Harusnya sama saja dengan ini. Abahnya hanya perlu mengutus Ahmad. Ia yakin kalau abahnya yang menitahkan, Ahmad pasti akan patuh karena abahnya adalah gurunya. Namun ternyata malah tak sejalan dengan pemikiran sederhananya.
@@@
"Kalo menurutku nih ya, baik mas Ahmad maupun kak Fathur itu sama-sama keren sih. Tinggal Salwa aja nih yang orientasinya mau ke mana."
Teman-teman satu kontrakannya ini tak berhenti membahas Ahmad dan Fathur. Ya kan gara-gara Ahmad mengantarnya semalam. Padahal ia sudah bercerita bagaimana ia bisa diantar pulang oleh Ahmad sampai ditraktir makan ya. Tapi tetap saja diledek. Menurutnya, itu hal lumrah yang pasti akan dilakukan oleh cowok-cowok lain yang berada di posisi Ahmad. Namun asumsinya tentu saja dibantah habis-habisan. Hahaha.
Bagi mereka itu agak ganjil. Lalu ia cerita lagi kalau Ahmad itu adalah teman kakaknya jadi wajar kan kalau seperti itu. Ya maksudnya dianggap adik lah. Tapi bagi teman-temannya? Tetap tidak masuk akal bagi mereka. Hahaha.
"Kan gak perlu nganter apalagi traktir."
Begitu kata mereka. Percuma ia membela diri pasti akan mental semua. Hahaha. Lalu berbicara tentang Fathur yang sejak SMA pun mereka tahu kalau Salwa suka sama lelaki itu. Ya kan mereka ini memang teman SMA-nya. Tapi belum satu pun sih yang mengobrol dengan Fathur. Maksudnya, bertemu tatap muka di depan mata seperti Salwa. Tak ada satu pun juga dari mereka yang masuk BEM. Masing-masing punya minat yang berbeda. Ada yang lebih ingin fokus ke prestasi juga. Apalagi dua di antara mereka kan anak kedokteran ya. Ada yang kedokteran umum dan ada yang kedokteran gigi.
Dari sekian malam, baru malam ini mereka bisa makan bersama. Akhirnya ya naik motor bersama menuju salah satu warung pecel ayam yang selalu ramai. Tadinya sih gak mau ke sana. Tapi begitu melihat ada meja yang kosong akhirnya ya mampir. Warung pecel ayamnya jauh lebih besar dari warung pecel ayam lain. Yang paling penting sih harganya masuk kantong dan rasanya enak. Ya kan namanya juga anak kontrakan.
"Besok ada latihan sih."
"Latihan lo? Nyanyi?"
Ia mengangguk. Urusan BEM sudah kelar tadi. Mereka mungkin akan memukai program kerja pertama. Namun ada rencana akan ke Jakarta sih. Karena katanya beberapa anak BEM diundang salah satu televisi untuk tampil di sana. Kalau memungkinkan ya, ia ingin ikut sih. Toh bisa sekalian mampir ke rumah kan? Tapi kalau tidak memungkinkan ya tak perlu lah.
"Gue baru deh ke sini kayaknya. Biasanya kan selalu ramai."
Itu sih komentar Raisa. Gadis itu menelisik sekitar yang mulai ramai dengan anak-anak UGM. Mungkin ada juga anak kampus lain tapi ia kan tak bisa membedakannya juga.
"Siapa yang punya ide ke sini?"
July menunjuk Salwa. Yang ditunjuk sedang mengacungkan tangan. Tentu saja memesan makanan. Lalu perhatian mereka teralihkan kecuali Salwa. Ia sibuk melihat ke arah pintu masuk. Siapa yang ia tunggu? Hahaha. Inget gak sih? Pertama kali mampir ke sini bersama Said, ia bertemu dengan Fathur. Beberapa kali ia lewat di depan sini, ia juga sering melihat Fathur dan teman-tenannya nongkrong di sini. Namun cowok itu tak terlihat kali ini atau kurang malam ya?
Ia bertanya-tanya keberadaan cowok itu. Lantas di mana Fathur?
Baru saja menonjok seseorang di depan kontrakan. Hal yang tentu saja msmbuat gaduh. Teman-temannya langsung keluar. Fathur bukan orang tempramental. Tapi ada satu orang yang akan selalu membuatnya marah besar jika muncul di hadapannya. Siapa?
Kakak pertamanya dan satu-satunya. Ya kan ia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Cowok itu muncul di hadapannya secara tib-tiba. Entah dari mana bisa mendapatkan alamatnya di sini, yang jelas ia marah besar. Lelaki b******k ini baru keluar dari penjara. Ia memang sudah mendapatkan kabar itu dari adik lelakinya. Lalu untuk apa datang ke sini? Tentu saja meminta uang.
"Nanti gue ganti. Lu pelit amat sih!"
Alih-alih menanggapi, ia malah menghajarnya lagi. "Lu kira hidup gampang?"
Ia marah besar. Ia susah payah untuk bisa berkuliah di sini demi memperbaiki hidup keluarga. Ibu mereka meninggak tepat ketika ia memulai kuliah di sini. Setengah mati ia membangub diri dan menyemangatkan diri untuk pulih dari itu. Ayah mereka? Sudah menikah lagi dan ia juga tak tahu kabarnya bagaimana. Ya kan lelaki itu juga hanya perduli dengan hidupnya sendiri kok. Lalu anak pertama yang seharusnya bisa diandalkan ini? Hanya seorang pembuat onar.
SMA? Tak selesai. Malah menghamili anak orang dan mau tidak mau ya menikahi. Kakak iparnya? Ia tak tahu apa kabarnya. Yang ia tahu sudah bercerai dengan kakaknya sejak kakaknya masuk penjara dua tahun yang lalu. Dua adikmya? Yang satu masih SMA. Yang satu masih SMP. Beban hidupnya berat. Ia juga harus berbagi. Mencari uang juga tak mudah baginya. Lalu dengan seenaknya orang ini datang ke kontrakan untuk meminta uang yang ia tahu tak akan pernah dikembalikan?
"Gue udah berubah, b******k!"
Ia hampir menghajarnya lagi andai teman-temannya rak memegang tubuhnya. Beberapa tetangga sudah berdatangan untuk melerai. Mereka juga tahu kalau Fathur bukan orang yang emosional. Jadi kaget juga ketika melihatnya hingga seperti ini.
"Mau lo berubah atau enggak, bukan urusan gue. Pergi. Jangan pernah tampilin muka lo di hadapan gue."
Tapi tentu saja lelaki itu menolak mentah-mentah. Ia bahkan rela bersujud di kaki Fathur demi uang. Ia berjanji akan menggantinyanbegitu mendapatkan pekerjaan. Begitu tak didapat, Fathur sudah menduga kalau ia akan dikatai. Ya dikatai karena tak mau membantu sodara sendiri.
Baginya, apapun yang terjadi pada lelaki ini adalah salahnya sendiri. Dulu siapa yang tak melanjutkan SMA? Kenapa memilih untjk mabok-mabokan? Bermain? n*****a? Sampai menghamili anak orang dan pada akhirnya hanya menjadi seorang ayah yang tak bertanggung jawab?
Ia sendiri yang memilih untuk menempuh jalan itu. Padahal pada saat itu, keluarga mereka masih mapan. Ibu mereka yang banting tulang demi mereka masih sanggup membiayai pendidikan bahkan hingga gaya hidup ayah mereka yang doyan selingkuh. Tapi cowok itu tak memanfaatkannya dengan baik. Coba kalau semua hal baik diikuti?
Ia tak akan menghamili anak orang. Tak akan terjerat n*****a. Tak mungkin tak menyelesaikan SMA-nya. Bahkan sebelum ibu mereka meninggal, ia yakin perkuliahannya pasti sudsh selesai. Harusnya hidupnya sudah aman. Bukannya malah bisnis n*****a lalu masuk penjara. Begitu keluar? Hanya menyusahkan orang lain.
Ia memilih untuk masuk ke kontrakan. Sementara teman-temannya yang menahan kakaknya. Tapi tentu saja lelaki itu tak akan pergi. Yang ada malah meminta uang pada mereka. Lalu?
Ya mau tak mau diberikan seadanya yang mereka punya. Sekitar 500 ribu rupiah raib begitu saja dan cowok itu segera pergi. Teman-teman Fathur syok sih. Karena kan Fathur tak pernah bercerita sebelumnya soal ini.
Sementara itu Ahmad muncul di warung pecel ayam itu. Teman-teman Salwa yang melihat kehadirannya tentu saja langsung tertawa. Tak menduga akan ada Ahmad di sini. Cowok itu sendirian. Tadinya memang makan sendiri tapi meja lain penuh. Teman-teman Salwa yang memanggilnya untuk bergabung. Salwa dongkol lah. Hahaha. Nanti dikira apa pula oleh Ahmad karena keriuhan mereka. Ia kan tak enak hati jadinya.
Ahmad sebenarnya sungkan karena mereka semua perempuan. Tapi ia celingak-celinguk ke mana pun, tak ada satu pun orang yang ia kenal di sini selain Salwa. Akhirnya ya bergabung dan tentu saja berkenalan dengan teman-temannya Salwa. Ia baru tahu kalau mereka adalah teman satu kontrakannya. Ada cerita yang mengalir karena setidaknya ia jadi lebih mengenal Salwa.
"Ya rencananya mau balik memang. Abangmu ikut juga."
"Ke Semarang?"
Ahmad mengangguk-angguk. "Mau ikut?"
Ia malah ditawarkan. Teman-temannya langsung riuh.
"Kalau pada mau ikut, ayo aja."
Ia sih santai. Umminya juga mungkin tak masalah. Rumahnya kan besar. Jadi bisa menampung mereka. Toh niatnya mau jalan-jalan kok. Salwa memelototi teman-temannya karena mau mengiyakan tawaran Ahmad. Ahmad terkekeh. Ya kalau mereka mau ikut, mungkin akan lebih baik kalau ia menyewa mobil saja. Ya dari pada naik motor kan. Lalu apakah jadi berangkat?
Nah Ahmad pulang ke kontrakan lalu menceritakan soal Salwa dan teman-temannya pada Said. Tentu saja Said harus tahu. Lalu apa katanya?
"Ya mending ikut kita. Aku jyga khawatir kalo tinggalin Salwa di sini meski cuma dua hari."
Ahmad terkekeh. Akhirnya ya Said menelepon Salwa dan menyuruh adiknya dan teman-temannya itu segera bersiap. Tadinya kan mau berangkat usai subuh. Akhirnya malah berangkat sekitar jam satu malam begitu Ahmad berhasil mendapatkan supir dan mobil. Dari kontrakannya bergerak menuju rumah kontrakan Salwa. Teman-temannya tentu saja senang sekali dengan acara liburan dadakan yang tak terduga itu.
"Berangkaaaaaat!"
"Jangan lupa dooa!"
"Siaaaap ustaaad!"
Mereka tertawa-tawa. Ahmad geleng-geleng kepala. Yang berseru itu Ino. Cowok itu akhirnya bisa ikut ya kebetulan sudah selesai rapat jam 10 malam tadi jadi bsia segera pulang ke kontrakan dan menyiapkan perjalanan dadakan ini.
@@@