Sebuah Analogi

3021 Words
"Manis bangeeet, Beeet. Sampai bikin lemes." Ia heboh sendiri begitu berlari terbirit-b***t ketika Beta tiba di kosan. Ia memang sudah tak sabar ingin menceritakan bagaimana hasil wawancara tadi. Bagaimana ia merekam wajah Ahmad yang begitu ganteng bin manis. Setidaknya ia masih bisa fokus saat mewawancarainya. Hahaha. "Mas Ahmad?" Ia mengangguk-angguk kuat. Memang hanya Ahmad yang membuatnya lemas. "Hati-hati kau. Jangan sampai jatuh cinta." Ia diingatkan. Yang diinginatkan hanya berdesis. "Kan kagum doang, Beet. Bukan berarti cinta." "Ya kan cuma mengingatkab aja. Takutnya kau bablas. Kita itu beda sama dia, Veeer." "Iyaaaaa." Ia juga tahu. Tapi mengagumi rasanya tak salah juga sih. Bibirnya sampai senewen karena Beta menanggapinya terlalu serius. "Tapi kayaknya ya, orangnga agak misterius gitu sih. Karena gak semua hal juga yang mau dia bagi gitu. Aku kan perhatikan baik-baik itu raut wajahnya." "Ya manusiawi juga lah, Ver. Artis aja kalo diwawancara gak bakal bilang semuanya kok." "Nyolot mulu ih." "Bukan nyolot. Aku kan cuma bilang." Ia memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Veronika menghela nafas panjang. Ia sempat berbaring sebentar di atas tempat tidurnya. Lalu baru beranjak setelah sepuluh menit berlalu. Ia keluar dari kamar Beta dan di ruanga televisi sana ada sang penguasa kosan ini. Siapa? Si Renita. Veronika juga baru sadar sih kalau itu Renita yang masuk baliho juga dab yang disebut-sebut sebagai cewek yang paling cantik di kampus. Namun hari ini semua orang sudah lupa soalnya dan beralih pada sosok anak arsitektur yang bernyanyi begitu bagus dengan suaranya yang unik. Ia juga mendengar sih bagaimana ia bernyanyi. Tapi berhubung sesama cewek ya jadinya tak tertarik. Lalu kini ia mendengar bagaimana Renita dan kawan-kawannya itu dongkol dengan sosok perempuan yang bernama Salwa. Ah ia tak tahu sih itu siapa. Tak perduli juga. Yang jelas, ia tak mau berurusan dengan Renita dan gengnya. Urusan yang sebelumnya saja, ada satu anak kos di sini yang dilabrak hanya gara-gara terlalu memuja Ahmad. Bahkan tadi pagi ia baru tahu kalau anak itu keluar dari kosan. Parah banget kan? Ia syok sih. Karena efeknya sedemikian parah. Ia buru-buru masuk ke dalam kamar. Lalu mendumel dalam hati. Ya percuma juga kalo cantik tapi jiwanya ya jiwa pem-bully. Heran juga karena masih ada yang model begini di kampus ini yang notabene-nya berisi orang-orang yang sangat terpelajar loh. Tapi ya pendidikan memamg tidak berbanding lurus dengan sikap sih. Ya kan? "Cari tahu aja tuh cewek siapa. Kok bisa deket banget sama mas Ahmad. Pokoknha semua cewek yang deket kayak gitu sama dia, dicurigai aja." "Soal Zahra gimana itu, Re?" Ia menghela nafas. Kalau soal gadis itu, ia tak bisa melawannya. Selain karena atasannya di BEM ya, ia juga harus mencari tahu sebenarnya hubungan Zahra dan Ahmad. Karena kalau ia perhatikan, Ahmad tampaknya biasa saja sih. Tapi kalau soal perasaan Zahra? Para cewek satu BEM juga tahu sih kalau ia menyukai Ahmad. Ya pesaingnya memang banyak dan ia tak bisa berbuat apa-apa juka urusannya dengan Zahra. @@@ "Aku duluan yaaa!" Ia berpamitan dengan teman-temannya hendak pulang ke kontrakannya. Ia mengendarai motornya dengan santai. Sempat berhenti sebentar di minimarket untuk membeli kopi dan jajanan untuk menemaninya berlembur ria malam ini. Sebenarnya tugasnya belum akan dikumpulkan besok sih. Tapi berhubung ia adalah seorang Salwa yang selalu mengerjakan tugas dikala ada waktu kosong, ia manfaatkan saja waktu malam ini. Kalau tugas kelompok yang ia kerjakan bersama teman-temannya tadi sih sudah selesai. Itu juga untuk presentasinya besok pagi. Ia kembali mengendarai motornya usai berbelanja sedikit. Ketika hampir memasuki area g**g rumah kontrakan, ia justru mendengar keributan. Keributan dari aebelah kirinya. Ada dua motor yang terparkir di pinggir jalan. Kendaraan laib tak begitu terlihat. Jalanan ini memang agak sepi kalau sudah malam. Kadang siang hari juga agak sepi sih. Ia tadinya enggan berhenti. Tapi begitu melihat sosok yang sedang adu jotos itu adalah Ahmad, ia buru-buru membelokan kembali motornya. Lalu memberhentikan motornya di sebelah Ahmad. Ia segera berlari menuju ilalang itu! "Mas! Mas! Mas! Ada polisi!" Mendengar kata polisi ya si Peter pamit lah. Ia tadinya hendak menarik Nayla tapi Ahmad langsung maju. "Berani bawa dia, saya aduin ke polisi!" Padahal ia juga sudah berencana melaporkan ke polisi. Itu pun kalau Nayla mau. Baginya satu-satunya jalan untuk menghabisi Peter ya itu. Cowok itu jelas takut lah. Walau ia masih memaki Ahmad dengan kata.... "b*****t!" Ia mengirim tatapan marahnya ke arah Ahmad. Cowok itu juga balas menatapnya. Peter mengendarai motornya dengan cepat. Ahamd menghela nafas lega. Meski sepertinya taid wajahnya tak sengaja terkena pukulan Peter. Namun dalam keadaan yang minim cahaya ini jelas tak begitu terlihat. Bahkan kini fokus mereka teralihkan pada Nayla yang berjongkok dan memeluk dirinya sendiri sambik menangis. Setidaknya beruntung ada Salwa yang datang. Ia percaya ada polisi seperti kata Salwa? Hahaha. Tentu saja tidak. Tapi agak kaget juga karena Salwa punya ide seperti itu tanpa perlu turun tabgan untuk melerainya tadi. Kalau melerai jelas akan kebih berisiko. "Nay, mau ke kantor polisi?" Salwa hanya diam. Ia tak tahu apa yang terjadi. Namun melihat ada perempuan yang menangis seperti itu lalu keterlibatan Ahmad di sini, ia punya insting. Bukan kah terjadi sesuatu yang mungkin tidak menyenangkan dan bahkan menyeramkan bagi perempuan? Ya kan? Nayla hanya menangis kebcang. Ia sebenarnya malu. Mau mengucapkan terima kasih? Menatap Ahmad saja tak berani. Ia kehilangan nyali. Lalu ke polisi? Mana mungkin lah. Ia tak akan mau. Kalau melapor artinya semua oeang akan tahu kakau ia....dilecehkan oleh pacarnya sendiri bukan? Walau setelah ia pikir lagi, selama ini ia dan Peter juga jerap melakukannya. Peter pasti akan menganggap kalau ini adalah sesuatu yang dilakukan suka sama suka. Bukan karena paksaan. Ia juga tak punya bukti kan? Hanya berdasarkan pesan-pesan dari Peter? Tidak ada. Cowok itu selalu menelepon. Sekalipun ada bukti dari itu, yakin bisa membantunya? Bisa memenangkan kasusnya? Ia tak yakin. Ia tahu kalau keluarga Peter itu adalah orang-orang yang sangat berpengaruh. Mudah bagi mereka untuk membelokan kasus ini dan ia tak akan berdaya. "Nay. Kita harus melaporkannya ke polisi. Kalau enggak, dia bakal melakukan hal yang sama lagi, Nay." Ia mencoba berbicara pelan. Ia tak tahu apa yang dirasakan Nayla. Gadis itu sudah bersimbah air mata. Ia mengusap wajahnya. Mencoba memberanikan diri memperlihatkan wajahnya. Meski ia masih tak berani menatap Ahmad secara langsung. "Aku mau pulang aja, mas." Ia tak mau. Ahmad menghela nafas. "Atau kalo gak, kita ke rumah sakit aja dulu, Nay? Biar ada bukti. Jadi bisa disimpan dulu. Kalau-kalau nanti kamu berubah pikiran dan mau lapor ke polisi." Ia tetap menggeleng. Ia tahu, hidupnya sekarang hancur sudah. Ini keteledorannya sendiri. Sekarang malah hanya bisa menangis. Ia yakin, Peter akan membantainya lebih parah setelah ini. Cowok itu akan selalu begitu kalau ia tak sengaja melukainya. Pembalasannya akan jauh lebih parah. "Oke kita pulang aja. Tapi kalau ada apa-apa, kamu telepon aja, Nay." Ia hanya mengangguk. Walau tak enak merepotkan. Rasanya juga percuma. Melibatkan Ahmad? Habya akan menjadi perkara baru bagi Ahmad. Ia tak mau semakin banyak orang yang terluka. Ahmad menoleh ke arah Salwa yang sedari tadi hanya menoleh ke arahnya dan Nayla secara bergantian. Ia bingung. Apa yang sekiranya bisa ia bantu? "Sal, boleh minta tolong boncengi Nayla?" Ia mengangguk. Ya berhubung Ahmad ini tak berbeda jauh dengan abangnya, ia paham kalau ia sangat menjaga. Selama masih ada cara lain agar tak duduk terlalu dekat dengan yang bukan mahram meski sekedar untuk menolong, itu pasti akan dilakukannya. "Pegangan aja, mbak. Takutnya jatuh." Ia sudah melihat kalau Nayla tampak lemas. Mungkin kejadian tadi begitu mengerikan. Ia sih tak terbayang apa yang terjadi. Tak berani membayangkannya juga. Kini tugasnya hanya membonceng. Ahmad yang menjaga dari belakang. Nayla setidaknya masih bisa ia ajak bicara untuk jalan ke kosnya. Mereka tiba lima belas menit kemudian. Ya kalau dibandingkan dengan arah pulangnya ya berbeda lah. Agak lebih jauh dan beda komplek. "Masuk aja. Kalau udah masuk, baru kita pulang." Nayla mengangguk. Tak lupa mengucapkan terima kasih. Ia hanya bisa memohon agar kedua orang ini tak menceritakan kepada siapapun soal tadi. Ia sangat malu. Begitu Nayla masuk, Ahmad memanggil Salwa. Gadis itu menoleh ke arah belakang, ke arah Ahmad. "Kamu mau pulang atai ke mana?" "Mau pulang sih, mas." Ahmad mengangguk. "Mas anter gak apa-apa ya?" "Gak usah, mas. Bisa sendiri kok." "Mas anter aja." Alasannya sih sederhana. Bukan mau modus. Tapi ia tahu bagaimana Peter kan? Ia juga harus mawas diri sih. Tapi ia juga takut kalau nanti Salwa ikut terseret masalah ini. "Tapi aku nanti mau beli oecel ayam dulu loh, mas." Ahmad terkekeh. "Ya udah hayuk. Mas juga mau beli makan." Ia juga belum membeli makan karena mengurus urusan tadi. Akhirnya kedua motor itu meninggalkan kosan Nayla. Ya melaju ke arah rumah kontrakan Salwa. Namun berhenti dulu di depan warung pecel ayam. "Bungkus aja, mas." Si mas pecel ayam mengangguk. Keduanya mengambik duduk. Suasana agak ramai. Bahkan beberapa orang juga terus memanggil Ahmad. Ia menyapa sebentar sebelum feralihkan pada Salwa yang diam-diam dibicarajan oleh segerombolan cowok itu. Ahmad tentu saja mengenal mereka. Itu yang membuatnya agak gerah. Hahaha. Jadi ia mengajak Salwa untuk menunggu di atas motor aja. Toh nanti si masnya akan memanggil kok. "Tadi abis dari mana?" "Kosan temen. Ngerjain tugas." Ah ya. Ahmad mengangguk-angguk. Ya ingat sih percakapan sore tadi. "Yang tadi itu--" "Jangan bilang siapa-siapa ya?" Ia mengangguk. Tampaknya berbahaya ya? Ah mungkin bukan berbahaya tapi hal yang harus dirahasiakan. Ahmad juga enggan mengungkitnya lagi. "Yang tadi itu namanya Peter. Anak komunikasi. Kamu kalau ketemu dia harus hati-hati." "Kenapa memangnya?" Salwa tentu ingat sih. Karena baru kemarin malam bukan bertemu dengan cowok itu? Dan tampaknya memang tipe orang yang suka mencari gara-gara deh. "Berbahaya. Pokoknya hati-hati saja." Salwa mengangguk-angguk saja. Mungkin memang berbahaya. Meski ia juga belum paham. Berbahaya seperti apa yang dimaksudkan oleh Ahmad? "Mas Ahmad!" Ahmad dipanggil oleh sang penjual pecel ayam. Cowok itu segera ke sana lalu membayar milik Salwa juga. "Bungkusannya dibedain ya?" "Oh gak bareng tho, mas?" Ahmad terkekeh. "Ndak lah." "Tak kirain pacarmu loh itu, mas. Eeh bukan tho? Eeeh mas Ahmad gak pacaran tho ya?" Ia hanya bisa terkekeh. Enggan meladeni hal semacam itu. Lalu mengambil dua bungkus pecel ayam itu. Salwa sudah berdiri. Sudah mengira kalau itu adalah pesanannya karena kini Ahmad menyodorkannya padanya. "Berapa, mas?" Ia tentu harus mengganti uangnya. "Gak usah lah. Ambil aja. Buat makan." "Jadi enak loh aku, mas." Ahmad terkekeh. Ya Salwa ternyata asyik ya? Lucu juga. Ia kan tak pernah mengobrol sebelumnya. Tapi memerhatikan obrolannya dan Said semalam sih memang seru. Karena keduanya suka bercanda. "Makasih ya, mas." Ahmad mengangguk. Tentu saja senang meski hanya dengan hal-hal sekecil itu. Kedua motor itu meninggalkan warung pecel ayam. Kali ini menuju rumah kontrakannya. Tiba di depan rumah, motor Ahmad berhenti. Sementara motornya masuk ke dalam rumah. Berhubung memang tak ada pagar ya. Jadi motornya harus disimpan di dalam rumah. Lalu ia keluar lagi untuk bertemu mas Ahmad yang tersenyum kecil. Omong-omong ia senang karena seharian ini terus bertemu Salwa. Walau ia tahu, ia harus menjaga hatinya dan menjaga jarak. Akan bahaya kalau bablas kan? "Makasih loh, mas." Ahmad mengangguk. "Pulang ya, Sal? Selamat istirahat," tukasnya. Ia membelokan kembali motornya. "Ya. Hati-hati, mas!" "Assalammualaikum!" Ia menjawab salamnya juga. Begitu membalik badan.... "EHEEEEEM!" Ketiga teman satu kontrakannya berdeham kencang karena melihat kemunculan mas Ahmad tadi. Ya kaget lah karena kehadiran Ahmad di sini. Mereka kan tak tahu. Kalau sosok Ahmad sih sudah pasti semua orang juga tahu. "Ayoooo! Kok bisa bareng sama mas Ahmad sih?" Ia hanya terkekeh. Menurutnya soal tadi bukan apa-apa sih. Walau berbeda bagi Ahmad. Ya ada kenangan kecil lah. Meski hanya sebentar. @@@ "Sama Ahmad?" Ia mengangguk. "Kan abah yang ngomong waktu itu." Ia menagih janji abahnya. Tapi baru bicara dengan umminya karena ummibya yang datang ke sini. Ya ke rumah mereka yang di Jogja. Abah dan umminya kan pastinya sibuk tinggal di pesantren dan gontor di Jawa Timur sana karena memang harus mengurus semua itu. "Nanti ummi sampaikan ke abah. Tapi baiknya, kamu fokus saja. Toh Ahmad juga belum lulus. Kamu juga masih harus koas kan? Masih panjang perjalanan." Umminya sih lebih ingin ia fokus dengan cita-cita di masa depan dari pada memikirkan jodoh untuk sekarang. Tapi anaknya kebelet ingin meresmikan hubungan. Padahal belum juga dibicarakan dengan orangnya. Meski ya umminya ini menduga kalau Ahmad tak mungkin menolaj. Kan yang menawarkan itu kyainya sendiri. Ahmad pasti akan sungkan menolaknya. Apalagi yangnditolak adalah Zahra. Ya dengan segala kelebihannya, hal yang sangat sulit bukan? Zahra dikenal sebagai sosok perempuan muslimah yang sempurna di kampusnya. Ia adalah anak kedokteran berprestasi. Kerap ke luar negeri untuk berbagai perlombaan. Termasuk orang yang diandalkan oleh kampus. Wajah? Ia juga cantik. Kalau pintarnya kan tak perlu dibahas lagi. Anak kyai pula. Ia berasal dari garis keturunan yang sudah pasti bukan orang biasa. Agama? Yaaa lihat saja dirinya dan keluarganya maka itu sudah cukup menjadi jawaban. Lalu apalagi ya? Intinya ia sangat sempurna sebagai perempuan. Ahmad tak mungkin bisa menolaknya. "Kan Zahra juga gak minta dinikahin sekarang. Zahra pengennya tunangan atau dilamar dulu begitu sama mas Ahmad. Biar pasti." Pasti akan menikah. Karsna baginya, itu satu-satunya cara agar para perempuan lain tak berani mendekati Ahmad lagi. Ia selalu kesal karena banyaknya perempuan yang selalu mengelilingi Ahmad. Mana Ahmad kadang seramah itu. Ia tak bisa melarangnya bukan karena tak punya hak? Kalau sudah bertunangan tentu akan berbeda. Ia bisa melarang. Ia juga bisa menghadapi para perempuan itu termasuk Renita yang selalu genit pada Ahmad. Gadis yang satu itu menurutnya sangat lah menyebalkan. Ia sampai tak tahu bagaimana harus membasminya. "Ya. Nanti kita bicarakan lagi ya, Zah. Kamu ini kan masih semester 6. Fokus lh dengan rencana skripsimu dulu begitu masuk semester depan. Urusan Ahmad itu bisa menyusul. Toh anaknya tak akan ke mana-mana juga." "Tapi banyak tauk, umm, anak-anak di kampus yang suka sama dia. Kan Zahra sebel jadinya." Ia mengerucutkan bibirnya. Saking sebalnya kalau mengingat hal itu. "Ya biar kan aja. Suka aja kan biasa itu. Namanya juga perempuan ke laki-laki. Sebaliknya juga kan begitu. Mau kamu menikah dengan Ahmad nantinya juga sama. Kamu gak akan pernah bisa larang perasaan orang, Zah." Tapi ia tetap saja tak bisa terima dengan hal itu. Menurutnya, kalau urusannya Ahmad maka tak boleh ada orang lain yang suka. Harus hanya dirinya. @@@ "Yaaaah kamu beli pecel ayam gak bilang-bilang." Ia baru membuka mulut saat Said muncul dengan mata hitamnya. Sepertinya anak yang satu ini belum tidur sejak kemarin. Matanya terlihat gelap sekali. "Mau nih? Bareng aja?" Ia nyengir. Langsung berlari ouka ke dapur untuk mencuci tangan. Lalu mengambil nasi. Ahmad kan selalu membeli dua ayam untuk sekali makan. Ia memang makan sebanyak itu. Ahmad geleng-geleng dengan tingkah Said. Kok bisa-bisanya jadi abangnya Salwa? Hahaha. Karena ya terkadang memang kekanakan seperti ini. "Boleh nanya?" Said mengangguk-angguk. Ia sudah fokus dengan ayam gratisan yang ia dapatkan. Hahaha. Senang sekali karena tak perlu keluar untuk mencari makan. "Tadi aku ketemu Salwa," ia membuka pembicaraan. "Dia kok beda banget sama kamu." Said terbatuk-batuk. Ia mencari gelas minumnya. Ahmad terkekeh. Kenapa kok sampai terbatuk-batuk? Apa yang salah? Ia kan hanya bertanya. "Bukan cuma kamu yang bilang begitu." Aaaah. Ahmad terkekeh. Berarti hal yang waja bagi Said ya? Leeat pertanyaan sederhana ini, Ahmad sebetulnya hanya ingin mengorek informasi lebih dalam soal keseharian Salwa. Jalan paling baik tentu dari saudaranya karena Said pasti tahu kan? "Kamu tahu kan lampu merah? Nah kalau aku dari jauh lihat lampu merah berubah menjadi hijau, sekiranya gak akan bisa mencapainya ya aku pelanin aja laju motorku. Tapi kalau Salwa? Langsung tancap gas, melaju sekencang mungkin tapi tetap hati-hati dan ia bisa ikut lampus hijau itu. Ya disaat aku malah terperangkap lampu merah lagi dan harus menunggu." Aaah. Ahmad terkekeh. Ia paham analogi ini. Ya terlihat sih. Lihat saja tadi aksi Salwa. Kalau gadis lain mungkin tak akan berani mendekat dan memilih pergi. Ia malah datang dengan ide menyebut polisi. Seberani itu. "Dia jauh di atasku untuk segala hal. Palingan nih aku cuma bisa ajarin soal agama ke dia." Ahmad mengangguk-angguk. "Setidaknya masih bisa jadi abang yang berguna." "s****n kamu, Ahmad!" Ahmad terbahak. Tapi bukan kah memang benar? Kan katanya Salwa memang di atas segalanya dibandingkan dengannya. Hahahaa. Tak salah dong kalau Ahmad berpikir demikian ya? "Makanya adikku itu banyak yang suka. Kamu lihat saja apa yang terjadi hari ini." Ahmad terkekeh. Ya wajar juga menurutnya kalau banyak yang suka pada Salwa. Dari wajah sudah manis ditambah kepribadiannya sangat hangat. Siapa yang tak suka? "Adikku pandai dalam segala hal eeh gak deh. Ada satu kelemahannya." Ahmad terkekeh. Informasi yang bagus kah? Paling enak ya mengorek informasi dari Said. Cowok yang satu ini benar-bensr orangnyang tak pernah berprasangka terhadap orang lain. Hahahaha. "Apa?" "Dia sangat tidak pandai memasak dan mengurus rumah. Orang yang selalu berantakan." Ahmad terkekeh. Yang namanya manusia pasti ada saja kekurangannya bukan. Bahkan dirinya pun menyadari kok. Ada banyak hal yang menjadi kekurangan dirinya. "Jadi, siapapun yang menikahinya harus orang yang mapan dan bisa memperkerjakan pembantu. Kalau disuruh menyapu, terkena debu sedikit dia akan pilek. Kalau gak sengaja memegang deterjen, dia akan gatal-gatal. Jadi ya gak pernah mencuci baju sendiri. Kalau mencuci piring, dia malah sakit. Aku gak paham sebenarnya. Padahal adikku itu bisa lari 10 kali putaran GBK." Ahmad terkekeh. Ya setiap anak memang unik. Bahkan Said juga demikian bukan? Ya kalau Salwa hobi berkeliaran, abangnya ini lebih suka menyendiri di dalam kamar dan hanya berpikir tentang naskahnya. Setidaknya ia konsisten dengan impiannya sebekum mengabdikan diri untuk negara. Ya ia melihat kesungguhan itu di dalam jiwa Said sih. Mungkin ia memiliki kemiripan itu dengan Salwa. Ia sih hanya menebak. Dan banyak obrolan yang mengalir tentang Salwa dari mulut Said. Said tak sadar. Karena kan Ahmad ini sahabatnya. Ia tak berpikir apapun. Apalagi Ahmad tak menunjukan rasa suka atau apapun. Ahmad memang belum berani jujur dengan perasaannya. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Rasanya ini juga masih terlalu dini untuk berbicara soal asmara. Kalau sudah tepat waktunya, ia berjanji sih akan berbicara dulu pada Said untuk mencari jalan. Ya kan yang namanya jodoh memang harus diupayakan. Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin ia tanyakan. Ia ingin tahu apakah Salwa pernah menyukai seseorang atau sedang menyukai seseorang? Ia ingin tahu. Habya sekedar ingin tahu. Lalu memgukur sejauh mana rasa suka itu dan memastikan apakah orang yang disukai itu juga punya rasa? Untuk apa? Tentu saja mencari jalan untuk menikung. Hahahaha. @@@ Catatan: GBK (Gelora Bung Karno)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD