Salah Tujuan

3025 Words
"Biarin aja pada tidur." Toh perjalanan juga masih cukup lama. Jadi maksudnya, biarkan yanh lain tidur. Lantas ia tak tidur? Tidak. Ia harus terjaga sembari menemani sang sopir agar tak mengantuk. Perjalanan malam kan rawan mengantuk. Meski ini ya hanya sekitar tiga jam untuk sampai Semarang. Ya tak begitu jauh lah. Di sepanjang perjalanan mungkin tak ada yang istimewa. Namun ada pemandangan yang indah bagi Ahmad. Apa? Yaa ketika menoleh ke belakang dan mendapati...eeh paling belakang maksudnya. Hahahaha. Ada Salwa yang tidur dengan kepala yang sudah bersandar pada Said. Di samping Said ada Ino yang sudah mendengkur. Di bangku tengah? Ada tiga perempuan yang merupakan teman satu kontrakan Salwa. Ia tersenyum tipis. Lalu kembali membalik badannya ke depan. Tiga jam perjalanan itu cukup singkat. Tahu-tahu mereka sudah sampai di depan rumahnya. Pagarnya cukup tinggi sehingga orang-orang tak pernah tahu bentuk rumahnya dari luar. Salwa menguap ketika sadar kalau mobil sudah berhenti. Begitu membuka mata, ia linglung. Ya kaget karena tahu-tahu ada di sebelah abangnya. Abangnya masih pulas pula dengan kepala bersandar pada bahu Ino. Ahmad membangunkan mereka. Seorang perempuan sudah menyambut di ambang pintu. Kalau dilihat, rumah ini tampaknya rumah lama. Tapi sudah direnovasi dengan sangat baik tanpa menghilangkan kejadulannya. Dikelilingi banyak pohon pula. Salwa mengira kalau tamannya jauh lebih luas dari pada rumahnya. Tapi ia suka sih. Walau ya dimalam hari begini jadi agak horor. Apalahi kan lampu tamannya sedikit. Lalu tidak seprrti rumah-rumah lain, lampu terasnya malah menggunakan lampu kuning. Jadi ya tak begitu terang. Apa memang sengaja begitu? Biar konsepnya benar-benar terlihat jadul. Namun melihat rumah yang sepertinya tak luas tetapi halamannya yang sangat luas dikelilingi pagar yang sangat tinggi, ia pikir Ahmad sepertinya bukan orang sembarangan. Ia keluar dari mobil. Dari kejauhan sudah melihat Ahmad memeluk seorang perempuan paruh baya. Mungkin ibunya kah? Karena ia bisa melihat kemiripam itu pada diri Ahmad. Kini tersenyum pula pada mereka. Ya, ia dan teman-temannya juga Ino dan abangnya. Menyalami perempuan tua itu satu per satu. Kemudian diajak masuk ke dalam rumah. "Kamarnya agak di belakang gak apa-apa ya. Soalnya memang gak begitu ada kamar di dalam sini." "Gak apa-apa, tante." Sudah diajak menginap di sini saja sudah senang. Apalagi kan dadakan. Ia yakin keluarga Ahmad pasti kerepotan. Mereka dibawa menuju pintu belakang. Ya ternyata memang ada semacam pendopo di kejauhan sana. Lalu ada bangunan semacam aula. Tapi mereka tidak ke sana. Mereka masih berada di rumah ini juga tapi di deretan kamar belakangnya. "Berani kan tidur di sini?" Karena posisi pintunya memang menghadap ke arah pendopo di tengah-tengah rerumputan dan ya tak begitu jauh ada aula. "Berani lah, mas. Kan berempat juga." Ia nyengir. Begitu masuk ke dalam kamarnya ya seperti dugaan. Masih sangat tradisional. Tempat tidurnya juga. Tapi tentunya tak bergoyang. Tampak kokoh. Benar dugaannya kalau sudah direnovasi dengan sangat bagus. "Pada lapar gak?" Salwa menggeleng. "Mau tidur saja, mas." "Ya sudah. Istirahat saja." Ibunya Ahmad muncul di pintu belakang. Ia mengangguk bersama yang lain. "Nanti kalo mau jamaah subuh bisa di sana." Ia menunjuk ke arah aula itu. Aaah ternyata itu mushola ya? Ia mengangguk. Kemudian dipersilahkan masuk ke dalam kamar. Ya beristirahat. Ahmad masih menatap pintu itu meski sudah mulai tertutup. Begitu hendak membalik badan ke arah pintu belakang untuk masuk kembali, ibunya menghadangnya dengan senyuman. Hahaha. Tentu saja merasa aneh. Ahmad tak pernah membawa teman perempuan ke rumah ini. Apalagi sampai menginap. Rumah ini berbeda dengan rumah mereka yang lain. Rumah ini menjadi tempat paling aman sekaligus penuh kenangan dengan ayahnya Ahmad. Jadi ya....sejujurnya rumah ini juga jarang ditempati. Mereka punya beberapa rumah lain lagi di daerah lain dan tentunya masih di Semarang. Ahmad dan ibunya tentu perlu banyak tempat persembunyian bukan? Ya mereka tahu kalau sekarang sudah berbeda. Tapi ini sudah menjadi semacam kebiasaan bagi mereka untuk terus berpindah-pindah tempat. "Jadi, yang mana?" Ia jelas panik lah. Ibunya hampor tertawa melihatnya menoleh ke arah pintu kamar yang ditutup tadi. Lalu mengajak ibunya masuk ke dalam rumah dan menutup pintu belakang. Tentu saja tak dikunci. Ia menggaruk tengkuknya karena terus ditatap oleh ibunya. "Kamu tahu kan resikonya jatuh cinta? Setan suka tuh sama dua anak manusia yang diam-diam saling mencintai tapi gak berani berkomitmen." Ya. Ia tahu. Ini yang membuatnya banyak berpikir. Tapi tak mungkin lah. Ia mungkin sudah siap. Lah Salwa? Gadis itu bahkan baru semester dua. Menikah itu tak mudah. Ahmad mengantar ibunya hingga ke kamarnya. Ya biar bisa beristirahat. Ibunya dulu menikah amat muda. Bertemu dengan ayahnya yang sudah mapan. Padahal usia ayahnya juga cukup muda kala itu. Ya seusianya juga dan sudah menikah. Pekerjaan mereka sama. Ya intel. Ya hacker. Ya jeniusnya komputer. Ahmad sudah menghasilkan uang sendiri sejak kelas 4 SD. Semua ya karena komputer. Ia memang sangat pesat dibandingkan dengan anak seumurannya. Alih-alih mengambil jurusan komputer, ia mengambil politik. Ya karena memang ada niat lain. Ia tak ingin terjebak di dalam dunia teknologi maya ini. Ia ingin unjuk diri. Ia ingin memimpin masyarakat. Sikap kepemimpinan yang ia wariskan dari ibunya ini. Karena ibunya dulu pernah menjadi kepala desa untuk dua periode. Ibunya sangat hebat. Karena itu ia mencari eprempuan yang hebat juga. Sebab ya bersamanya memang tak mudah. Akan kah Salwa masuk kriteria itu. Sejujurnya, ketika melihat Salwa, ia merasa tak perlu lagi hal-hal itu. Mau Salwa lemah sekalipun, ia akan mati-matian menjaganya. Meski penuh resiko. Hidupnya memang tak mudah. "Jadi, saran ibu sih dipikirkan lah dulu. Menikah muda gak ada salahnya." Ya selama niatnya sudah lurus dan tujuannya juga sudah baik. Memang tak ada salahnya bukan? Ia masuk ke dalam kamarnya sendiri dan menemukan dua sahabatnya sudah tidur sembarangan. Ia menggelengkan kepala. Ya pasti lelah sih. Said tampaknya mengurus naskahnya dari semalam. Kalau Ino bahkan baru saja pulang rapat. Dari pagi sudah sibuk di kampus. Ya pasti lelah. Usai membersihkan diri sedikit, ia ikut merebahkan diri ke atas tempat tidur. Tubuhnya lelah sekali. @@@ Mereka baru tahu silsilah keluarga Fathur ya semalam. Meski pagi ini sudah bersikap biasa saja. Namun mereka sadar kalau Fathur agak lebih diam dari biasanya. "Subuh, Thur!" Ia hanya mengangguk. Beberapa temannya masih tidur. Ia baru beranjak sepuluh menit kemudian. Ini sudah lewat dari jam lima pagi. Ikhsan sudah sibuk memasak nasi pagi ini. Ia memang paling rajin di kontrakan ini. Bisa dibilang juga imam di kontrakan ini. Ia yang paking rajin solat tepat waktu. Tadi juga solat di masjid kok. Lalu baru membangunkan teman-temannya. Memangnya ia tak mengajak mereka ke masjid? Tentu saja sudah membangunkannya sejak berjam-jam lalu. Tapi ya sudah lah. Memang susah dibangunkan. Jadi lebih baik ia berangkat sendirian. Mereka bisa menjadi teman satu kontrakan itu ya karena bertemu di tahun pertama di kampus ini. Akan jauh lebih murah kalau mengontrak seperti ini. "Mau ke mana?" Fathur menanyakannya. Ia baru meninggalkan dapur. Memang hendak keluar. "Warung tukang sayur depan. Mau ikut?" Ia terkekeh. Fathur menghembuskan nafas. Ia butuh udara segar. Hanya ingin keluar meski bukan untuk menemaninya berbelanja. "Soal semalam, lupain aja lah." Ia tahu kalau Fathur masih memikirkan apa yang terjadi semalam. Ya ia marah. Tapi sialnya, ia masih punya rasa perduli. Ia hanya bertanya-tanya ke mana abangnya pergi. Namun ya sudah lah. Toh mereka juga sama-sama sudah dewasa. Jadi untuk apa ia pikirkan? Ya kan? Ikhsan merangkulnya. "Kamu gak pernah cerita." Ya memang. Ia menghembuskan nafas. Baginya itu aib. Karena saudaranya yang lain tak ada yang seperti itu. Hanya itu yang cacat. Bahkan anak tertua. Yang harusnya memimpin bukan dirinya. Itu juga yang membuatnya marah. Tapi tak bisa apa-apa. "Cuma bikin marah aja. Buat apa juga? Toh dia di penjara." Ikhsan mengangguk-angguk. Ia tahu kalau Fathur tampaknya menyimpan banyak kekecewaan pada kakaknya. Itu hal yang wajar sih menurutnya. Siapapun yang berada di posisinya pasti marah kan? Sisi manusianya memang begitu kan? Keluarga Fathur memang berantakan. Tapi ia awalnya juga tak banyak tahu. Hanya berpikir kalau ya mungkin Fathur memang sedemikian tertutup. "Fokus saja lah. Sdtahun ke depan, kita harus sudah selesai." Ya benar juga. Ia harus semangat lagi. Ia harus mempertahankan nilainya di semester ini agar bisa mempertahankan beasiswanya juga. Sungguh tak mudah untuk mendapatkan apa yang bisa ia raih sekarang. Ya kan? "Eh ya, San, udah dapat nomor Salwa?" Ikhsan tertawa. Ia meninggalkannnya untuk berbelanja. Setelah itu baru membicarakan hal yang tertunda. "Kenapa gak tanya sendiri heh? Kan udah satu organisasi tuh." Ia tersenyum tipis. Masih belum berani tentunya. Masih butuh pendekatan juga. Tak mau terlalu terlihat dan tak mau juga terkesan terburu-buru. Ikhsan geleng-geleng kepala. "Kejar lah sendiri. Masa gak bisa sih? Seorang Fathur? Jabatan ketua BEM aja udah ditangan masa ini gak bisa?" Ia malah diolok Ikhsan dan hanya bisa tertawa. Hahaha. Urusan perempuan rasanya berbeda. "Seenggaknya kasih bocoran lah dari temenmu itu. Salwa udah punya pacar atau belum?" Ikhsan terbahak. @@@ "Dia bakal pindah lagi ke sini?" "Berhasil keluar dari penjara itu gak mudah, Lin." "Iya. Makanya aku tanya. Dia bakal balik lagi ke sini?" Lelaki itu mengangguk. Ia tentu saja senang. Lelaki di sebelahnya ini berdeham. "Apa rencananya?" "Bangun klinik. Ya kamu tahu lah, dia gak mungkin kerja--" "Itu terserah. Yang penting dia balik lagi ke sini." Tapi kemudian ia tersadar kalau ada yang salah sepertinya. Jadi ia kembali menoleh. Apa yang salah? "Dia gak ngejar mantan istrinya lagi kan?" Lelaki itu terdiam. Satu-satunya alasan kembali ke sini ya memang itu. Apa yang diharapkan olehnya? Ia tentu kesal begitu mendengarnya. "Terus ngapain ke sini jauh-jauh?" Ia jadi kesal. Ingin turun tapi ia sadar kalau mobil ini sedang berjalan. "Aku cuma mau bilang, Lin. Kalo dia bukan orang yamg baik." "Dia baik." Astaga. Ia menarik nagas panjang. Tidak ingat kah semua hal yang dilakukannnya? Agak mengerikan. Bahkan mantan istrinya saja trauma kok meski ia juga tak tahu apakah keluar dari oenjara eeh rumah sakit jiwa dapat menyembuhkannya. Ya awalnya memang di penjara. Tapi setelah diperiksa lebih dalam, para dokter menyadari memang ada yang salah dengane mentalnya. Ia saja takut kok. Hanya ingin memperingatkan perempuan ini. Tapi ia sama sekali tak perduli. Namanya juga sedang cinta mati. Harus sampai mati baru bisa berhenti bukan? Ya kan? @@@ "Enak banget rumahnya ya?" Teman-temannya masih takjub. Apalagi tadi ketika solat subuh, suara Ahmad yang mengimami subuh ini terdengar begitu jernih. Ya ditambah suara alam sih. "Enak sih rumahnya. Cuma satu tingkat terus rasanya kayak tinggal di keraton ya?" Ya. Salwa juga merasa begitu. Rumahnya adem. Bahkan tak ada AC sama sekali. Semuanya mengandalkan alam. Banyak pepohonan di tengah-tengah kota rasnaya konsep ini cukup keren. "Eh-eh keluar tuh, si tante bawain makanan ke pendopo!" Ia ikut keluar dari kamar. Tak enak hati kalau hanya tinggal di kamar tanpa memhantu. Salwa keluar bersama teman-teman. Ino dan abangnya sih terlihat. Mereka ikut membantu. Tapi di mana Ahmad? Ia sudah menoleh ke sekitar dan tak menemukan. Malah Raisa yang bertanya pada ibunya Ahmad tentang keberadaan Ahmad. "Oh. Ahmad pergi sebentar ketemu kakeknya. Nanti juga balik." Aaah. Mereka mengangguk-angguk. Ia juga mengangguk. Lalu akhirnya sarapan pagi bersama ibunya Ahmad tanpa Ahmad. Perempuan itu tentu saja menanyakan Salwa dan teman-temannya. Karena kan kalau Ino dan Said, ia sudah kenal. "Ooh kamu adiknya Said?" Ia mengangguk. "Lalu kalian? Temen-temen Ahmad?" Ia sejujurnya sedang mencari satu dari empat perempuan yang mungkin disukai anaknya. Kan Ahmad tak bercerita apapun. Jadi ia ingin menguliknya semdiri. Apakah akan bisa? "Kalo kita bertiga sih temen satu kontrakannya Salwa, tante. Juga temen SMA. Belum kenal lama juga sih sama mas Ahmad. Salwa tuh yang kenal." Aaaah. Bahkan ketiga temannya ini baru tahu semalam kalau Ahmad adalah teman dekatnya Said, abangnya Salwa. Selama ini kan mereka tak pernah tahu. Karena Salwa memang tak pernah bercerita soal apapun. Sementara si ibu mengangguk-angguk. Untuk sementara sih, perhatiannya tertuju pada Salwa. Si gadis manis namun cantik. Ya dari wajahnya menarik memang. Tapi ia tak menutup kemungkinan. Kan bisa saja Ahamd malah naksir yang lain tapi kebetulan yang terhubung dekat dengannya adalah Salwa. "Berarti Salwa udah kenal lama sama Ahmad?" "Abang sih tante yang kenal lama," ia nyengir. Ia kan tak begitu tahu memang siapa saja teman-temannya Said kecuali yang ada di Jakarta. "Salwa juga baru ketemu di Jogja sini sama mas Ahmad." Aaah. Si ibu mengangguk-angguk. Ia tak bisa menebaknya kalau begini. Hahahaha. Malah tambah bingung. Sementara itu, Ahmad baru saja tiba di rumah kakeknya. Ia memarkirkan mobil antiknya yang berwarna merah itu. Lalu? Mengucap salam begitu masuk ke rumah. Tak banyak orang di sini. Hanya ada kakeknya dan ya keluarga kecil tantenya yang juga tinggal di sini. Ia muncul dan langsung diduruh ke halaman belakang. Kakeknya sedang bercocok tangan. Ia menggelengkan kepalanya. Tentu saja heran. Heran karena kakeknya masih punya banyak tenaga untuk bercocok tanam. Ya usianya memang sudah renta sih. Tapi rasanya tenaganya tak berbeda dengan orang yang lebih muda. "Kenapa, eyang?" Ia mengambil duduk tak begitu jauh darinya. Tentu saja heran dengan kakeknya yang tiba-tiba menyuruhnya datang. Kakeknya berdeham. Ada hal yang ingin ia ceritakan. "Jadi usai subuh tadi, ada yang menelepon eyang." "Lalu?" Apa hubungannya dengannya? Ia tentu saja ingin tahu bukan? Kakeknya terkekeh. "Beliau bertanya, kamu sudah ada calon belum?" Ia terdiam sejenak. Baru kali ini ada yang langsung bertanya pada kakeknya. Meski rasanya agak aneh. Kan biasanya yang perempuan yang ditanyakan begitu bukan? Kenapa sekarang sebaliknya? "Sudah ada?" Ia menatap cucunya yang terdiam. Karena raut wajahnya itu mendadak serius sekali. "Kalau sudah ada, eyang akan bilang. Tapi ya.....ini hanya saran saja. Karena eyang sudah pernah berjanji dulu sekali. Ya kalau mungkin ada keluarganya yang ingin menjadi keluarga eyang, eyang akan menerimanya." Ia semakin terdiam. Tak tahu harus bagaimana. Ia memang belum ada rencana untuk menikah. Karena ia tahu sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Lalu apalagi? Perempuan yang ia suka, belum tentu memiliki perasaan yang sama dengannya. Masih terlalu dini untuk membicarakan hal semacam itu juga. Ya kan? Lalu bagaimana? "Siapa yang menelepon eyang?" "Kyai Rasyid. Gurumu." Maksudnya pemilik pesantren dan gontor di mana ia belajar dulu. Ia terdiam untuk sesaat. Ia kenal sekali dengan keluarganya. Lantas siapa yang ditawarkan? "Beliau menawarkan anak bungsunya. Kamu pasti kenal. Katanya kalian satu kampus dan satu organisasi yang sama." Tentu saja ia sangat kenal. Ia sudah lama mendengar rumor juga kalau gadis itu menyukainya. Namun ia tak pernah menganggap rumor itu serius. "Seperti yang kamu tahu, rekam jejak keluarganya sungguh baik. Eyang juga dilema." Ia tahu kedilemaan apa yang dirasakan Ahmad. Mungkin cucunya tak menyukai anak gadis itu ya? Ia bisa melihat wajah keberatan itu. Karena terlihat sangat kentara. Ia tersenyum tipis. "Tapi eyang juga tak bisa memaksamu. Meski kita tahu keluarganya seperti apa, bukan berarti tak ada keluarga lain yang lebih baik lagi darinya. Manusia seperti kita terkadang cara berpikirnya salah dan sempit. Terkadang hanya menilai dari gelarnya atau hartanya. Padahal kebaikan itu yang tahu hanya Allah." Ya memang hanya Allah. Tapi ketika dihadapkan dengan pilihan semacam ini, ia juga dilema. Bagaimana pun, kyai itu adalah gurunya. Taat pada guru adalah kewajiban baginya. Sekalipun sudah tak bersekolah di sana. Begitu lah paham yang ditanamkan padanya. Keputusan apa yang harus ia ambil? @@@ "Sudah oke? Sudah abah telepon itu kakeknya Ahmad. Untuk selanjutnya, abah tak bisa pastikan dia mau atau tidak." Ia agak senang sih. Tapi tak begitu melegakan juga. "Harusnya abah bilang kalo itu perintah begitu." Ia masih mencebikkan bibirnya. Masih tak puas. Tapi tentu saja abahnya menggeleng. "Abah kan sudah bilang kalau urusan pernikahan itu berbeda dari--" "Iyaaaaa!" Ia tak bisa berkata-kata apapun lagi. Umminya menggelengkan kepala. Kehabisan kata-kata juga menghadapinya. Ia sudah bilang untuk sabar. Urusam jodoh itu kan Allah uang atur. Mau Ahmad ke ujung dunia sekali pun kalau memang berjodoh pasti akan tetap bertemu. Ya kan? Tapi anaknya tak sabar. Ya hanya karena alasan banyaknya perempuan yang menyukai Ahmad. Itu hal wajar. Tandanya Ahmad bagus dan baik sebab banyak yang menyukainya. Ya kan? "Yang namanya cinta itu gak bisa dipaksakan, Ra." Dan ia diomeli umminya usai sarapan pagi. Ya sambil memberesi meja makan. Kakak-kakak perempuannya sudah menikah semua. Hanya tersisa dirinya di rumah ini. Sejak mengenal Ahmad, ia hanya menyukai lelaki itu. Tak ada lagi yang lain. Lalu? "Memangnya kalo kamu ummi paksa untuk nikah sama siapa tuh? Yang pernah datang ke sini buat melamar kamu, kamu mau? Enggak kan? Itu saja kamu menolak. Itu saja kamu memang punya hak untuk menolak. Nah sama juga dengan Ahmad. Mau dia santri abahmu atau bukan, dia punya hak untuk menolak." Masalahnya ya, alasan kenapa ia sengotot ini memang karena ia merasa sepertinya Ahmad tak tertarik padanya. Cowok bersikap sama padanya maupun dengan cewek-cewek lain. Ia memang terganggu dengan hal itu. Ingin dikhususkan. Sudah berbuat banyak hal agar lelaki itu tertarik. Ya dari penampilan se-syari mungkin. Karena ia tahu betapa lurusnya Ahmad. Dari kepintaran? Ia memang sudah pintar kok. Tapi di kampusnya juga ada banyak manusia pintar. Jadi ia harus lebih menonjol. Dan itu juga berhasil. Beberapa minggu lalu ia sudah mendaftarkan diri untuk ikut miss muslimah. Meski abah dan umminya tak setuju, ia tetap mendaftarkan diri. Tujuannya? Ya Ahmad. Ia ingin cowok itu menyadari kalau ia lah perempuan terbaik di muka bumi ini yang pantas mendampinginya karena ia punya banyak kelebihan dibandingkan perempuan lain. Ia lah yang paling hebat. Renita? Ia yakin kalau Ahmad tak akan menyukai gadis yang suka membuka aurat dan mem-bully banyak orang. Meski ia juga cantik. Ah ya, alasannya masuk miss muslimah juga karena gadis ini sih. Kan Renita masuk finalis Puteri Indonesia. Ia tak mau kalah dong. Ia harus lebih unggul darinya. Selain itu, tentu juga bergabung di beberapa organisasi bahkan ia hendak dicalonkan untuk ketua rohis perempuan. Ia ingin menunjukkan taringnya di hadapan Ahmad. Ya hanya untuk menjadi yang terbaik demi lelaki itu. Ia tak sadar kalau ia telah salah arah sejak awal. Ia melakukan itu untuk mencari perhatian lelaki yang padahal belum tentu juga akan berjodoh dengannya. Ya kan? "Lagi pula, Ra, masa iya Ahmad tak menyukaimu?" Menurutnya juga mustahil kalau Ahmad tak menyukai anaknya. Keduanya duduk di tangga belakang yang menghadap ke arah kolam. Anak-anaknya memang bagus semua kok. Dari segi fisik juga. Walau ya banyak yang bilang lebih suka Renita untik penampilan fisik. Walau agak judes. Tapi mungkin karena Renita jauh lebih ramah. Ya walau ya memang mulutnya tak bisa direm juga. Tapi ia baik kok. "Di kampus Zahra itu, um, banyak perempuan yang cantik juga." "Begitu?" Ia mengangguk polos. Umminya malah terkekeh. Tapi menurutnya pasti ada kesempatan bagi anaknya untuk disukai Ahmad. Ya ia memang tak pernah bisa menolak permintaan apapun dari Zahra. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD