Ia melihat Ahmad pergi begitu saja. Ya sedih sih. Terlihat sekali kalau Ahmad tak menyukainya. Selama ini, masih menyimpan harapan sih. Walau ya terkadang memang ragu. Kali ini jelas terbukti kalau Ahmad jelas tak menyukainnya. Kalau suka, gak mungkin sikapnya akan dingin begitu dan pergi begitu saja kan?
Tak jauh dari belakangnya, seseorang menahan tawa karena melihat kejadian itu. Ya awalnya juga masih ragu dalam menerka ekspresi Ahmad tiap bertemu Zahra. Tapi tadi terlihat jelas sih. Namun menurutnya pasti ada sesuatu yang membuat Ahmad mendadak bersikap dingin seperti itu pada Zahra. Karena sebelumnya, Ahmad baik-baik saja kok. Ia masih bersikap ramah pada yang lain. Jadi rasanya aneh juga kalau melihat Ahmad menjadi seperti itu.
"Cowok kalo gak suka ya gak usah dipaksa deh," tukasnya begitu Zahra membalik badan dan mendapati kehadirannya. Dengan cueknya, ia berjalan menuju parkiran. Tentu saja hendak pulang. Apalagi ini sudah hampir magrib.
Ia menghela nafas. Ya ķesal sih mendengar ucapan Hawa. Tapi baginya yang lebih mengesalkan ya sikapnya Ahmad tadi. Kenapa sih harus seperti itu? Ia tengsin pula mengakui di hadapan orang-orang kalau Ahmad benar-benar tak suka padanya. Apalagi selama
ini yang selalu ia terima......
"Kamu tuh Ra sama mas Ahmad ya cocok banget lah."
Yola dan Fatimah adalah pendukung setianya soal Ahmad. Mereka yang selalu menguatkannya kalau Ahmad pasti menyukainya.
"Mungkin tadi mas Ahmad lagi bad mood aja. Bukan karena kamu."
Fatimah menimpali. Yola mengangguk-angguk. Mereka sednag berada di apartemen Fatimah. Zahra ikut mampir sebelum nanti pulang ke rumah agak malam. Tapi Zahra masih merasakan hal yang berbeda. Ia sih berharap kalau prasangkanya ini benar-benar salah.
"Lagi pula tadi kan memang udah sore banget tuh. Hari senin pula. Ditambah lagi, mas Ahmad bisa jadi baru sampai Jogja tuh. Paati capek banget Zah. Pas lagi capek begitu, eeh kamu malah datang-datang ngomongin soal abah. Yaaa gak tepat itu waktunya."
Awalnya sih Fatimah mengangguk. Tapi setelah dipikir lagi, justru kalau memang mas Ahmad suka Zahra, disaat sedang lelah begini kan seharusnya bisa mengobati kelelahannya itu kan? Harusnya senang kalau abahnya Zahra mau berkunjung ke rumah orangtuanya. Bukannya sebaliknya. Tapi ia masih ragu juga sih. Karena dari cerita-cerita Zahra sebelumnya tuh memang masih menggambarkan kalau ada kemungkinan Abmad suka sama Zahra.
"Eh terus itu siapa si cewek penyanyi itu yang deket sama mas Ahmad waktu itu?"
Yola baru ingat. Maksudnya sih si Salwa. Kan mereka juga melihat postingan Ino. Kalau Ahmad sih gak mungkin posting yang kayak gitu. Wong isi media sosialnya ya dakwah semua.
"Itu adiknya mas Said," ujarnya Zahra. Ia tentu saja bertanya pada Ino.
Yola dan Fatimah ternganga. Ya kaget lah.
"Adik? Adik kandung?"
Zahra mengangguk. Yola malah berseru.
"Aku berarti harus deketin dia dong ya?"
Fatimah mengangguk kencang. Tentu saja harus. Zahra hanya menghela nafas. Ia sedang masih kehilangan mood baik sih dengan hal tadi yang menurutnya tak berpihak padanya. Jadi ya rasanya masih dongkol. Sementara Yola malah sibuk membeberkan rencananya untuk mendekati Said yang selama ini mentok. Ia mana berani mendekati Said secara langsung apalagi via pesan. Karena tak akan ditanggapi apalagi dibalas.
@@@
Disaat sedang tak mencari eeeh malah muncul. Salwa juga kaget karena malah bertemu di salah satu minimarket yang tak begitu jauh juga dari kontrakannya. Siapa? Fathur.
Cowok itu sedang berbelanja kebutuhan bulanan untuk kamar mandi. Lalu ya menyapa Salwa yang sedang berdiri di depan deretan rak pembalut. Ia agak-agak malu tapi pembalut kan bukan sesuatu yang harus membuatnya malu. Ye gak?
"Sendiri, Sal?"
"Iya, kak."
Ia mendadak bingung harus mengajak mengobrol apa kalau mendadak begini. Biasanya kan suka mampir ke pecel ayam. Tapi saat tadi ia mampir ke sana, ia juga tak melihat Fathur. Eeh malah bertemu di sini. Sungguh sesuatu sekali.
"Aku lihat dipostingan Ino, lagi pada liburan ke Semarang ya?"
Ia mengangguk. Lelaki ini pasti mengira kalau ia bisa ikut juga karena ada Said kan?
"Seru tuh."
Ia terkekeh. "Ya lumayan lah. Biar bisa healing sebentar."
Fathur tersenyum kecil..ia malah mengintili langkah Salwa. Ya sekalian sih mengambil beberapa keperluan yang ia temukan dirak-rak yang dilewati. Mumpung bertemu Salwa juga di sini ya kapan lagi sih bertanya eung...bertanya apa heh?
"Eung....tadi ada pengumuman soal rencana ke Senayan. Kamu ikut gak?"
Ia sejujurnya ingin menanyakan nomor ponsel Salwa. Di dalam grup BEM, ia tak menemukan foto kontaknya Salwa. Entah mungkin terlewat atau mungkin Salwa memang tak menaruh fotonya di sana. Ia juga tak paham. Yang jelas, berkali-kali pun ia cek memang tak ada Salwa di sana.
"Berangkatnya sekitar jumat nanti kan ya, kak?"
"Ya rencananya kan akan dibagi beberapa kloter. Soalnya ada yang gak bisa berangkat jumat pagi. Ada juga yang bisa. Kamu ada kuliah jumat?"
"Enggak sih semoga. Takutnya ada pengganti tiba-tiba begitu."
Ya sih. Fathur mengangguk-angguk.
"Kalo kakak, berangkatnya yang pagi atau malam?"
Ia bertanya tapi agak takut-takut. Takut ketahuan kalau nanti ia ingin mengintilinya. Hahaha.
"Kalo gak ada urusan apapun ya jumat pagi sama yang lain. Aku harus pimpin perjalanan soalnya."
Ah ya. Ia tahu kalau Fathur kan ketua BEM-nya.
"Berarti nanti kamu pulang ke rumah?"
"Iya kayaknya sih, kak."
Fathur mengangguk-angguk lagi. Fathur tersenyum kecil. Salwa sudah selesai dengan belanjaannya. Tapi ia belum ingin pulang. Bingung juga sih mau muter lagi tapi tak ada apapun yang bisa ia dapatkan.
"Udahan ya?"
Ia nyengir. Ketahuan ya? Hahaha. Dari pada semakin malu ya mending ia berjalan menuju kasir. Sementara Fathur masih mengambil beberapa barang sebelum akhirnya ikut berdiri di belakangnya.
"Eung.....kamu udah masuk grup BEM kan ya, Sal?"
Ia mengangguk sembari menaruh keranjangnya di atas meja kasir.
"Nomor kamu yang mana?"
Ia memberanikan diri bertanya. Ya dari pada gak maju-maju. Mumpung ketemu orangnya juga kan ya?
"Nomor aku....," ia jadi gugup ditanya begini. Tapi untuk apakah? Ia memberikan keberadaan kontaknya di dalam grup BEM itu. Sepertinya Fathur benar-benar melewatkan kontaknya. Karena ia tak melihat ada foto itu. "Baru dimasukin sih sama adminnya," tukasnya. Entah kenapa nomornya lama sekali dimasukan. Kenapa?
Wong Fatimah dan Yola berubah pikiran. Mereka yang mengelola grup itu. Tadinya memang kontak Salwa sengaja hampir tidak dimasukkan. Ya kan berhubung gadis itu masuk departemen di mana ada Renita di sana. Bisa habis ia sama Renita kalau ketinggalan banyak informasi soal BEM. Tapi ya gara-gara kabar kalau dia adalah adiknya Said, ya langsung dibatalkan rencana itu.
"Aaaah."
Pantas saja, pikirnya. Ia ingin tertawa. Ia sudah mengecek kontak lama Salwa saat SMA. Tapi memang sudah tak aktif. Ya tampaknya memang sudah benar-benar diganti.
"Aku duluan ya, kak?"
Ia terpaksa pamit lebih dulu. Ya karena memang sudah tak ada alasan lagi untuk menahannya di sini. Fathur mengangguk. Cowok itu melihat punggungnya dari kasir.
@@@
"Apa rencana lo?"
"Butuh personel sih."
"Berapa banyak."
"Sepuluh mungkin?"
"Target?"
"Ada di FEB sama FISIP."
"Siapa?"
"Mantannya cewek gue."
"Dua-duanya?"
"Salah satu. Yang satu lahi, anaknya suka ikut campur urusan orang." Ia menunjik ke arah baliho. "Tuh mukanya."
Ia mengangguk-angguk. Ya sebodo amat lah mereka siapa. Itu tak penting. Yang penting dapat uang dari anak orang kaya yang satu ini.
"Yakin hanya sepuluh orang?"
"Ya cukup lah. Dua kali putaran oke?"
Ia mengangguk. Karena siapa tahu kedua target tak sedang bersama.
"Gue bawa apa aja nih?"
"Terserah lo. Tapi jangan dibuat sampai mati."
Ia terkekeh. "Kalo itu sih gampang. Tapi keamanan gue sama geng gimana? Harus ada asuransi keselamatan. Gue malas berurusan sama.polisi lagi."
"Gampang. Gue yang tanggung. Yang jelas, lo bawa aja temen-temen lo dari Jakarta. Jangan dari sini."
Ia mengangguk-angguk.
"Mereka jago silat gak?"
Ia terbahak. "Yang satu anak mami dan satu lagi anak pesantren. Apa kesimpulan lo heh?"
Oke. Aman kalau begitu. Berarti 10 orang sudah cukup.
"Inget. Harus dihari yang sama. Gue gak mau ngelihat lo sama yang lain masih ada di sini abis itu."
"Gampang. Asal bisa ketemu waktu yang cepat. Tapi lo gak buru-buru kan?"
"Gak sih. Tapi jangan terlalu lama. Bentar lagi UTS. Gue pengen mereka gagal semester ini."
Dan tentunya berakhir di rumah sakit dalam keadaan sekarang. Ia sih tak perduli dengan urusan mereka. Yang penting, ia tak suka ada penganggu. Kedua orang itu menurutnya brengsek.karena berani mencampuri urusannya. Itu yang membuatnya marah.
Ia pulang usai bertemu kawan lama di sini. Tiba di kontrakan, salah satu temannya mengintil hingga ke kamar. Tentu saja sudah mendengar rencananya dari teman yang lain.
"Menurut gue jangan deh, Pet. Lo tahu kan si Aidan anaknya siapa? Yang ada bokap lo bakal dilobi."
"Selama gak ketahuan, kenapa harus takut?"
Ia menghela nafas. Tapi bukan itu maksudnya. Ini agak berisiko. Meski ia juga tak tahu seperti apa. Hanya salah satu teman SMA-nya dulu yang satu sekolah dengan Aidan juga memperingatkan. Jangan berurusan dengan Aidan. Ya kalau Ahmad, ia sih tak perduli. Ia tak tahu latar belakangnya seperti apa. Yang jelas, yang satu ini memang agak berisiko. Tapi Peter tentu saja tak mendengar.
"Gue yang gerak, kenapa lo yang takut sih? Gak bakal gagak kali."
@@@