Pasangan Sempurna

3020 Words
"Adikmu gaul yo, Id. Lah kamu? Kok kuno yo, Id?" Ia suka sekali mengejek Said. Bahaha. Ino sedang ter-Salwa-Salwa. Karena ya kaget saja ternyata adiknya Said yang ia tahu adalah orang yang sangat menghindari pusat perhatian. Ia seperti hantu yang kadang kehadirannya tak bisa diketahui orang banyak. Hahaha. Ya begitu lah Said yang memang rada-rada aneh dan misterius anehnya istimewa bagi Raisa. Mereka sedang di sekitar Simpang Lima Semarang. Di sekelilingnya kan banyam sekali jajaran warung yang menjual makanan meski harganya ya agak-agak mahal. Tapi ya tujuan Ahmaf sih kalau di sini ada hiburan juga. Ada banyak kendaraan yang lucu-lucu yang bisa mereka sewa usai makan. Meski sekarang ya fokus makan dulu. Healing sebentar dari penatnya kuliah ke sini ya walau lelah tapi menyenangkan bukan? "Pada mau makan apa?" Ahmad sudah memarkirkan mobil. Mereka sudah berada di depan deretan warung. Lalu siapa yang bertanya? Ya, Ahmad. "Ayam aja deh, Mad. Babi kan gak ada." Ino langsung ditoyor dua sahabatnya itu. Salwa dan kawan-kawannya terbahak. Ya mereka memang begitu. Tapi lucu. Raisa bahkan baru kali ini melihat tingkah Said yang ternyata agak-agak konyol. Hahaha. Selama ini ia memang tak begitu tahu sih bagaimana Said. Kalau hanya mendengar cerita kan tidak begitu seru. Ia ingin melihat langsung dan ya cowok misterius ini memang tak terduga. Mereka akhirnya ya makan pecel ayam. Hahaha. Jauh-jauh ke Semarang malah makannya pecel ayam. Tapi dari pagi tadi sudah mencoba makanan khas di sini kok. Siang dan ketika jajan di sore hari juga begitu. Mereka makan tidak dengan serius-serius amat. Setidaknya terhibur dengan lelucon Ino. Ya kalau katanya Ahmad si master lawak yang ternyata anak pesantren juga. Hahaha. Tapi tentu tidak sama dengan Ahmad dan Said. Cowok itu berasal dari Kalimantan tapi wajahnya? Jawa tulen. Ia akhirnya mengaku kalau kedua orangtuanya memang orang Jawa asli. Hahaha. "Makanya dia jomblo tuh. Soalnya gak pernah serius," ujar Said. Hal yang membuat para cewek terpingkal. Mungkin memang ada benarnya. Hahaha. Soalnya memang lawak sekali. Usai makan malam bersama ya waktunya menyebrang menuju lapangan Pancasila itu. Sungguh sangat luas bahkan ya tidak hanya dikelilingi oleh warung tetapi juga mall-mall. Banyak lampu warna-warni pula yang membuat tampak indah. Ada sepeda, becak, dan mobil hias yang bisa disewa dengan berbagai harga yabg masih bisa ditawar. Ya semoga sih. Pada akhirnya? Hanya Ino dan Said yang naik mobil hias. Yang lain kompak menyewa sepeda hias. Sepeda-sepeda mengikut di belakang mobil hias milik Ino dan Said yang tentu saja sambil tertawa-tawa. "Abang lo bener-bener kayak bocah ya?" bisik Raisa. Salwa tertawa. "Ya emang. Makanya boro-boro mikirin cewek. Yakin masih naksir?" Raisa terkekeh. "Justru itu sih. Mending kayak gitu aja dari pada jadi playboy." Salwa tertawa. Raisa tampaknya benar-benar buta deh. Hahahaha. Tapi abangnya memang baik sih. Dari dulu ia sudah sering sih memberitahu Raisa bagaimana tingkah abangnya yang tergila-gila pada naskah film, museum, dan berbagai karya seni lainnya. Mereka berkeliling lapangan di atas jalanan yang mengelilingi rumput. Rasanya? Menyenangkan lah. Setidaknya bagi Ahmad. Meski hanya bisa melihatnya dari belakang. Hahaha. Sementara itu, July dan Ana memang sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka adalah dua orang yang sangat rajin berfoto ria. Kalau Raisa dan Salwa memang lebih suka mengobrol sambil menikmati suasana malam ini yang sangat ramai. Ya namanya juga malam minggu kan ya? Sebelum waktu sewa habis, mereka berkumpul bersama untuk berfoto. Tentu saja meminta tolong pada orang lain yang lewat untuk membantu memgambil foto. Setelah itu ya? Sempat mengobrol bersama soal kampus. Saling berbagi cerita. Kan Ahmad, Said, dan juga Ino baru tahu juga nih tentang keempat gadis ini yang juga memeluk jurusan yang berbeda-beda seperti mereka. "Oh berarti Salwa cuma dua tahun begitu di sini?" Ino baru tahu. Ia tak banyak bertemu dengan anak-anak dari jurusan arsitektur. Salwa mengangguk. Mendengar itu? Ya tak ada bedanya juga sih bagi Ahmad. Karena ia juga akan segera lulus dalam 2 tahun. Lalu bagaimana? Ah entah lah. Kenapa ia jadi galau lagi? Ya gak tahu lah. Ia menghembuskan nafas dan tampak lelah batin sendiri. Disaat itu lah, Sallwa menoleh. Ya ketika mereka sudah mengembalikan kendaraan yang mereka sewa tadi pada sang pemiliknya. Ia tak tahu sih. Namun melihat wajah Ahmad sekarang memang mengingatkannya pada wajah Ahmad pagi tadi ketika baru tiba di rumah. Ada apakah? Ada sesuatu yang salah kah? Ia hanya ingin tahu. Tapi untuk apa juga? Tidak ada kepentingan. Tapi bukan kah mereka berteman? Ya baru mulai berteman secara tiba-tiba. Apalagi di perjalanan tadi, mereka sudah membuat gurp bersama. Ya siapa tahu bisa jalan-jalan bersama lagi. Kita tak pernah tahu bagaimana ke depannya. "Ayok balik!" Ahmad sudah berseru. Yang lain langsung mengikuti. Ya kan pasti lelah juga. Apalagi Ahmad terus menyetir. Meski ya sempat gantian dengan Said. Dan di sepanjang jalan, Ahmad hanya sesekali menimpali. @@@ Renita memincingkan mata begitu melihat Linda lewat. Gadis itu sebenarnya temannya semasa SMA di Jakarta. Ya satu tahun pertama. Mereka sangat dekat. Tapi karena Linda merebut mantan pacarnya kala itu, mereka bertengkar. Ya ia jelas marah karena cowok yang direbut itu masih berstatus pacarnya. Pertengkaran hebat sampai menjadi musuh bebuyutan bahkan mungkin hingga sekarang? Ia dikagetkan fakta kalau ternyata malah dipertemukan lagi di UGM. Karena ditahun kedua SMA, cewek itu pindah SMA ke Jogja. Yang jelas, ia sudah tak mau perduli. Namun eeeh malah bertemu lagi dan bahkan satu fakultas. Setidaknya mereka tidak berada pada jurusan yang sama. Namun berada di kos yang sama ini juga agak-agak menyulut pertengkaran. Ia menatap dari balik jendela ke mana perginya Linda. Gadis itu naik ojek kali ini. Ia pikir akan dijemput lagi oleh seorang lelaki yang entah siapa. Rumor kalau gadis itu menjadi baby sugar sebenarnya sudah menyebar. Tapi ia juga tak tahu faktanya seperti apa. Walau ia percaya. Karena keluarga gadis itu pun memang tak begitu beres. "Ngapain, Re?" Ia membalikan badan. Tentu saja bukan apa-apa. Toh yang ia lihat sudah pergi. Ia duduk kembali di sofa. Lalu membuka ponsel dan mendapati betapa banyaknya yang mengiriminya pesan. Pesan diakun media sosial. Rata-rata sih cowok yang minta kenalan. Tapi tentu saja tak mungkin ada Ahmad di sana. "Mas Ahmad update gak yaaaaaa?" Ia membuka akun media sosial lelaki itu. Nama yang disebut itu tak sengaja membuat gadis lain, Veronika, ikut menoleh. Walau hanya sebentar. Ya rumor cewek ini menyukai Ahmad sih bukan hal baru lagi. Satu kampus mungkin tahu. Tapi..... "Gak mungkin deh mas Ahmad suka sama dia...," ia berbicara sendiri ketika masuk ke dalam kamar. Ya karena akhlaknya begitu, ia sanksi. Kecuali kalau Ahmad suka karena fisik. Menurutnya sih itu. Tapi ya dari obrolan dengan teman-temannya di grup semalam, Ahmad sih katanya sudah punya calon. Calonnya? Ya Zahra anak kedokteran itu. Walau ia tak tahu juga kebenarannya. Tapi kalau ia melihat akun media sosial Zahra semalam ya memang cocok. Perempuan muslimah seperti itu yang menurutnya memang pantas untuk bersanding dengan Ahmad. Ya dibandingkan Renita yang suka mem-bully anak-anak kosan terutama angkatan baru sepertinya. "Mas Ahmad lagi di Semarang tauk, Re!" Temannya muncul membawa kabar berita. "Kata siapa?" "Nih akunnya kak Ino!" Ia ikut membuka. Ya memang sih. Tapi tak hanya Ino. Ada Said yang ia juga tahu kalau itu sahabatnya Ahmad. Namun bukan Said yang menarik perhatiannya. Justru kehadiran Salwa. Ini cewek sebenarnya siapanya Ahmad sih? Kok bisa dekat? Saudara kah? Karena menurutnya, Ahmad tak seramah itu dengan cewek kecuali rekan-rekan BEM. Ia juga tahu kalau Salwa sudah bergabung tapi tak mungkin bisa sedekat itu kan? "Eh ada si cewek itu juga!" Ia yang heboh akhirnya membuka akun Salwa yang juga ditandai Ino. Ya sepertinya memang anak Jakarta juga. Lalu? Tak begitu banyak postingan kecuali foto pemandangan dan foto dirinya sendiri ketika ikut beberapa perlombaan semasa SMA. Ya manis sih. Ia juga tahu. Tapi apa hubungannya dengan Ahmad? "Saudara mas Ahmad kali ya? Deket banget kayaknya tuh." Renita juga berpikir begitu jadinya. Walau tak yakin juha. Karena dari wajah sih yang agak berbeda. Tapi kalau saudara sepupu kan memang belum tentu mirip. Yang saudara kandung saja bisa berbeda. Ya kan? @@@ Pagi hari di rumah ala keraton ini kembali disambut oleh suara Ahmad yang membangunkan mereka. Pintu kamar diketuk beberapa kali hingga Salwa menyahut baru berhenti. Cowok itu bergegas memgambil wudhu lalu ya mengazankan. Satu per satu datang untuk solat. Kali ini yang memimpin adalah Said. Bergantian dengan Ahmad. Lalu ya disambung dengan menyiapkan sarapan. Kalau kemarin pagi lebih banyak membicarakan soal keuidupan kampusnya maka kali ini yang lebih banyak dibicarakan justru Ahmad kecil. "Mas itu dari kecil memang di Semarang." Dari kecil yang dimaksud ya sekitar usia 5 tahun ke atas. Sebelumnya? Mereka juga tinggal di Semarang sih tapi berpindah-pindah ke berbagai kota. Karena sesuatu hal yang sudah lama berlalu membuat mereka harus berpindah ke banyak tempat. "Lalu ya waktu pesantren sama gontor itu baru keluar dari Semarang. Gak lagi di Semarang dan pindah ke Jatim itu bareng si Said." Ya. Kenal Said juga selama bersekolah di sana. "Mas Ahmad itu ngetop loh di kampus, tan," tutur July. Si anak yang sebenarnya paling heboh dan bawel. Dari kemarin, memamg ia yang lebih banuak bicara dengan ibunya Ahmad. "Oh ya?" Ibunya terkekeh. Tak heran kan? Karena sepertinya Ahmad memang seperti itu sejak dulu. "Kalo mas Ahmad udah bawa-bawa toa begitu, pasti langsung kumpul deeh." Kening Salwa mengerut. Ana tahu dari mana? Hahahaha. "Tahu dari mana?" "Rumor." Ia terkikik usai mengatakan itu. "Dari kecil juga si mas emamg suka mainin toa sih. Waktu usia lima tahun itu pernah nyanyi-nyanyi pakai toa masjid." Mereka tertawa. "Terus manggil-manggili pak kades waktu itu." Ia terkekeh sendiri saat menceritakan hal itu. Ya masih diingat dengan jelas karena memori tentang itu memang menyenangkan. Banyak hal yang dilakukan Ahmad yang jauh berbeda dengan anak-anak kebanyakan. "Tapi waktu usianya di atas 7 tahun, semua kesenangannya ngomong di depan umum itu akhirnya tersalurkan. Dari ijut lomba pidato cilik tahunan di masjid kalau ada acara maulid Nabi Muhammad. Nah itu rajin dia. Sampai sekarang juga. Terakhir itu dikirim sama kampus ke Dubai." Ya kalau yang Dubai itu, posternya menyebar luas. Awalnya Salwa juga tak begitu mengenal. Tapi dari cerita ibunya Ahmad, ia memang anak yang sangat aktif. Ya kalau Ahmad sanyai menjadi pusat perhatian, Said justru kebalikannya. "Kalo abang malah gak suka, tan. Sukanya ya ikutan yang lomba lukis atau nulis gitu meski jarang menang," ceritanya lantas nyengir. Kalau abangnya tahu, kepalanya sudah pasti dijitak deh. Hahaha. "Seenggaknya abangmu punya tujuan hidup." Salwa tertawa. Ya sih. Lebih salut lagi karena benar-benar konsisten dengan apa yang dijadikan tujuan. Perempuan? Tidak ada dalam kamus hidup Said untuk saat ini. Hahahaha. Jadi, ia juga tak punya bayangan sih. Kalau Raisa mau ya menunggu deh. Karena perempuan memamg bukan prioritas Said saat ini. "Kalau hanya dua tahun di sini, maksudnya gimana itu, Sal?" Masing-masing sudah bercerita soal kuliah. Kalau yang lain kan tampak normal itu. Nah kalau Salwa karena ia adalah satu-satunya mahasiswa internasional di sini jadi ya memang berbeda. "Jadi aku lanjut lagi di kampus yang ada di Jerman sih, tan. Tahun ini sudah harus apply sih. Jadi tahun ketiga udah bisa lanjut di sana." Aaaaah. "Berarti gelarnya bisa double gitu ya?" Ia mengangguk. Tapi bagian terpenting baginya sih belajar di luar negeri. "Kalau kuliah ke luar negeri biasanya gak mau pulang." Salwa terkekeh. "Ya paling lanjut S2, tan. Abis itu harus tetap pulang." "Mau bangun Indonesia?" "Ya disambi bantu papa." Aaaah. Si tante mengangguk-angguk. Ada banyak hal yang mereka obrolkan sih. Lalu baru membawa makanan itu ke pondok untuk makan bersama. "Biasanya kalau makan di sini ya, tan?" Karena ia melihat meja makan di dalam rumah namun tak dipakai. Yang dipakai sejak kemarin malah pondok di halaman belakang itu. "Lebih enak ya kalo rame begini makannya di pondok." Ia mengangguk-angguk. Ahmad sih terlihat. Ya ketiganya muncul dari arah pintu samping. Ketika orang itu sebetulnya muter-muter rumah Ahmad yang ternyata sangat luas. Usai sarapan ya siap-siap untuk pulang ke Jogja. Biar mereka tak sampai terlalu sore, sekitar jam 10 pagi ya sudah berangkat. Mereka berpamitan pada ibunya Ahmad. Ahmad memeluk ibunya sebelum berangkat. Ya karena tak sempat bercerita banyak hal. Tadinya kan beliau sempat berprasangka nih pada anaknya sendiri soal gadis-gadis ini. Begitu ia perhatikan kok malah tak ada yang mencurigakan. Hahahaha. Tak ketahuan ya? Ahmad pandai menyimpan perasaan. Ya belum mau berbicara apapun karena menurutnya terlalu dini. Ia juga tak tahu bagaimana perasaan Salwa. Ya di sisi lain takut menghancurkan persahabatannya dengan Said juga sih. Jadi serba galau sih. Ia menghembuskan nafas berat beberapa kali selama perjalanan. Bukan ia yang menyetir tapi si Ino. Ahamd di sebelahnya. Ya formasinya hanya berubah di bagian depan. Kali ini mereka membawa mobil Ahmad. Toh nanti bisa diparkirkan di kontrakan mereka. Kadang Ahmad membawa mobil. Tapi biasanya menjelang liburan semester akan dikembalikan dulu ke Semarang. Jadi begitu liburan tiba, ia pulang ke Semarang naik motor. Tiga sahabatnya pulas di bangku paling belakang. Ya gara-gara semalam malah sibuk bergosip sih. Ia menggelengkan kepala. Begitu menoleh ke kanan, ia mendengar suara dengkuran. Lalu ya menahan tawa. Abangnya ngorok kok keras amat. Hahaha. Ino menangkap apa yang membuat Salwa menahan tawa. "Itu gak seberapa loh, Sal. Biasanya lebih parah. Apalagi kalo kentut yo." Salwa tertawa tanpa suara. Ya abangnya memang agak rada-rada sih. Ia juga sudah menceritakan hal ini kok pada Raisa. Semua aibnya pasti sudah diberitahu. Hahaha. Maksud hati biar Raisa sadar tapi yang terjadi justru sebaliknya. Hahahaha. "Aku heran tho si Yola masih aja suka sama ini makhluk." Ahmad terkekeh. "Yola? Siapa?" Salwa tentu saja baru tahu. "Itu loh, Sal. Kalo kamu tahu Zahra. Tahu Zahra gak? Yang anak kedokteran dan masuk deretan mahasiswa berprestasi itu." "Tau. Terus?" Ahmad yang terganggu dengan nama itu. Tawanya jadi hilang. Semangatnya apalagi. "Nah, Yola itu yang sering sama dia. Anak kedokteran juga. Kamu kalo sudah sering ke BEM dan ketemu sama Zahra itu pasti selalu sama Yola dan Fatimah. Nah itu cewek dari dulu naksir abangmu nih." Aaaaah. Ia baru tahu. Abangnya tak pernah bercerita soal perempuan sih. "Abang suka gak?" "Kamu tahu abangmu kan?" Ia mengangguk. "Abangmu lebih suka lukisannya deh dari pada cewek." Salwa terkekeh. Ya benar juga. "Nah kalau si Yola naksir Said, si Zahra itu yang naksir Ahmad, Sal. Cocok ndak tuh? Pasangan sempurna. Yang satu cantik, yang satu manis. Sama-sama pinter. Sama-sama terkenal. Sama-sama diinginkan banyak orang nih!" Ino heboh. Yang dibicarakan mendadak diam. Sementara Salwa menangkap wajahnya yang jelas kurang nyaman dengan oembahasan itu. Tapi kenapa? Bukan kah mereka memamg cocok? Pasangan yang sempurna? Menurut Salwa juga begitu kok. Karena Ahmad soleh dan Zahra solehah. Itu yang ada di matanya. Jadinya, ya cocok. Tapi kan ini penilaian manusia yang bisa saja salah. @@@ "Itu mas Jamiiiiil!" Dua sahabatnya heboh sekali. Yang satu sih memang naksir. Yang satu dih naksirnya lelaki lain yang sungguh sangat jarang terlihat. Ia bahkan belum pernah bertemu lagi sejak awal masuk semester ini. Terheran-heran juga. Di mana kah lelaki itu? "Mau dikirimin salam?" tawar Zahra. Berhubung ia cukup mengenal lelaki ktu ya bisa saja menyampaikan salamnya. Sahabatnya baru kecanduan mas Jamil ya akhir-akhir ini. Mereka sedang di ruang BEM. Ya pasti bertemu sih dengan lelaki yang aktif ini. Sore dihari senin memang tak memyenangkan. Tapi beberapa divisi menggelar rapat. Apalagi untuk persiapan mereka nanti berangkat lagi ke Senayan. Walau masih belum tahu, aeberapa banyak yang akan ikut kali ini. Pasalnya kan ada acara yang memang harus dihadiri. Butuh banyak suporter. Mereka sedang menyiapkan tempat untuk menginap sebenarnya. Kebanyakan anak kos ya uangnya juga pas-pasan. Jadi ya bagaimana enaknya lah. "Mauuuuuu." Zahra geleng-geleng kepala. Ia beranjak lebih dulu untuk menyapa mas Jamil yang muncul di depan ruang BEM. Ya basa-basi dulu lah. Baru kemudian menyampaikan kalau ada yang titip salam. "Siapa?" Zahra terkekeh. "Temen Zahra sih, mas. Mas pasti kenal deh." "Bukan Yola kan ya?" Zahra tertawa. Memang bukan. Karena banyak yang tahu juga kalau Yola sukanya sama sahabatnya Ahmad. Yang jelas bukan Ino juga. "Kalo Yola sih udah jelas. Yang satunya dong, maaas." Ia hanya mengangguk-angguk saja. Lalu obrolan teralihkan dengan kemunculan Ahmad. Ia yang paling ditunggu untuk urusan Senayan ini. Zahra berdeham. Tentu saja menyapanya dengan senyuman. "Eung....mas kemarin pulang ya?" Ia mencoba mengajak mengobrol. Ia tentu tahu dari postingan Ino yang menandai Semarang. Menghabiskan waktu di Semarang selama beberapa hari. Ada beberapa perempuan juga. Ya salah satunya sih gadis itu. Ia jadi penasaran, apa hubungan mereka? Ahmad hanya mengangguk lalu ya berjalan masuk. Mereka harus segera memulai rapat karena ini sudah cukup sore. Ya semoga bisa satu jam tapi seperti dugaan memang mustahil. Rapat itu dilanjutkan lagi usai solat magrib. Baru selesai jam 8 malam. Ahmad langsung memilih pulang. Ia sudah solat isya disela-sela waktu rapat tadi. Kini ketika berjalan menuju parkiran, ada yang berlari intuk mengejarnya. Siapa lagi kalau bukan Zahra? "Eung...mas!" Ia memanggil. Ahmad sih tak menoleh ke belakang. Ia tetap melanjutkan langkah. Tapi sialnya, beberapa orang yang ada di depannya malah menegurnya dan menyebut kalau Zahra memanggilnya. Sudah pura-pura tak mendengar . Hahahaha. Mau tak mau ya menoleh. "Ada apa?" "Eung....gak apa-apa sih. Mau nanya aja, mas kapan pulang lagi? Soalnya.....," ia agak malu hingga tanpa sadar menundukan kepala. "Abah mau sowan ke rumah mas." Ia makin gelisah sejujurnya mendengar ini. Apalagi dalam kondisi terjepit seperti ini. Ia menarik nafas dalam. Haaah. Bagaimana ya? "Masih belum tahu." Ia jadi agak dingin. Padahal sebelumnya ramah loh. Ia tak suka diburu-buru seperti ini. "Oh ya udah. Gak apa-apa. Tapi eung...Zahra ngasih nomor mas ke abah. Nanti abah mungkin akan hubungi, mas." Ia hanya mengangguk saja. Ya melihat anggukan kepalanya sih sepertinyaa Ahmad sudah tahu ke mana maksud pembicaraannya. Ya kan? Mau berbicara lagi tapi Ahmad sudah melangkah lebih cepat menuju parkiran motor. Ia memang mengendarai motor hari ini. Zahra terdiam melihat sikapnya yang berubah menjadi dingin. Ia tak tahu. Apakah memang ada masalah atau ini karenanya? Apa cowok itu tak suka? Tapi ia tak merasa demikian. Tak mau terlalu percaya diri juga tapi semua orang pasti tahu kalau ia pantas mendampingi Ahmad kan? Banyak yang bilang juga kalau tak ada lagi sosok lain yang lebih pantas darinya kok untuk bersama Ahmad di kampus ini. Mau secantik Renita yang tumben hari ini, ia tak terlihat. Ya sibuk sih. Ia juga tahu. Ahmad memang sedang pusing. Ia tak perduli dengan anggapan orang lain. Ia sednag memikirkan kebahagiaannya yang terbentur dengan ketidaknyamanan dan di sisi lain, segan pada gurunya. Sang kyai yang tentu saja abahnya Zahra. @@@ Catatan: Sowan : berkunjung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD