“Kamu tidak ingin mencoba keripik Bunda dulu?” tawar Bila, ternyata anak keduanya tersebut sudah berjalan duluan tidak mendengarkan ucapannya.
“Nanti saja Bun, ada yang emergency,” jawab Brian menghilang dibalik pintu penghubung ruangan dapur dengan ruangan lainnya.
“Dasar anak itu, baru pulang sudah pergi lagi. Tidak pernah mau panas bekasnya di rumah bahkan baunya saja tidak lama ada di rumah kalau sudah siang,” gerutu Billa mengeluhkan sifat anaknya tersebut.
“Apa itu Bun, menggerutu sendirian. Nanti keripiknya gosong terus pait Ayah tidak mau makan,” goda seorang laki-laki berbadan tegap yang baru saja masuk ke ruangan dapur tempat istrinya berada.
“Ayah… anakmu itu kalau siang susah panas bekasnya di rumah,” gerutu Billa mengadu pada suaminya.
“Anak muda ya gitulah, Bunda muda dulu juga gitukan?” goda sang suami kembali, laki-laki berbadan tegap itu kembali mengambil posisi duduk di meja pantry tempat istrinya meletakkan keripik-keripik buatannya.
“Bunda tidak seperti itu dulu, Ayah mungkin yang seperti itu dan sekarang anaknya pun sama,” protes Billa pada suaminya.
“Tidak juga, coba liat Ayah sekarang hobby berkebun, merawat tanaman,” elak sang suami menolak tuduhan istrinya.
“Ya itukan baru sekarang saja, dulu awal menikah tidak seperti ini, malah hobbynya dikantor, huh!” protes Billa sambil tangannya terus bekerja di mangkuk adonan.
“Ya-kan itu juga untuk kita dan keluarga, jadi seperti sekarang. Ngomong-ngomong, Apa Bunda tidak mencium bau sesuatu yang terbakar? Ada bau-bau gosong,” ujar Fikri yang mencium baru benda gosong yang sampai di tempat duduknya.
“Astaga… keripikku!” teriak Billa sadar dengan pengorengannya, kemudian dengan tergesa-gesa mematikan kompor penggorengannya dan mengangkat keripik gosong tersebut dengan hati-hati. “Gara-gara suami tercintaku…!” geram Billa sambil tangannya tetap bekerja,
“Kenapa aku?” protes Fikra tidak terima karena disalahkan oleh sang istri.
“Ya karena laki-laki harus selalu salah,” gerutu Billa sambil membersihkan penggorengannya bersiap memasukkan adonan keripik yang baru. “Ayah dari pada duduk gak ada kerjaan mending bantu bunda masukin keripik yang udah matang ke toples, jangan lupa tutup yang rapat. Eh tapi sebelumnya bersih-bersih dulu, cuci tangannya,” perintah Billa pada suaminya.
“Iya-iya,” jawab Fikra dan beranjak dari duduknya dan menuju wastafel.
*
Sedangkan di kamar Aliana sudah berkumpul Erisa dan Salsa yang tiba-tiba saja mencarinya, tidak berlangsung lama ketukan pintu kamar Aliana mengalihkan perhatian mereka bertiga dari diskusi yang menurut Aliana tidak cocok sama sekali dengannya.
“Aliana… Erisa dan Salsa ada di dalamkan sayang?” teriak sebuah suara milik Annie dari balik pintu penghubung luar dan dalam kamar Aliana.
“Iya Ma!” jawab Aliana dari dalam kamarnya.
“Iya Tante, Salsa di dalam!” sahut Salsa mendengar namanya di sebut.
Sedangkan Aliana beranjak menuju pintu kamarnya dan membukanya. “Itu mbak Salsa sama mbak Erisa di balkon,” tunjuk Aliana saat pintu sudah terbuka dan memberitahukan tentang Erisa dan Salsa di balkon kamarnya.
“Ada Brian di bawah mencari Salsa dan Erisa, tadi Mama pinta dia untuk ke atas tapi dia menolak,” jelas sang mama pada Aliana.
“Ohh… mbak sini dulu dong! Dipanggil tadi tuh. Di cariin sama Brian katanya di bawah” panggil Aliana pada kedua orang wanita yang lebih tua darinya tersebut,-“ya jelaslah tidak mau, dan tidak akan pernah mau. Dia saja benci padaku,” seru Aliana di dalam pikirannya.
Erisa dan Salsa beranjak dari posisinya dan keluar dari kamar Aliana, tetapi sebelumnya ia berpesan kepada Aliana, “jangan lupa ya nanti sore, luangin waktu jarang-jarang kita keluar bareng bertiga,” pesan Salsa dan tersenyum pada Aliana.
“Ali tidak bisa berjanji Mbak, aku ada kegiatan nanti sore, untuk persiapan UN,” jawab Aliana, sebenarnya ia tidak terlalu rapat dengan tetangga dan saudara perempuannya Erisa. Dulu ia tidak mengerti dengan malu, iya hanya tau bagaimana bisa dekat dengan orang yang ia sukai dan jarang bermain dengan Salsa bahkan saudara perempuannya sendiri, yang ia lakukan hanya menempeli Brian, sang pujaan hati. “Ada yang lebih penting untuk aku kerjain Mbak,” itu hanya terucap di dalam pikirannya.
“Ok tidak masalah, tapi aku berharap kau mengusahakan untuk bisa join,” ujar Salsa, Salsa tersenyum dan pergi menyusul Erisa dan Annie.
“Baik Mbak…” jawab Aliana, “duh gimana caranya aku bisa lepas sore ini,” batin Aliana.
Aliana kembali masuk ke kamarnya, jelas ia tidak akan ikut turun menemui Brian yang sedang ada di ruang bawah, walau hatinya masih saja berdegup kencang hanya mendengar nama itu dan sangat ingin melihat wajah itu, hanya saja ia malu. Malu itu ia dapatkan pada saat acara kelulusan Brian dan beberapa saat setelah Brian memulai kuliahnya. Malu yang sudah Aliana pelajari untuk menghargai dirinya sendiri.
Saat acara kelulusan Brian,
Pagi yang Aliana tunggu dari beberapa hari sebelumnya, “Mama… jantungku dugun-dugun bagaimana ini?” tanya Aliana pada Annie yang sedang menyiapkan sarapan, Aliana bangun dan bersiap sangat pagi dari pagi-pagi sebelumnya, ia bersemangat untuk menyampaikan pidato dari siswa yang ditinggalkan oleh senior yang lulus setelah ujian akhirnya. Aliana menjadi perwakilan untuk siswa yang ditinggalkan karena bakat dan otak cerdasnya walau kadang konyol jika sudah berhubungan dengan manusia bernama Brian Kailshan.
“Ali sudah hafal teks pidatonya?” tanya Annie pada anaknya yang sedang duduk di meja makan menghadap piring kosong di depannya.
“Sudah bos, Ali hafal cuma nanti kalau Ali melihat wajah Brian bagaimana huee… lalu ali grogi gregetan. Pasti Bria sangat tampan hari ini,” seru Aliana semangat dan menyembunyikan wajahnya dilipatan tangannya.
“Ish simpen dulu groginya, setiap hari juga melihat wajah Brian. Untuk persiapan teks pidatonya jangan Ali tinggal,” seru Annie meningatkan anaknya.
“Mama…, tapi hati Ali tidak sekuat baja dan beli saat bertemu es dan tidak sekuat bara yang mengandung api, tapi Ali adalah keduanya akan melebur hingga tiba saatnya huee…” ucap Aliana dramatis pada sang mama yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Yaudah sarapan dulu, biar banyak energinya nanti,” ucap Annie terkikik karena sifat uring-uringan anaknya.
“Ok deh,” jawab Aliana menyerang dan memulai sarapannya.
“Mama panggil Papamu dulu, eh orangnya sudah ada,” seru Annie tapi berhenti saat Baru Annie akan menemui Hasbie, ternyata Hasbi sudah datang ke ruang makan tersebut.
“Alia siap untuk hari ini?” tanya Hasbi mendudukkan dirinya di kursi meja makan.
“Nah itu dia Pa, Ali gugup setengah mati,” ungkap Aliana dramatis menampakkan wajah cemberutnya.
“Ingetkan saja pidatonya buat mbakmu bukan buat dia,” ucap Hasbie bagai sugesti untuk membuat anaknya tidak lagi gugup.
“Tapi… ah liat saja nanti, doakan Ali semoga tidak gagap saat di podium,” ucap Aliana berharap semua akan baik-baik saja jika tidak ia akan menanggung malu yang sangat lama selama sekolahnya.
“Iya-iya,” jawab Annie sambil menyajikan sarapan suaminya.
“Papa Mama, lihat Erisa apakah aku sudah cantik?” tanya Erisa setelah ia sudah berada di hadapan Hasbie dan Annie.
(b)
….